Sang Alim

Ayah temanku meninggal jam setengah sembilan tadi malam. Berita kematiannya, yang diumumkan di masjid, terdengar samar-samar di kamarku.

Sekitar jam sepuluh jenazahnya tiba di rumahnya. Tenda terpal sudah terpasang, kursi-kursi plastik merah sudah dibariskan, ruang tamu dan ruang tengah sudah dikosongkan dan digelar karpet di atasnya. Aku membantu menurunkan jenazahnya dari ambulan, dan setelah meletakkannya di ruang depan, aku mengucapkan duka cita pada temanku. Temanku mengucapkan terima kasih.

Tiga bulan lalu, temanku meninggalkan pekerjaan bergaji besarnya di Surabaya demi menemani ayahnya yang kena stroke. Keputusannya berhenti bekerja agak mengejutkanku, mengingat ayahnya, bukan bermaksud meremehkan, hanya kena serangan stroke ringan yang tidak memerlukan operasi atau perawatan insentif. Karena penasaran, aku bertanya padanya tentang keputusannya tersebut. Saat itu kami sedang duduk di anak tangga masjid terakhir usai salat asar.

“Kau tidak menyesal berhenti kerja,” tanyaku.

“Tidak,” jawabnya, diam sebentar, lalu lanjut berkata, “Aku sudah dapat pekerjaan yang jauh lebih baik: Mengurus orang tuaku.”

Kau pasti setuju jika jawabannya terdengar absurd, klise, atau ia sedang berbohong. Tapi kenapa ia berbohong di masjid? Ah, sepertinya aku terlalu dini menduga-duga, karena, setelah itu ia menjelaskan maksudnya.

“Kesibukanku bekerja melewatkanku banyak hal penting,” ia meneruskan. “Sudah dua lebaran aku tidak pulang. Aku tidak mau melewatkan lebaranku berikutnya bersama orang tuaku. Sejak saat itu aku bertekad untuk berhenti kerja. Tapi keinginanku terwujud lebih cepat setelah menerima kabar ayahku sakit. Aku merasa, inilah waktunya. Lusanya aku memberikan surat pengunduran diri.”

Penjelasan itu terdengar lebih masuk akal, apalagi aku sering melihatnya jalan pagi bersama ayahnya usai salat subuh di masjid.

Sejak berada di rumahnya ia memang banyak menghabiskan waktu bersama orang tuanya, mengurus mereka dan mengajak mereka jalan-jalan. Bahkan, di hari-hari terakhir hidup ayahnya, temanku tidak tergantikan menemani ayahnya di rumah sakit. Sekarang, aku paham kenapa ia mengatakan menemani orang tua adalah pekerjaan terbaik. Bukan sesuatu yang merepotkan.

Jenazah ayahnya dibawa ke masjid jam sepuluh pagi ini. Sebelum disalatkan, seorang alim melangkah ke depan untuk mengucap kata sambutan. Ia memakai gamis dan kopiah putih dengan sorban di leher yang menunjukkan kealimannya. Ia orang yang sudah biasa tampil di mimbar masjid; untuk ceramah, pemberitahuan kegiatan, memimpin tahlilan, atau kata sambutan di banyak acara. Ia lebih sering tampil karena inisiatif sendiri ketimbang diminta.

Sang alim berdiri di samping jenazah, mengucap salam dan innalilahi wa innailahi rojiun, menyebut sang almarhum sebagai sahabat baik, menyebut kebaikan-kebaikannya, kemudian mendoakannya, dan meminta keluarganya untuk tabah dan bersabar, dan memuji sang almarhum yang masa sakitnya tidak lama, sehingga tidak merepotkan keluarganya.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!