Wawancara Kerja

Panggilan wawancara kerja itu datang lewat telepon jam empat sore. Ibuku, yang menerima panggilan itu, pergi ke lapangan bola tidak jauh dari rumah, memanggilku dari pinggir lapangan, tangannya memberi isyarat sedang menelpon. Main bola dihentikan sejenak. Semua mata memandang ke arahku.
Aku bergegas meninggalkan lapangan, berlari mendahului ibuku, masuk ke rumah tanpa melepas sepatu—mengabaikan adik perempuanku yang berkata, “Bang, ada telepon!”—pergi ke ruang tengah dan menjawab telepon sembari mengatur nafas. Aku mengambil pulpen dan buku block note, lalu mencatat alamat kantor, waktu wawancara kerja dan apa saja yang perlu kubawa.
Itulah panggilan wawancara kerja pertamaku, akhirnya. Aku ingat perusahaan itu. Aku menemukan iklan lowongannya di koran hari Minggu dan mengirim surat lamarannya lewat email.
“Siapa yang telpon?” tanya ibuku.
“Wawancara kerja, Mak.”
“Di mana?”
“Tanah Abang.”
“Kapan?”
“Rabu.”
Mendengar kata Tanah Abang tentunya yang terbayang di kepala ibuku aku akan kerja di toko pakaian. Ibuku berkata, “Kamu ngelamar kerja di toko baju?”
“Bukan, Mak.”
Rabu itu lusanya dan aku punya cukup waktu untuk menyiapkan diri.
Sebetulnya, yang paling sibuk menyambut wawancara kerja pertamaku adalah kedua orang tuaku. Ayahku mengeluarkan semua pakaian lamanya, yang terdiri dari kemeja lengan panjang, celana panjang bahan, berbagai model dasi, dan sepatu pantofel kusam, yang kesemuanya lungsuran dari Uwak—kakak Ayah, yang berkerja di Pertamina.
Aku mencobanya satu per satu, tapi semuanya terlalu longgar dan kepanjangan buatku. Celananya bahkan sangat ketinggalan mode; sebagian model baggy, sebagian lain model cutbray. Aku akhirnya memilih celana baggy warna biru tua dan kemeja biru langit. Ibu menambah kancing di celana supaya pas di pinggangku dan memendekkan ujung celana yang kepanjangan. Pakaian wawancaraku dicuci malamnya supaya besoknya bisa kering.
Pada saat makan malam Ayah menasehatiku apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan saat wawancara kerja. Dimulai dari mengetuk pintu dengan pelan, agak membungkuk saat masuk ruangan, mengucapkan selamat pagi, dan jangan terlalu kuat saat berjabat tangan. Ayah menyuruhku melakukannya. Aku melakukannya dengan malu-malu dan, karena sering salah, aku mesti mengulangnya beberapa kali. Kedua adikku menertawakanku yang terlihat seperti orang bodoh.
Ayah menarik kursi makan dan memberi contoh sikap yang baik saat diwawancara. Ayah bilang, duduknya yang tegak seperti ini, jangan menunduk, jawab dengan suara yang jelas kalau ditanya. Jangan seperti orang kumur-kumur. Ayah kemudian mencontohkan orang yang bicara sambil berkumur yang membuat kami tertawa. Lalu, ia menyodorkan tangannya seakan-akan sedang berjabat tangan, dan, dengan bahasa Inggris seadanya, ia berkata, “Good morning, Sir.” “How are you, Sir?” “I’m fine.”
Namun, yang lebih penting dari itu, Ayah yang akan mengantarku pergi wawancara kerja. Tentu saja tawaran itu akan sangat membantu, mengingat aku tidak tahu apa-apa tentang jalan-jalan di Jakarta. Terlebih waktu wawancaranya jam sembilan pagi, yang artinya, seperti dibilang Ayah, bahwa aku harus tiba di sana lima belas menit atau paling tidak sepuluh menit sebelumnya. Ayah terlihat senang bisa mengantarku, selain karena yang diantar adalah putranya, Ayah bisa berpergian lagi ke Jakarta.
Ayah bilang dulu ia sering berpergian ke Jakarta. Aku tidak tahu yang dimaksud ‘dulu’ itu, karena seingatku, kecuali pergi ke tempat kerjanya di sebuah pabrik di Cikarang, Ayah jarang berpergian. Mungkin yang dimaksud dulu itu masa-masa mudanya, jauh sebelum aku lahir. Kalaupun pergi ke Jakarta, Ayah biasanya hanya pergi ke rumah adiknya di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Namun, ketika Ayah menyebut tempat-tempat terkenal yang akan kami lewati, aku yakin Ayah tidak akan membuat kami tersasar.
Besoknya, ibu menyetrika kemeja dan celanaku sampai licin. Aku sendiri yang menyemir sepatunya sampai mengilap. Kemejanya pas di badanku, celananya tidak kepanjangan, sepatunya seperti baru, dan aku terlihat tampan di cermin. Sepanjang hari itu aku disibukkan menyiapkan berkas-berkas lamaran kerja. Malamnya, Ayah menyuruhku latihan wawancara lagi dengannya. Aku pergi ke tempat tidur jam setengah sepuluh, pakaian wawancara kerjaku tergantung di pintu kamar, mataku sulit terpejam, kepalaku terus memikirkan apa saja yang bisa terjadi besok.
Ternyata aku bisa tidur begitu saja dan sangat nyenyak. Bahkan, paginya, Ayah sampai berkali-kali mengetuk pintu kamar untuk membangunkanku.
“Bisa gak sih wawancaranya ditunda,” begitu yang terlintas di kepalaku saat aku bangun tidur pagi itu.
Aku menyeret kakiku ke kamar mandi dengan malas, bengong sebentar di atas kloset sebelum memaksa tanganku menyiram air ke atas kepala. Tubuhku jadi lebih segar, mataku perih karena sampo. Sambil menyikat gigi aku memikirkan seperti apa wawancaranya nanti. Apa saja yang akan ditanya? Apa jawabanku kalau ditanya pakai bahasa Inggris? Bagaimana kalau aku gagal?
Di luar, adikku mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi, berteriak, “Gantian, Bang. Keburu keluar nih!”
Aku berdoa lama sekali setelah salat subuh. Ibu sudah menyiapkan sarapan, tapi aku hanya makan sedikit. Aku memeriksa lagi berkas-berkas yang harus kubawa. Aku mencium tangan ibuku, adik perempuanku yang baru bangun memanggilku dan melambaikan tangan di pintu pagar.
Pagi itu langit masih gelap dan udara terasa dingin. Lalu lintas di sepanjang jalan menuju terminal lumayan lancar meski sudah ramai. Ayah membeli koran di gerbang masuk terminal, membacanya sebentar dan melipatnya. Kami berjalan di jalur bus ke Jakarta, melewati barisan bus berwarna putih dan hijau, sambil membaca tempat tujuan kami. Ayah berhenti di depan salah satu bus, bertanya kepada petugas berseragam abu-abu, “Lewat Tanah Abang?” Si petugas menjawab, “Lewat, Pak.” Kemudian kami menaiki bus itu.
Aku duduk dekat jendela kaca. Tukang kacang, tukang koran, pengamen datang dan pergi—kadang-kadang pedagang yang sama lewat lagi. Seorang pengamen gondrong berkacamata hitam menyelinap di antara penumpang dan berdiri di tengah-tengah bus.
Langit sudah terang ketika bus kami berangkat. Ayah membayar tujuh ribu untuk ongkos kami berdua, lalu setelah itu ia tenggelam dalam korannya. Di luar, truk besar mengeluarkan asap hitam, beberapa mobil melaju cepat mendahului bus kami.
Bus kami berpindah lajur untuk mendahului bus lain. Sebentar kemudian, bus lain itu muncul lagi, lalu keduanya saling mendahului. Untuk beberapa lama dua bus ini dalam posisi sejajar yang cukup dekat, bahkan sangat dekat hingga aku bisa melihat jelas perempuan cantik di dalam bus itu yang duduk berseberangan denganku. Aku dan perempuan itu sempat saling memandang dan tersenyum, sebelum akhirnya busnya melaju lebih cepat, meninggalkan busku di belakang.
Pengamen menyanyikan lagu Berita Kepada Kawan. Suaranya merdu dan lantang. Aku menyandarkan kepala, memejamkan mata, dan mencoba untuk santai. Tapi pikiran-pikiran itu kembali lagi—tentang wawancara itu. Kekhawatiran seperti itu kerap kali datang di momen penting sejak aku gagal di kompetisi sepak bola antar RW pertamaku.
Saat itu aku masih kelas empat SD dan yang paling muda dalam tim. Pelatih memilihku setelah melihat gocekanku yang bagus dan tendanganku yang kencang. Aku diturunkan di babak kedua menggantikan pemain gelandang kami yang kelelahan. Tapi sayangnya aku banyak melakukan kesalahan. Bolaku gampang direbut dan aku sering salah umpan. Kami kalah. Teman-teman satu tim, pelatih, dan penonton tampak kecewa padaku. Aku tidak dimainkan lagi di pertandingan-pertandingan berikutnya.
Hanya Ayah yang menghiburku, mengatakan bahwa aku tidak perlu patah semangat mengingat aku yang paling muda di tim dan melawan tim yang pemainnya tiga-empat tahun lebih tua dariku.
“Lihat saja, tiga tahun lagi kamu pasti akan jauh lebih hebat dari mereka.”
Untuk beberapa lama aku masih menyalahkan diriku. Tapi kemudian aku berpikir lagi, bahwa Ayah ada benarnya.
Tapi kekhawatiranku kali ini sangat beralasan. Rasa-rasanya baru kemarin aku masuk SMA, dan tiba-tiba saja hari ini aku sedang memasuki kehidupan dewasaku. Seandainya aku diterima kerja, itu artinya aku sudah punya penghasilan sendiri ketika teman-temanku yang berkuliah masih dibiayai orang tua mereka. Sebaliknya, jika aku tidak diterima, maka aku akan jadi pengangguran dan sekaligus jadi beban di rumah.
Aku tidak menyalahkan orang tuaku yang tidak sanggup membiayaiku kuliah. Aku justru yang seharusnya berterima kasih. Mereka sudah cukup banyak mengeluarkan biaya untuk dua belas tahun sekolahku dan masih punya dua anak lagi untuk dibiayai. Mereka juga sudah bersusah payah mempersiapkan banyak hal untuk wawancara kerja pertamaku. Oleh karenanya, aku tidak akan mengecewakan mereka. Setidaknya, aku tidak boleh melakukan kesalahan saat wawancara kerja nanti.
Bus jadi sepi sejak pengamen berhenti bernyanyi. Orang-orang sibuk dengan baca koran, buku, atau diam saja. Aku sendiri masih menikmati pemandangan di luar yang masih asing, dengan deretan gedung-gedung tinggi, jalan layang, dan kemacetan yang membuat kepalaku pusing.
Ayah menurunkan korannya, melihat ke luar, berkata, “Baru sampai Cawang,” lalu meneruskan baca korannya. Aku mengingat-ingat kata ‘Cawang’ dan gedung-gedung yang berada di sekitar jalan itu.
Ketika jalanan sudah lancar dan bus kami berbelok, Ayah melihat ke luar dan menyebut nama-nama tempat yang kami lewati. “Ini Pancoran,” kata Ayah, menunjuk patung yang tinggi itu. “Ini namanya jembatan Semanggi,” kata Ayah saat kami melewati jembatan berputar itu. “Ini jalan Sudirman,” kata Ayah saat kami melewati jalan yang dipagari gedung pencakar langit. Lepas dari situ aku melihat pemandangan yang biasa kulihat di televisi. “Ini Bunderan HI,” kata Ayah, menunjuk sebuah patung di tengah-tengah air mancur. “Yang itu Patung Selamat Datang.” Sesudah melewati tempat itu, Ayah memandang ke seberang jalan dan menunjuk ke satu gedung, “Itu Sarinah. Kita turun di sana.”
Aku sempat bingung ketika Ayah menyebut Sarinah. Seingatku Sarinah itu majalah, tapi ternyata sebuah gedung. Kami turun tepat di seberangnya.
Ayah bilang Tanah Abang ada di sana, sembari menunjuk suatu tempat di balik deretan gedung pencakar langit di belakang kami. Untuk sesaat aku membayangkan gedung kantor tempat wawancara kerjaku yang tinggi itu, dan aku akan naik lift untuk pertama kalinya. Ayah memintaku mengatakan alamat kantornya. Aku mengeluarkan kertas catatanku lalu kuberikan pada Ayah. Ayah menatap kertas itu, air mukanya yang serius menunjukkan ia sedang memikirkan sesuatu.
Sudah dua bajaj menghampiri kami dan menawarkan tumpangan sejak kami berdiri di situ. Ketika bajaj yang ketiga berhenti di depan kami, Ayah berkata, kepada sopir bajaj, “Fachrudin, Mang.” Sopir bajaj menunjuk angka lima dengan jari-jarinya. Ayah membuka pintu bajaj dan kami pun menaikinya.
Ini kendaraan paling berisik yang pernah kunaiki. Lebih berisik dari bus tiga perempat yang biasa kunaiki saat pergi dan pulang sekolah. Ayah sampai berteriak saat bertanya padaku, “Wawancaranya jam berapa?!” Aku menjawab, “Jam sembilan!” Sayangnya, tidak ada dari kami yang membawa jam tangan. Maksudku, kami berdua memang tidak punya jam tangan.
Bajaj melaju sangat cepat dan sebentar saja sudah sampai. Ternyata jaraknya tidak jauh, yang kalau kami tidak terburu-buru lebih baik ditempuh dengan jalan kaki. “Itu kantornya,” kata sopir bajaj. Aku membaca papan nama perusahaannya. Ya, itu benar perusahaannya seperti yang disebut di telepon.
Ternyata gedungnya bukan pencakar langit. Tidak juga kecil seperti ruko. Di depannya ada beberapa gerobak pedagang yang ramai pembeli. Ayah menepuk bahuku, berkata, “Pasar Tanah Abang ada di sana.” Tangannya menunjuk, melewati gedung bernama Djajanti Plaza dan jembatan penyeberangan, ke arah gedung berwarna hijau.
Lalu, Ayah membawaku ke sebuah warung rokok di bawah pohon rindang dan membeli air minum di situ. Pemilik warungnya seorang pria tua kurus dengan topi lusuh dan kemeja batik. Dilihat dari gerobaknya yang reyot, sepertinya ia sudah lama berjualan di tempat itu.
“Mau wawancara kerja?” tanya pemilik warung.
“Anak saya,” jawab Ayah bangga sambil menepuk bahuku.
“Dari pagi sudah ramai yang mau wawancara kerja.”
Aku melongok ke halaman gedung. Di sana ada sekumpulan orang-orang berpakaian rapih membawa amplop coklat, yang bisa dipastikan para pelamar kerja sepertiku.
Ayah duduk di kursi kayu panjang, menyuruhku duduk di sampingnya. Ia bertanya pada pemilik warung, “Jam berapa, Mang?” Pemilik warung menengok ke dalam gerobaknya, menjawab, “Jam delapan.”
Masih satu jam lagi. Ayah bangkit, berjalan ke gerobak bubur ayam yang ramai, dan kembali dengan dua mangkuk bubur ayam. Ayah mengaduk buburnya sebelum menyantapnya. Aku mengikutinya. Buburnya lumayan enak, porsinya lebih banyak dari tukang bubur dekat rumah, pakai cakwe, kerupuk, dan emping. Harganya pastinya mahal, pikirku.
Aku perlu menunggu sampai jam 08.45 sebelum masuk ke gedung. Aku mencium tangan Ayah. Ayah menaruh tangannya di pundakku, seakan-akan ia sedang meletakkan harapannya padaku, dan berkata, “Jangan lupa baca bismillah.”
Langkahku terasa berat meninggalkan Ayah sendirian. Aku menengok ke belakang, dan kulihat Ayah sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku.
Aku agak canggung saat berbaur dengan para pelamar kerja yang lain. Tidak ada tempat duduk kosong di teras, aku berdiri menunggu di samping pintu kaca. Tepat jam 09.00 seorang staf keluar dari gedung, meminta semua pelamar kerja masuk ke lobi. Di sana semua berkas dikumpulkan, kemudian kami dibawa ke sebuah ruangan mirip kelas di lantai dua. Kami duduk di kursi dengan papan meja. Dua orang staf memperkenalkan diri sebagai staf HRD, lalu salah satunya bercerita sedikit tentang perusahaan, dan memberitahu tes dan wawancara yang akan kami lalui.
Tes pertama dimulai jam 09.15. Aku membaca bismillah sebelum menjawab soal. Ada jeda untuk istirahat setiap habis tes. Mereka menyebutnya cofee break. Kami disediakan kopi, teh dan makanan kecil. Setiap waktu jeda, aku pergi ke jendela, melihat Ayah yang masih menungguku di warung. Kadang-kadang kulihat Ayah sedang membaca koran, kadang-kadang kulihat ia sedang mengobrol dengan pemilik warung.
Semuanya ada tiga tes tulis. Aku bisa menjawab tes Pengetahuan Umum dan Matematika Dasar, tapi lumayan kesulitan mengerjakan psikotes. Tes berakhir jam 12.00 dan akan dilanjut dengan wawancara kerja di jam 13.00.
Mereka tidak menyediakan makan siang, dan karena tidak punya uang, aku tidak makan siang. Setelah salat zuhur di musola sempit di belakang gedung, aku pergi ke warung rokok. Tapi Ayah tidak ada di sana. Pemilik warung bilang ayahku pergi ke masjid. Aku menunggu beberapa lama sebelum kembali masuk ke gedung. Ketika aku sedang mengobrol dengan teman-teman baruku di lantai dua, aku sudah menemukan Ayah sedang duduk di warung rokok sambil membaca koran.
Aku menunggu waktu wawancara pertamaku dengan berdebar-debar. Entah bagaimana aku merasa yakin bisa melaluinya. Satu-satunya yang membuatku pesimis adalah pendidikanku yang hanya lulusan SMA. Aku memang nekat melamar posisi yang diperuntukkan untuk sarjana atau paling tidak D3. Namun, aku cukup percaya diri. Aku punya keahlian yang disyaratkan, dan merasa beruntung ketika mereka menghubungiku untuk wawancara kerja. Mungkin saja bekerja di perusahaan ini akan menjadi takdirku.
Wawancaranya dilakukan terpisah berdasarkan posisi yang dilamar. Karena aku melamar sebagai staf IT Support, aku akan diwawancarai di lantai empat bersama tiga pelamar lain. Saat berjalan menuju tangga lantai empat, aku berpapasan dengan dua staf berdasi yang sedang membicarakan pekerjaan.
Kami duduk menunggu di samping meja seorang staf IT yang sibuk mengetik sesuatu di komputer sambil menelpon. Ketika staf itu sudah selesai menelpon, ia menyapa dan menyalami kami satu per satu, dan berkata, “Wawancara kerja?”
Kami mengangguk.
“Sukses, ya.”
Aku terkesan dengan keramahannya. Bahkan, secara keseluruhan, aku terkesan dengan kantor ini. Gedungnya memang terlihat biasa saja, tapi perusahaan ini salah satu perusahaan finansial ternama. Staf HRD-nya ramah, begitu pun dengan staf lain yang berpapasan denganku.
Aku berada di urutan ketiga yang akan diwawancara. Yang pertama seorang laki-laki berkacamata yang tinggal di Grogol. Ia berada di dalam ruangan wawancara selama dua puluh menit. Pelamar berikutnya sedikit lebih lama. Jika aku sama lamanya dengan mereka, maka aku akan keluar sekitar jam setengah tiga. Tapi aku berharap lebih cepat, supaya Ayah tidak terlalu lama menunggu.
Nasehat Ayah malam itu tidak semuanya kulaksanakan. Aku tidak mengetuk pintu, karena staf yang memanggilku sudah membukakan pintu untukku. Aku tidak mengucap ‘Selamat Siang’, karena pewawancaraku langsung menjabat tanganku, menanyakan kabar, dan menyuruhku duduk. Aku duduk tegak seperti nasehat Ayah, tapi pewawancaraku memintaku untuk santai.
Aku menjawab semua pertanyaan seputar latar belakang dan beberapa pertanyaan tentang diriku dengan lancar. Hanya, pewawancaraku mengulang pertanyaan dua kali untuk memastikan, bahwa aku memang benar hanya lulusan SMA. Karena, seingatnya, ia meminta HRD mencantumkan syarat lulusan perguruan tinggi dengan jurusan komputer. Aku tidak tersinggung dengan pertanyaan itu, bahkan, seperti kubilang, aku cukup percaya diri melamar posisi ini.
Bukan bermaksud membanggakan diri, aku sudah terbiasa dengan komputer walaupun aku tidak punya komputer. Hal itu bermula ketika aku dipilih jadi Ketua OSIS di SMA. Waktu itu kami belum punya komputer sehingga pekerjaan mengetikku dilakukan dengan mesin tik. Berkat ketrampilan mengetik itu, aku tidak perlu meraba-raba tombol keyboard komputer saat diminta membantu staf tata usaha membuat surat di Microsoft Word sementara ia membacakannya. Aku diajarinya mengatur paragraf, menebalkan huruf, memiringkan huruf, dan copy–paste. Di lain waktu, aku dimintanya membuat tabel dengan Excel yang waktu itu masih asing.
Melakukan pekerjaan administrasi hanya sebagai awal mula pengenalanku dengan komputer, setelah itu aku membantunya mengerjakan proyek lain di luar pekerjaan sekolah, seperti instalasi OS, jaringan, dan perbaikan komputer. Staf tata usaha itu berbaik hati mengajariku banyak hal tentang komputer. Sekarang ia sudah bekerja di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan.
Jadi, ketika pewawancaraku menanyakan berbagai hal tentang komputer, aku bisa menjawabnya dengan lancar. Ia bisa saja langsung mempercayaiku, tetapi untuk memastikannya, aku diujinya dengan beberapa tes. Sedikit tentang Excel, setting email di Outlook, instalasi printer dan LAN. Aku tidak kesulitan mengerjakannya, hanya mencemaskan Ayah yang sudah terlalu lama menungguku.
Pewawancaraku tersenyum, sepertinya senang dengan hasil kerjaku. Ia memintaku duduk kembali. Ia memberitahu tentang profil perusahaan, suasana kerja di bagian IT dan jenjang karir, yang membuatku mengira bahwa aku bakal diterima. “Tunggu kabar dari kami. Paling lama satu minggu,” katanya di akhir wawancara. Tentunya aku berharap dalam waktu seminggu itu aku mendapatkan kabar baik. Kalau pun tidak diterima, aku menganggap wawancara kerja itu bukan sesuatu yang perlu dicemaskan seperti yang kurasakan sebelumnya.
Pelamar terakhir yang menunggu menunjukkan wajah tidak senang saat melihatku. Aku bergegas menuruni tangga, keluar gedung, dan menghampiri Ayah. Ayah yang terlihat bangga padaku berkata,
“Bagaimana hasilnya?”
“Nanti dikabarin minggu depan.”
“Diterima atau tidak itu urusan belakangan. Yang penting kamu sudah berusaha,” kata Ayah, menepuk-nepuk bahuku.
Hanya itu yang dikatakannya. Ayah bahkan tidak bertanya apa saja yang ditanyakan saat wawancara, bagaimana aku menjawabnya, atau yang lainnya. Ia tahu aku baru saja melewati hari terpenting dalam hidupku dan paham jika aku butuh bersantai.
Sebelum pulang, Ayah bicara sebentar dengan pemilik warung. Pemilik warung menyebut nomor bus, terminal Kampung Melayu, dan stasiun Pasar Senen. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pemilik warung, Ayah berkata, “Kita pulang naik kereta.” Aku senangnya bukan main. Ini akan jadi pengalaman pertamaku naik kereta.
Lalu, kami makan mie ayam tidak jauh dari situ. Ayah membayar sepuluh ribu untuk dua porsi. Di dalam bus menuju stasiun, aku menghitung uang yang sudah dikeluarkan Ayah sejak kami meninggalkan rumah sampai membayar mie ayam barusan. Jumlahnya yang banyak membuatku tertegun. Aku tidak sanggup membayangkan berapa uang yang keluar seandainya aku menghadiri banyak wawancara kerja. Karena memikirkan itu dan hal lainnya, aku hampir tidak mendengar Ayah yang memberitahu nama-nama tempat yang kami lewati.
Ketika terbangun, kami sudah berada di suatu tempat dengan begitu banyak pedagang buku. Ayah menyebut Kwitang, dan aku mengingat-ingat nama itu beserta lapak-lapak buku di sepanjang jalan. Sebentar kemudian kami sudah tiba di Stasiun Pasar Senen yang besar. Ayah membeli dua tiket—tiket karton persegi seharga empat ratus rupiah perjalanan pertamaku dengan kereta—yang diberikannya padaku.
Kami melewati terowongan bawah tanah untuk sampai ke peron. Kios-kios makanan yang sepi berjejer di antara bangku tunggu. Ayah menanyakan letak musola kepada Satpam, lalu Satpam menunjuk bangunan di ujung kiri peron. Bangku-bangku tunggu sudah dipenuhi orang-orang ketika kami kembali usai salat asar. Dari arah pintu terowongan bawah tanah sekumpulan anak-anak berseragam SMA (atau STM) berdatangan.
Ayah dan aku duduk di pinggiran tiang. Ayah membuka lipatan koran dan membacanya lagi. Entah sedang membaca ulang atau ada berita yang belum dibacanya.
Aku melihat bagian belakang koran. Tetapi tidak membacanya. Melainkan sedang memandang sosok laki-laki empat puluh empat tahun di baliknya. Aku mengingat kembali perjalanan kami sejak meninggalkan rumah tadi pagi hingga berada di tempat ini. Aku ingat pancaran kebanggaan di wajahnya, beserta kata-katanya yang menyemangatiku saat menyambutku usai wawancara kerja.
“Diterima atau tidak itu urusan belakangan. Yang penting kamu sudah berusaha.”
Jadi, tidak salah jika aku mengkhayalkan apa yang akan kulakukan dengan gaji pertamaku jika diterima kerja nanti. Aku membuat daftarnya di dalam kepalaku. Aku akan memberikan sebagian gajiku pada orang tuaku, lalu mentraktir mereka dan dua adikku makan bakso. Atau mie ayam. Aku juga akan beli baju, celana dan sepatu baru untukku. Aku tersenyum, menyadari aku bahkan belum punya dompet untuk menyimpan uangku.
Jam empat lewat sepuluh menit. Terdengar pengumuman kedatangan kereta jurusan Bekasi. Orang-orang bangkit dan berdiri mengantri di pinggir peron. Kereta masuk dari arah kiri, terlambat sepuluh menit dari jadwal.
Meski lumayan ramai penumpang, gerbong yang kami naiki tidak terlalu penuh sehingga kami bisa dapat tempat duduk.
Naik kereta memang lebih nyaman ketimbang naik bus, dan aku pastinya akan lebih memilih naik kereta jika diterima kerja nanti. Kondektur membolongi tiket dengan alat mirip stapler. Aku seharusnya bisa tidur di perjalanan pulangku dan bangun di stasiun Bekasi. Tapi nyanyian pengamen dan teriakan pedagang yang mondar-mandir menggangguku.
Ada banyak pengamen dengan berbagai alat musik. Ada yang sendirian dengan membawa gitar, ukulele, atau biola. Ada yang membawa band sendiri, lengkap dengan perkusi dan pemain harmonika. Ada juga pengamen buta dengan mic dan tape yang digantung dada.
Pedagang datang silih berganti, berjalan dari satu gerbong ke gerbong lain, bolak-balik tak henti-hentinya meneriakkan dagangannya. Ada juga rombongan pengemis berbagai rupa. Ada yang datang dengan kaki pincang. Ada yang mengesot. Ada bocah perempuan penyapu lantai dengan sapu kecilnya yang meminta-minta dengan wajah memelas.
Sebentar saja kereta sudah melewati beberapa stasiun, dan Stasiun Jatinegara yang selama ini kulihat di TV baru saja dilewati. Gerbong agak lengang setelah kereta berhenti di stasiun berikutnya. Angin berembus kencang dari jendela yang tidak bisa ditutup penuh di belakangku.
Pengamen, pedagang, dan pengemis tidak juga berkurang. Di pintu kereta, murid-murid SMP bersorak mengejek barisan murid sekolah lain yang berdiri di pinggir jalan. Seorang wanita gemuk yang duduk di seberangku kena jambret. Kalungnya lenyap. Si penjambret berhasil kabur. Ia melompat turun ketika kereta baru saja meninggalkan Stasiun Buaran. Di sampingku, Ayah tidur pulas sekali, tangannya dilipat di atas perutnya yang buncit, wajahnya terlihat tenang, damai dan lelah.
* * *