Cerita Pagi

Sarapan siap dihidangkan: sepiring nasi goreng dengan telur dadar terpisah, irisan tomat dan timun, acar, taburan bawang goreng dan emping. Ini usaha ketiga Gita sejak dia memaksakan diri membuatkan sarapan untuk suami tersayang.

*

Di usianya yang ke-30, Gita baru mulai memasak, tepatnya sejak asisten rumah tangga mereka berhenti kerja dua bulan lalu. Dan sejak saat itu pula mereka membeli makan di luar atau pesan online. Hal tersebut membuat pengeluaran Randi lebih banyak, bahkan hanya untuk makan saja bisa melebihi gaji asisten rumah tangga mereka. Randi tahu, kalau ia meminta istrinya memasak pastilah istrinya akan mengalihkan pembicaraan lain.

Memasak memang kelemahan Gita. Namun, entah kenapa, Rabu pagi itu tiba-tiba Gita menyodorkan makanan kesukaan suaminya: sepiring nasi goreng. Randi mencicipinya dan merasakan sesuatu yang wajar untuk usaha pertamanya. Nasinya lembek, rasanya hambar. Meski begitu, ia tidak akan mengkritiknya. Ia tidak ingin membuat istrinya jadi patah semangat.

“Coba tambah garam sedikit,” kata Randi.

Gita tersenyum, mengira nasi gorengnya hanya perlu sedikit perbaikan. Dia masak nasi goreng lagi besoknya.

Kali ini nasi gorengnya terlalu asin dan masih lembek seperti kemarin. Randi hampir saja memuntahkannya. Ia berhasil menghabiskannya dengan susah payah setelah menambahkan sedikit kecap manis.

“Garamnya dikurangi sedikit,” kata Randi. “Oh, iya. Coba pakai beras pera.”

“Pera?” Gita bahkan baru mendengar kata itu.

Dia memasaknya lagi di Minggu pagi. Kali ini sajiannya jauh berbeda dari dua percobaan sebelumnya. Sepiring nasi goreng dengan telur dadar terpisah, irisan tomat, timun, taburan bawang goreng, acar dan emping.

Penyajiannya terlihat jauh lebih baik, seperti di restoran. Semoga saja rasanya juga lebih baik. Kalau pun tidak, Randi tetap tidak akan mengkritiknya. Istrinya sudah bekerja sangat keras untuk itu. Dia memilih resep terbaik dari YouTube, mempelajarinya pelan-pelan, membeli bahan-bahannya di supermarket sehari sebelumnya, menghaluskan bumbu-bumbunya dengan diulek—bukan diblender—dan memasaknya pagi-pagi buta. Kaosnya saja sampai basah karena keringat. Berkali-kali dia bersin karena merica. Dia hanya tidak tahu bahwa, diam-diam suaminya memperhatikan semua yang dikerjakannya.

Randi mencicipinya satu sendok, mengunyahnya pelan-pelan, menikmatinya. Sungguh, ini nasi goreng yang enak! Rasanya pas dan ia tidak perlu lagi menambah kecap manis atau garam. Ia menyendoknya lagi, menikmatinya lagi, mengabaikan istrinya yang sedang menunggu komentarnya.

Ponsel Gita berbunyi, ada nama Tomi di layar. Gita memilih tidak mengangkatnya, kecuali mengiriminya pesan: “Di WA aja.”

“Buatan kamu jauh lebih enak dari nasi goreng Bang Pe’i,” kata Randi usai menyikat habis nasi gorengnya. Bang Pe’i adalah tukang nasi goreng langganan mereka.

Dipuji begitu rupa membuat Gita serasa terbang ke angkasa. Memasak hanya satu dari lusinan pekerjaan rumah yang akan diambil alih Gita. Sudah seminggu belakangan ini dia mencuci piringnya sendiri. Dia bahkan bisa mencuci piring lebih cepat tanpa membuang banyak air dan sabun. Sebentar lagi dia akan mendapat pelajaran lain. Keduanya sudah bersepakat tidak akan ada lagi cuci pakaian di penatu. Mesin cuci yang hampir sebulan menganggur akan dipekerjakan kembali.

Ponsel Gita bunyi lagi, sebuah pesan WhatsApp dari Tomi masuk. Dia membacanya ketika Randi pergi untuk mengambil air minum. Tomi menulis: “Bagaimana kalau kita ketemu hari Senin?”

Tawaran itu terlalu indah untuk dilewatkan, Gita tidak sabar ingin melihat wajah mantan kekasihnya itu. “OK,” balasnya. Tentunya dia ingin menjawab lebih panjang, seperti menanyakan jam berapa atau di mana, tapi Randi sudah kembali. Gita meletakkan ponselnya dengan posisi terbalik di atas meja. Dia pikir ‘OK’ saja sudah cukup.

“Ibumu harus coba,” kata Randi, minum seteguk air dingin.

“Tentu,” jawab Gita yang lebih menginginkan ibunya Randi yang mencoba masakannya ketimbang ibunya sendiri. “Jadi pergi meeting nanti sore?”

“Jadi. Aku berangkat jam empat. Aku sudah telepon bibik, dia bisa datang jam lima,” kata Randi, memastikan anak mereka mendapat perhatian yang baik selama dia pergi.

“Pulang jam berapa?”

Sebenarnya Gita sudah bisa menggendong dan menyuapi anak mereka, tetapi akan lebih baik jika ada orang yang berpengalaman dengan balita di sisinya.

“Jam sebelasan. Kamu nanti belum tidur kan?”

Gita tahu yang dimaksud Randi. Dia juga menginginkannya.

“Belum,” jawabnya.

Dia selalu mempercayai suaminya, apalagi Randi selalu terbuka tentang hal apa saja padanya, bahkan ketika ia menceritakan asisten barunya di kantor, seorang perempuan muda yang menarik, Gita sama sekali tidak cemburu. Namun, sebulan belakangan sikap Gita berubah. Jika mendengar Randi mengobrol dengan perempuan lain di telepon, maka dia akan bertanya, “Siapa yang di telpon?” tanpa menunjukkan wajah penasaran. Randi tahu perubahan itu. Ia pernah melihat Gita membaui baju kerjanya.

Gita berdiri, memasukkan poselnya ke dalam saku celana pendek jeansnya, mengambil piring bekas makan Randi dan membawanya ke tempat cuci piring. “Kemarin jalan-jalan ke mal sama Nina,” kata Gita, membuka keran, lalu mengatur airnya supaya tidak boros. “Terus lihat-lihat rice cooker. Bagus juga kalau kita ganti rice cooker. Nina bilang rice cooker juga berpengaruh sama rasa nasi.” Dia menuang sedikit sabun di atas piring, menggosoknya dengan spon, membilasnya, menulis huruf V di atas piring dengan jari telunjuknya, mengelapnya, dan meletakkannya di rak piring. Randi yang sedang melihat hasil pertandingan sepak bola tadi malam di ponsel tidak perlu menanyakan alasan Gita membeli rice cooker baru, meskipun milik mereka tidak rusak. Kalau itu bisa membantu istrinya memasak, kenapa tidak?

“Berapa harganya?”

Gita mengeluarkan ponselnya, dilihatnya tidak ada pesan yang masuk. Dia suka memakai celana pendek jeans dan tank top di rumah, rambutnya diikat dengan gelang karet memperlihatkan lehernya yang panjang. Randi suka mengusap rambut di bagian bawah telinganya, tapi ia lebih mengharapkan kesukaan lain dari sekedar keindahan fisik.

“Delapan ratus ribu,” sahutnya. Tomi mengirim pesan lagi, mengatakan ia kangen berat dan tidak sabar ingin bertemu.

“Nanti kita beli,” kata Randi, sambil memandang foto-foto Ratih di Instagram. Ada pesan yang sedari tadi masuk namun belum dibacanya. Pesan dari Ratih.

“Aku saja yang beli. Kebetulan Nina juga kepengen.”

“Kapan?”

Randi membaca pesan dari Ratih yang menanyakan kabar Gita. Randi menjawab sebentar lagi ia akan mengajari istrinya menggunakan mesin cuci.

Hampir bersamaan dengan itu Gita membalas pesan Tomi, mengatakan dia juga kangen. Dia ingin menambahkan kalimat ‘I Love You’, tapi tidak jadi. Dia menundanya karena dia ingin memberitahu Tomi perihal teman SMA mereka yang meninggal karena serangan jantung tiga hari lalu. Tomi bilang ia sudah tahu berita itu. Sedetik kemudian Tomi mengirin pesan lagi, isinya: ‘I LOVE YOU GITA SAYANG’. Gita melirik Randi.

Dua minggu lalu Tomi datang ke acara reuni tanpa pasangan, yang membuat Gita merasa beruntung tidak mengajak Randi. Mereka memisahkan diri dari kelompok dan memilih mengobrol di luar kafe. Tomi masih sama seperti dulu, tampan dan menyenangkan. Kini, ia punya karir bagus di perusahaan pertambangan, mobil bagus dan tinggal di komplek perumahan mewah di Bekasi. Perjalanan cintanya seharusnya berjalan mulus jika ia tidak membandingkan pacar-pacarnya dengan Gita. Gita merasa tersanjung mendengarnya. Kalau bukan karena ibunya yang terus mendesaknya untuk menikah, barangkali dia sudah menikah dengan Tomi dua tahun lalu, sekembalinya Tomi dari studinya di Amerika.

“Hari Rabu. Sekalian aku bawa Sarah,” jawab Gita. “Adik kamu juga ikut.”

Randi senang Gita mulai akrab dengan Nissa, adik perempuannya. Mungkin karena usia Nissa yang semakin dewasa. Saat menikah dulu, usia Nissa masih dua belas tahun. Sekarang dia sudah tujuh belas tahun. Ia malah terpikir untuk mengenalkan Nissa pada Ratih suatu saat nanti.

Randi bertemu Ratih tiga bulan lalu di bioskop. Saat itu ia sengaja tidak masuk kerja, menghabiskan waktunya di mal dan berakhir di bioskop. Tidak banyak yang nonton siang itu, ia menyerahkan karcis dengan kartu nama di bawahnya kepada sang guide. Ide itu pernah terlintas ketika ia masih kuliah. Siapa tahu, ya siapa tahu sang guide menghubungi nomornya.

Guide itu baru menghubunginya keesokan lusanya lewat WhatsApp. Randi pura-pura tidak kenal, padahal ia tahu perempuan itu dari foto profilnya. Ia pura-pura bersikap biasa saja saat Ratih memperkenalkan diri, dan bertanya apakah seorang guide bioskop dapat jatah nonton gratis? Ratih menjawab dia lebih suka diajak makan ketimbang nonton.

Ratih menganggap Randi lelaki yang tampan dan keren, terlebih dengan jabatan di kartu namanya: Marketing Manager. Yang diberikan itu kartu lama Randi. Sudah setahun ini Randi memulai bisnisnya sendiri, sebuah perusahaan ritisan digital. Ia mengakuinya di pertemuan pertama mereka di Starbucks. Ratih suka dengan keterusterangan Randi, termasuk memberitahunya tentang status Randi yang sudah menikah.

Mereka cukup sering bertemu, setidaknya bisa tiga sampai empat kali dalam seminggu. Masing-masing sudah terbiasa dengan panggilan sayang dan berciuman. Randi pernah main ke rumah Ratih. Ayah Ratih langsung akrab dengan Randi dan menganggapnya sebagai lelaki yang sopan.

“Aku dari rumah jam empat,” pesan Randi pada Ratih lewat WhatsApp. “Ibumu mau dibawain apa?”

Sementara Randi sibuk dengan Ratih tersayang, Gita juga punya kesibukan sendiri dengan ponselnya. Dia melihat-lihat foto-foto Tomi di Instagram, memberi like pada foto Tomi dengan helm dan rompi proyeknya di depan truk tambang.

“I LOVE YOU 2,” ketik Gita di WhatsApp. Namun, entah kenapa tiba-tiba dia ragu untuk mengirimnya.

Mereka berhenti memainkan ponsel ketika melihat putri mereka sedang berdiri di pintu kamar. Sarah masih terlihat mengantuk, di tangannya ada boneka beruang. Gita tahu siapa yang akan menjadi tujuan putri mereka. Sarah akan mendatangi Randi lalu meminta Randi untuk memangkunya, sementara dia hanya bisa memandang mereka dalam kecemburuan.

Sarah menguap panjang, mengucek matanya dengan dua tangannya, kemudian berjalan mengitari setengah meja makan dan berhenti di sisi ibunya. Dia tidak menghiraukan ayahnya yang sudah membungkuk bersiap untuk menyambutnya. Dia menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya.

Gita menggendong putrinya, membelai rambutnya yang panjang sambil memandanginya dengan penuh perhatian. Dia berkata dalam hati, bahwa dia yang akan memandikan Sarah pagi ini. Dia juga yang akan memilihkan baju dan mendandaninya. Hari ini Sarah akan terlihat cantik seperti seorang putri.

Randi tersenyum. Ia sudah bisa melihat sisi lain Gita pagi itu, sesuatu yang mungkin luput dari perhatiannya selama ini. Ia mengirim kalimat ‘I LOVE YOU’ lewat WhatsApp untuk sang istri tercinta. Sementara, tulisan ‘I LOVE YOU 2’ yang sudah diketik Gita seharusnya jadi balasan pesan WhatsApp suaminya tercinta.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!