Rukiah

Suatu kali Ayah mengajakku pergi ke desa nun jauh di sana untuk menemaninya mengerjakan proyek pembangunan jalan, jembatan desa, perbaikan gedung, dan satu proyek penting lainnya yang tidak berhubungan dengan pekerjaan konstruksi. Proyek lainnya ini membutuhkan kemampuanku. Aku tidak menyangka kemampuanku jadi sesuatu yang bermanfaat alih-alih menakutkan, padahal, konon saat pertama kali punya kemampuan itu di usiaku yang ketiga, aku terus-terusan menangis sambil menatap sudut langit-langit rumah. Ayah bilang, saat itu aku sedang melihat hantu.

Meski tidak terjadi setiap hari, kejadian ini menguras tenaga dan pikiran orang tuaku. Kyai didatangkan, ayat-ayat suci dibacakan, tapi aku masih saja menangis. Untungnya kejadian ini tidak berlangsung lama. Ayah bilang hanya berlangsung selama tiga bulan, setelah itu aku tidak pernah lagi menangis tanpa alasan. Hari-hari berikutnya, aku terlihat normal seperti anak-anak kebanyakan.

Awalnya kukira ‘keanehanku’ bermula waktu aku berusia lima tahun, saat aku mengingat banyak hal. Ketika itu guru TK-ku, yang bernama Bu Hamza bertanya padaku,

“Kamu bicara dengan siapa, Nak?”

“Henggar.”

“Siapa Henggar?”

Aku menunjuk ke Henggar yang sedang duduk di hadapanku.

Bu Hamza duduk di antara kami, dan bertanya pada Henggar: Di mana rumahnya? Di mana sekolahnya? Apa warna favoritnya? dan sebagainya. Supaya terlihat sedang mengobrol, dia mengangguk-angguk, mengatakan: “Ibu juga”, “Kamu pintar”, “Terima kasih”, dan “Sampai jumpa”.

Tentu saja tingkah lakunya terlihat aneh. Tapi aku berpura-pura tidak tahu. Dia bahkan tidak tahu Henggar adalah anak laki-laki seusiaku yang pernah tinggal di rumah tidak jauh dari sekolahku. Henggar mati tenggelam di kolam renang rumahnya.

Kebiasaan bicara sendiri membuat ibuku was-was. Meski tidak disangkut-pautkan dengan kejadian supranatural sebelumnya yang pernah diceritakan Ayah, Ibu takut kebiasaan bicara sendiri akan jadi masalah serius. Karena itu, Ibu mendesak Ayah untuk membawaku ke rumah sakit.

Itulah hari pertama aku pergi ke rumah sakit. Sebelum itu, jika aku sakit, orang tuaku membawaku ke dokter klinik tidak jauh dari rumah. Di usia itu, aku sudah tahu kata rumah sakit, stetoskop dan jarum suntik, tapi tidak dengan psikiater. Aku saja kesulitan mengejanya. Yang kutahu psikiater itu juga dokter. Lebih tepatnya dokter jiwa, seperti tertulis di papan nama di atas meja. Aku sakit jiwa?

Dokter yang menanganiku seorang perempuan. Usianya sedikit lebih tua dari ibuku. Namanya dokter Dina. Dokter Dina tidak memakai jas putih dan tidak membawa stetoskop. Dia terlihat baik. Dia berjanji tidak akan ada jarum suntik atau obat. Yang dilakukannya hanya bertanya, dan aku diminta untuk menjawabnya.

“Ibumu bilang kamu punya teman istimewa, siapa namanya?”

Ketika dia menanyakan itu, aku melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun sedang berdiri di sampingnya. Aku melambaikan tangan padanya. Anak laki-laki itu membalasku, dan berkata:

“Namaku Noah dan ini mamaku.” Ia menunjuk ke arah dokter Dina.

“Noah. Namanya Noah.”

Mata dokter Dina membesar, pandangannya kosong. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Seperti apa rupanya Noah? “Baju apa yang dipakainya?” “Apa yang sedang dilakukannya?”

Noah memakai baju biru cerah dan celana pendek merah, dan sedang berdiri di sampingku. Noah berbisik di telingaku, mengatakan bahwa ia merindukan Mia, kakak perempuannya. Waktu kusampaikan itu kepada dokter Dina, matanya berkaca-kaca. Sungguh, aku jadi kasihan padanya.

Sesi tanya-jawab itu tidak sampai satu jam. Tidak ada suntikan atau obat seperti janjinya, dan aku malah diberinya sebungkus coklat. Orang tuaku terlihat puas, tidak ada lagi obrolan tentang diriku. Mereka bicara hal-hal ringan seperti restoran seafood yang baru buka tidak jauh dari rumah sakit.

Sebelum kami pulang, dokter Dina memintaku untuk tinggal sebentar. Katanya, ada yang perlu dibicarakan denganku. Kemudian orang tuaku pergi ke luar, menutup pintu dan menungguku di luar.

Dokter Dina mendudukkanku di atas sofa, mengambil foto berbingkai di atas meja, lalu menunjukkannya padaku.

“Ini Noah. Noah meninggal lima bulan lalu karena sakit. Di rumah sakit ini.”

Di foto itu Noah memakai baju yang sama seperti yang kulihat. Sedangkan yang berdiri sebelahnya, pastinya kakaknya yang bernama Mia.

“Kamu anak yang baik. Tolong rahasiakan ini dan jangan membuat orang tuamu cemas.”

Aku mengangguk.

Aku memikirkan kata-kata dokter Dina di sepanjang perjalanan menuju rumah, dan menyadari bahwa tindakanku bicara sendiri itu membuat ibuku cemas. Kalau Ibu cemas maka dia akan stress, dan kalau dia stress, aku akan dibawanya lagi ke rumah sakit. Ibu tidak akan pernah memahamiku. Berbeda dengan Ayah yang tidak berlebihan mencemaskanku. Karena itu, aku merasa, aku harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Ayah—meskipun aku tidak berharap Ayah akan mempercayaiku.

“Kurasa aku benar-benar melihat hantu,” kataku pada Ayah sebelum tidur.

“Ayah percaya,” jawabnya.

Entah kenapa jawaban Ayah tidak membuatku lega. Untuk lebih meyakinkannya, aku menceritakannya apa yang kualami di rumah sakit; tentang perkenalanku dengan Noah, bahwa Noah adalah anaknya bu dokter yang sudah meninggal. Namun Ayah tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum, mengusap kepalaku dan mengucapkan selamat tidur.

Keadaan berbeda keesokannya dan hari-hari selanjutnya. Meski masih melihat hantu-hantu, aku tidak lagi mengajak mereka bicara. Setidaknya, tidak di depan orang tuaku. Mereka, hantu-hantu itu, akhirnya memahami keresahanku. Terus terang, aku memang suka berteman dan mengobrol dengan hantu-hantu. Mereka jujur dan lucu, dan kadang-kadang lumayan membantu. Mereka membantuku mengerjakan PR.

Salah satu hantu bijak pernah memberitahuku, bahwa mereka sebetulnya tidak pernah melewati batas. Misalnya, dengan sengaja menampakkan diri. Mereka tidak ingin keberadaan mereka diketahui manusia—kecuali, tentu saja, oleh orang-orang seperti diriku. Karena, jika mereka ketahuan membuat resah manusia, mereka sendiri yang akan kena akibatnya. Manusia akan memanggil orang alim untuk mengusir mereka dan mereka tidak akan pernah kembali lagi.

Bicara soal pengusiran hantu, aku sendiri baru terbiasa dengan istilah tersebut setahun belakangan, awalnya ketika Ayah mengajakku menengok tetanggaku yang sedang kerasukan.

Namanya Rian, kakak Bayu, teman sekolahku. Seorang kyai sudah datang, sudah membaca ayat-ayat suci, sementara tiga orang lain memegang tangan dan kaki Rian yang meronta-ronta. Rian berteriak-teriak kesetanan, tubuhnya berkeringat, matanya melotot, rambutnya acak-acakan. Aku menyaksikannya lewat jendela kaca, sambil memikirkan apa tujuan Ayah mengajakku ke sini.

Ayah membawaku duduk di teras, berkata bahwa kerasukan bisa disebabkan karena jin atau berpura-pura. Lalu, ia bertanya padaku, “Apakah Rian benar-benar kerasukan jin atau hanya berpura-pura?”

Sekarang aku paham alasan Ayah mengajakku ke sini. Rupanya Ayah benar-benar mendengarku malam itu. Karena aku tidak melihat ada hantu yang merasuki tubuhnya, maka aku menjawab, “Rian pura-pura kerasukan.”

“Kamu yakin?”

Aku mengangguk.

Ayah bangkit, menghampiri pak kyai yang baru saja keluar rumah, kemudian mengatakan sesuatu padanya. Setelah itu pak kyai memanggil ayah Rian dan menyampaikan apa yang dikatakan Ayah. Ayah Rian kembali ke dalam kamar, dan tidak berapa lama semua orang meninggalkan Rian sendirian di kamarnya. Tidak ada yang memedulikannya teriakan-teriakannya. Orang-orang menunggu di luar sambil mengobrol, merokok, mengopi, atau makan kacang kulit. Kira-kira sepuluh menit kemudian teriakan-teriakan itu hilang begitu saja. Ketika pintu kamar dibuka, Rian sedang bermain gim di ponselnya.

“Tahu dari mana?” tanya pak kyai kepada Ayah.

Ayah dengan percaya diri menjawab, “Anak itu cuma cari perhatian.”

Pernyataan Ayah ditegaskan ayah Rian. Ayah Rian mengatakan seminggu lalu Rian minta dibelikan ponsel baru, dan dijawabnya, pakai saja dulu ponsel yang lama. Keesokannya, Rian malah bolos sekolah. Lusanya, ia mogok makan. Rian melakukan apa saja untuk membuat orang tuanya kesal. Tapi ayahnya tidak menyangka putranya bisa-bisanya kepikiran pura-pura kerasukan.

Setibanya di rumah, Ayah termenung. Ia mengatakan bahwa ia sudah beberapa kali menyaksikan peristiwa kerasukan, termasuk yang pernah menimpa sepupunya, Mang Awi. Waktu itu ada banyak orang yang datang menyaksikan, tapi tidak yang tahu yang harus dilakukan. Ada yang sok tahu, menyembur air ke wajah Mang Awi, menampar-nampar pipinya dan diajaknya bicara. Mang Awi menggeram, mengoceh minta dibuatkan kopi. Diturutinya permintaan Mang Awi. Setelah menghabiskan kopinya yang panas itu dengan sekali minum, Mang Awi melempar cangkir kopinya sampai mengenai dahi kakek. Kerasukannya berlangsung hampir dua jam, sampai akhirnya datanglah seorang kyai sepuh yang dijemput Ayah. Kyai itu membaca ayat-ayat suci rukiah dan tidak berapa lama, Mang Awi pun jadi tenang.

“Aku harus belajar rukiah,” gumam Ayah. “Setidaknya, di keluarga kita ada yang bisa rukiah.”

Itu bukan pertama kalinya Ayah bertekad jadi yang pertama dalam keluarga. Sebelumnya Ayah sudah jadi sarjana pertama dalam keluarga, yang pertama kali naik pesawat, dan yang pertama jadi pengusaha. Ayah mulai belajar rukiah dari menonton YouTube, lalu dilanjut ikut kelas khusus rukiah di sebuah masjid. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Ayah sudah dikenal sebagai orang yang bisa rukiah.

Namun, tidak semua yang dirukiah itu orang yang kerasukan, malahan kebanyakan yang minta dirukiah yang tidak kerasukan. Mereka ingin melepas jimat, membuang sihir atau mengusir jin ada di dalam tubuh mereka, meskipun tidak jarang ujung-ujungnya mereka kerasukan. Untuk jasa rukiah, Ayah tidak memungut biaya. Tidak akan pernah. Meski begitu, Ayah tidak pernah menolak kalau ada yang memberinya. Katanya, jangan pernah menolak rezeki.

Ibu tampak cemas waktu Ayah mengajakku menemaninya pergi ke desa nun jauh di sana. Dia punya alasannya. Pertama, faktanya desa itu memang sangat jauh dan dia takut akan terjadi apa-apa kepadaku. Kedua, aku setidaknya akan absen sekolah tiga sampai empat hari. Ayah, yang sedang sibuk menyiapkan barang-barang bawaan kami, mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi Ibu tidak percaya. Bulan kemarin saja aku sudah dua kali absen.

Waktu itu, ketika Ayah mengajakku ke rumah temannya untuk mengobati anak temannya yang kerasukan, Ayah beralasan kalau aku menemaninya bekerja. Tentunya yang dikira Ibuku pekerjaannya sebagai kontraktor atau pemasok barang. Untungnya semua nilai pelajaranku bagus sehingga tidak membuat Ibu begitu cemas. Akan tetapi, kali ini berbeda, aku akan dibawanya pergi jauh, sangat jauh, yang dibilang Ayah bisa sampai dua belas jam perjalanan. Ibu tidak bisa membiarkan Ayah membawaku pergi begitu saja.

Ketika mereka sedang bicara serius seperti itu, aku sama sekali tidak boleh ikut campur, walaupun terkadang aku bisa saja membela Ayah dengan mengatakan aku tidak apa-apa atau ini akan jadi pengalaman pertama berada di desa nun jauh di sana. Ayah tahu apa yang harus dilakukannya.

“Ini masalah kepercayaan,” kata Ayah, “seperti halnya kamu percaya sama Ayah. Ketika kamu dipercaya orang lain, kamu akan jauh lebih tenang.”

Akan tetapi, inilah fakta yang membuat Ayah jadi lebih tenang:

Satu jam sebelum kami berangkat, adik bungsu Ayah, yang bernama Tante Nina, datang untuk menemani Ibu selama kami pergi. Tante Nina tinggal di Jakarta, seorang pengangguran yang punya mobil bagus, ponsel mahal dan benda-benda keren lainnya. Dia suka menaruh kakinya di atas meja, makan kwaci, dan belanja. Bukan suatu kebetulan Ibu dan Tante Nina suka belanja—perempuan memang begitu, bukan? Apalagi, Ayah memberi mereka cukup uang untuk belanja. Betul saja. Tidak ada telepon dari Ibu atau Tante Nina selama lima jam pertama perjalanan, dan ketika Ayah menelpon Ibu jam tiga sore, mereka sedang jalan-jalan di mal.

Seperti mau kemping, barang bawaan kami lumayan banyak hanya untuk menginap selama tiga malam. Kecuali tenda, kami membawa kasur gulung, baju hangat, jaket, topi kupluk, sarung tangan, dan beberapa pasang kaos kaki. Kebanyakan barang-barang itu untukku, dengan tambahan tiga buku untuk mengisi waktu senggangku nanti.

Aku belum pernah pergi sejauh ini, dan ini akan jadi waktu terlama aku bersama Ayah dalam satu kali perjalanan. Meski kami cukup sering menghabiskan waktu bersama, aku baru kali ini memperhatikan perubahan kecilnya. Misalnya, Ayah sudah punya beberapa helai uban di jenggotnya yang pendek, ada kerutan-kerutan kecil di dahinya, dan munculnya bercak coklat di wajah. Itu memang tanda-tanda tua, akan tetapi, di usianya yang hampir empat puluh, Ayah terlihat jauh lebih muda dan keren ketimbang ayah teman-temanku. Makanya, aku sangat senang jika Ayah yang mengambil rapor di sekolah ketimbang ibuku. Tapi tidak dengan ibuku, yang cemas ibu teman-temanku akan menggoda ayahku.

Ayah suka bercerita, dan aku suka mendengarnya bercerita meski kadang ceritanya membosankan dan sering diulang-ulang. Ia memulai cerita di perjalanan kami dengan menceritakan desa nun jauh di sana yang sangat indah, proyek yang akan dikerjakannya, dan bagaimana ia bisa diminta menangani kasus kerasukan di sana. Katanya, pernah dalam satu hari bisa ada tiga orang yang kerasukan. Kejadiannya memang tidak setiap hari atau bahkan seminggu sekali, akan tetapi orang-orang terdekat, atau dalam hal ini satu kampung, pastinya merasa sangat resah. Sumber kerasukan berasal hantu-hantu di sekolah. Satu setengah bulan lalu, dua puluh satu murid kelas dua dan seorang guru mati keracunan makan siang pemberian dari seseorang. Pelakunya sudah ditangkap dan dihukum. Untuk kasus ini, Ayah sudah meminta dua stafnya untuk membantunya.

Ceritanya berhenti sampai di situ, menggantung, padahal aku ingin tahu motif pelakunya. Bukannya meneruskan, Ayah malah memintaku melihat ke luar dan memilih satu mobil, bus, atau truk yang paling kusuka.

Aku menunjuk Camry hitam yang melaju mendahului mobil kami. “Yang itu!”

“Mobilnya manajer,” gumam Ayah. “Kenapa tidak … pilih truk yang itu?” Ayah menunjuk truk kontainer besar di arah berlawanan.

“Aku tidak mau jadi supir truk.”

“Kenapa tidak berpikir jadi pemilik truknya saja? Jadi pengusaha ekspedisi atau jadi pemilik barang-barang di dalam kontainer.”

Aku merasa terjebak dengan pertanyaan itu, tapi Ayah menjelaskan maksudnya. Katanya, aku harus punya mimpi yang lebih besar. Begitulah Ayah mengajariku tentang kehidupan, yang sebagian besar diambil dari pengalaman hidupnya, yang biasa dimulai dengan kata-kata: “Dulu, Ayah …”

Cerita-cerita masa lalu Ayah sepertinya terkesan sedang membanggakan diri, tapi siapa lagi yang bisa diceritainya selain putranya sendiri, sementara ibuku sudah bosan mendengarnya. Ayah memang sering lupa kalau ia pernah menceritakan cerita yang sama.

Secara keseluruhan, perjalanan kami lancar dan menyenangkan. Menjelang jam setengah sepuluh malam kami sudah memasuki gerbang desa. Aku hampir tidak melihat apa-apa di sini; cahaya lampu hanya terlihat di sebagian jalan desa dan rumah-rumah yang jaraknya berjauhan. Hawa dingin menyergapku begitu aku membuka pintu mobil. Tempatnya sangat sepi. Aku bahkan bisa mendengar hantu-hantu berbisik.

Dua staf Ayah sudah tiba lebih dulu. Namanya Pak Ujang dan Mas Zuhri. Pak Ujang bertubuh kurus dan berambut keriting, pegawai Ayah paling lama. Karirnya dimulai dari sopir dan sekarang ia seorang manajer lapangan. Setiap ketemu aku, ia selalu bilang: “Wah, kamu sudah gede, ya?” padahal, kami baru bertemu sebulan lalu. Mas Zuhri bertubuh pendek, baru setahun jadi pegawai Ayah tapi jadi andalan dalam menghitung proyek. Kalau mampir ke kantor, di waktu senggangnya, aku memintanya mengajariku hitung-hitungan proyek. Juga kalkulus.

Kami diantar ke satu ruangan yang akan jadi tempat menginap kami selama tiga hari ke depan. Bangunannya menempel ke kantor desa, lumayan luas, kamar mandinya berbagi dengan kantor desa. Setelah menata barang-barang kami, kami diajak ke kantor desa untuk makan malam.

Kami makan di atas tikar. Aku menikmati makan malamnya yang lezat. Setelah salat isya, kami duduk-duduk di teras kantor desa, mengobrol dan ngopi. Pak Hamid, sang kepala desa, jadi satu-satunya warga desa yang menemani kami. Ia mudah dikenali dengan tubuhnya yang gendut dan kumisnya yang tebal. Aku, yang sudah mengantuk berat, meninggalkan mereka di jam setengah sebelas.

Aku terbangun karena suara azan. Saat itu lampu kamar sudah dinyalakan. Ayah, Pak Ujang, dan Mas Zuhri sudah bersiap pergi salat subuh. Aku memaksakan diri untuk berwudu—tanganku gemetaran karena dingin.

Waktu subuh sama sepinya seperti malam hari. Hanya, saat itu sudah terdengar suara kokok ayam bersautan dan kicauan burung-burung pagi. Aku berjalan di samping Ayah. Cahaya kuning senter menembus kabut. Tidak ada yang melihat apa yang kulihat di sepanjang 60 meter jalan menuju masjid. Ada anak-anak kecil berlarian, seorang kakek yang sedang tersenyum dan bayangan-bayangan hitam mondar-mandir. Aku mengabaikan mereka. Ketika tiba di masjid yang gelap, seorang pemuda berkopiah hitam menyambut kami di pintu masuk. Hanya aku yang bisa melihatnya.

Ada dua belas orang yang salat subuh berjamaah—jumlah yang banyak untuk ukuran desa berhawa sangat dingin. Tapi aku tidak melihat Pak Hamid. Kami berkenalan dengan Pak Sugeng, kepala sekolah di SMP, yang mengajak kami mengobrol di teras belakang yang menghadap rerimbunan pepohonan. Aku menarik topi kuplukku sampai menutupi telinga, telapak tanganku tenggelam dalam lengan jaket. Pak Sugeng, dengan jaket hitamnya, sama sekali tidak terlihat kedinginan. Ia berasal dari Semarang, usianya sekitar pertengahan dua puluh lima. Tugasnya sebagai kepala sekolah baru dijalaninya tiga bulan. Kasus kerasukan dan kemunculan hantu sungguh membebani pikirannya. Dengan sungkan ia menanyakan rencana Ayah untuk merukiah gedung sekolah seperti yang pernah dibilangnya.

Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan satu atau dua orang, kata Ayah, yang berikutnya menjelaskan tentang rukiah yang sudah sering kudengar. Setelah itu ada jeda. Pak Sugeng sepertinya memahami penjelasan Ayah, akan tetapi air mukanya mengisyaratkan kesedihan. Pak Ujang mencoba mengisi kekosongan itu dengan berkata,

“Besok hari Rabu, Kang.”

Kurasa semua orang tahu besok hari Rabu. Aku berbisik pada Mas Zuhri, bertanya, “Ada apa di hari Rabu?” Dijawabnya, “Itu hari kematian murid-murid di sana.”

Kami kembali ke kantor desa setelah jam tujuh. Matahari sudah tinggi, tapi hawa dingin masih menyeliputi. Desa ini tidak sesepi yang kubayangkan. Orang-orang lalu lalang di sepanjang jalan; pekerja, pedagang, anak-anak sekolah, perempuan dengan tas belanja anyaman, dengan berjalan kaki, naik sepeda atau sepeda motor. Tali-tali jemuran sudah dipenuhi pakaian, tampah-tampah berisi irisan singkong terhampar di bawah sinar matahari. Aroma masakan sudah tercium sejak memasuki halaman kantor desa. Makanan yang terhidang di atas tikar tidak sebanyak makan malam, tapi aku sangat menikmatinya.

Pak Hamid, yang terlihat gagah dengan seragam kepala desa, berkata padaku, “Ngopi mas?”

Aku melihat Ayah. “Boleh?”

Ayah mengangguk.

Pak Hamid mengatakan biji kopinya diambil langsung dari kebun. Semuanya diolah di sini. Kalau aku berminat, kapan-kapan ia akan menunjukkan tempat pengolahan kopinya padaku. Aku tidak sabar jalan-jalan berkeliling desa, terlebih setelah diceritakan Pak Hamid tentang tempat-tempat bagus untuk dikunjungi. Pak Hamid memang banyak bercerita setelah sarapan, menjelaskan tentang desa yang dianggapnya wilayahnya terlalu luas.

Desa ini memiliki lima dusun atau kampung. Jalanan penghubungnya masih berupa jalan tanah setapak yang berpagar ilalang. Pak Hamid sendiri tinggal di bagian utara, dekat desa tetangga yang berbatasan dengan sungai. Ia naik sepeda motor untuk sampai ke kantor desa. Di musim hujan jalanannya berlumpur dan licin. Di sini belum ada SMA. Anak-anak yang bersekolah di SMA harus menempuh jarak yang lumayan jauh ke desa tetangga. Oleh karenanya, proyek yang akan dikerjakan ayahku nantinya akan sangat berarti.

Sekitar jam setengah sembilan aku minta izin Ayah untuk pergi jalan-jalan. Pak Hamid sebetulnya ingin sekali menemaniku berkeliling dengan sepeda motor milik desa, tapi ia ikut rapat. Bagiku, menjelajahi desa dengan sepeda motor kurang asik. Ini tempat yang bagus untuk melatih kedua kaki dan paru-paruku. Aku sudah membayangkan perjalanan menanjak yang melelahkan dan berkeringat. Tapi bayangan itu sirna ketika ketika seorang staf desa yang berbaik hati meminjamiku sepeda ontel. Kupikir naik sepeda akan lebih asik.

Aku membawa tas ransel kecil berisi air minum, makanan ringan dan buku yang kutaruh di keranjang sepeda. Di halaman kantor desa kutemukan jejak mobil kami. Tidak ada mobil lain di sini selain mobil kami dan mobil Mas Zuhri dan Pak Ujang. Tempat yang kutuju pertama kali adalah SMP yang diceritakan Pak Sugeng. Tempat itu hanya beberapa ratus meter dari kantor desa. Jalur yang kulalui berupa jalan tanah, beberapa kali aku hampir hilang keseimbangan karena roda menghantam batu, tapi akhirnya aku berhasil mengendalikan sepedaku.

Setelah sepuluh menit mengayuh, aku sudah terbiasa dengan sepeda ini. Bahkan sangat mudah kalau sedang melaju cepat. Aku melewati pasar, puskesmas, gedung SD, dan berhenti tepat di depan gedung SMP. Aku duduk di kursi bambu di bawah pohon palem dan mengambil beberapa gambar dengan ponsel.

“Kamu putranya Pak Insinyur, ya?” seseorang berkata di sampingku.

Aku tidak kaget saat seseorang menyapaku seperti itu. Ayahku pernah diperkenalkan Pak Hamid kepada warga desa, jadi, ketika ada warga desa bertemu anak laki-laki berusia tiga belas tahun yang wajahnya mirip dengannya, bisa dipastikan anak itu adalah putranya.

“Aku Bu Nunik, guru matematika di sana,” dia menunjuk gedung SMP itu, lalu duduk di sampingku, dan berkata, “Suka matematika?”

Aku mengangguk. Sekilas, dia mengingatkanku pada staf desa yang meminjamiku sepedanya. Aku ingin menanyakannya, apakah mereka bersaudara?

“Ah, kamu pasti murid pintar. Aku sudah empat tahun mengajar di sini, sulit sekali mengajar matematika di sini. Mungkin dalam satu angkatan hanya ada dua atau tiga murid yang dapat nilai akhir rata-rata 8. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu bisa datang ke kelasku besok jam 10. Kamu bisa berbagi cara belajar matematika dan menceritakan kehidupanmu di kota.”

Aku melihat ada sesuatu yang ganjil dalam dirinya, sesuatu yang dicemaskan. “Nanti aku tanya Ayah dulu,” kataku.

Bel sekolah berbunyi. Dia bangkit berdiri, menatapku dalam-dalam dan berkata, “Mudah-mudahan kamu ada waktu besok. Kami membutuhkanmu.” Dia pergi dengan terburu-buru menuju sekolah dan menghilang di tengah-tengah murid yang berhamburan keluar di jam istirahat.

Kami membutuhkanmu? Apa maksudnya? Aku jadi teringat hari Rabu yang dibilang Pak Ujang. Hari kematian itu.

Murid-murid yang baru keluar jam istirahat menyerbu tukang jajanan. Seorang murid laki-laki gemuk duduk di sebelahku menikmati kue dan es tehnya. Aku baru mau beranjak pergi ketika kudengar suara-suara berbisik, “Hai, anak kota.”“Hai, anak kota,” lalu diikuti suara tawa.

Tidak terlihat jelas siapa yang mengucapkannya, mereka bayangan-bayangan yang berlarian, yang muncul dan menghilang.

“Hai, anak kota.”“Hai, anak kota.”

Aku menoleh keseliling, mencari-cari asal suara-suara itu di sekitarku. Di antara murid-murid itu memang ada hantu-hantu, tapi jumlah mereka tidak banyak dan kebanyakan dari mereka orang dewasa. Murid laki-laki yang duduk di sebelahku pergi bergabung dengan teman-temannya. Sebentar kemudian, tempatnya digantikan seorang anak perempuan.

Anak perempuan ini tidak memakai seragam sekolah dan memakai sandal. Dia membuka tasnya, mengeluarkan buku dan membacanya. Penampilannya tidak seperti kebanyakan anak-anak di sini; dia tidak mengenakan seragam sekolah. Dia memakai bando hitam, sweter merah muda, rok coklat, dan memakai sandal, dan terlihat cuek.

Aku masih penasaran dengan hantu-hantu yang memanggilku “Anak kota“, berpikir apakah mereka hantu-hantu yang diceritakan Ayah? Aku mengambil botol minumanku dan minum beberapa teguk. Aku baru mengeluarkan sebungkus keripik kentang ketika kulihat anak perempuan itu sedang memperhatikanku.

“Mau?” Aku menawarkan keripik padanya.

“Tidak. Terima kasih,” jawabnya. “Jadi, kamu anaknya Pak Insinyur?”

Aku mengangguk, memasukkan kembali keripikku ke dalam tas.

“Bagus kalau nanti kampung ini punya jalan aspal dan jembatan beton. Jembatan yang sebelumnya sudah tiga kali rusak karena banjir.”

“Aku di sini cuma menemani ayahku.”

“Sudah ke mana saja?”

“Baru mau keliling.” Aku menoleh ke sepeda yang terparkir di sebelahku.

“Aku tahu tempat yang bagus.”

“Jauh?”

“Tidak, kalau naik sepeda.”

“Di mana?”

“Nanti tahu sendiri.”

Dia meletakkan tasnya di dalam keranjang sepeda dan kami pergi berboncengan. Untungnya tubuhnya tidak terlalu berat sehingga aku tidak kesulitan memacu sepeda. Ini pertama kalinya aku pergi berdua dengan perempuan. Namanya Sekar dan dia tinggal bersama neneknya. Hanya itu yang dikatakannya tentang dirinya. Selebihnya dia bercerita tentang air terjun, bukit-bukit, dan kebun-kebun. Kira-kira lima belas menit kemudian kami sudah melenceng dari jalan utama, melewati perkampungan dan berpapasan dengan orang-orang kampung yang tersenyum kepada kami. Ketika kami memasuki hutan bambu, Sekar berseru,

“Kita jalan kaki!”

Kami turun dari sepeda, aku yang menuntun sepeda, Sekar berjalan di sebelah kiriku.

Kami kemudian memasuki jalan yang diteduhi pohon-pohon bambu yang membentuk terowongan. Cahaya matahari yang menembus dedaunan berupa titik-titik yang berkerlap-kerlip, daun-daun berdesir tertiup angin. Dua burung biru terbang berkerjaran, berputar-putar sebelum lenyap di balik celah dedaunan. Bayang-bayang hantu berlarian mendahului kami, diikuti suara bisik dan tawa sama seperti yang kudengar di depan sekolah.

“Hai, anak kota!” … “Hai, anak kota!”

Jumlah mereka semakin banyak, berlari mengelilingi kami, bergantian membisikkan, “Hai, anak kota!” … “Hai, anak kota!”

“Sampai jam berapa?” tanya Sekar.

“Apa?”

“Sampai jam berapa kamu boleh keluar?”

“Aku harus sudah kembali sebelum jam dua belas.”

“Sayang sekali.”

“Ya, sayang sekali.”

Kami keluar dari terowongan bambu dan tiba di sebuah tempat yang sangat indah. Di sini ada sungai jernih dan berpasir putih yang dipagari pohon bambu, sebuah pohon beringin besar menaungi tempat itu, akarnya yang panjang menyembul di atas tanah, sulur-sulur menjuntai menyentuh sungai.

Sekar melepas sandalnya, lalu berlari ke sungai, duduk di atas sebuah batu besar, dan ditenggelamkan kakinya yang putih ke dalam sungai yang dangkal. Embusan angin menimbulkan suara berdesis, meniup rambutnya yang sebahu. Cahaya matahari jatuh di atas permukaan sungai, berkilauan, pantulannya menyinari wajahnya yang cantik.

“Ayo duduk di sini!” serunya.

Aku memarkir sepeda dan melepas sepatuku. Dingin meresap ke dalam kaki. Aku duduk di sebelahnya dan menenggelamkan kakiku ke dalam sungai. Aku bisa melihat ikan-ikan kecil warna-warni berlarian dan udang-udang biru berjalan di atas pasir. Lalu kumainkan kakiku seperti anak kecil hingga pasirnya berhamburan mengotori air. Setelah itu kubiarkan airnya menjadi tenang, pasirnya pelan-pelan turun, dan airnya kembali jernih.

Tiba-tiba aku merasakan percikan air di wajahku, membangunkanku dari lamunan. Sekar yang melempar air ke arahku. Aku membalasnya dua kali, dan sebentar saja kami sudah saling melempar air dan tertawa riang, dan bicara tentang Heidi, buku yang barusan dibacanya, dan satu buku lainnya. Dia sangat bersemangat bercerita dan membiarkanku jadi pendengar setianya.

Aku belum pernah sedekat ini dengan perempuan, apalagi dengan perempuan yang baru kukenal. Sekarang aku sudah terbiasa dengan suara tawa dan matanya yang teduh. Dia pastinya yang paling kukangeni sepulangku dari sini, melebihi sungai yang jernih ini, lorong hutan bambu yang sunyi, atau air terjun yang pernah disebutkannya.

Kemudian dia berhenti bercerita. Matanya yang indah memandang ke seberang sungai, ke hantu-hantu berseragam SMP berwajah pucat yang sedang memandangi kami. Aku bertanya dalam hati, apakah dia juga bisa melihat hantu sama sepertiku?

Hantu-hantu itu berlarian melintasi sungai, mendatangi kami, dan berbisik, “Hai, anak kota!” … “Hai, anak kota!” … Hai, anak kota!” lalu setelah itu mereka menghilang, dan sunyi.

Sekar masih saja terdiam, ada air mata yang jatuh di pipinya. Aku bersabar menunggunya hingga kesedihan memudar dari wajahnya.

“Kita pulang,” katanya muram.

Kami pulang melewati lagi terowongan pohon bambu, tangannya dilingkarkan erat ke pinggangku, kepalanya bersandar di lenganku. Tidak ada obrolan di sepanjang jalan, dan aku tidak perlu memancingnya untuk membicarakan kejadian barusan. Tentunya akan sangat menyakitkan mengungkit kembali kematian yang tidak diinginkan. Kami berpisah di persimpangan kampung tidak jauh dari gedung SMP. Aku memandanginya sampai dia menghilang di balik ilalang.

Ayah sudah menantiku di kantor desa, menanyakan pergi ke mana saja aku tadi. Aku hampir malas menjawabnya, kubilang saja aku pergi ke hutan bambu.

Jam dinding bulat di atas pintu menunjukan jam 11.45. Di atas meja sudah tersaji kue-kue dan segelas teh manis untukku.

“Kenapa tidak pergi ke air terjun saja? Tempatnya tidak jauh.” Ayah menunjuk ke jalan di sebelah kirinya.

Aku mengangkat bahu.

Pak Sugeng yang mendengar percakapan kami ikut nimbrung, mengatakan bahwa kuburan murid-murid SMP yang diracun itu tidak jauh dari hutan bambu. Aku sudah tahu itu, tapi aku tidak mungkin mengatakannya.

Aku tidur siang usai makan dan salat zuhur dan bangun sebelum asar. Malamnya kami membuat api unggun di lapangan di belakang kantor desa sekaligus bakar ikan nila yang pancing Ayah dari empang Pak Hamid tadi siang untuk makan malam.

Pak Hamid, yang terbatuk-batuk, melempar puntung rokok ke dalam api unggun. Pak Sugeng bilang ia sudah sebulan belakangan berhenti merokok setelah Siti, anak bungsunya yang berusia tujuh tahun, menegurnya.

“Anak itu lebih pintar dari orang tua dan dua kakaknya,” kata Pak Sugeng, tertawa, terbatuk-batuk lagi.

Makan malam dimulai setengah sembilan. Ikan yang sudah dibakar ditaruh di atas piring; satu piring satu ikan, yang dioper dari Pak Hamid ke Pak Sugeng, lalu ke Mas Zuhri dan berhenti di aku. Aku jadi yang pertama mencicipi. Ini enak. Sungguh.

Orang-orang dewasa mengobrol tentang ikan, empang dan memancing. Ayah mengatakan ia baru saja memancing di laut pekan lalu. Pak Ujang menyahuti,

“Nggak ngajak-ngajak, Kang?”

Kurasa, aku yang sepantasnya menanyakan itu karena aku putranya, apalagi aku dari dulu penasaran rasanya memancing. Seakan tahu yang kupikirkan, Ayah berkata,

“Kapan-kapan Ayah ajak kamu mancing. Itu pun kalau ibumu kasih izin.”

Ayah mengalihkan pandangannya ke Pak Hamid dan berkata,

“Istriku bilang, memancing itu pekerjaan paling buang-buang waktu. Kenapa susah-susah harus pergi jauh ke laut? Belum lagi lama menunggu pancingannya. Kan bisa beli langsung di pasar.”

Kami tertawa.

Satu jam setelah makan malam, Mas Zuhri melempar seikat singkong ke dalam api unggun. Kunang-kunang api berterbangan ke udara dan nyala api semakin membesar. Pak Hamid merebus air untuk kopi, tapi aku tidak minum kopi malam ini. Aku sudah sangat mengantuk, dan besok hari yang menegangkan bagiku.

Hantu-hantu itu muncul ketika aku pergi ke pancuran untuk menggosok gigi. Sekar ada di situ, mengawasiku. Tapi hantu-hantu itu hanya sebentar menampakkan diri. Mereka menghilang, meninggalkan Sekar sendiri.

“Kamu akan melakukannya besok?” tanya Sekar.

Yang dimaksud pastinya mengusir hantu. Tapi Bagaimana dia tahu kami akan mengusir hantu-hantu itu?

Aku mengangguk, lalu setelah itu dia berbalik dan pergi begitu saja.

Usai salat subuh Ayah bicara tentang rencananya merukiah gedung SMP itu yang akan dilakukannya pada malam hari.

“Kenapa malam?” tanyaku.

Ayah tidak menjawab pertanyaanku, malah bertanya balik, “Kenapa tidak malam?”

Aku menceritakan pertemuanku dengan guru matematika itu, tapi aku tidak menceritakan pertemuanku dengan Sekar.

 “Namanya Bu Nunik,” sahut Pak Sugeng, “dia yang mengajar hari itu.”

“Bu Nunik memintaku datang ke kelasnya jam 10 pagi. Hari ini.”

“Itu waktu ketika makanan itu dibagikan,” Pak Sugeng menambahi. “Ada dua puluh satu murid yang hadir di dalam kelas dan makan makanan di hari nahas itu. Mereka muntah-muntah, kejang-kejang dan mati. Ada satu murid yang berhasil selamat. Namanya Sekar. Dia tidak masuk sekolah hari itu. Bu Nunik juga selamat, padahal dia yang mengajar hari itu. Dia memberikan kotak makan itu kepada Pak Suwito, guru olah raga kami. Dia sama sekali tidak tahu makanan itu beracun dan dia sangat menyesal sudah memberikannya pada Pak Suwito. Kami tidak pernah menuduhnya sebagai pembunuh. Tapi tidak dengan Pak Suwito. Maksudku, hantunya. Kami pernah melihat hantu Pak Suwito di sekolah. Ia tidak seperti Pak Suwito yang pernah kami kenal, yang sopan dan humoris. Hantu Pak Suwito sangat menakutkan. Ia menarik Bu Nunik ke ruang kelas dan dipaksa menyaksikan pengulangan proses kematian itu. Hal ini sudah berlangsung selama tiga kali, sehingga kami memutuskan sekolah diliburkan setiap Rabu. Rabu besok akan jadi yang keempat kalau hantu-hantu itu tidak pergi.”

Sampai di sini ia terdiam. Kami semua juga terdiam. Peristiwa itu benar-benar mengerikan, dan aku merasa kasihan pada Bu Nunik. Cerita itu mengubah rencana Ayah untuk melakukan rukiah dari malam jadi pagi hari. Kemudian, sambil sarapan kami berdiskusi mengenai strategi mengusir hantu-hantu itu. Ayah telihat sangat serius dan berhati-hati, dan sangat berharap padaku.

Kami tiba di sekolah jam 09.45. Ayah, Pak Ujang, Mas Zuhri, Pak Hamid, Pak Sugeng dan beberapa orang lain menunggu di luar, sementara aku masuk ke ruang kelas yang sudah dipenuhi hantu-hantu. Di meja guru, Bu Nunik sudah menantiku, senyumnya tidak mampu menyembunyikan rasa takutnya. Pria berkumis yang berdiri bersender dinding di dekat jendela dengan tangannya dilipat di dada bisa kupastikan hantu Pak Suwito.

Kelas hening dan sepi. Hantu-hantu diam seperti patung. Mereka menunggu jam 10.00, waktu peristiwa itu berulang. Sekar ada di sana, di meja tengah, tepat di hadapanku. Sekar tidak pernah pergi ke sekolah sejak peristiwa itu. Sama seperti Bu Nunik, Sekar tidak bisa lolos dari hantu-hantu itu. Dia pernah berusaha pergi meninggalkan kampung, tapi hantu-hantu menahannya, membawanya kembali ke tempat ini dan memaksanya bermain dengan mereka.

Sebetulnya kata “memaksa” kurang pas karena Sekar dengan sukarela mau bermain dengan mereka. Hanya, ketika dia seharusnya ikut bersama mereka kemarin, dia malah memilih pergi menemaniku jalan-jalan. Dan, bisikan-bisikan yang selama ini kudengar bukan ditujukan untukku, melainkan untuknya. Hantu-hantu itu sengaja menampakkan dirinya pada sekar. Sekar memang bukan berasal dari sini. Dia dari Jakarta. ‘Anak kota‘ adalah panggilan untuknya. Begitulah kesimpulanku sejauh ini berdasarkan apa yang sudah dialaminya.

“Hai,” kataku pada hantu murid-murid. Ya, aku bisa melihat kalian. “Apa kabar?”

Hantu-hantu itu menoleh ke arahku.

Aku memperkenalkan diri dan bercerita tentang rencana ayahku yang akan membuatkan jalan beraspal dan jembatan beton di kampung ini.

Pelan-pelan wajah mereka berubah hangat dan menyerupai manusia biasa.

“Keren!” seru salah satu murid hantu laki-laki.

“Itu bagus,” kata salah satu hantu murid perempuan.

“Aku sudah tidak sabar menunggu jembatannya jadi,” kata hantu murid yang lain.

Hantu murid-murid itu saling berinteraksi; mereka mengobrol dan bercanda, seakan-akan peristiwa keracunan itu tidak pernah terjadi. Bahkan, kulihat Sekar sedang bicara dengan hantu teman semejanya tanpa rasa takut, dan keduanya saling tertawa. Aku takjub menyaksikan kejadian ini.

Hantu Pak Suwito menepuk bahuku, berkata, “Jadi, dari mana asalmu?”

Aku bisa merasakan tepukannya. “Bekasi, Pak.”

“Apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini, Nak? Mau melihat pertunjukan sebentar lagi?”

“Tidak, Pak. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal.”

“Tapi kamu baru saja datang,” hantu Pak Suwito melihat jam tangannya. “Masih dua menit lagi.”

“Apa itu pertunjukan yang bagus?”

“Tentu. Bukan begitu Bu Nunik?” Pak Suwito menoleh ke arah Bu Nunik dengan wajah menyeramkan. Setelah itu ia memandang murid-muridnya, dan berkata, “Anak-anak, saatnya pertunjukkan.”

Hantu murid-murid seketika terdiam. Di masing-masing meja ada kotak makanan. Mereka membukanya dan memakannya dengan rakus. Lalu, terdengar suara terbatuk-batuk, dan tersedak-sedak. Asalnya dari hantu murid di bagian belakang. Suara batuk-batuk lainnya menyusul, dan kelas pun jadi ramai dengan suara batuk-batuk yang terdengar semakin mengerikan. Wajah-wajah hangat itu kemudian memucat lagi, mata mereka melotot, mulut mereka mengeluarkan muntahan, tangan mereka mencekik leher sendiri, tubuh-tubuh mereka mengejang, dan mereka berjatuhan.

Sekar menjerit!

Tapi dia tidak bisa pergi dari situ. Dia seakan-akan terikat di kursinya. Aku juga merasakan hal yang sama. Rasa kaku yang menjalar membuat tubuhku tidak bisa digerakkan sedikit pun.

Hantu Pak Suwito sangat menikmati pemandangan itu. Ia tertawa puas.

Bu Nunik yang sudah beberapa kali menyaksikan kejadian ini menutup wajahnya dengan tangan. Tapi tangannya terus terbanting ke atas meja. Dia berusaha memejamkan matanya. Tapi tidak bisa. Sepertinya ada kekuatan yang menahannya supaya matanya tetap terbuka. Di sebelahnya, hantu Pak Suwito tertawa semakin kencang.

Tidak salah lagi, hantu Pak Suwito dalang dari peristiwa ini. Penampakkan hantu murid-murid pada Bu Nunik atas perintah hantu Pak Suwito, bukan atas kemauan hantu murid-murid. Hantu Pak Suwito menaruh dendam padanya.

Apa yang terjadi di dalam kelas tidak bisa dilihat atau didengar orang-orang di luar. Kecuali suara jeritan Sekar. Itulah kenapa mereka berusaha masuk. Tapi, seperti terkunci, pintu kelas tidak bisa dibuka. Pintu itu bahkan sangat kuat ketika ada yang berusaha mendobraknya. Hingga tiba-tiba …

“Prang!”

Kaca jendela di sisi kiri ruang kelas pecah, sebongkah batu jatuh di lantai. Rupanya Pak Ujang yang melakukannya, supaya lantunan ayat-ayat suci bisa terdengar sampai ke dalam kelas. Aku merasakan kaku yang membelengguku menghilang, pintu kelas bisa dibuka, dan kulihat Ayah berlari menghampiriku.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ayah padaku.

Aku mengangguk, berkata, “Aku tidak apa-apa.”

Ayah, Pak Ujang, Mas Zuhri, dan beberapa orang lainnya melanjutkan membaca ayat-ayat rukiah di dalam kelas, sementara aku membawa Sekar keluar kelas. Dia masih terlihat syok. Seorang wanita, sepertinya neneknya, mendatanginya dan memeluknya.

Aku tidak kembali ke dalam kelas dan menunggu di luar, karena semuanya sudah ditangani Ayah, Pak Ujang dan Mas Zuhri. Aku hanya melihatnya lewat jendela. Buat orang biasa, tidak banyak yang bisa dilihat di dalam sana, kecuali sebuah ruangan kosong dan Bu Nunik yang tampak panik. Sementara, yang kulihat suasana kacau. Hantu murid-murid berlari ke sana-ke sini supaya bisa meninggalkan kelas. Akan tetapi, seperti ada penghalang, tidak ada dari mereka yang berhasil keluar. Sebagian dari mereka berusaha merasuki Bu Nunik, tapi tidak ada yang berhasil. Karena hantu Pak Suwito yang sudah lebih dulu merasuki Bu Nunik.

Bu Nunik mulai bertingkah aneh. Mula-mula dia tertawa cekikan, kemudian terbahak-bahak, menjerit-jerit, memukul-mukul meja sambil marah-marah dan memaki-maki. Kadang-kadang dia jadi perempuan genit, kadang-kadang dia diam saja sambil menatap Ayah, Pak, Pak Ujang, dan Mas Zuhri bergantian. Tapi mereka tidak terganggu, dan terus membaca ayat-ayat rukiah.

Bu Nunik melepas kerudungnya, membantingnya ke atas meja, menarik-narik rambutnya, berteriak, “Panas! Panas! Berhenti! Berhenti!” Dan, setelah beberapa lama suaranya memelan, badannya melemah, matanya meredup, lalu dia diam, dan jatuh. Aku melihat hantu Pak Suwito keluar dari tubuhnya, melayang di udara, menembus langit-langit, pergi untuk selamanya. Kuharap.

Seperti kelas yang baru saja usai, satu per satu hantu murid-murid meninggalkan kelas dan lenyap. Hingga hanya menyisakan satu hantu murid perempuan. Yakni teman semeja Sekar.

Dia berdiri di hadapan Sekar yang masih syok, memandanginya dengan kasih sayang, dan tersenyum. Jari tangannya mengusap pipinya yang dibasahi air mata, berkata, “Kamu teman yang baik. Selamat tinggal, Sekar.” Tapi Sekar sudah tidak bisa melihatnya lagi.

Hantu itu kemudian menengok ke arahku, mengucapkan terima kasih, tersenyum, lalu lenyap.

*      *      *

Ruqyah (رقية )/Rukiah (KBBI)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!