Dongeng Ikue

Yang paling kunantikan saat keluarga besar kami berkumpul, seperti terakhir kali saat perayaan tahun baru dua bulan lalu yang rasa-rasanya sudah sangat lama, adalah mendengarkan dongeng Ikue.

Ikue pandai meniru suara apa saja; suara anak laki-laki atau pemuda gagah berani, atau suara hewan-hewan yang terasa nyata. Dia bisa membuat kami tertawa terpingkal-pingkal karena cerita jenakanya, membuat kami ketakutan karena cerita seramnya, atau membuat kami sedih karena cerita dramanya. Yang lebih dari itu, cerita-cerita Ikue mampu memotivasi kami supaya kami berbuat lebih baik.

Kumpul keluarga besar kali ini sangat penting, karena bertepatan dengan hari ulang tahun Ikue. Aku tidak sabar ingin mendengar dongengnya. Ikue pastinya punya cerita istimewa.

Acaranya akan diadakan di ruang dongeng, yang terletak di sebelah halaman belakang, setelah makan malam. Ikue bukan satu-satunya pendongeng dalam keluarga. Jauh di atasnya sudah banyak yang jadi pendongeng. Yang lain ada yang jadi pelukis, pemusik, dan apa saja yang berkaitan dengan seni. Keluarga kami menyebutnya “sudah keturunan” alih-alih bakat. Tentu saja di rumah ini ada ruangan-ruangan lain untuk para seniman kami.

Ikue akan duduk di kursi yang cukup nyaman di hadapan kami, sementara kami duduk di atas lantai sesuai urutan. Yang paling muda duduk paling depan, kakak-kakak mereka duduk di belakang mereka, para orang tua duduk berjejer di samping. Urutan itu tidak bisa diubah walaupun ada satu atau dua anak berusia lebih muda yang bertubuh bongsor. Pengecualian hanya berlaku untukku dan anak balita yang mesti dipangku orang tua mereka.

Sialnya, karena mulas, aku agak terlambat datang. Meskipun begitu, dan meskipun aku bukan yang paling muda, tidak ada seorangpun yang bisa mencegahku duduk paling depan. Lagi pula, Ikue-lah yang bakal memintaku duduk di depan. Aku kan bunga sakura kesayangannya.

Saat tiba di ruang dongeng, samar-samar terdengar suara Ikue bercerita. Ada kata naga, kolam ajaib, dan raksasa.

Ikue, kenapa kau tidak menungguku?

Aku menggeser pintu. Begitu melihatku, Ikue berhenti bercerita. Semua mata menoleh ke arahku. Ikue melompat turun dari kursinya yang tinggi, kemudian berlari menghampiriku.

“Nenek!” panggilnya, menyambutku dengan pelukan hangat. “Kupikir Nenek sudah tidur. Ayah bilang jangan ganggu Nenek.”

Aku menoleh ke arah Harue, putra ketigaku, yang duduk di barisan para orang tua.

“Selamat ulang tahun yang ketujuh, Ikue. Maafkan aku, kado ulang tahunmu tertinggal di kamar. Sakit perut ini hampir saja membunuhku.”

“Tidak apa-apa.” Ikue memegang tanganku, menarikku berjalan melewati barisan cucu-cucuku dan menempatkanku duduk paling depan, di atas bantal duduk berwarna merah kesukaanku.

Sebelum duduk, aku memandang berkeliling, menghitung jumlah cucuku yang datang. Semuanya ada enam belas. Seingatku, sejumlah itulah semua cucuku dari ketujuh anakku dan aku hapal semua nama mereka. Ada Ikue, tentu saja, cucu kesayanganku yang sedang berulang tahun. Ada Ito, cucuku yang paling tua, yang sebentar lagi akan memiliki anak pertamanya. Ada Sinji yang baru menikah. Aku ingat Sinji pernah tinggal bersamaku selama tiga atau empat tahun. Meskipun ia cucuku yang paling merepotkan, aku amat menyayanginya. Lalu ada Kenta yang pendiam. Yui si calon dokter yang cerewet. Miseo yang suka memasak. Jiro yang … Ah, aku lupa ia SMA kelas berapa. Tapi kenapa rambut Jiro dicat biru? Ada juga Naomi, cucuku yang baru berusia enam atau tujuh bulan. Ada Kenneth, Claire, Michael … Aduh, kenapa sih orang tua mereka memberi nama anak-anak mereka dengan nama-nama asing?

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!