Beruang Kutub

Hanya cedera ringan, sakitnya tidak bisa mengalahkan kecemasan, seperti napas yang tertahan udara dingin. Sinar matahari tidak menghangatkan, tidak ada burung dan rerumputan hijau. Tidak menyenangkan memang, tapi Steve berusaha untuk tenang. Matanya masih terpejam, entah sampai berapa lama, mungkin selama-lamanya atau hanya beberapa menit. Salju tidak bertambah tinggi, sebagian menutupi wajah dan membenam tubuhnya, sesekali angin menyapunya.

“Oh, sial punggungku.”

Ia terlalu berlebihan mengucapkannya. Tidak ada tulang punggung patah atau luka parah, kecuali emosi ketakutan pada kesepian yang membuatnya selalu mengeluh sakit di punggungnya. Ia memang terjatuh dari helikopter, di ketinggian rendah dan mendarat di landasan salju empuk dengan sedikit benturan pada punggungnya tepat di atas senapan. Satu jam lalu ia bersama WWF memasang alat pemantau dan memberi nama pada salah satu beruang kutub jantan: Bearie Polie.

Saat ini, beruang kutub bukanlah boneka besar lucu yang ingin ia peluk atau diajaknya bermain seperti yang selalu diimpikannya waktu kecil. Sebelum terjebak di tempat ini, terkadang, ia merasa lucu mengingat masa kecilnya: menonton saluran Discovery dan tidak pernah melewatkan tayangan beruang kutub. Ayahnya membelikannya sebuah boneka beruang kutub besar, padahal saat itu ia melarang semua anak laki-lakinya bermain boneka. Tapi boneka beruang kutub adalah pengecualian.

“Lihat adikmu Jim. Ia ingin menjadi ahli beruang kutub,” ayahnya berkata saat melihatnya serius menonton saluran Discovery.

“Steve akan bergabung dengan WWF, Dad!”

Ayahnya dan Jim, mereka para peneliti, ahli biologi, sementara Steve adalah generasi ketiga pelengkap keluarga pecinta hewan (kakeknya ahli burung, ayahnya ahli reptil dan Jim ahli ikan). Ia memang pecinta hewan tapi bukan ahli beruang kutub atau hewan-hewan Arctic lain. Ia seorang ahli keuangan di perusahaan perangkat lunak komputer yang membiayai ekspedisi perlindungan beruang kutub selama tiga tahun terakhir. Tahun ini adalah tahun keduanya dan ia harus memastikan tidak ada lagi beruang kutub berkurang karena perburuan atau kekurangan gizi (Hei! Siapa yang membuat laporan beruang kutub kekurangan gizi?).

WWF mengajarinya memakai peralatan canggih buatan Jerman dan menanam sinyal pada beruang kutub. Sayangnya, mereka belum mengajarinya bertahan sendirian di Arctic atau cara membuat beruang kutub tertawa. Steve berharap hari ini bukanlah hari terakhirnya, setidaknya bukan kelaparan yang akan membunuhnya mengingat ia jatuh bersama beberapa makanan kaleng, senapan berburu, dan beberapa alat mahal WWF—meskipun ia tidak menemukan ponselnya setelah satu jam mencarinya.

Untuk beberapa lama Steve merasa lebih baik. Angin bertiup lembut, matahari bersinar langsung ke wajah, menghapus bayangan gelap kesengsaraan pikiran. Bunyi dari sebuah kotak hitam digital di sampingnya terdengar nyaring.

“Bip … Bip … Bip …”

Suara itu? Steve berkata dalam hati. Matanya masih terpejam. Ia memerhatikan lebih dalam dan merasakan iramanya seperti sedang mendengar musik yang lama tidak terdengar. Itu adalah bunyi PBIS (Polar Bear Position & Information Systems), sebuah tablet standar militer seharga lima ribu dolar yang dilengkapi data-data terbaru termasuk suhu tubuh, berat badan, dan makanan terakhir beruang kutub. Hanya diproduksi sebanyak dua puluh unit, khusus dibuat untuk WWF dan beberapa universitas ternama di dunia.

Steve merasa ada harapan untuk kembali menemukan rekan-rekannya. Ia bisa mengetahui posisi dirinya, kapalnya, dan beruang kutub pantauan mereka. Titik hijau di layar menandakan posisi beruang kutub pantauan, sedangkan titik merah adalah posisi alat ini. Kabar buruknya, titik hijau itu sedang bergerak ke titik merah—ke arahnya!

“Sial!”

Steve memejamkan matanya, menarik napas panjang dan membuangnya perlahan hingga dapat merasakan jantungnya bergerak normal. Ia membuka matanya dan menghitung aba-aba dalam hati. 1 … 2… 3. Kemudian ia bangkit secepat kilat, menyambar senapan, membidik lurus ke arah datangnya beruang kutub.

Setelah beberapa menit ia masih berdiri mematung. Hanya jari telunjuknya yang dibiarkan lemas agar tidak terlalu kaku saat menarik picu. Sesuatu yang dipikirkannya hanya seekor beruang kutub yang sedang berlari empat puluh kilometer per jam menuju ke arahnya; ia akan mengejutkannya dengan sebuah tembakan tepat di kepala.

Steve memasang matanya lurus dan tajam, tangannya mantap membidik dan akan tetap seperti ini sampai titik hijau menjauh dari posisinya. Lupakan sakit punggung. Lupakan coklat panas. Lupakan piza dengan keju tebal di atasnya. Lupakan Pamela Arenstein, lupakan laporan keuangan tahunan, lupakan bosnya, lupakan liburannya ke Hawaii bulan depan.

Kabut menyelimuti, uap dingin menutupi layar PBIS. Steve menurunkan senapannya perlahan, lalu dengan hati-hati mengambil PBIS. Ia membuat gundukan salju dan meletakkan PBIS di atasnya sehingga bisa melirik posisi beruang kutub sambil membidik. Monster itu berjarak sepuluh kilometer di depannya, bergerak menuju tempatnya berdiri!

Steve memutuskan berjalan memutar untuk memperpanjang jarak dari beruang kutub. 

Oh Tuhan, seberapa jauh sih dua puluh kilometer itu di hamparan Arctic?

Ia menatap langit, mengeluh lagi tentang punggungnya dan lehernya yang kaku. Mungkin ia hanya akan bertahan hingga satu jam, dan empat jam kemudian beruang itu menemukannya sudah menjadi daging beku.

“TOLONG!” Steve berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya termakan angin dan berharap angin tidak membawanya ke telinga beruang kutub. Jika Arctic adalah tempat terakhir hidupnya, mungkin ini adalah tempat yang tepat untuk buat pengakuan. Steve bukan seorang yang religius, tapi ia mencoba jujur. Sedikit pengakuan mungkin akan membuatnya lebih baik. Mungkin Tuhan akan menolongnya.

“JEEE … NYYY! …. MAAFKAN AKU!” teriaknya. Kedengarannya sih konyol. “AKU SUDAH BERBOHONG PADAMU!”

Jenny adalah istrinya dan tidak akan mungkin mendengarnya. Tapi ia meragukannya karena Jenny percaya pada tahayul dan telepati. Beberapa kali indra keenam istrinya berfungsi baik, beberapa kali mendekati kenyataan dan hanya sedikit yang salah. Selingkuh termasuk yang mendekati kenyataan. Sebenarnya Steve tidak selingkuh. Waktu itu ia hanya mengajak Pam makan malam, sedikit diskusi masalah pembiayaan ekspedisi dan masa depan Arctic, lalu pergi ke apartemen Pam, sedikit bicara penelitian dengan sedikit ciuman di bibir dan pelukan seorang teman dengan tiga kancing baju Pam terbuka (hanya sedikit ciuman dan baru tiga kancing terbuka karena selularnya bernyanyi dan menemukan nama Jenny Sayang di layar). Jenny mendengar suara Pam, tapi Steve menyangkalnya dan mengatakan suara itu datang dari televisi.

“Aku bersama Jim. Lihatlah saluran 88,” ujar Steve. Di rumahnya tidak ada saluran delapan-delapan. Tapi siapa peduli? Lagi pula istrinya tidak akan menemukannya.

Jadi, ia tidak bercinta dengan Pam? Tentu tidak (karena Jenny menelponnya). Jauh di dalam hatinya ia tidak akan mengkhianati Jenny. Ia mencintai istri dan anak laki-laki satu-satunya. Ia akan bicara jujur dan minta maaf padanya walaupun ia akan mendapatkan istrinya berdiri di depan pintu dengan tongkat bisbol, mengucapkan selamat tinggal dan setelah itu membawa Dennis pergi. Itu pun kalau ia selamat.

Angin tenang, hanya berupa embusan-embusan kecil, kabut tipis masih menyelimuti. Tidak ada yang berbeda, hanya hamparan putih, bahkan jejaknya pun sudah terhapus. Arctic seharusnya menjadi tempat tercinta. Ia boleh mati di tempat ini karena ia mencintainya. Orang-orang di seratus tahun ke depan mungkin tidak akan melihat tempat indah ini. Semua orang tahu itu: efek rumah kaca, polusi, lapisan ozon menipis, suhu air laut naik, es yang cepat mencair di musim semi.

*

Tidak ada bunyi “bip”, tidak juga titik hijau. Itu bisa berarti dirinya sudah berada jauh dari beruang kutub. Titik hijau itu adalah milik Bearie Polie. Data menunjukkan beruang kutub jantan ini ada banyak kemajuan: suhunya stabil dan beratnya naik.

“ Well temanku, sepertinya kau harus mengurangi berat badan.”

Sial! Teman? Bagaimana bisa aku mengatakan beruang kutub seorang teman pada saat terdampar sendirian di Arctic?

Mendadak sebuah sapuan angin bertiup kencang mengempas debu-debu salju ke wajahnya. Steve masih mencoba bertahan, menghindari pusing dengan apapun caranya.

Ketika keajaiban Arctic menciptakan ilusi, ia menemukan sebuah kafe dan coklat panas berjarak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tapi ia berpikir coklat panas akan membuatnya mengantuk. Ia butuh sedikit yang lebih segar dan menyehatkan. Mungkin secangkir kopi buatan istrinya?

Oh Jenny sayang, maafkan aku. Aku tidak selingkuh kok. Aku hanya mencintai Pam. Pam cinta Arctic dan juga cinta beruang kutub. Mencintai Arctic dan beruang kutub berarti mencintai Pam. Sebuah logika yang aneh bukan, sayang? Ngomong-ngomong apakah Dennis sudah tidur? Sampaikan cium dariku.

Steve jatuh dan tertidur.

Tidak berapa lama tubuhnya sudah setengah terkubur, angin menyapu salju-salju tipis di wajahnya. Kondisinya tidak lebih baik saat ia terbangun dengan perut lapar. Ia ingat masih menyimpan dua makanan kaleng yang tadinya bersumpah tidak akan memakannya. Ia membuka dengan pisau lipatnya dan mencongkel makanan yang sudah mengeras. Rasanya tidak terlalu buruk, ia berterima kasih pada teknologi.

Kemudian ia menyibukkan diri dengan membersihkan senapan, lalu mengujinya tanpa peluru dan memastikan semuanya lancar. Bisa kaubayangkan membidik monster putih lalu tiba-tiba senapannya macet? Itu pasti akan benar-benar mengerikan.

Setelah itu ia menunggu. Menunggu orang-orang yang akan menjemputnya atau menunggu beruang kutub yang akan memangsanya. Tapi ia meragukan yang pertama. Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Ia bisa mengerjakan hal lain sambil menunggu. Mungkin PBIS menyimpan data-data lain, seperti video porno, musik atau game. Tapi kengerian tetap menjadi kengerian meski banyak hal untuk mengalihkan perhatiannya.

Sial! Apa yang sedang kulakukan? Aku-kan harus waspada.

Steve berdiri lagi, memasang kuda-kuda lagi, lebih sigap, lebih waspada dan lebih kaku. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Ia menunggu dengan penuh kemenangan. Ia pernah menembak beberapa kali, sekedar iseng-iseng latihan. Tapi untuk kali ini, ia pastikan tembakannya akan lebih istimewa. Ia berpikir tentang membantai seekor beruang kutub. Ia berpikir tentang kemenangan.

Wajahnya memucat. Bulu matanya memutih. Angin dingin yang masuk melalui celah-celah jaket membuat tangannya gemetar. Beberapa kali dia harus mengusap wajahnya. Hidungnya mengeluarkan cairan yang langsung membeku di atas bibir. Tapi ia tetap harus dalam posisi ini bahkan sampai mati sekalipun.

Samar-samar dia melihat sesosok bayangan besar dari balik kabut yang tersingkap. Ia belum tahu pasti benda apa itu, tapi apa lagi sesuatu besar dan berbulu di tengah Arctic kalau bukan beruang kutub. Mungkin gerakan perlahannya menipunya dan bisa jadi makhluk itu menyerang dengan tiba-tiba dan sangat cepat.

Sesaat kemudian angin membuka tirai kabut dengan lembut, dan ia hanya menemukan tempat kosong.

Tapi kenyataan itu belum mengusir rasa khawatirnya. Ia masih merasakan makhluk besar itu berada di dekatnya. Entah di depan atau di belakang atau di sampingnya.

Steve mundur beberapa langkah sambil mengarahkan senapannya ke kanan dan ke kiri. Tiap suara atau bayangan, bahkan gerakan dalam pikirannya memberikan refleks yang cukup kuat. Dan seperti inilah yang terjadi ketika matanya menangkap sosok bayangan besar di sebelah kanannya.

Ia membidik ke sebelah kanannya.

Kosong.

Rasa khawatir itu terus menanjak, degup jantungnya seperti tidak tertahankan saat bayangan besar itu berada di sebelah kirinya.

Ia membidik ke sebelah kirinya.

Kosong.

Ia mencoba menenangkan tangannya yang gemetar, melirik ke sebelah kanan, lalu ke sebelah kiri. Tetapi ia merasakan beruang itu malah berada di hadapannya.

Dan sekali lagi ia hanya menemukan tempat kosong di depannya.

Panik? Tentu saja Steve sangat panik. Beruang kutub merupakan salah satu hewan cerdas. Tapi meski begitu Steve mulai bisa membaca gerakannya. Kini, ia melihat monster itu di sebelah kanannya.

Ia melompat cepat ke samping kanannya.

Kosong.

Kemudian seluruh bagian dari pikiran dan jiwanya seperti terbelah, masing-masing berteriak melihat monster putih besar arctic. Steve membidik segala arah, tidak ingin kehilangan buruannya. Atau kau boleh katakan kalau ia yang tidak ingin menjadi yang diburu.

Beruang itu ada di belakang, siap menerkamnya …!

Tidak! Tapi di sebelah kiri!

Tidak!

Bukan!

Tapi di depan!

Ya! Di depan! Tepat di depan.

Tidak!

Sial! Apa-apaan ini!

“DOR!”

Burung-burung berterbangan, monyet-monyet melompat-lompat di pepohonan dan bersembunyi, harimau menyembunyikan wajahnya dibalik dua tangannya, dan tepat di hadapannya, seekor beruang kutub jantan menggeliat kesakitan. Steve menembak jantungnya.

Oh Tuhan, aku terlalu waras berada di sini. Ini akibat psikologis yang menggelikan.

Steve mencoba menguasai situasi. Barangkali ia akan mati karena rasa takutnya sendiri. Bukan karena kedinginan, kelaparan atau beruang kutub. Ia masih memiliki tiga peluru dan sekaleng makanan, seandainya tidak bertemu lebih dari satu beruang kutub atau serigala mungkin ia dapat bertahan sepuluh jam. Dan jika ada keberuntungan lain maka ia dapat mencapai kapal dalam enam jam. Tidak .. mungkin delapan jam.

Terdengar suara menggeram. Tapi Steve tidak ingin terkecoh lagi oleh pikirannya. Ia mengabaikan suara itu dan kembali memikirkan jalan pulang.

Kali ini tebakannya tepat karena tidak berapa lama suara geraman itu pun menghilang.

Suara itu hanya imajinasinya. Bukankah sebuah keadaan dapat menciptakan fantasi sendiri, disadari atau tidak disadari berasal dari dalam pikirannya yang paling jauh seperti yang dialaminya tadi?

Tapi Steve salah, suara menggeram itu datang lagi. Kali ini terdengar konstan. Bukan dari pikirannya maupun halusinasinya. Suara itu keluar dari moncong seekor beruang putih jantan yang sedang berdiri di hadapannya. Sangat jelas dan sangat besar. Beruang kutub itu melangkah anggun dengan moncong terangkat, sesekali menunjukkan taringnya yang runcing. Kaki-kakinya besar dengan cakar tersembunyi dalam timbunan salju. Kibasan cakarnya dapat membuat hidupmu berakhir seketika.

Steve berdiri dengan hati-hati. Ini yang ia khawatirkan, ini yang ia takutkan. Ini nyata. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, atau mungkin tiga kali atau empat kali lebih cepat sampai-sampai memecahkan stetoskop. Ia mencoba tenang dan tidak panik. Ia pernah begitu dekat, sangat dekat dengan beruang kutub dan ia berharap beruang yang satu ini baru saja berpesta anjing laut.

Steve mengangkat senapan dengan cepat, lalu membidik tepat ke kepala beruang kutub. Tangan, tubuh dan kakinya terpaku kecuali jari telunjuknya yang digerak-gerakkan sedikit supaya tidak kaku.

Beruang kutub berhenti kurang dari sepuluh meter di hadapannya. Matanya hitam kecilnya memelototi ujung senapan, moncongnya sedikit tertutup. Monster itu berdiri, lalu mengangkat dua tangan besarnya perlahan seperti seorang penjahat tertangkap basah oleh polisi.

Steve sedang melihat sebuah pemandangan yang indah, menakutkan dan aneh. Beruang kutub itu tidak dalam posisi menyerang, melainkan hanya diam, tenang dan kaku sambil mengawasinya dengan sesekali mengeluarkan suara geraman kecil. Tidak ada bunyi “bip” dan titik hijau.

Beruang ini bukan Bearie Polie, mungkin dari kelompok lain. Tapi, makhluk ini melakukan sesuatu yang tidak bisa dipercaya oleh siapapun. Ia … bicara.

“Kita sama-sama tahu keadaannya-kan?” kata beruang kutub. Suaranya tidak mirip manusia, tapi lebih mirip beruang: serak dan berat.

Steve berpikir ada empat kemungkinan apa yang sedang terjadi di hadapannya: Pertama, ia sedang berhalusinasi. Kedua, seseorang memakai kostum beruang kutub dan sedang menakut-nakutinya. Ketiga, ia mengerti bahasa beruang kutub. Dan keempat, makhluk ini benar-benar bisa bicara.

Baiklah, kalau memang demikian, lantas apa yang harus kukatakan? … Meong?

“Ehm, bisa kau turunkan senjatamu?” beruang kutub mencoba ramah dengan menelengkan kepalanya ke sebelah kiri sambil menyipitkan dua matanya yang kecil.

Steve masih terpana pada keindahan yang mengerikan. Ia memastikan sedang melihat seekor beruang jantan dengan dua mata hitam kecil, dua telinga kecil, satu hidung, taring-taring yang tersembunyi, tangan dan kaki besarnya menyembunyikan cakar-cakar yang siap menghujam. Ia sekali lagi memastikan jika di hadapannya benar-benar berdiri seekor beruang kutub, … beruang kutub yang bisa bicara.

Tidak! Ia tidak akan menurunkan senjatanya. Beruang kutub itu … atau siapapun dibalik kostum itu tidak bisa menipunya. Ia menguatkan genggamannya, terus fokus membidik dan tidak akan lengah sedetik pun.

“Ayolah …,” beruang kutub mencoba membujuk dan menurunkan tangannya.

Steve memberi isyarat lewat senapan agar si beruang terus mengangkat kedua tangannya.

“OK .. OK ..,” beruang kutub mengangkat tangannya kembali dan tampak kecewa berat padanya. “Kau mungkin mengira aku akan menyerangmu. Kalau begitu, mari kita buat kesepakatan?”

Steve menggeleng kepala, senjatanya terus diarahkan ke wajah beruang.

Mereka terdiam. Suasana hening dan mencekam, angin membawa butiran-butiran salju. Steve menatapnya tajam. Beruang kutub balas menatapnya; dari mata ke mata, pikiran ke pikiran, dan semakin lama keadaan tidak lebih menyenangkan, dan terus berlangsung hingga sepuluh menit … lima belas menit .. tujuh belas menit. Antara Steve dan beruang kutub seperti sedang adu daya tahan siapa yang lebih lama mengangkat tangan. Tapi sialnya Steve merasakan gatal di kepalanya … dan semakin gatal, dan sepertinya beruang kutub tidak akan menurunkan tangannya karena tahu Steve bersungguh-sungguh akan menembaknya.

“Okay katakan,” ujar Steve, tapi ini bukan berarti ia akan menyerah.

“Bolehkan tanganku turun?”

Steve mengangguk sedikit, namun masih membidik. “Mundur tujuh langkah,” perintahnya.

“Sepertinya aku memecahkan rekor beruang kutub terlama yang mengangkat tangan,” kata beruang kutub, menurunkan tangannya, lalu mundur perlahan. Bulu-bulunya terbawa angin bergerak lembut ke kanan dan ke kiri. Pandangannya terus mengawasi pergerakan senapan seolah pernah merasakan dirinya tertembak.

“Duduk!” Steve melakukan ini agar beruang kutub tidak menyerangnya tiba-tiba.

Beruang kutub duduk dengan tenang.

“Sekarang katakan kesepakatannya.”

“Tidak ada kesepakatan,” beruang kutub berkata dengan santai dan tanpa rasa bersalah.

Terdengar bunyi ‘klik’ pada senapan.

“Aku bercanda … aku bercanda kok.”

“Brengsek. Sebenarnya siapa sih kau ini?”

“A-ku .. hanya .. seekor beruang kutub yang tersesat.”

“Tersesat? Di daerahmu sendiri? Bohong!” Steve menggertak lebih untuk menghilangkan dingin dan rasa takutnya.

“Okay .. okay, aku akan katakan yang sebenarnya,” matanya yang kecil membesar menunjukkan kalau ia terpengaruh dengan gertakannya. Steve bersumpah jika monster berbulu putih itu berbohong lagi maka ia sungguh-sungguh akan meledakkan kepalanya.

“Lihatlah aku. Seekor beruang kutub yang bicara. Tuhan mengutusku untuk menyelamatkanmu. Namaku Donnie … D-O-N-N-I-E,” beruang kutub berkata dengan cepat.

Steve sedang melihat seekor beruang kutub yang sedang ketakutan dibawah bidikannya dan itu membuatnya lebih tenang.

“Ok. Donnie, lanjutkan.”

“Aku akan menyelamatkanmu dari beruang kutub lain. Aku akan membawamu ke kapal, dan kau akan bertemu tim-mu, dan kau bisa menikmati coklat panasmu.”

Steve mengarahkan senapannya beberapa sentimeter ke sebelah kaki kiri beruang kutub, dan … DOR!

“Sialan kau! Aku sungguh-sungguh,” kata beruang kutub, ketakutan.

Masih ada dua peluru lagi dan Steve merasa sedang berada di atas angin.

“Beruang kutub bisa membunuhmu. Maksudku selain aku. Kalau kau tidak percaya, baiklah. Aku akan pergi meninggalkanmu. Kautahu, pelurumu tidak cukup untuk membunuh selusin beruang kutub.”

Steve berpikir jika memang makhluk ini utusan Tuhan, walaupun kelihatannya konyol, tapi siapa peduli? Mungkin beruang kutub bodoh ini harapan satu-satunya. Lagi pula toh ia yang berkuasa sekarang.

“Lalu apa yang akan kita lakukan?”

“Kita berjalan ke utara. Kira-kira tiga puluh kilometer”

“Ok. Lalu?”

“Kau akan temukan kapalmu di sana. Hanya itu.”

“Hanya itu?”

“Ya. Hanya itu.”

Mungkin tidak ada salahnya percaya pada makhluk yang ‘orang lain tidak akan percayai dan ia tidak perlu menghabiskan waktu berdebat dengannya.

“Kita bergerak. Kaujalan duluan.”

Monster itu bangkit lalu berjalan memutar, matanya mengawasi senapan yang mengikuti gerakannya. Setelah merasa berada di jarak aman, Steve berjalan di belakangnya.

“Kau membuatku takut,” kata Donnie, “aku hanya ingin menolongmu.”

O ya? Apakah kau akan menolongku jika aku tidak menodongkan senjata padamu?

Mereka berjalan seperti seorang polisi dan seorang tahanan. Donnie memiliki bulu putih indah melambai-lambai tertiup angin, berjalan dengan bokong besar yang melenggak-lenggok seolah sedang meledek Steve. Sesekali Donnie berhenti sebentar untuk menoleh kebelakang, melihat posisi Steve dan setelah itu berjalan kembali.

“Seseorang pernah memberiku rokok. Namanya Max. Max Black dari WWF.”

Steve kenal dengannya: tua dan pensiun. Orang-orang memanggilnya Si Gila Max, seperti Max dalam filmnya Mel Gibson. Tapi ia memilih diam. Beruang ini terlalu cerewet.

“Kautahu, tidak ada beruang yang merokok. Tapi aku pernah coba satu. Aku masih ingat … Marlboro. Keren.”

Tapi tidak ada suara dari Steve. Donnie menoleh ke belakang sebentar dan dapat melihatnya masih menodongkan senjata padanya.

“Kau tidak banyak bicara, ya?”

Salju semakin tebal, Steve kesulitan melangkah.

“Eh … kau … dimana kau belajar bicara?” tanya Steve “Siapa yang mengajarimu?”

“Entahlah. Bisa begitu aja. Hanya aku yang bisa bicara. Tapi Max pernah cerita padaku ada seekor beruang yang bisa bicara. Sejenis beruang coklat, gizzy, grizzy … grizly … entahlah. Jelmaan manusia … seorang Indian dan menyukai madu.”

Steve harus mengangkat kakinya tinggi-tinggi sambil mengawasi Donnie dengan satu tangan memegang senapan.

“Hei kautahu madu? Enak-kah? Enakkah? Enakkah?”

Steve tertinggal beberapa meter cukup jauh dari Donnie, kakinya hampir terjebak salju tebal.

“Donnie! Hei brengsek, berhenti!” teriaknya.

Donnie berhenti melangkah. “Jadi kau tidak mendengarku?”

“Jalan!” perintahnya. Donni mulai melangkah lagi “Kaubicara apa tadi?”

“Madu. Kautahu madu? Apakah enak?”

Steve tidak menjawab. Ia teringat terakhir kali berada di helikopter beberapa saat sebelum terjatuh. Helikopter bergetar hebat, pilot berkata soal badai dan bahan bakar yang membeku. Ia berpegangan pada tali. Dr. Hughman mengingatkan seekor beruang kutub yang terlewat dan mengatakan akan kembali besok. Steve masih mendengar suaranya, tapi ia sudah keburu terlempar jatuh.

Kabut turun lagi disertai angin yang membawa salju-salju, suaranya seperti siulan. Steve memeriksa PBIS dan memastikan mereka berjalan ke arah yang tepat.

“Hei Don- …,” tapi ia tidak melihat Donnie, atau mungkin ia sudah tidak bisa membedakan warna antara Donnie dan salju. “Hei Donnie!” teriaknya.

Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda-tanda dari Donnie.

“Sial!” ia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi di sini. Ia melempar PBIS, mengawasi keadaan di depannya lalu di belakangnya. Ia memutar tubuhnya sambil membidik ke segala arah.

Donnie menipunya. Ditipu beruang kutub benar-benar menyakitkan. Ia ingat bahwa bulan ini adalah awal musim semi, saat es mencair dan anjing-anjing laut berenang ke utara. Beruang kutub ikut pindah bersama-sama bongkahan es memburu anjing laut.

Steve mundur beberapa langkah dan berhenti, membidikkan senapannya ke segala arah. Tidak berapa lama ia mendengar bunyi yang akan ia ingat selamanya.

“WUFF!”

Awalnya ia tidak merasakan sakit, namun detik berikutnya ia merasakan perih yang mendalam di punggungnya. Ia melihat langit, matahari dan seluruh bumi berputar. Ia melihat Donnie berdiri tidak jauh darinya dengan moncong terangkat, melolong dan siap mengakhiri hidupnya.

Steve terjatuh, tapi ia tidak akan menyia-nyiakan hidupnya tanpa perlawanan. Ia berusaha merangkak untuk meraih senapannya.

Usahanya hampir sia-sia ketika tiba-tiba seekor beruang kutub lain muncul tidak jauh darinya dan mengeluarkan suara mengerikan, lebih buas dari auman Donnie. Beruang itu Bearie Polie. Steve bisa mengetahuinya dari bunyi PBIS yang semakin nyaring. Bearie Polie, satu-satunya beruang kutub yang tertinggal dari kelompoknya.

Donnie dan Bearie Polie saling beradu tatap sambil berputar, seakan-akan sedang memperebutkan Steve sebagai mangsa. Dan setelah beberapa lama, Donnie memilih bergerak menjauhinya, akan tetapi Bearie Polie terus memburunya dengan sikap siap menerkam. Donnie mundur beberapa langkah seperti sedang menghitung jangkauan cakar lawannya. Steve bisa sedikit lega, karena ia sudah semakin jauh dari mereka.

Kabut bertiup tipis-tipis, tetapi Steve bisa membedakan kedua beruang kutub itu. Bearie Polie berlari, kemudian melompat menerkam Donnie. Cakar mereka saling beradu, dan selanjutnya terjadi pergumulan disertai raungan-raungan penyemangat atau kesakitan yang menyatu bersama salju yang menyelimuti keduanya.

Kemudian terdengar bunyi: “DOR!”

Selimut salju pelan-pelan terbuka, dan kedua beruang itu berhenti bertarung, menengok ke arah Steve yang sudah bangkit dan membidik mereka bergantian.

Bearie Polie melangkah mundur. Donnie terpaku sejenak, melihat Steve sedang membidiknya, lalu ia buru-buru mengangkat tangannya. Steve juga mengawasi gerakan Bearie Polie, dan gantian membidik ke arahnya. Ia membidik mereka bergantian. Hanya satu peluru tersisa, ia berharap mereka tidak tahu itu. Karena itu, ia harus segera memutuskan beruang mana yang seharusnya mati. Beruang yang sudah mencakarnya. Keputusan yang sulit, karena ia pernah bersama keduanya. Ia tahu betul Bearie Polie, beruang kutub paling malas yang pernah dikenalnya. Dan Donnie? Makhluk aneh ini sudah menipunya.

“Dor!”

Steve melepaskan satu tembakan tepat ke jantung Bearie Polie. Beruang itu terdiam sejenak sebelum ambruk, matanya yang berkilauan memandang Steve seakan-akan tidak percaya pria yang pernah menemaninya membunuhnya.

Steve menjatuhkan diri di atas lututnya, bertumpu pada senapan, setelah itu ambruk. Sambil memandang langit, ia mencari tahu apakah dirinya akan hidup satu jam lagi? Lalu, semuanya menjadi gelap.

Bayangan Donnie menutupi wajahnya saat ia terbangun. Donnie tersenyum sambil memperlihatkan deretan gigi tajamnya.

“Kau baik-baik saja-kan?” tanya Donnie.

Steve mencoba tersenyum, tapi yang keluar malah rintihan.

“Bagaimana kautahu bukan aku yang melakukannya?”

Sebenarnya bukan sebuah pilihan sulit saat ia menemukan sobekan jaketnya di cakar Bearie Polie.

“Kau benar-benar lucu saat aku menggertakmu,” Steve berkata disusul batu-batuk kecil.

“Kaupikir lucu ya?”

“Kau ketakutan .. dan kelihatan lebih jujur.”

Mereka tertawa, tetapi cara tertawa Donnie bisa menakutkan anak kecil.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Donnie memastikan.

“Aku tidak apa-apa … terima kasih,” kata Steve, memejamkan matanya.

Donnie membawa dan mengangkat Steve ke atas punggungnya. Steve memeluk lehernya, merasakan kehangatan bulu-bulunya persis seperti yang ia bayangkan waktu kecil. Donnie benar, mereka memang seharusnya menuju utara. Rekan-rekannya jatuh lima kilometer dari tempatnya jatuh, dan baru ditemukan sehari setelah ia tiba di kapal. Tidak ada yang selamat. Ia memang sungguh beruntung.

“Aku mendengar pengakuanmu,” kata Donnie. “Selingkuh?”

“Tapi aku tidak sungguh-sungguh mengatakannya,” Steve membisikkan di telinga kanannya.

“Kau bohong. Namanya Pam. Pamela bukan?”

“Kau mau coklat panas nanti?”

“Ah tidak usah-lah. Tempat tinggalku di sini, tugasku hanya mengantarmu.”

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!