Ayah dan Aku

Aku menulis ini untuk anakku yang belum lahir, untuk istri yang belum kunikahi, untuk mobil yang belum kumiliki, untuk rumah yang belum kutempati. Anakku akan menjadi dokter, itulah impianku.

Ayahku seorang pekerja keras dan sangat berdedikasi pada pekerjaannya. Ia bekerja sebagai teknisi di sebuah pabrik di Cikarang selama lebih dari separuh umurnya. Seragam kerjanya berwarna biru dengan bordiran nama berwarna merah di dada sebelah kanan. Ia pergi kerja pukul setengah enam pagi naik bus jemputan, sering bekerja lembur, dan selalu memikirkan pekerjaannya.

Karena itu, ketika aku diterima bekerja di sebuah kantor di Jakarta, Ayah ingin aku menjadi pekerja keras seperti dirinya dan menasehatiku supaya jangan banyak mengeluh.

“Kerja itu berjuang,” katanya. “Berjuang untuk keluarga. Berjuang untuk diri kamu sendiri. Kamu harus menikmati perjuanganmu.”

Aku anak pertamanya.

Aku mewarisi wajah lonjongnya dan rambutnya yang keriting, hidungku yang bengkok berasal dari Ibu, sedangkan karakterku menurun dari keduanya. Aku pergi kerja naik kereta. Rumahku berjarak dua kilometer dari stasiun, atau lima menit naik angkot, atau dua puluh lima menit jalan kaki. Aku lebih memilih jalan kaki ke stasiun, untuk menghemat uang.

Setiap pagi aku berdiri berdesak-desakan di kereta, bertahan dari dorongan-dorongan sambil menahan pegal selama empat puluh lima menit. Aku sebetulnya bisa saja dapat tempat duduk dengan mudah. Yang kulakukan hanya datang lebih pagi, menunggu kereta masuk di barisan paling depan di peron, kemudian melompat dengan cepat ke atas kereta dan langsung duduk tanpa pilih-pilih tempat. Tapi aku malas melakukannya, setidaknya sebelum aku kenal Erlin.

Erlin adalah wajah baru di stasiun ini. Orang baru biasanya menanyakan di peron mana seharusnya dia berdiri. Aku senang Erlin menanyakan hal itu kepadaku, dan bertambah senang saat tahu dia turun di stasiun yang sama denganku. Dia baru seminggu bekerja dan biasa menyetir mobilnya sendiri ke kantornya di Thamrin. Dia naik kereta karena ingin mencoba pengalaman baru.

Kami lanjut mengobrol di kereta. Aku menyukai rambutnya yang sebahu, matanya yang sipit, lehernya yang jenjang, dan lesung pipitnya. Dia terlihat rapih dengan stelan blazer biru tua dan rok selutut menampakkan kakinya yang jenjang—yang membuatnya sering diperhatikan orang-orang. Kubilang padanya untuk pakai celana panjang saja lain kali. Dan dia pun tersenyum.

Kami bertemu lagi besoknya. Dia yang menyapaku lebih dulu. Kali ini dia memakai celana jeans, kaus putih dan kardigan warna krem—pakaian kerjanya disimpan di dalam tasnya. Aku mendapatkan tempat duduk untuknya di kereta dengan susah payah. Dia tertidur tidak lama setelah kereta meninggalkan stasiun, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajahnya.

Aku membangunkannya sesaat sebelum tiba di Stasiun Sudirman. Dia menguap, memandangku dengan mata yang masih mengantuk, dan tersenyum. Dia menggandengku saat kami turun dari kereta. Dia melihat jam tangannya, berkata, “Masih jam tujuh,” kemudian kami duduk di bangku stasiun, sedikit mengobrol tentang pekerjaan dan bertukar nomor telepon.

Malamnya, lewat pesan WhatsApp, aku mengucapkan selamat tidur. Dia juga mengucapkan selamat tidur dan mengirim ‘zzz’. Tapi dia tidak tidur. Dia mengirim pesan WhatsApp lagi, mengundangku untuk datang ke pesta ulang tahunnya di hari Sabtu—disertai emotikon ulang tahun dan alamat rumahnya.

*

Aku sedang membaca Murder on The Orient Express ketika pada suatu malam Ayah memanggilku. Aku sengaja menunggu sampai Ayah memanggilku tiga kali sebelum aku datang menemuinya.

Ibu duduk di kursi dekat kipas angin sambil membaca majalah edisi dua bulan lalu. Aku duduk di ujung bangku dengan malas, mengambil koran kemarin di atas meja dan mencari-cari halaman olah raga. Aku baru membaca sebentar ketika Ayah merampas koranku dan melemparnya ke kursi di sampingnya. Ibu menaruh majalah di atas meja, lalu meninggalkan kami berdua.

Ayah memulai pembicaraan dengan kata “Dengar Ayah,” kalimat yang biasa diucapkannya kalau sedang menasehati anak-anaknya. Lalu Ayah bicara pelan-pelan supaya aku bisa menangkap apa yang dikatakannya.

Aku paham maksud Ayah malam itu, paham sampai ke detailnya. Aku juga tahu posisiku sebagai anak pertama. Ayah bilang, mulai minggu depan ia sudah tidak bekerja lagi, karena re-struk-turisasi perusahaan—aku ragu Ayah paham kata itu. Kemudian Ayah menasehatiku supaya aku bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak banyak mengeluh. Namun, kata-kata yang kutangkap adalah, bahwa semua beban di rumah ini akan ditaruh di pundakku. Aku akan menjadi satu-satunya pencari nafkah di rumah. Aku hanya menjawab “Ya” dan “Paham”, lalu setelah itu aku pergi ke kamar dan tidur lebih cepat.

Lusanya, di Sabtu siang itu, aku pergi ke rumah Erlin. Rumahnya terletak di komplek perumahan mewah yang tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya satu kali naik angkot dan sepuluh menit jalan kaki. Mobil-mobil bagus berbaris dan berdatangan di depan rumahnya, orang-orang berpenampilan mewah keluar dari dalamnya. Erlin yang terlihat cantik dengan gaun putih menyambut mereka.

Aku mungkin satu-satunya yang naik angkot. Aku memelankan langkahku dan berpikir ulang untuk masuk ke rumahnya. Aku mungkin akan minta maaf karena tidak bisa datang, alasannya akan kupikirkan nanti. Namun, aku mengurungkannya setelah melihat Erlin melambaikan tangannya kepadaku.

Aku mengucapan selamat ulang tahun dan menyalaminya. Dia mengatakan, “Terima kasih sudah datang,” sambil menempelkan pipinya yang lembut ke pipiku, menarikku masuk ke rumah, berkata “Tunggu sebentar”, kemudian meninggalkanku sendiri di ruang tamu yang ramai sementara dia kembali keluar, menyambut teman-temannya yang baru datang. Sambil menunggunya, aku duduk di sudut ruangan yang tersembunyi di antara rak buku dan meja kayu bulat.

Acaranya dimulai tepat pukul satu, semuanya menyanyikan “Happy Birthday To You“. Erlin meniup api di atas lilin angka 22, semuanya bertepuk tangan, lalu seorang laki-laki tampan yang berdiri di sebelahnya mencium keningnya dan memberikannya sebuah kado besar.

Aku masih menyimpan kado untuknya di dalam tas selempangku, sebuah buku dengan selembar puisi yang disisipkan di tengah buku. Kado dariku akan berada diantara ponsel, jam tangan dan perhiasan-perhiasan indah yang dibungkus dengan cantik. Aku akhirnya memutuskan tidak memberikannya. Kupikir, mungkin akan kuberikan lain waktu.

*

Sejak Ayah tidak bekerja, aku sering menemukannya sedang nonton TV, tidur di sofa atau duduk melamun di teras. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Mungkin ia sedang merindukan pekerjaannya atau sedang memikirkan keluarganya. Ia seperti kehilangan semangat, dan itu membuatku sangat kecewa.

Aku menghibur diri dengan memikirkan Erlin, perempuan yang kelak akan kunikahi. Tentu saja setiap laki-laki punya jalan untuk membahagiakan gadis pujaannya. Aku pun begitu. Mungkin ini seperti sebuah mimpi, tapi aku akan menemukan jalan untuk menarik perhatiannya. Di jalan itu, aku akan jadi penulis terkenal. Lalu aku akan menikahi Erlin dan kami akan bahagia. Aku punya ide bagus untuk novelku. Tapi aku tidak punya laptop. Bagaimana aku bisa menulis tanpa laptop?

Lagi-lagi Ayah membuatku kesal. Kenapa Ayah harus berhenti kerja di saat yang tidak tepat? Bagaimana aku bisa beli laptop sementara aku masih harus mengeluarkan uang untuk keluarga?

Ayah seharusnya bisa memahamiku. Di usianya yang masih empat puluh tujuh, bukankah ia seharusnya bisa mencari pekerjaan lain? Haruskah aku selalu menemukannya sedang menonton TV di rumah? Apakah setiap anak harus melalui sirkulasi seperti ini: Ibu melahirkan aku, Ayah mencari nafkah, Ayah membiayai sekolah, dan untuk membalas jasa mereka maka aku harus menafkahi mereka kemudian.

Mungkin aku bukan anak baik, tapi aku punya alasan mencabut kabel TV saat Ayah sedang menonton pertandingan sepak bola malam itu. Kejadiannya sangat cepat. Namun, kupikir itu jauh lebih baik ketimbang aku memecahkan layar TV atau membantingnya.

Ayah terkejut, kemudian terdiam. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Ayah datang menghampiriku yang sedang baca koran—sebenarnya pura-pura membaca—lalu duduk di sampingku dan memintaku untuk mendengarnya. Kali ini aku tidak mendengar kata “Dengar Ayah”, dan sebagai gantinya Ayah meminta maaf padaku. Ayah berjanji akan mencari pekerjaan baru. Sebelum pergi ke kamarnya, Ayah meminta maaf lagi. Sebetulnya hal itu malah membuatku jadi merasa bersalah.

Hari-hari berikutnya aku tidak lagi menemukan Ayah di depan TV atau melamun di teras. Aku lebih sering melihatnya membetulkan sesuatu, menjahit pakaiannya sendiri, membuat bangku jongkok dari kayu atau mengerjakan kesibukan lain. Sampai suatu hari, aku tidak lagi menemukan Ayah di rumah saat aku pulang kerja. Ibu bilang Ayah sudah bekerja lagi. Tapi Ibu belum tahu kerja di mana.

Di suatu malam, tiga atau empat hari setelah Ayah bekerja lagi, aku sengaja tidak tidur untuk mencari tahu pukul berapa Ayah pulang.

Sekitar pukul setengah sepuluh aku mendengar pintu pagar terbuka. Melalui celah pintu kulihat Ibu sedang menyambut Ayah yang baru pulang kerja. Ayah duduk ruang tengah dan minum teh hangat. Ia terlihat lelah, bajunya basah karena keringat. Ia menanyakan kabar keempat anaknya. Ibu bilang, aku baru memberinya seratus lima puluh ribu untuk membeli sepatu buat adikku yang nomor dua. Kulihat Ayah tersenyum, lalu setelah itu aku tidak mendengar suaranya lagi. Ayah tidak menyetel TV. Ia bersandar ke dinding di samping lemari, dan tertidur.

Sudah satu bulan berlalu sejak kudengar Ayah dapat pekerjaan baru. Saat itu bulan Agustus dan aku baru saja dipromosikan ke bagian administrasi. Aku punya meja sendiri tepat di bawah AC dan memakai komputer. Pada suatu siang di bulan itu, kulihat Ayah sedang berdiri di depan pintu masuk ruang kerjaku, tangannya membawa empat galon air kosong. Aku tidak tahu sudah berapa lama Ayah memperhatikanku. Yang kutahu Ayah datang bukan untuk melihatku, tapi untuk mengantar air ke kantorku. Jadi, selama ini Ayah bekerja untuk perusahaan air minum.

Ayah melambaikan tangannya dan tersenyum, seakan-akan sedang mengatakan bahwa ia bangga putranya kerja di tempat yang nyaman. Kemudian setelah itu Ayah melangkah pergi. Aku diam sejenak mengingat-ingat kejadian malam yang amat kusesali itu. Aku bangkit dan segera berlari mengejarnya, dan memeluk tubuhnya yang berkeringat. Ayah berkata, “Hei, anak laki-laki tidak boleh cengeng.”

Ijinkan aku menyampaikan pesan kepada diriku yang masih memimpikan memiliki istri cantik, rumah indah, dan mobil bagus. Aku menulis ini di laptop baruku, di samping Ayah yang sedang nonton TV. Aku berkata pada diriku, “Anakku akan menjadi dokter. Karena itu, aku harus lebih baik dari anakku.”

*     *     *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!