Krisis Pak Azis
Pak Azis menjadi tukang cukur sejak dua tahun lalu, sebulan setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai satpam bank. Penghasilannya lumayan, bisa dua kali lipat dari penghasilannya dulu. Ia sering mengajak pelanggannya ngobrol, kebanyakan tentang politik, sesuatu yang dipahaminya belakangan ini.
Tempat cukurnya sangat sederhana, hanya sebuah kios kecil di lahan tidak terpakai, berjejer bersama warung nasi, warung rokok, dan beberapa kios kecil lain. Ada tiga kursi dengan masing-masing tiga cermin di depan dan satu cermin panjang di belakangnya. Di sudut atas ruangan sebuah TV tabung 14 inci yang diposisikan agar bisa dilihat pelanggan. Kipas angin di plafon berputar pelan, foto presiden dan wakilnya terpampang di atas foto model pria-pria tampan dalam poster.
Siang itu Pak Azis sudah menyelesaikan empat kepala. Ia membuka kotak makan siangnya setelah salat zuhur. Istrinya memasakkannya sayur asem, tempe, ikan asin dan sambal. Ia baru akan memasukkan suapan pertamanya ketika pelanggan setianya datang. Namanya Pak Saeful, seorang tukang ojek online.
“Assalamu’alaikum, Pak Azis,” sapa Pak Saeful.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Pak Azis meletakkan kotak makan siangnya di atas meja lalu menyambut Pak Saeful dengan ramah. Seperti itulah Pak Azis, selalu berkomitmen pada mottonya: Pelanggan adalah prioritas. Ia tahu kata ‘prioritas’ dari tempat kerjanya dulu.
Pak Saeful duduk di kursi tengah, melihat sebentar wajahnya di cermin, dan berkata, “Biasa Pak Azis.”
Pak Azis hapal potongan dan gaya rambut semua pelanggannya. Ia membungkus badan Pak Saeful dengan kain hijau, melingkarkan handuk di leher dan menyemprot rambutnya. TV menayangkan kegiatan presiden di peresmian jalan tol. Pak Azis dengan antusias mendengarkan pidato presiden idolanya.
“September nanti ekonomi kita meroket!” kata Presiden optimis, diikuti tepuk tangan para menteri dan pejabat lainnya.
Pak Azis paham betul maksud pidato itu dan bangga pada sang presiden. “Negara kita tidak sedang krisis,” katanya, bersemangat. Ia bahkan bisa menunjuk buktinya, yaitu tempat cukurnya sendiri, yang masih bisa menghasilkan keuntungan, terlebih lagi tepat di belakang tempat cukurnya sedang dibangun sebuah gedung mal yang sangat besar, yang menandakan ekonomi masih tumbuh. Kata krisis hanya untuk masalah kecil yang dibesar-besarkan. “Satu periode lagi, Pak Saeful,” lanjutnya, tapi yang diajak ngobrol malah diam saja. “Semoga saja beliau terpilih lagi.” Ia memotong tipis bagian kanan, lalu dengan hati-hati merapihkan tepian rambut dengan pisau cukur.
Pak Azis masih melayani satu pelanggannya sebelum akhirnya bisa melanjutkan makan siangnya. Setelah itu ia tidur sebentar, mencukur tiga pelanggannya lagi, lalu salat asar, dan menutup kios cukurnya jam empat.
*
Keesokan paginya hujan turun deras. Pak Azis, yang biasa memanaskan mesin sepeda motornya di pinggir jalan, melakukannya di teras rumah. Atap ruang tamunya bocor, istrinya membawakan dua ember untuk menampung tetesan air. Setelah memanaskan sepeda motor, Pak Azis membantu istrinya mengepel. Dua putri mereka sudah berangkat ke sekolah.
Tukang koran langganannya baru datang setelah jam tujuh dan seperti biasa ia membeli dua koran berbeda untuk ditaruh di kios cukurnya. Ia meninggalkan rumah jam setengah sembilan dengan memakai mantel hujan berwarna kuning.
Hujan baru reda sesaat sebelum Pak Azis tiba di kios cukurnya. Warung nasi Bu Yayah masih tutup. Pak Azis membuka tirai, memasang tanda ‘BUKA’ di pintu, menyapu lantai, mengeluarkan peralatan cukurnya, menyiapkan handuk dan kain penutup tubuh. Ia menyetel TV dan langsung menemukan saluran favoritnya. Tapi ia tidak menontonnya, matanya sangat mengantuk. Sambil menunggu pelanggan, ia tidur sebentar.
Ia terbangun ketika mendengar seseorang mengetuk pintu. Seorang pria berpenampilan rapih melangkah ke dalam kios.
“Tolong potong sedikit, Pak Azis,” kata pria itu, tahu nama Pak Azis dari plang di depan: ‘Barbershop Pak Azis‘.
Pria itu membuka jas hitamnya, menggantungnya di dinding, lalu duduk di kursi paling kiri. Pak Azis membungkus badan pria itu dengan kain dan menutup bagian lehernya dengan handuk bersih. Ia baru akan menyemprot rambut pria itu ketika ponsel pria itu berdering.
“Sebentar, Pak Azis,” kata pria itu, bangkit dan melangkah ke luar.
Pak Azis bisa mendengar kata proyek, bank, tender dan jumlah uang yang besar. Ia merasa terhormat. Ini pertama kali orang penting datang ke tempatnya. Setelah kira-kira lima menit pria itu sudah kembali ke tempat duduknya.
“Lanjut Pak Azis!”
Meski berpengalaman menangani bermacam karakter rambut, ia cukup berhati-hati menangani pelanggan yang satu ini. Sepertinya tidak banyak yang akan dilakukannya. Rambut pria itu masih pendek dan rapih. Sekalipun begitu, menurutnya, menjadi tukang cukur lebih dari sekedar memotong rambut. Ini tentang membuat seseorang tampil lebih baik.
Setelah mengamatinya sebentar, ia tahu bagian mana yang perlu dipotong. Jambang pria itu terlihat kurang simetris, pun dengan bagian belakangnya yang sedikit menonjol. Ia memotong bagian pinggiran belakang kepala berlanjut ke bagian belakang cuping dan jambang, menyisirnya, memotong di bagian sana dan sini, kemudian berhenti sebentar untuk memberi kesempatan pada pria itu untuk bercermin. Pria itu menengok jambang sebelah kanan dan kirinya, dan tersenyum.
“Mantap, Pak Azis!”
Pak Azis membersihkan kepala dan leher pria itu dari sisa potongan rambut, melepas handuk di leher dan kain penutup tubuh, dan memberikan sedikit pijatan supaya lebih segar. Puas dengan layanan Pak Azis, pria itu memberikan seratus ribu rupiah dan menolak uang kembaliannya. Pria itu mengambil jasnya dan menjabat tangan Pak Azis seperti baru saja menyepakati suatu bisnis. Pak Azis tersenyum kecil sambil memandang pria itu naik ke dalam Camry hitam-nya.
Hanya ada lima pelanggan hari itu. Pak Azis menghabiskan waktu dengan nonton TV dan membaca koran. Di luar, langit sudah mulai gelap sejak jam dua, tapi Pak Azis baru membereskan peralatan cukurnya ketika terdengar gemuruh halilintar. Ia mengemudi dengan terburu-buru, berharap bisa tiba di rumah sebelum hujan turun deras. Tapi ia tidak berharap banyak ketika ban sepeda motornya bocor. Ia harus mendorong sepeda motornya lumayan jauh sebelum menemukan bengkel tambal ban.
“Ban dalamnya harus diganti,” ujar tukang tambal ban, “sobeknya besar. Tidak bisa ditambal lagi.” Ia menunjukkan sebuah paku kecil bengkok pada Pak Azis.
“Berapa?”
“Tiga lima.”
“Ya sudah, ganti saja.”
Pak Azis pernah terpikir untuk menjual sepeda motornya dan menggantinya dengan yang baru. Sayangnya tahun ini akan ada banyak pengeluaran untuk keperluan sekolah anaknya. Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik.
Sekejap saja ban motornya sudah beres. Pak Azis membayarnya dengan selembar uang lima puluh ribu, membuat tukang tambal ban mencari uang kembalian di tukang bakso. Hujan turun ketika tukang tambal ban kembali. Tukang tambal ban selalu jengkel masalah hujan. Ia bilang pada Pak Azis, kalau dalam satu jam hujannya seperti ini terus bisa dipastikan akan banjir sebentar lagi.
Jalanan mulai tergenang, Pak Azis mencemaskan atap rumahnya yang selalu bocor saat hujan. Ia mengeluarkan mantel hujan dari dalam bagasi motor dan memakainya. Hujan bertambah deras, angin bertiup kencang, ia memacu sepeda motornya pelan-pelan. Sepeda motor tuanya sulit diajak kompromi dan bisa mati suatu-waktu.
Ia tiba di rumah jam empat seperempat. Tiga ember dan dua baskom bertebaran untuk menampung air yang bocor di teras dan ruang tamu. Istri Pak Azis membawakan tasnya, lalu membuatkannya kopi. Pak Azis duduk di kursi sambil mengelap wajah dan tubuhnya, dan memandangi air yang jatuh di atas ember.
Ia sedang menikmati kopinya ketika tiba-tiba plafon terasnya jebol. Air mengguyur dan membanjiri lantai teras, potongan-potongan triplek berjatuhan. Ia bergegas mengambil satu bak besar untuk menampung air, mengenakan mantel hujannya, mengambil tangga, kemudian naik ke atap rumah. Ia melihat ada banyak sampah hingga membendung talang air. Ia menyapu atap asbesnya dengan sapu lidi dan melempar sampahnya ke jalanan.
Hujan baru berhenti setelah magrib. Lantai rumah Pak Azis di penuhi potongan triplek dan pasir, air masih menetes dari atap dan jatuh ke dalam ember penuh air. Pak Azis memakai sarung dan baju hangat, badannya menggigil. Kopinya sudah berganti teh manis hangat di atas meja. Istrinya membuang air tampungan ke jalanan, lalu meletakkan ember kosong di bawah keran depan. Pak Azis menyuruh anak pertamanya pergi ke warung untuk membeli obat demam.
Di usia pertengahan empat puluhan, Pak Azis sebenarnya jarang sakit. Ia selalu berolahraga setelah salat subuh dengan gerakan-gerakan ringan sambil mengatur nafas. Dulu, waktu masih jadi satpam, ia rutin pergi ke gym setiap Rabu dan Sabtu. Sisa-sisa dari latihannya masih ada dalam bentuk tubuh yang tegap. Tapi malam itu ia benar-benar merindukan masa-masa sehatnya. Tubuhnya menggigil, pilek benar-benar mengganggunya. Obat warung tidak bisa mengurangi penderitaannya. Istrinya menemaninya ke dokter klinik keesokan paginya. Dokter bilang ini cuma demam biasa akibat kehujanan dan terlalu capek, beberapa pasiennya juga mengalami hal yang sama.
Setelah tiga hari demamnya hilang, tapi setelah itu Pak Azis mengeluh masalah diare. Kali ini ia tidak ingin pergi ke dokter, sebagai gantinya ia minum ramuan oralit buatan istrinya. Lusanya ia sudah merasa lebih baik dan tidak sabar tidak sabar untuk segera sampai ke kios cukurnya.
Ia mengoles mesin cukurnya dengan minyak khusus, memasukkannya ke dalam tas bersama dua potong kain penutup tubuh, dua buah handuk, kotak makan siang dan sebotol air minum. Ia menyantap nasi goreng buatan istrinya dengan lahap. Anak-anaknya tampak sehat, rumahnya masih berdiri kokoh meskipun plafon terasnya rusak berat—ia akan memperbaikinya Sabtu nanti. Hari ini tidak ada yang perlu dirisaukannya, kecuali tangannya yang terasa kaku setelah beberapa hari tidak memegang gunting.
Perjalanannya pagi itu seharusnya lebih singkat jika tidak ada rombongan truk proyek yang membuat macet jalan. Bongkahan tanah yang berjatuhan dari truk membuat jalanan berlumpur dan licin. Sepeda motor Pak Azis menyempil di antara truk besar dan sedan hitam—ia mengklakson beberapa kali. Akan tetapi, bukan kemacetan yang membuatnya cemas. Ia merasa sesuatu yang buruk sedang menimpa kiosnya. Ia memutuskan untuk berputar balik, pergi menuju komplek ruko tidak jauh dari situ, dan memarkir sepeda motornya di depan toko mebel.
Matahari bersinar terik, Pak Azis melepas helm dan jaketnya, sedikit embusan angin menghapus keringat di tubuhnya. Ia memandang ke suatu tempat di mana kios cukurnya seharusnya berdiri. Dan, seperti yang sudah diduganya, kiosnya sudah tidak ada. Tempat itu sudah ditutupi pagar seng yang tinggi dan panjang.
Ia sebetulnya sudah tahu suatu hari nanti, cepat atau lambat, kios cukurnya akan digusur. Ia hanya tidak menyangka datangnya akan lebih cepat. Pun tidak ada yang memberitahunya. Ia berpikir untuk tidak memberitahu istrinya dulu, setidaknya setelah ia punya kios cukur yang baru. Ia yakin tidak akan kesulitan mendapatkannya. Bukankah sekarang pertumbuhan ekonomi sedang bagus-bagusnya?
Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon kersen. Diambilnya botol minumannya dari dalam tas, diminumnya minum beberapa teguk air. Rencananya, kira-kira jam dua belas nanti, ia akan menemui mandor proyek untuk menanyakan barang-barang di kios cukurnya. Namun, ia mengurungkannya setelah ia bertemu Pak Saeful.
“Bagaimana kios saya, Pak Syaeful?”
Pak Syaeful menggeleng kepalanya.
“Barang-barang saya?”
“Aman, Pak Azis,” jawab Pak Syeful. “Aman. Semuanya ada di rumah saya.”
“Terima kasih, Pak Syaeful,” kata Pak Azis, tersenyum. Ia senang mendengar perlengkapan cukurnya masih utuh. Ia mungkin akan mengambilnya besok atau lusa. Ia hanya tidak tahu bahwa, yang mengamankan perlengkapan kemarin lusa adalah para pekerja proyek—atas permintaan kontraktor proyek yang pernah dicukurnya beberapa waktu lalu.
* * *