Ulang Tahun Pernikahan
Setiap tahun, aku dan istriku bergantian menentukan tempat kami merayakan ulang tahun pernikahan kami. Tahun ini giliranku, di ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh.
Aku memutuskan merayakannya di Kagasuka, restoran yang biasa dilewatkan istriku saat kami memilih tempat makan di mal. Restoran Jepang all you can eat, yang memerlukan sedikit usaha karena pelanggan memasak sendiri—sesuatu yang istriku tidak bisa lakukan.
Istriku tidak menolak. Bahkan, dia terlihat antusias setelah beberapa hari belakangan dia diam-diam belajar memasak. Satu dekade memang angka istimewa, kami merayakannya bersama putri kami yang baru saja naik kelas dengan nilai terbaik di sekolahnya.
Saat kami tiba, sekitar pukul tujuh malam, Kagasuka sudah lumayan ramai. Kami beruntung dapat meja dari pelanggan yang baru saja selesai makan, meskipun tempatnya kurang ideal karena dekat pintu keluar.
Kami mengatur tempat; istri dan anakku duduk di bangku sofa, dan aku duduk di kursi kayu. Pelayan perempuan datang membagikan tiga buku menu. Istri dan putriku membukanya untuk formalitas, karena pada akhirnya aku yang memilih menu untuk mereka.
Menu di sini, seperti kebanyakan masakan Jepang, terdengar familier. Meski begitu, sulit memastikan rasanya sama dengan menu jadi. Anda bisa mendapatkan rasa lebih enak atau malah sebaliknya. Memang, pengalaman pertama Anda makan di sini bisa menentukan apakah Anda akan datang lagi ke Kagasuka atau malah jadi yang terakhir.
Jangan kaget kalau Anda menemukan banyak yang memberikan satu atau dua bintang untuk restoran ini. Mereka biasanya yang merasa terjebak dengan cita rasanya yang tidak sesuai dengan harga yang mereka bayar. Sayangnya, penilaian buruk itu sama sekali tidak berpengaruh pada reputasi restoran ini. Kagasuka hanya menyediakan menu dengan bahan-bahan segar berkualitas. Anda bisa datang dan melihat sendiri tempat ini selalu penuh.
Untungnya, pengalaman pertamaku makan di sini begitu menyenangkan. Itu terjadi belum lama ini. Saat itu aku datang bersama kenalanku yang sudah lumayan ahli mengolah menunya. Jika Anda datang sendiri, Anda sebaiknya datang di jam awal restoran buka di hari kerja, ketika restoran belum terlalu ramai, dan Anda bisa meminta pelayan membantu Anda memasak.
Pilihan lain, Anda bisa menyewa asisten chef, yang akan memasak untuk Anda. Untuk layanan ini Anda akan dikenakan biaya tambahan, yang besarnya setengah dari harga menu. Belum termasuk tip. Kalau Anda ingin pendamping yang lebih murah, Anda bisa menyewa pegawai magang terlatih. Anda bahkan bisa mendapatkan layanan ini di jam-jam sibuk. Namun, karena mereka tidak selalu tersedia di tempat, Anda mesti memesan layanan mereka sehari sebelumnya.
Atau, Anda bisa datang bersama orang yang pernah makan di sini.
Aku memesan tiga menu daging dan sea food, serta bahan-bahan racikan tambahan; saus stoples ukuran sedang, minyak bawang, dan bumbu bubuk. Saus stoples tidak termasuk dalam paket menu, sehingga Anda mesti membelinya terpisah. Berbagai saus dan bumbu racik itu ada di halaman terakhir buku menu. Tidak dijelaskan kegunaannya, dan ini jadi alasan lain Anda memerlukan pendamping untuk meraciknya.
Sambil menunggu pelayan membawa menu kami, aku mengucapkan selamat kepada istri dan putriku, dan memberikan hadiah untuk mereka; kalung emas untuk istriku, smart watch untuk putriku. Istriku juga memberikan hadiah untukku; sebuah ponsel, untuk menggantikan ponselku yang sudah berumur lima tahun. Ponsel baru itu langsung kugunakan untuk berfoto kami.
Pelayan datang membawa menu kami. Sementara aku menyiapkan racikan bumbu dan saus untuk panggangan, putriku merebus sayuran. Aku mengarahkannya supaya merebusnya tidak terlalu lama. Istriku lebih memilih memfoto kami ketimbang membantu kami memasak. Ketika makanan sudah siap, putriku malah berkata kalau kami memasak untuk kami sendiri. Lalu, kami tertawa.
Kemudian, sesudah kami makan selama beberapa menit, aku melihat Irene, kenalanku, di pintu masuk restoran. Dia datang bersama ibunya. Pada saat itu restoran sudah sangat ramai dan para pelayan sangat sibuk. Irene dan ibunya tertahan di meja layanan pelanggan di antrian paling belakang.
Aku melambaikan tangan pada mereka, dan mereka melihatku. Aku bilang pada istriku bahwa mereka adalah kenalanku, dan meminta izinnya supaya mereka bisa bergabung.
“Tentu,” kata istriku.
Irene dan ibunya datang ke meja kami. Aku bangkit, lalu memperkenalkan mereka kepada istri dan anakku.
“Kenapa kalian tidak bergabung saja dengan kami?” kataku.
“Terima kasih,” kata ibu Irene.
“Mungkin kami akan makan di HokBen kalau tidak jadi makan di sini,” kata Irene, tersenyum. Senyum yang indah.
“Mari duduk.”
Aku berpindah tempat. Aku duduk di bangku sofa bersama istri dan putriku, Irene dan ibunya duduk di kursi di hadapan kami. Aku memanggil pelayan untuk meminta menu tambahan.
Irene dan ibunya memakai pakaian serasi. Mereka memang serasi dalam berbagai hal. Mereka sama-sama suka menulis. Bedanya, Irene lebih suka menulis cerita fiksi, sementara ibunya menulis tentang masalah pendidikan dan sosial.
Aku bertanya pada Irene tentang kemajuan menulis novelnya. Dia menjawab bahwa novel itu akan jadi kelanjutan novel sebelumnya. Waktu dia menyebut judul novel pertamanya, putriku menghentikan makannya, mengatakan bahwa dia baru saja selesai membaca novel tersebut dan memujinya sebagai novel terbaik yang dibacanya tahun ini.
“Maukah kau menandatanganiya?” pinta putriku bersemangat.
Irene mengangguk, berkata, “Tentu saja.”
Ketika pelayan datang membawa menu mereka, Irene meminta putriku untuk mengajarinya memasak.
Putriku tersenyum, lalu tanpa canggung dia menyumpit beberapa potong sayuran dan merebusnya di dalam panci. Dia menyesuaikan besaran apinya, dan berkata seperti yang barusan kukatakan, “Merebusnya jangan terlalu lama.” Kemudian mereka bergantian memasukkan potongan gurita, udang, dan berbagai macam dumpling, meracik saus mereka sendiri, dan makan sambil mengenal satu sama lain.
Sekarang mereka sudah asik mengobrol, sementara aku masih bertanya seputar kabar, keadaan, dan kegiatan pada ibu Irene. Istriku malah tidak bicara sama sekali. Dia berusaha terlihat ramah dengan mendengarkan, dengan sesekali menyuap makanannya.
Aku menyadari kegelisahan istriku yang terlihat tidak nyaman karena perayaan ulang tahun pernikahan kami yang terganggu. Aku berkata pada ibu Irene, “Hari ini hari ulang tahun pernikahan kami.”
Ibu Irene menoleh ke arah istriku, dan berkata, “Wah, selamat ya.”
“Terima kasih,” kata istriku, dengan sedikit senyum. Dia baru akan meneruskan makannya ketika ibu Irene berkata,
“Yang keberapa?”
“Sepuluh.”
“Sepuluh tahun itu bukan waktu sebentar,” kata ibu Irene, menyusun potongan daging di atas panggangan. “Kalian beruntung bisa selama itu. Kami bercerai waktu usia Irene enam tahun. Waktu itu memang masa-masa sulit dan kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.” Dia mengambil potongan daging dengan sumpit, memberinya saus dan memanggangnya. Asap mengepul, aroma sedap keluar dari daging panggang itu. Istriku memperhatikan caranya memasak. “Aku seharusnya tidak mengganggu perayaan kalian.” Setelah dagingnya matang, dia tidak menaruhnya ke piringnya, melainkan ke piring istriku. “Cobalah.”
Istriku mencicipinya, dan berkata, “Ini enak.”
Ibu Irene menaruh dua potongan lagi ke piring istriku. Istriku menyumpitnya, dan menyuapkannya ke mulutku.
“Sebetulnya, kami sekalian merayakan kenaikan kelas Nikki,” kataku. “Dia dapat nilai terbaik di sekolahnya.”
“Selamat ya, Cantik,” sahut Irene.
Putriku jarang mendapatkan ucapan selamat dari orang lain, sehingga ketika Irene mengucapkan selamat, dia amat senang.
Istriku tersenyum kecil, sepertinya dia juga menyukai Irene yang luwes. Namun, kupikir dia butuh bahan obrolan supaya lebih akrab dengan mereka. Karena itu aku berkata pada ibu Irene, “Kautahu, istriku juga suka lagu-lagu tahun tujuh puluhan.”
Ibu Irene agak terkejut mengetahui ada orang yang sehobi dengannya. Dia sendiri penggemar berat Bread. Aku tahu saat Irene memutar Lost Without Your Love di ponselnya sewaktu kami sedang berkendara. Ketika itu aku berkata, “Jadi, kausuka lagu-lagu lama?” Irene mengangguk, dan berkata, “Ibuku sering memutar lagu-lagu lama saat sedang menulis.”
Aku ingat pernah menanyakan pendapat istriku tentang lagu How Deep is Your Love. Saat itu kami baru dua minggu menikah dan aku sengaja menyetelnya ketika istriku sedang membaca majalah. Dia bilang dia menyukainya, tapi dia terlalu muda untuk mendengarkan lagu-lagu kuno itu. Agak lama sesudah hari itu, kira-kira sebulan atau dua bulan kemudian, aku mendengarnya sedang menyenandungkan lagu Yesterday Once More saat dia sedang menata tanaman di pekarangan rumah.
Kemudian aku berbisik pada istriku, “Ibu Irene juga penggemar berat The Carpenters.”
“Oh ya?” kata istriku, menoleh ke ibu Irene, dan berkata, “Kau juga suka lagu-lagunya The Carpenters?”
“Rainy Days and Mondays. Itu lagu favoritku,” kata ibu Irene. “Suka lagu itu gara-gara ayahku sering memutar kasetnya.”
“Ya ampun. Sama dong. Tapi aku lebih suka Solitaire.”
“Ah, itu lagu bagus. Aku juga suka itu.”
“Kurasa versi Carpenters sedikit lebih bagus dari Andy Williams. Tapi jangan salah, Andy Williams juga bagus.”
“Jadi, kau juga suka Andy Williams?”
“Aku suka Love Story, Moon Rivers, …”
“Speak Softly Love.”
“Iya, itu juga.”
“Kautahu, Andy Williams pernah nyanyi jingle lagu iklan di Indonesia.”
“Masa? Aku baru tahu.”
Ibu Irene menunjukkan jingle iklan lawas itu dari YouTube di ponselnya.
“Lagu yang bagus. Tapi itu cuma jingle?”
Ibu Irene mengangguk. “Cuma jingle.”
Mereka kembali menikmati makanan mereka, diselingi obrolan tentang ABBA, anak-anak, dan tempat makan favorit.
Sekarang, aku malah jadi satu-satunya yang diam di meja ini, hanya mengamati obrolan mereka. Meski begitu, aku senang mereka sudah sangat akrab walaupun baru pertama kali bertemu. Aku membayangkan Irene bisa jadi kakak yang sempurna buat putriku. Dia seorang yang cantik dan cerdas, dan mendambakan adik perempuan yang bisa diajaknya berdiskusi.
“Kalau ada waktu,” kata ibu Irene, “kalian bisa main ke rumah.”
“Sabtu besok aku tidak ada acara,” sahut istriku, menoleh ke putriku dan berkata, “Sayang, kau mau main ke rumah kakak Irene?”
Putriku mengangguk senang.
Aku mengedipkan mata kananku pada Irene. Irene membalasnya dengan senyum.
Irene berusia tiga tahun lebih tua dari putriku. Dia duduk di kelas dua SMP. Aku dikenalkan ibunya, perempuan yang kukenal lewat Tinder, saat kami bertemu di restoran ini satu bulan lalu.
* * *