Surat, Kartu Pos, dan Galuh

Aku suka hujan. Memandangi air yang jatuh deras ke bumi, menetes dari ujung-ujung daun, mendengar suara gemuruhnya di atas atap, mencium baunya. Aku bisa berlama-lama memandanginya sampai-sampai guru pernah menegurku, “Mau main hujan-hujanan di luar, Ali?” Saat itulah semua mata melihat ke arahku, dan suara tawa memecah keheningan. Akan tetapi, tidak semuanya tertawa. Galuh salah satunya. Atau, mungkin satu-satunya. Dia hanya melihatku sebentar lalu kembali lagi ke bukunya.

Galuh duduk di kursi paling depan di baris kedua, pendiam dan pesaing terberatku dalam Matematika. Di luar itu, aku lebih unggul darinya di Fisika, Menggambar dan Sejarah, sedangkan dia menyikat sisanya. Persaingan kami dalam Matematika membawa kami ke dalam persaingan laki atau perempuan mana lebih baik.

Galuh suka mengajari teman-temannya. Aku juga. Karena itu kami sama-sama disukai teman-teman kami. Namun, sifat teman-teman yang pilih-pilih membuat kelas seakan terbagi tiga: Geng Ali, Geng Galuh, dan Pelintas Geng—yang jumlahnya hanya empat atau lima murid. Tidak ada yang tidak memilih, kecuali mau mendapatkan nilai jelek di Matematika. Tentunya dalam kasus ini perbedaan gender tidak berlaku.

Menjadi Pelintas Geng sebetulnya bukan hal buruk. Justru sebaliknya. Dengan menjadi Pelintas Geng, kau akan lebih banyak tahu cara menyelesaikan soal. Selain itu, kau juga akan lebih banyak bersosialisasi dan menikmati banyak camilan. Aku pernah jadi Pelintas Geng saat belajar kelompok Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Biologi. Meski begitu, Pelintas Geng bisa saja jadi masalah. Dalam kasus ini, bukannya berprasangka buruk, kupikir Pelintas Geng-lah yang menyebarkan rumor kalau aku diam-diam menyukai Galuh. Awalnya rumor itu tidak kutanggapi. Tetapi ketika suatu kali aku menghampiri Galuh untuk bertanya soal Bahasa Indonesia, seisi kelas menyoraki kami. “Ciyeee!”

Rupanya kejadian itu bukan sekali atau dua kali, setiap kali aku dekati Galuh selalu saja disoraki, padahal itu hanya urusan pelajaran. Herannya, kenapa mereka tidak menyoraki aku ketika aku mendekati Ratna.

Ratna jago fisika. Aku dan Ratna yang paling banyak bertanya saat pelajaran fisika. Juga sering berdebat dan bertengkar. Kami pernah bermusuhan selama tiga hari saat kubilang Newton itu seorang matematikawan, alih-alih seorang fisikawan. Di hari keempat aku minta maaf dan memberikannya sebungkus SilverQueen. SilverQueen-ku ampuh, kami jadi dekat setelah itu. Ratna bahkan sampai menyuruh Anggi pindah, supaya dia bisa duduk satu meja denganku.

Meski kami sangat dekat, tidak ada yang pernah menganggap kami berpacaran, malahan kami dikiranya bersaudara. Tentunya bukan dalam artian fisik mengingat perbedaan kami lumayan jauh. Ratna bertubuh tinggi, rambutnya lurus sebahu, kulitnya putih, matanya sipit, dan hidungnya mancung, sedangkan aku lebih pendek 4 cm, rambutku keriting, kulitku coklat, mataku besar, dan hidungku … sedikit mancung. Itu gara-gara Ratna yang pernah bilang, kalau aku adalah saudara jauhnya. Anehnya, kelas percaya saja. Ya sudah, kurasa memang lebih baik begitu. Untungnya Ratna bukan Pelintas Geng. Dia masuk dalam Geng Ali—yang santai saja saat kupanggil ‘anak buah’.

“Hei anak buah, tolong bikinin aku kopi!”

Atau, kenapa mereka tidak menyoraki aku dan Lina yang jelas bersaing dalam menggambar. Karya kami sering dipajang berdampingan di majalah dinding dan dinilai. Lina suka cemberut saat dibilang karyanya kalah bagus dari karyaku. Namun, aku tidak segan-segan mengakui kehebatannya. Dia lebih jago dariku dalam menggambar manga, tapi manga tidak pernah dilombakan di sekolah. Wajahnya sangat Jawa dan manis. Dia lebih kusukai dari Ratna karena sifatnya yang perhatian. Dia pernah memberi masukan lukisan air terjunku yang dibilangnya akan jauh lebih bagus kalau sisi kanannya lebih terang. Bahkan, pernah suatu kali, ketika aku sedang membutuhkan uang SPP, dia berinisiatif memintaku melukis, lalu dibelinya lukisanku seharga dua puluh lima ribu. Kalau begitu, seharusnya aku dan Lina yang mereka comblangi, bukan?

Atau, kenapa mereka tidak menyoraki Hendra dan Dewi yang sama-sama suka Geografi. Hendra bisa menyebut nama-nama daerah di peta buta, hapal semua bendara negara-negara dunia, tahu banyak tentang PBB dan semua organisasi di bawahnya, dan sangat peduli dengan isu-isu perubahan iklim. Dewi pun demikian. Keduanya pengurus OSIS, dan sering terlihat bersama dalam kegiatan OSIS. Tapi, kenapa tidak ada yang menyoraki mereka?

Atau, kenapa tidak dengan Rudi dan Destia, yang sama-sama suka basket. Toh mereka belum punya pacar. Mereka seharusnya jadi pasangan ideal. Keduanya tampan dan cantik, pernah mewakili sekolah kami dalam kompetisi basket tingkat kota dan pernah jadi pemain terbaik. Mungkin keduanya saling jual mahal. Atau, mungkin karena Destia masih mengharapkan cintanya Luki, si anak orang kaya itu. Begitulah yang kudengar dari gosip yang sudah lama itu. Sementara Rudi, dia agak tertutup, tidak ingin masalah pribadinya dibicarakan di kelas. Mungkin saja dia menyukai Galuh. Entahlah, siapa tahu. Waktu iseng kutanya Ratna kenapa tidak pacaran saja sama Rudi, dia menjawab bahwa cintanya hanya untukku. Aku hampir saja pingsan mendengarnya.

“Ini serius,” kataku pada Ratna. Betul, ini masalah serius. Tadinya aku tidak menganggap sorakan ciyee-ciyee itu sebagai candaan. Namun, ketika kulihat Galuh merasa tidak nyaman, kupikir ini jadi masalah serius. “Aku minta tolong,” lanjutku.

“Minta tolong apa?”

“Bilang ke Galuh, aku minta maaf.”

“Minta maaf buat apa?”

Ratna benar. Buat apa aku minta maaf.

“Nggak tahu.”

“Ya sudah.”

“Ya sudah apa?”

“Begini saja. Aku nanti belajar matematika sama Galuh saja dan sekalian cari tahu apakah Galuh merasa terganggu dengan ciye-ciye itu.”

“Ok.”

Dengan bilang “Ok” artinya aku setuju memberikannya satu bungkus SilverQueen, yang artinya muncul masalah lain, yakni aku harus mengorek celenganku untuk membelinya.

Tiga hari kemudian, Ratna sudah berhasil menyelinap ke Geng Galuh tanpa dicurigai. Dia juga berhasil mendekati Yosa, teman dekatnya Galuh. Dari Yosa, dia tahu asal muasal sorakan ciyee-ciyee itu. Dia bilang Weni yang memulainya setelah dia kelepasan ngomong kalau Galuh diam-diam menyukaiku.

“Harusnya Galuh senang dong,” kata Ratna.

“Jadi, apa yang harus kulakukan?”

“Kamu suka sama Galuh?”

“Nggak.”

“Benci dong?”

“Ngaco.”

Aku terpikir untuk tidak dekat-dekat Galuh untuk sementara waktu, setidaknya selama sebulan. Namun, setelah dipikir ulang hal itu tidak mungkin kulakukan. Teman-temanku pastinya akan curiga, dan hal itu tentunya akan membuat Galuh sedih. Atau, mungkin aku berpura-pura saja menyukainya, lalu setelah beberapa pekan, aku putus darinya. Tapi itu terdengar sangat kejam. Aku tidak bisa melakukannya. Ah, ternyata masalah ini lebih rumit dari soal matematika. Pada saat memikirkan itu, di luar sudah sangat gelap, gemuruh guntur terdengar bersautan, angin yang berembus kencang menerbangkan kertas-kertas di atas meja. Aku menutup jendela, dan sebentar kemudian hujan pun turun.

Aku suka hujan. Memandangi air yang jatuh deras ke bumi, menetes dari ujung-ujung daun, mendengar suara gemuruhnya di atas atap, mencium baunya. Aku bisa berlama-lama memandanginya sampai-sampai guru pernah menegurku, “Mau main hujan-hujanan di luar, Ali?” Saat itulah semua mata melihat ke arahku, dan suara tawa pun memecah keheningan. Akan tetapi, tidak semuanya tertawa. Galuh salah satunya, atau mungkin satu-satunya. Dia hanya melihatku sebentar lalu kembali lagi ke bukunya.

Entah kenapa sejak saat itu aku jadi lebih lebih memperhatikan dirinya. Aku tahu dia suka mengikat rambutnya dengan ikat rambut warna hitam, memakai jam tangan di tangan kanannya, kacamata minus 1,5 berbentuk oval waktu berangkat dan pulang sekolah, dan melepasnya di dalam kelas.

Ada dua hal yang kuingat sewaktu dia tidak masuk sekolah dua hari karena sakit, yakni wangi parfumnya dan wajahnya. Wajahnya khas wajah pendiam, matanya sayu dan bibir sempitnya berwarna merah jambu. Tubuhnya setinggi aku, pinggulnya besar seperti orang dewasa, kulitnya seputih susu. Dia tiba di gerbang sekolah antara jam 6.35 dan 6.45; rumahnya berlawanan dengan arah rumahku. Aku sering menoleh ke belakang untuk melihatnya berjalan pulang. Aku ingat dia pernah sekali tersenyum padaku setelah aku membaca puisi pilihanku di depan kelas Bahasa Indonesia. Yang kupilih karya Asmara Hadi. Yang judulnya: Kuingat Padamu.

Tentunya saat itu aku masih bisa bebas dekat dengan siapa saja tanpa disoraki ciyee-ciyee itu. Selepas baca puisi, pada jam istirahat, teman-teman mengerubungiku, mencatat puisi yang tadi kubacakan. Entah nantinya dibacakan buat siapa puisi tersebut, tetapi sejak saat itu aku dianggap laki-laki paling romantis di kelas. Kecuali, tentu saja Ratna yang masih sebal padaku karena perdebatan fisika beberapa hari sebelumnya.

Aku juga mengingat momen-momen antara aku dan Galuh yang seakan-akan saling terkait, yang kuduga jadi alasan kenapa Galuh menyukaiku. Misalnya, komentarku pada Galuh yang selalu membawa makan siang dari rumah. “Wah, enak nih,” kataku, atau, “Menu apa hari ini?” Lalu ada juga momen ketika aku pernah mengakui kepintarannya. Waktu itu aku bertepuk tangan keras sekali ketika dia berhasil menjawab soal sulit di papan tulis. Aku berseru padanya, “Hebat, Galuh!” lalu wajahnya terlihat memerah.

Suara sorakan membangunkanku dari lamunan, ciyee-ciyee itu pun terdengar lagi, padahal aku tidak sedang mendekati Galuh. Rupanya, mereka menyorakiku karena melihatku sedang memandangi Galuh. Aku berusaha bersikap biasa saja walaupun sulit menyangkal kalau aku tidak sedang memandangi Galuh barusan. Guru Geografi yang sedang menjelaskan tentang ASEAN bertanya-tanya, “Ada apa antara Ali dan Galuh?” Untungnya ia tidak ikut campur dalam urusan tidak penting itu. Ia mendiamkan kelas, lalu setelah itu lanjut mengajar. Sementara, Galuh yang sadar dirinya sedang diperhatikan, tertunduk malu. Dia mungkin menyangka kalau aku juga menyukainya, tetapi dia pastinya tidak berharap dengan cara demikian. Aku jadi kasihan padanya. Waktu kusampaikan hal itu pada Ratna, dia berkata,

“Kenapa kasihan? Oh aku tahu. Kamu suka sama Galuh, kan?”

“Nggaklah. Aku cuma kasihan sama Galuh.”

“Kalau begitu kirim surat saja.”

“Buat apa?”

“Minta maaf.”

“Aku nggak bisa nulis surat?”

“Ya ampun, laki-laki yang katanya paling romantis di kelas nggak bisa nulis surat?”

“Bantu aku … tolong.”

“Ok.”

Aku dan Ratna menulis surat di kantin usai pulang sekolah, lalu dilanjut menulis di rumahnya sampai jam 8 malam. Sebetulnya, Ratna tidak terlalu banyak membantu, kata-katanya terlalu puitis sehingga aku terkesan tergila-gila pada Galuh. Pada akhirnya, setelah menghabiskan lima lembar kertas, kami sepakat mengirim surat setengah halaman. Itulah surat pertamaku untuk perempuan.

Besoknya, aku meminta Ratna mengantarkan surat tersebut kepada Galuh—tanpa SilverQueen, please. Dia, yang merasa kasihan padaku, menitipkan suratku pada Yosa. Aku melihat Yosa menyerahkan suratnya pada Galuh usai jam istirahat. Galuh membuka dan melihat suratnya sebentar, kemudian menengok ke arahku, lalu memasukkannya ke dalam tas.

Lusanya, aku mendapatkan surat balasannya yang dititipkan Yosa kepada Ratna. Aku dan Ratna kemudian membacanya. Surat sepanjang satu halaman itu ditulis tangan dengan rapih. Huruf “g”-nya imut. Galuh mengatakan bahwa dia sama sekali tidak merasa terganggu dengan sorakan-sorakan itu dan berterima kasih sudah menulis surat yang disebutnya tidak bisa ditangkap radar.

Aku akhirnya tahu kenapa dibilangnya tulisanku tidak bisa ditangkap radar. Yang tentu saja artinya tidak bisa dinalar. Harus kuakui, aku buruk sekali dalam menulis surat. Untuk sebuah surat pemintaan maaf, tulisanku bertele-tele dan kalimatnya melompat-lompat. Karena itu, dalam suratku selanjutnya—yang kutulis tanpa bantuan Ratna—aku minta diajari menulis surat yang baik.

Dalam surat balasannya, yang diantarkan Yosa langsung kepadaku, dia bersedia mengajariku menulis surat. Dia menantangku untuk menceritakan cita-citaku, kemana aku melanjutkan sekolah nantinya dan mau kuliah di mana. Lalu dia bilang akan lebih baik jika aku bisa menuliskannya sebanyak satu halaman tanpa berhenti.

Aku malah menjawab tantangannya dengan menulis dua halaman penuh. Tanpa berhenti! Singkatnya, aku menulis tentang cita-citaku menjadi seorang pebisnis, dan untuk itu aku akan melanjutkan ke SMA terbaik di Bekasi dan berkuliah di UI. Di akhir surat, aku bertanya balik, apa cita-citanya?

Untuk diketahui, aku baru mengenal Galuh di kelas 2. Sebelumnya, di kelas 1, kami beda kelas. Di kelas 3 kami pun kembali beda kelas. Kelas Galuh berjarak tujuh kelas dari kelasku. Meski sudah tidak satu kelas kami tetap berkirim surat. Setidaknya, dalam satu pekan, kami bisa menulis surat dua kali. Kami lebih banyak menulis tentang keseharian kami. Aku juga masih menengok ke belakang saat pulang sekolah walaupun sering kali aku tidak menemukan dia di situ. Pernah suatu kali, di Sabtu pagi, aku sengaja melewati gang rumahnya, menapaki jalan yang basah, menghirup sisa-sisa bau hujan, memutar lagu Denpasar Moon di kepalaku.

Kami lulus dengan nilai yang memuaskan, nilai yang lebih dari cukup untuk diterima di SMAN favoritku. Akan tetapi, karena pertimbangan supaya cepat dapat kerja, aku memilih lanjut ke STM.

Desember 1995, aku menerima surat darinya lewat tukang pos. Dia bercerita tentang hari-hari pertama di SMA, yang dibilangnya pesaing di pelajaran Matematika jauh lebih berat dan banyak daripada waktu SMP. “Seandainya kamu ada di sini,” tulisnya, “kita bisa belajar bersama.” Dalam balasan suratnya, aku bercerita tentang sekolahku yang luas, kelas yang jauh lebih besar dan murid yang lebih sedikit dari SMP. “Tidak ada murid perempuan di kelas,” tulisku, “seandainya kamu ada di sini.”

Bulan-bulan berikutnya aku sudah mulai disibukkan dengan berlatih sepak bola di sekolah, mendaki gunung, dan tawuran. Bisa dibilang masa-masa di STM lebih menyenangkan ketimbang waktu SMP. Teman-teman SMP? Aku bahkan hampir tidak pernah mendengar kabar teman-teman SMP. Ratna, yang dulunya sangat dekat, sudah melanjutkan SMA-nya di Bandung. Aku masih bertemu ibunya dua atau tiga kali sebelum mereka pindah ke Bandung. Di sini, di STM, aku punya teman yang datang dari pelosok kampung di Bekasi, dengan logat yang sulit dipahami kalau mereka tidak bicara pelan-pelan. Aku kadang-kadang pulang naik truk trailer, pernah hampir ditangkap polisi karena tawuran. Prestasi sepak bolaku sedikit lebih baik dari nilai rapor di sekolah. Aku bertanding melawan klub-klub kampung, dibayar lima ribu per pertandingan, pernah dua atau tiga kali berkelahi karena ditekel keras. Karena jarak sekolah yang lumayan jauh, aku sering terlambat sekolah dan beberapa kali melewatkan upacara. Uang tabunganku bertambah banyak karena aku jarang bayar ongkos bus. Aku ikut kursus komputer di hari Sabtu dan Ahad yang sebagian dibiayai ayahku sementara sisanya diambil dari uang tabunganku.

Galuh mengirim surat padaku menjelang kelulusan, dia bertanya mau lanjut kuliah di mana? Aku menjawab, aku tidak lanjut kuliah. Tiga bulan kemudian dia menulis surat lagi, mengabarkan dia lulus UMPTN dan diterima di IPB jurusan Pertanian. Dia bertanya kapan bisa ketemu? Aku mengucapkan selamat padanya dan menjawab tidak tahu. “Lagi sibuk melamar kerja,” tulisku.

Pada Januari 1999, aku menerima kartu lebaran darinya yang dikirim dari alamat rumah kosnya di Bogor.

Aku mendapatkan pekerjaan pertamaku setelah delapan bulan menganggur. Kursus komputerku ternyata lebih berguna ketimbang masa tiga tahunku di STM. Aku bekerja sebagai IT Support di perusahaan asuransi di Tanah Abang. Aku mengerjakan pekerjaan yang kini bisa kukerjakan sambil menutup mata, seperti melepas dan memasang pita printer, mengajari staf menggunakan email, memberitahu cara mengatur paragraf di MS. Word atau menghitung menggunakan Excel. Aku digaji tujuh ratus lima puluh ribu per bulan yang setengahnya kuberikan kepada ibuku, mendapat uang tambahan dari lembur dan mengajar les privat komputer di hari Sabtu dan Ahad. Uang tabunganku dipakai untuk membeli komputer seharga tiga juta lima ratus ribu di Mangga Dua. Aku pulang kerja jam delapan malam dan tiba di rumah jam setengah sepuluh. Paginya, ketika berangkat kerja, aku memikirkan tentang berhenti kerja. Rutinitas membosankan ini berlangsung selama tiga tahun, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan pada Maret 2003.

Aku mencoba menekuni usaha les privatku. Aku memasang poster kursus komputer di dinding tembok, di halte bis, di tiang listrik, dan membagi-bagikannya ke rumah-rumah orang kaya. Setahun kemudian siswa-siswaku mulai bertambah banyak dan aku sudah bisa mempekerjakan seorang lulusan sarjana komputer. Di akhir tahun aku menyewa rumah di Kranji seharga 6 juta per tahun untuk tempat kursus. Belum setahun aku sudah bisa membeli sepeda motor sendiri, mencicil rumah dan menggaji tiga pengajar lain. Aku pernah jatuh cinta pada muridku sendiri, kami berpacaran selama satu tahun dan putus begitu saja. Ketika membereskan laci, aku menemukan setumpuk surat dan kartu lebaran dari Galuh.

Pada Juni 2004, aku tidak sengaja bertemu Ratna di mal. Ketika aku mengantarnya ke tempat parkir, dia bertanya, apa aku merokok? Kujawab, tidak. Lalu dia bilang bahwa, aku satu-satunya laki-laki bukan perokok yang dikenalnya.

Ratna tinggal bersama tantenya di Pondok Gede setelah lulus dari Unpad. Dia pernah bertemu Galuh di reuni SMP yang sengaja tidak kuhadiri. Katanya, Galuh bekerja di Bank Mandiri, kemudian dia memberikan kartu nama Galuh sebelum kami berpisah. Galuh menanyakan kabarku dan menunjukkan foto-foto mereka saat reuni. Dia bertanya, “Kenapa putus?”

Selama dua tahun bisnisku berjalan nyaris tanpa hambatan. Aku sudah bisa menyewa ruko dua lantai untuk tempat kursus komputerku, mencicil rumah dan membeli mobil bekas. April 2006 aku melamar Ratna dan menikahinya tiga bulan kemudian dalam sebuah pesta sederhana di Bandung yang hanya dihadiri keluarga kami. Dua bulan setelah anak pertama kami lahir pada Juni 2007, kami pindah rumah ke Jati Bening. Di tahun yang sama aku dapat kabar pernikahan Galuh dari istriku setelah diberitahu Yosa. Yosa datang bersama suaminya yang seorang dokter ke pernikahan Galuh di Purworejo. Aku bisa melihat foto terbaru Galuh setelah membuat akun facebook pertamaku tahun 2009.

Anak keduaku lahir pada Mei 2010. Oktober 2012 usahaku bangkrut. Aku menjual mobilku untuk modal dagang pakaian di GOR Bekasi. Karena kehujanan, daganganku sulit dijual. Aku menolak tawaran istriku meminjam uang dari ayahnya. Kami sempat berdebat masalah itu dan tidak bicara selama tiga hari. SilverQueen yang kusodorkan tidak mempan. Diam-diam aku meminjam uang adikku sebanyak lima juta dan kubilang kepada istriku bahwa aku masih punya uang tabungan cadangan. Uangnya kupakai buat membeli perlengkapan dan bahan mie ayam, dan menyewa tempat selama tiga bulan. Hari pertama jualan mie ayamku tidak terlalu bagus. Hari kedua sedikit lebih baik. Hari ketiga hingga satu bulan masih sama saja. Barulah, di bulan kedua dan seterusnya kami sudah bisa menjual di atas dua puluh mangkuk per hari. Itu berkat masukan satu pelanggan supaya aku menambahkan ini-itu ke dalam bumbunya dan banyak-banyak berdoa. Aku menggratiskan semangkuk mie ayam setiap kali ia datang. Sebulan kemudian penjualan kami sudah tembus lima puluh mangkuk per hari. Di suatu malam ketika kami mensyukuri rejeki kami hari itu, aku berkata pada istriku, “Ini kan yang kamu inginkan?”

Pertanyaan itu mengingatkan kami waktu SMP, ketika kami bermimpi berkongsi untuk membuka restoran mewah. Kami tidak tahu menu apa yang disajikan di restoran mewah; dia memasukkan nama Galuh sebagai manajer keuangan, aku sebagai manajer marketing dan dia sebagai direkturnya. Aku protes. Itu bukan kongsi namanya. Aku seharusnya juga jadi pemegang saham. Yang punya restorannya. Kamu tetap jadi direkturnya. Dia setuju.

Di penghujung 2015 kami sudah mempunyai tujuh belas gerobak. Sekarang, kami sedang mengembangkan bisnis kami di kafe dan restoran seafood. Baru-baru ini kami membuka cabang mie ayam kami di Cikarang. Kami sudah punya puluhan karyawan dan dipusingkan laporan keuangan kami yang sedikit berantakan. Istriku bilang tidak usah mempermasalahkan kata ‘sedikit berantakan’ itu. Dia berkata begitu karena yang memegang keuangannya adalah keponakan kesayangannya yang baru lulus SMA.

Oktober 2018, aku membuka lagi akun facebook-ku setelah lima tahun tidak dibuka. Aku sudah melewatkan banyak peristiwa penting; reuni STM delapan bulan lalu, banyak ucapan selamat ulang tahun, beberapa berita kelahiran teman SMP dan berita kematian orang tua teman-temanku, termasuk ayah Galuh yang meninggal dua bulan lalu. Aku mengirim ucapan duka cita terlambat lewat facebook, dan membuka facebook setiap hari hanya untuk menunggu balasannya. Namun, setelah seminggu tidak ada balasan, aku mencoba untuk menelponnya.

Nomor ponsel di kartu nama Galuh, yang pernah diberikan istriku, tidak aktif. Aku mesti mencari nomor ponsel Yosa untuk mendapatkan nomor Galuh. Dan untuk mendapatkan nomor Yosa, aku menghubungi beberapa teman SMP-ku yang lain. Setelah satu bulan aku baru berhasil mendapatkan nomor ponsel Yosa. Aku menelponnya pada Ahad pagi setelah bersepeda dengan anakku. Dia sepertinya sedang sibuk dan mengajakku ketemu pekan depannya saat menemani suaminya menghadiri seminar kedokteran di JW Marriot Jakarta.

Aku tiba jam 10 pagi dan dia sudah menungguku di lobi. Aku kemudian dibawanya ngopi di kafe. Kami lumayan lama mengobrol, sampai cukup tahu tentang perjalanan hidup masing-masing selama dua puluh lima tahun terakhir. Ketika kami mengingat sorakan ciye-ciye itu, Yosa jadi merasa bersalah. Awalnya dia hanya memberitahu Weni dan memintanya untuk merahasiakan kalau Galuh diam-diam suka padaku. Aku tertawa kecil mendengarnya. Weni memang tidak bisa jaga rahasia, kataku. Namun, lanjutku, untuk beberapa alasan, aku bersyukur pernah jatuh cinta pada Galuh. Misalnya, aku jadi lebih suka menulis. Kemudian aku bertanya padanya, apa yang membuat Galuh jatuh cinta padaku? Yosa menjawab, katanya aku lucu. Kalau begitu, kataku, kamu seharusnya juga suka padaku, bukan? Tapi dia hanya tersenyum.

Kami berpisah menjelang jam 2 siang. Dia sengaja tidak bercerita banyak tentang Galuh, dibilangnya biar aku yang cari tahu sendiri.

Aku mengirimi Galuh pesan whatsapp pada Jumat jam setengah tujuh malam, berharap dia langsung menjawabnya dan aku bisa mengajaknya ketemu. Dia baru menjawabnya keesokan paginya. Aku menelponnya saat istriku sedang pergi belanja dan kami pun membuat janji temu. Aku agak kesulitan masalah ini. Meski istriku bukan tipe pecemburu, akan jadi masalah berat kalau dia tahu aku sengaja bertemu Galuh.

“Bagaimana kalau sore ini. Di Met Mal. Jam 4,” kataku.

Galuh menyanggupi. Aku kemudian bilang pada istriku kalau aku akan pergi ke rumah ibuku nanti sore.

Aku tiba di tempat parkir sepuluh menit lebih cepat dari perkiraan, tapi Galuh sudah datang duluan. Aku menelponnya sesaat setelah masuk mal, mataku mencari-cari wajahnya, dan menemukannya sedang menjawab teleponku di belakang bagian informasi. Aku melambaikan tangan, tapi dia tidak melihatku. Aku menghampirinya dengan berjalan memutar, dan membuatnya terkejut saat kusapa,

“Apa kabar?”

Dia nyaris tidak berubah, masih seperti perempuan yang dulu ingin kunikahi. Masih cantik, tidak bertambah gemuk seperti kebanyakan teman-temanku di SD dan SMP. Mungkin pernyataanku terdengar seolah aku sedang menyindir istriku, akan tetapi, sungguh, walaupun istriku terlihat sedikit gemuk, dia tetap lebih cantik dari Galuh.

“Baik,” jawabnya. “Kamu?”

“Baik juga.”

“Ini pasti Sarah, ya?” tanyaku, mencoba luwes.

Sarah memandangku tanpa menjawab. Lalu kulihat Galuh tersenyum.

Aku tadinya mau mengajaknya ngopi dan makan donat, tapi karena dia membawa putrinya, maka kuputuskan memilih antara makan ayam goreng, piza, atau bakso. Ketika kusampaikan pilihanku ke Galuh, dia pun bertanya pada Sarah. Sarah menjawab, “Makan piza aja, Ma.”

Kebetulan aku sudah lama tidak makan piza. Aku masih ingat letak restorannya yang di lantai 2, dekat bioskop, yang biasanya sangat ramai di hari Sabtu dan Ahad. Kami kemudian berjalan menggandeng tangan Sarah. Karena sama-sama masih canggung, kami hampir-hampir tidak bicara sepanjang perjalanan menuju restoran piza. Ketika naik ke tangga eskalator, Galuh mencoba memecah kebekuan dengan berkata, “Gimana kabarnya Ratna?”

“Ratna baik,” jawabku, yang tadinya ingin kuperpanjang jadi, ‘dia lebih gemukan sekarang’, tapi tidak jadi.

Di ujung tangga eskalator, kami mengangkat Sarah yang ingin melompati anak tangga terakhir. Saat menjejak kakinya di lantai, Sarah memandangi kami bergantian. Rupanya, apa yang kualami sekarang pernah kubayangkan dua puluh lima tahun lalu, yakni menikahi Galuh dan mempunyai anak, hanya saja bayanganku waktu itu anak kami laki-laki.

Begitu tiba di pintu masuk restoran, aku sempat ragu bisa dapat meja karena restoran sangat ramai, tapi lega begitu pramusaji bertanya, “Untuk berapa orang?” setelah kujawab tiga, dia membawa kami ke ruangan yang lebih dalam. Kami melewati serombongan keluarga yang akan meninggalkan restoran. Sarah berkali-kali melihat wajah ibunya dengan air muka gembira.

Kami ditempatkan di bagian keluarga. Di pojok ruangan ada mainan perosotan, seorang pramusaji membuatkan balon hewan untuk seorang balita. Dua anak laki-laki yang duduk tepat di depan kami berteriak-teriak, tapi tidak ada yang merasa terganggu. Sarah mengambil buku menu restoran yang disodorkan pramusaji, membolak balik halamannya seakan-akan tahu apa yang dipesannya, memandang ibunya sejenak dan berkata, “Mau pesan apa, Ma?”

Kecanggungan kami masih berlanjut di restoran. Sekitar lima menit pertama kami menyibukkan diri melihat-lihat menu. Aku ingin mengucapkan rasa duka citaku atas meninggalnya ayahnya, tetapi kupikir ucapanku di facebook sudah cukup. Aku memilih-milih pertanyaan yang sekiranya wajar untuk ditanyakan dan tidak terkesan kaku. Mungkin aku akan menanyakan kabar ibunya atau suaminya. Atau, mungkin pekerjaannya. Atau, bicara tentang diriku sendiri; tentang usaha kulinerku atau tentang keluargaku. Pada akhirnya aku memilih menceritakan pertemuanku dengan Yosa beberapa waktu lalu. Itu pun hanya sebentar. Kecanggungan ini sama seperti saat aku menulis surat pertamaku untuknya; tidak tahu apa yang harus ditulis, tapi begitu ditulis malah hal bodoh yang keluar.

“Ratna titip salam,” kataku, berbohong. Kalau dipikir-pikir aku bodoh bilang begitu. Mana ada istri yang mengizinkan suaminya ketemu mantan pacarnya. Tapi, Galuh kan juga temannya, jadi tidak mungkin istriku tidak akan mengizinkan. Aku kemudian memesan satu loyang piza yang paling besar, yang banyak kejunya. Sarah setuju. Katanya, dia juga suka yang itu.

“Jadi, gimana kamu bisa sampai nikah sama Ratna?” tanya Galuh.

“Aku tidak sengaja bertemu Ratna di sini. Tahun 2004. Ratna duluan yang menegurku. Kami bertukar nomor telepon, tapi dia tidak mengangkat waktu kutelpon beberapa kali. Dia sangat sibuk. Dia kerja di butik milik tantenya, sering pergi ke luar kota untuk pameran. Dia sempat buka butik juga, tapi belum setahun sudah tutup. Katanya, bukan passion-nya. Kami bertemu lagi tahun 2005, pacaran selama setahun. Putus-nyambung. Tahu sendirikan kami dulu sering bertengkar. Ketika kami akan putus untuk kesekian kalinya karena aku tidak bisa menemaninya pergi ke pesta pernikahan temannya, aku malah melamarnya. Tiga bulan kemudian kami menikah.” Lalu, aku gantian bertanya, “Bagaimana denganmu? Ketemu suamimu di mana?”

“Di kampus,” jawabnya. “Aku sudah bercerai.”

“Maaf.”

“Nggak apa-apa,” jawabnya pelan. Lalu dia melihat Sarah yang sedang menghitung harga-harga di menu lalu dikalikannya sendiri seandainya yang dipesannya jumlahnya sekian—dia menunjukkan lima jarinya—maka hasilnya sekian. Dia berseru,

“Betulkan Ma, yang harus dibayar 329.500?”

“Betul, sayang.”

Gadis kecil itu menarik perhatianku. Dia begitu cantik, periang, dan cerdas. Di usianya yang baru tujuh tahun kemampuan matematikannya seperti murid SMP. Galuh bilang itu lebih karena keingintahuannya dan memecahkan soal matematika. Dia sendiri lebih percaya kata kerja keras ketimbang bakat, demikian yang kuingat dia pernah mengatakannya dalam salah satu suratnya padaku.

Bicara tentang surat, aku sengaja membawa kartu lebaran yang pernah dikirimnya, yang kemudian kutunjukkan padanya. Tentunya, aku tidak bermaksud mengembalikannya. Aku tidak terpikir dia akan sedih saat mengingat masa-masa kami di SMP, dan faktanya wajahnya memang tidak menampakkan kesedihan, malahan dia terkejut melihat kartu lebaran tersebut masih bagus. Ketika piza kami datang, dia masih memandanginya, dan waktu dia mengembalikannya padaku, kulihat matanya sudah berkaca-kaca. Sarah yang sudah menghabiskan setengah potong piza-nya berkata, “Mama nangis?”

Yang barusan dibacanya itu kartu lebaran yang dikirimnya pada Januari 1999. Pada April 1999, dia mengirim surat, bercerita tentang masa-masa kuliahnya dan harapan semoga aku bisa melanjutkan kuliah. Tetapi, aku tidak membalasnya. Mei 2000, dia mengirim surat lagi, mengucapkan selamat ulang tahun untukku, dan bertanya, kenapa aku tidak membalas suratnya. Dia juga bercerita tentang rencananya melanjutkan S2-nya. Tetapi, lagi-lagi aku tidak membalasnya. Dua tahun berikutnya, aku tidak menerima surat, kartu pos, maupun kartu lebaran darinya. Hingga, pada bulan November 2002, aku menerima suratnya yang lain, surat terakhir darinya, mengabarkan dia baru saja diwisuda. Dia melampirkan foto wisudanya bersama kedua orang tuanya. Pada saat itu, kupikir dia sudah berada di tingkat yang jauh lebih tinggi dariku, yang hanya lulusan STM dan berkerja dengan gaji tidak seberapa. Tidak ada kabar lagi darinya setelah itu, aku pun sudah melupakannya.

Aku tidak seharusnya menunjukkan kartu lebaran itu padanya sehingga merusak pertemuan pertama kami setelah dua puluh lima tahun tidak bertemu. Bisa-bisanya aku begitu ceroboh hingga membuatnya terkenang masa-masa itu, ketika dia sangat berharap menerima surat balasan dariku. Akan tetapi, dengan senyumnya yang tulus, dia seakan tidak ingin membuatku merasa bersalah. Sikap itulah yang pernah ditunjukkannya bertahun-tahun lalu; menyembunyikan rasa suka, kecewa atau sebalnya padaku, dan menyimpannya sendiri. Dia masih melakukannya sampai sekarang. Demi putrinya. Dia menghapus air matanya dengan tisu, kemudian dipandanginya putrinya tersayang, diusapnya kepalanya dengan lembut dan berkata, “Mama nggak apa-apa, Sayang.”

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!