Manajer Muda

Ketika dimulainya kisah ini tokoh kita belum jadi manajer. Ia baru lulus dari ITB, usianya dua puluh dua tahun dan sedang mengawali karirnya sebagai seorang marketing di perusahaan Engineering Consultant milik asing. Sebetulnya, Marketing bukan posisi yang diinginkannya. Tadinya ia melamar sebagai Engineer, namun posisi itu sudah terisi. Ia pikir tidak ada salahnya jadi seorang marketing. Bukankah banyak orang-orang hebat mengawali karirnya dari marketing?

Tahun yang sulit, begitu ia menyebut satu tahun pertamanya bekerja, yang kemudian diucapkan lagi di tahun kedua. Barulah di tahun ketiga ia mulai tancap gas. Selama dua tahun berturut-turut ia berhasil melampaui target penjualan. Ia dipromosikan, melompati dua jabatan di atasnya, sebagai General Manager (GM). Sayangnya, jabatan GM-nya hanya sebentar, di tahun berikutnya ia terpaksa mengakhiri karirnya setelah perusahaannya bangkrut. Ia mengantongi hampir dua miliar dari uang pesangon, yang dibelikannya sebuah CRV Hitam dan sebuah rumah di daerah Selatan Bekasi.

Ia sempat menganggur selama dua bulan sebelum akhirnya memutuskan melamar ke sebuah perusahaan asuransi umum. Ketertarikannya bekerja di asuransi lebih karena kata Engineering untuk posisi Claim Engineering. Dalam bayangannya ia akan bertugas seperti investigator; menyelidiki klaim-klaim asuransi yang berhubungan dengan mesin-mesin pabrik. Namun, lagi-lagi situasinya sama dengan pekerjaan sebelumnya. Posisi tersebut sudah terisi, sementara satu-satunya posisi yang kosong saat itu adalah marketing. Ia pikir, tidak ada salahnya mencoba. Toh, ia pernah jadi marketing sebelumnya.

Bulan yang sulit, begitu yang dikatakannya di akhir bulan pertamanya bekerja. Ia mengatakannya lagi di bulan kedua dan ketiga. Bulan berikutnya ia terpaksa melepas status kepegawaiannya. Sekalipun begitu, bukan berarti ia mundur dari perusahaan. Direktur Marketing memintanya mengisi posisi di sebuah divisi yang sudah lama kosong, yakni Divisi Agensi. Seperti diketahui, bekerja sebagai agen berarti tidak digaji, sedangkan penghasilannya nanti berasal dari komisi penjualan. Itu pun kalau ada.

Direktur Marketing memberitahu, meskipun tanpa gaji, perusahaan memberikan target penjualan. Targetnya bukan dalam jumlah nominal, melainkan jumlah polis asuransi yang terbit dalam sebulan. Ia harus menjual 3 polis di bulan pertama, 5 polis di bulan kedua dan 10 polis di bulan ketiga. Seandainya target tiga bulan tidak tercapai, ia masih punya waktu tiga bulan lagi untuk memenuhi target enam bulannya: 100 polis.

“Tidak ada salahnya mencoba,” jawabnya. Meskipun ia orang yang optimis, untuk urusan jualan asuransi tingkat optimismenya diturunkan setengahnya.

Tidak ada perjanjian khusus yang harus ditandatangani, ia jadi satu-satunya staf agensi. Ia tidak perlu masuk setiap hari, ruang kerjanya terletak di lantai tiga, berbagi lantai dengan bagian klaim dan akunting. Keesokannya, ia diperkenalkan kembali di dalam rapat bulanan. Tidak ada presentasi, hanya menjanjikan akan membuat divisinya lebih baik. Tidak tahu kapan.

Ia hanya tahu yang harus dilakukannya di pekan pertamanya. Yakni menyusun strategi penjualan. Ia menulis total target di white board, kemudian memecah target enam bulanan menjadi target bulanan ditambah targetnya sendiri. Menurut hitungannya, paling tidak ia harus menjual 50 polis dalam waktu tiga bulan, dengan 50 polis per 3 bulan dilingkari spidol merah. Ia meninjau daftar prospek yang pernah dihubungi, lalu diseleksinya hingga akhirnya didapat 24 prospek baru untuk dihubungi.

“Selamat Pagi Pak Mul,” ia menelpon Pak Mulyono, seorang manajer keuangan di sebuah pabrik spare-part di Cikarang. Pak Mul pernah dikiriminya penawaran asuransi Industrial All Risks beberapa bulan lalu. Meskipun belum pernah bertemu, ia tahu Pak Mul orang yang ramah. Ia bahkan hampir saja presentasi di kantornya kalau saja Pak Mul tidak mendadak jatuh sakit. Siang itu, ketika ia menelponnya, Pak Mul baru sebulan masuk kerja. Ia senang Pak Mul masih mengingatnya. Tapi Pak Mul dengan menyesal mengabarkan bahwa perusahaan sudah memilih perusahaan asuransi lain.

Hari-hari berikutnya dilaluinya dengan menelpon, membuat surat penawaran dan melakukan presentasi. Selalu ada evaluasi setiap kali mendapat penolakan. Ia menyemangati dirinya dengan mengingatkan, bahwa berlian yang digalinya tinggal beberapa meter lagi. Yang ia harus lakukan hanya menggali, menggali dan terus menggali.

Akan tetapi, ada hari di mana ia merasa pesimis. Hari di mana ia tidak ingin melakukan apa-apa kecuali bersantai di rumah, atau nongkrong di kafe, atau pergi nonton. Biasanya hanya satu hari, karena setelah itu ia kembali ke kantor besoknya dengan wajah lebih segar. Tapi hari itu, sudah tiga hari ia tidak masuk kantor. Ia sedang nongkrong di kafe menikmati secangkir kopi hitam sambil menulis sesuatu di Macbook. Tidak ada panggilan dari kantor yang menanyakan kabarnya, hanya sebuah pesan WA dari seseorang yang merasa kehilangan dirinya.

“Tidak ada lagi pemandangan indah di ruang agensi,” kata Sekretaris Direksi yang cantik itu.

“Aku masuk kantor besok,” balasnya.

Hari Rabu pagi ia tiba di kantor, di papan white board masih tertulis jelas: 50 polis per 3 bulan yang dilingkari spidol merah. Ia menatap angka tersebut, menganggapnya terlalu sulit untuk dicapainya. Mungkin pekerjaan ini tidak cocok untuknya. Kalau dalam dua bulan ini ia tidak bisa mencapai target, maka ia akan mencari pekerjaan lain. Atau, mungkin ia akan memulai bisnisnya sendiri seperti dua teman kampusnya yang banting stir dari engineer jadi pengusaha kuliner. Ketika ia memikirkan bisnis apa yang akan dijalaninya nanti, ponselnya berbunyi. Mantan klien dari perusahaan sebelumnya menelpon, mengabarkan bahwa ia akan membuka pabrik di Karawang Barat dan membutuhkan seorang konsultan engineering. Pembicaraan yang seharusnya hanya seputar pemasangan mesin dan kelistrikan mulai merambah ke ranah asuransi ketika sang mantan klien mengeluhkan kargonya yang rusak di perjalanan laut.

“Padahal sudah diasuransikan, tapi tidak dijamin polis,” ujar sang mantan klien sedih.

“Mungkin sudah saatnya pindah asuransi,” sahutnya antusias. “Aku bisa membantumu.”

“Kalau begitu, datanglah ke kantorku besok siang.”

“Siap. Sekalian aku akan ajak underwriter-ku.”

Untuk diketahui, Underwriter itu bagian yang menganalisa risiko, yang menentukan apakah risiko itu bisa diterima dan diterbitkan polisnya, diterima dengan syarat tertentu, atau ditolak.

Pertemuan itu berlangsung hangat dan menyenangkan, presentasinya berjalan lancar, sang mantan klien pun berubah menjadi klien baru.

Kini tingkat optimisnya meningkat. Ia teringat pada kata-kata bijaksana waktu mengikuti seminar kepercayaan diri: Klien pertama itu ibarat batu lompatan. Betul saja, di bulan berikutnya ia mendapatkan satu klien baru dari referensi sang mantan klien tadi. Beberapa klien lainnya datang dari surat penawaran yang pernah dikirimnya. Setiap bulan kliennya kian bertambah. Pun dengan penghasilannya, yang sudah melampaui gajinya sebagai GM dulu. Ia menjual CRV-nya dan menggantinya dengan Camry. Sebutan Agen Asuransi di kartu nama berubah menjadi Agency Manager.

Meskipun diberikan keistimewaan bisa menentukan sendiri waktu kerjanya, Manajer Muda selalu masuk kantor setiap hari. Kini ia sudah punya tujuh agen untuk dibina dan pekerjaan administrasi yang menumpuk. Karena kesibukannya yang semakin meningkat, ia mengajukan mengajukan seorang asisten pada HRD. Namun, setiap kali ia meminta, HRD selalu memberikannya anak magang, yang durasi kerjanya hanya sebulan. Ia pun berinisiatif mencari sendiri asistennya dengan membuka iklan lowongan di Linkedin. Iklannya baru tayang satu hari dan ia sudah mendapat puluhan surat lamaran di email-nya. Setelah satu pekan ia mendapat orang yang diinginkannya.

Staf barunya seorang perempuan muda dengan lima tahun pengalaman sebagai Marketing Communication Officer di sebuah hotel, mampu berbahasa Inggris dengan baik secara lisan maupun tulisan, mahir membuat surat, dan belum terbebani dengan kebutuhan keluarga yang mendesak, alias masih single, demikian yang tertulis di Curriculum Vitae-nya.

Staf Baru beruntung dapat pekerjaan saat sedang membutuhkannya. Dari belasan surat lamaran yang dikirim, lebih dari setengahnya mendapat panggilan wawancara dan psikotes. Namun entah kenapa panggilan wawancara dari Manajer Muda yang datang belakangan lebih meyakinkan. Ini wawancara ketiganya dalam satu bulan, dia datang setengah jam sebelum wawancara dimulai dengan mengenakan setelan terbaiknya. Dia sangat berharap mendapatkan pekerjaan di sini mengingat kantornya mudah dijangkau dengan TransJakarta.

Wawancaranya berjalan singkat, Staf Baru bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Namun, dia kecewa ketika Manajer Muda mengatakan bahwa dia tidak bekerja langsung untuk perusahaan.

“Agensi yang akan menggajimu,” kata Manajer Muda, meskipun sebenarnya yang dimaksud agensi adalah dirinya. “Sebut saja angkanya.”

Staf Baru berpikir, seandainya gaji di tempat ini lumayan, maka dia akan mengambilnya. Dia sudah capek pergi wawancara dan mengerjakan soal psikotes. Terlalu banyak waktu dan uang yang dihabiskan untuk itu. Tanpa ragu dia menyebut angka yang menurutnya tidak kecil—jumlahnya satu juta lebih banyak dari gaji di perusahaan sebelumnya.

Okay,” jawab Manajer Muda mencatat gajinya di atas lembaran CV Staf Baru. “Anda juga akan dapat bonus, asuransi dan BPJS. Gaji, uang lembur dan bonus ditransfer setiap tanggal 25. Sudah punya nomor NPWP?”

Itu tawaran yang sulit ditolak. Dia langsung mengiyakan ketika Manajer Muda menanyakan kesanggupannya bekerja pekan depan.

*

Tugas utama Staf Baru adalah mengurus kebutuhan para agen, pekerjaan administrasi, mengatur keuangan, korespodensi dan menghubungi klien. Mejanya bersebelahan dengan ruang kerja Manajer Muda. Kursinya baru, kakinya saja masih dibungkus plastik. Dia punya telpon sendiri dan sebuah printer bersama yang diletakkan di meja kecil di samping kanan. Lemari kabinet berada di sebelah kiri, laci paling bawahnya mentok ke kaki meja jika dibuka penuh. Rencananya lemari itu akan jadi pusat arsip. Setiap peminjam akan dicatatnya di dalam buku besar. Setelah makan siang, dia meminta petugas cleaning service memindahkan kabinet tersebut sekalian mengatur ulang posisi mejanya.

Di pekan pertamanya Staf Baru sudah terbiasa dengan berbagai pekerjaan administrasi. Arsip-asrip sudah tersusun rapih berdasarkan abjad nama klien, setiap surat keluar harus mendapat nomor darinya. Dia juga membuat aplikasi pembukuan sederhana di excel untuk mengatur keuangan. Kesulitannya hanya mengikuti irama kerja Manajer Muda saat berurusan dengan klien. Seperti inilah yang dilakukannya di jam-jam kerja bersama Manajer Muda.

“Tolong telpon Pak Made dan bilang padanya kalau kita menyetujui diskonnya,” kata Manajer Muda.

“Baik, Pak,” jawab Staf Baru.

Setelah itu, “Okay, tolong siapkan bahan presentasi buat Pak Tomi.”

“Siap, Pak!”

Selanjutnya: “Laporannya …” “Tolong hitung ini …” … “Hubungi Bapak ini,” “… Terima kasih”, “Bagus”, “Buatkan presentasinya” … “OK” … “Pastikan polisnya sampai besok lusa,” … “Bantu saya cari file ini.”

Staf Baru menjawab: “Baik, Pak” … “Sudah saya hubungi, Bapak Jamal bilang terima kasih banyak,” … “Sudah selesai, Pak,” … “Salam dari Ibu Nina,” … “Ibu Ratih akan datang ke sini untuk pengajuan klaimnya,” … “Jam dua, Pak” … “Kemarin” … “Akan saya kerjakan, Pak.”

Mereka juga sibuk di jam-jam pulang kerja. Bedanya, saat itu suasananya jauh lebih tenang. Manajer Muda baru bicara ketika membutuhkan bantuan Staf Baru. Begitu juga dengan Staf Baru, yang tidak bicara jika Manajer Muda tidak bertanya padanya.

Setelah hampir satu bulan, Manajer Muda baru menyadari, bahwa ruangan itu terasa kaku. Ia merasa belum mengenal Staf Barunya secara personal. Pada Jumat malam itu Manajer Muda memutuskan menunda pekerjaannya untuk membuka obrolan dengan Staf Baru.

“Masih lama?” tanya Manajer Muda, berdiri bersandar di meja Staf Baru.

“Tinggal menyusun daftar polis yang akan diperpanjang dan ….”

“Seberapa lama?”

Staf Baru berhenti mengetik, lalu menoleh ke Manajer Muda dan berkata, “Kira-kira satu jam lagi.”

“Dilanjut besok saja,” ujar Manajer Muda, berpikir mungkin makan malam berdua akan membuat suasana lebih santai. “Aku pesan makan, ya?”

“Tidak usah, Pak ….”

“Aku sudah pesan Go-Food,” potong Manajer Muda. “Kamu suka mie gorengkan?”

Driver GO-Food datang lima belas menit kemudian membawa tiga kotak mie goreng dan dua botol teh manis. Staf Baru tahu restoran mie itu karena dia sering melewatinya. Dia pernah makan di sana satu kali, tapi itu sudah lama sekali. Dia bahkan sudah lupa rasanya.

Mie goreng itu masih hangat dikemas dalam kotak putih dengan logo bulat merah. Topingnya lumayan banyak dengan saus cair yang tidak terlalu pedas.

Di jam delapan petugas cleaning service pamit pada Manajer Muda. Manajer Muda menahannya sebentar untuk memberikannya mie goreng. “Buat bapak,” kata Manajer Muda. Manajer Muda memang sering memberikannya sesuatu. Biasanya kelebihan uang kembalian makan siang atau traktiran makan malam di Warung Nasi Padang samping kantor bersama satu petugas cleaning service yang lain.

“Pak Jaja sudah hampir lima belas tahun kerja di sini,” kata Manajer Muda sesaat setelah petugas cleaning service itu keluar ruangan. Mie goreng Staf Baru tinggal setengahnya lagi, porsinya terlalu banyak. Dia merasa tidak enak jika tidak menghabiskan. “Anaknya baru lulus SD,” sambungnya. “Rencananya mau lanjut ke pesantren di Ciamis.”

Staf Baru menyerah, dia tidak sanggup menghabiskan mienya. Manajer Muda yang memerhatikannya dari tadi berkata, “Kalau kamu tidak mau …” sambil menunjuk kotak mie Staf Baru.

Tentu saja Staf Baru merasa keberatan, dia berkata, “Jangan. Ini kan bekas saya.”

“Saya masih lapar,” kata Manajer Muda, menarik kotak mie milik Staf Baru perlahan.

Staf Baru membiarkan Manajer Muda mengambil dan menghabiskan sisa makanannya.

Sejak saat itu, di waktu-waktu tidak sibuk setelah jam kerja, Manajer Muda mengajaknya mengobrol. Obrolan itu lumayan membantu Staf Baru mengenal karyawan lain. Misalnya, tentang Manajer Purchasing yang baru saja bercerai itu, sehingga membicarakan kehidupan rumah tangga bahagia di depannya sangat tidak direkomendasikan. Atau, tentang kebiasaan Direktur Keuangan yang suka naik sepeda setiap Jumat dari rumahnya di Cibubur.

*

Untuk pertama kalinya Staf Baru menghadiri rapat bulanan agensi di awal bulan itu. Dia mencatat target sales selama satu bulan, strategi yang dipaparkan para agen dan poin-poin lainnya. Dia tidak perlu mencatat pujian yang diucapkan Manajer Muda di ujung rapat, yang disusul riuh tepuk tangan disertai ucapan terima kasih. Kehadiran Staf Baru yang baru sebulan benar-benar membantu Divisi Agensi. Sebagai penghargaan, Manajer Muda dan para agen patungan membelikan bingkisan untuknya—sebuah tas tangan Gucci—yang dititipi salah satu agen saat berlibur ke Singapura. Tas itu jadi hadiah paling mahal di sepanjang hidupnya.

Intensitas kerja Staf Baru di bulan keduanya melebihi bulan sebelumnya. Dua klaim di jarak yang berdekatan membuat seisi divisi tampak tegang. Klaim mobil mewah yang tidak dibayar membuat pemilik mobil marah besar. Kata deductible atau risiko sendiri sering diucapkan. Staf Baru tahu arti istilah tersebut dari Manajer Muda dalam sebuah kelas kecil bersama dua agen baru. Manajer Klaim memberikan penjelasan kepada pemilik mobil dengan hati-hati. Meskipun pemilik mobil akhirnya memahami, ia memindahkan asuransi mobil dan rumahnya ke perusahaan asuransi lain. Klaim kedua juga bermasalah di seputar istilah. Kali ini kata All Risks di dalam asuransi Marine Cargo. Jumlah klaimnya sampai dua ratus juta yang didapat dari selisih berat timbangan kargo tersebut. “Itu penyusutan alami, tidak dijamin dalam polis,” kata Manajer Klaim menunjuk pasal tersebut. Namun, pemegang polis tetap mempertanyakan istilah All Risks. Staf Baru belum tahu akhir cerita klaim tersebut, apakah dibayar atau tetap ditolak.

Di pertengahan bulan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan Divisi Agensi, terutama menyiapkan arsip untuk audit. Tadinya mereka berlima, dengan tiga orang agen yang membantu, tapi ketiganya sudah pulang sebelum jam delapan. Sudah dua kali Go-Food mengirim makanan, yang terakhir Manajer Muda memesan Takoyaki di jam sembilan. Namun Staf Baru tidak berniat untuk memakannya, dia akan membawanya pulang.

Mereka selesai kerja menjelang jam sebelas, Staf Baru baru saja melewati jam termalamnya di kantor. Dia pernah pulang lebih malam di perusahaan sebelumnya. Saat itu perusahaan menyediakan sopir untuk mengantarnya pulang. Dia senang ketika Manajer Muda menawarkan tumpangan ke rumah. Dia menyukai penampilan Manajer Muda dengan kemeja putih yang dikeluarkan dan lengan baju dilipat sehingga ia bisa memandangi lengannya yang berbulu sedang memegang stir. Tidak banyak obrolan di sepanjang empat puluh lima menit perjalanan.

Karena rumah Staf Baru terletak dalam kluster kecil, Manajer Muda tidak perlu mengantarnya sampai depan rumah.

“Kamu boleh datang siangan besok,” kata Manajer Muda. “Atau tidak usah masuk kantor.”

“Tidak apa-apa. Besok saya datang seperti biasa,” jawab Staf Baru. Dia membuka pintu mobil, tapi tidak segera turun. Dia memandang wajah Manajer Muda, dan mencium pipinya. “Terima kasih.”

Lampu di ruang tamu itu masih menyala, tapi tidak kelihatan ada yang menyambutnya pulang. Staf Baru melepas sepatu, meletakkannya di rak sepatu di samping pintu masuk. Dia diam sebentar di depan pintu, tangannya memegang gagang pintu, jantungnya masih berdegup kencang karena mencium Manajer Muda. Tetapi dia tidak menyesalinya. Dia membuka pintu dan menemukan suaminya sedang tidur nyenyak di atas sofa. Dia melangkah dengan hati-hati supaya tidak membangunkannya, menaruh tasnya di kursi santai di ruang tengah, kemudian pergi ke kamar untuk melihat bayi laki-lakinya yang akan berusia satu tahun bulan depan.

*

“Banyak hal yang tidak terduga dalam hidup ini,” kata Manajer Muda pada suatu sore. “Hal-hal yang kita inginkan atau tidak inginkan bisa datang tiba-tiba. Siapa sangka saya bisa kenal kamu. Tiba-tiba saja amplop lamaran kamu ada di atas meja. Tapi pasangan hidup tidak bisa datang tiba-tiba, bukan?”

Manajer Muda baru saja menanyakan pertanyaan yang sudah dijawab Staf Baru dalam kehidupannya—dia sudah punya suami dan tidak berencana untuk selingkuh. Tampaknya Staf Baru tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut karena Manajer Muda berkata, “Besok kamu ikut aku meeting di Kuningan.”

Mereka bertemu seorang direktur perusahaan pelayaran di sebuah restoran Thailand. Pertemuan itu hanya makan siang biasa sekaligus ajang temu kangen. Kebetulan Manajer Muda dan Direktur Pelayaran itu pernah kuliah di kampus yang sama, dan juga sama-sama penggemar Real Madrid. Direktur Pelayaran itu datang bersama lima orang stafnya. Manajer Muda memperkenalkan Staf Baru sebelum makanan pembuka datang.

“Dia membuat segalanya jadi mudah,” kata Manajer Muda. “Ada yang pernah dengar suaranya di telpon?”

Seorang wanita berkerudung biru di ujung kanan meja mengangkat tangan, dan menyahut, “Dia sangat ramah.”

Staf Baru tidak terlalu kesulitan mengingat perempuan itu. “Ibu yang menanyakan perpanjangan polis asuransi Marine Hull Senin kemarin, bukan?” tanya Staf Baru.

Wanita berkerudung biru mengacungkan jempol kanannya pada Staf Baru.

Pertemuan itu berlangsung hangat. Ketika para lelaki membicarakan sepak bola, para perempuan memutuskan mengatur kursi mereka supaya lebih dekat dan mengobrol tentang kosmetik. Di sela-sela obrolan itu, diam-diam Manajer Muda memerhatikan Staf Baru dan memujinya sebagai perempuan yang pandai menyesuaikan diri.

Mereka mampir ke sebuah kafe kecil sepulang dari meeting. Manajer Muda memesan secangkir kopi hitam, sementara Staf Baru memilih Thai Tea ukuran medium. Kafe itu masih baru, letaknya hanya lima puluh meter dari kantor. Manajer Muda terkesan dengan desain interior kafe yang sederhana dan pilihan musiknya. Hari-hari berikutnya, kafe itu menjadi tempat favorit mereka untuk mengobrol di sela-sela jam lembur atau pulang kerja. Pada saat itu masing-masing sudah terbiasa dengan panggilan sayang dan berciuman di dalam mobil.

Pada suatu sore di bulan Oktober Manajer Muda meminta pada Staf baru untuk menge-print laporan sales Januari-Juni. Staf Baru hanya butuh waktu lima menit untuk menyelesaikannya. Sebelum menyerahkan berkas tersebut, dia membuka ponselnya dan membaca pesan WhatsApp dari suaminya. Suaminya mengabarkan badan bayi mereka panas. Staf Baru terdiam sejenak, mencoba menenangkan pikiran. Ini memang bukan yang pertama kali bayinya sakit, tetapi tetap saja membuatnya cemas. Dia melihat jam sudut bawah layar komputer dan menjawab pesan suaminya. “Sebentar lagi aku pulang.” Setelah membereskan mejanya, dia melangkah ke ruangan Manajer Muda dan berkata, “Saya ijin pulang duluan.”

“Tentu,” jawab Manajer Muda. “Tapi tunggu sebentar.” Manajer Muda mengambil buku Chicken Soup for The Soul dari dalam laci meja dan memberikannya pada Staf Baru. “Ini buku bagus.”

Staf Baru bukanlah perempuan yang gemar membaca, tetapi dia tidak bisa menolak tawaran Manajer Muda. Dia bisa saja menyimpan buku itu tanpa membacanya. Jika Manajer Muda menanyakannya, maka dia akan menjawab bahwa isinya sangat menarik. Dia menyambut buku itu dan mengucapkan terima kasih.

Bayinya sedang tertidur saat dia tiba di rumah. Staf Baru berencana tidak masuk kerja besok kalau demam bayinya belum turun. Tetapi ketika suaminya bilang ia baru saja mengambil cuti tiga hari, Staf Baru memutuskan untuk masuk kerja besok. Dia akan datang ke kantor lebih pagi, mengerjakan pekerjaan lebih cepat supaya dia tidak perlu pulang malam.

Sayangnya dia malah jadi tidak lebih tenang di kantor. Suaminya mengatakan bayi mereka kena DBD. Staf Baru memandangi sebentar foto bayinya di layar komputer, kemudian mengirim pesan ke suaminya. “Aku keluar kantor sebentar lagi.” Jam menunjukkan pukul 17.15, Manajer Muda masih belum kembali dari rapat di luar kantor.

Manajer Muda balik ke kantor setelah jam tujuh malam, semua lampu sudah dimatikan. Ia seharusnya bisa langsung pulang sehabis rapat tadi, tetapi ada file lama yang harus ia lihat. Ia menyalakan komputer Staf Baru. Sudah lama ia tidak menggunakan komputer itu. Ia sedikit bernostalgia dengan melihat-lihat file lamanya, menemukan foto-foto perayaan ulang tahun perusahaan, tersenyum ketika melihat fotonya waktu ia disuapi potongan tumpeng oleh Sekretaris Direksi. Mungkin Staf Baru sudah melihatnya dan menyangka ia punya hubungan dengan Sekretaris Direksi. Ada sedikit perasaan tidak enak saat ia membuka folder milik staf baru. Di dalamnya berisi dokumen pekerjaan dan sebuah folder bernama ‘Alvin’. Ia membuka folder ‘Alvin’ dan menemukan beberapa foto bayi. Ia menyangka itu foto keponakan Staf Baru.

Staf Baru menunggui bayinya di rumah sakit semalaman. Suaminya baru datang menjelang jam 5.30. Staf Baru mencuci muka, mengganti pakaian di kamar mandi dan langsung pergi ke kantor naik Gojek. Dia tidak sempat sarapan, matanya mengantuk saat menghadiri morning session, membuatnya terpaksa minum kopi hitam. Manajer Muda bilang, “Tumben minum kopi” sewaktu minta bantuan membuatkan presentasi power point. Hari itu Manajer Muda kedatangan calon klien terbesarnya. Rapat akan dimulai jam satu siang, dihadiri juga oleh Direktur Utama, Direktur Teknik dan Direktur Marketing. Manajer Muda satu-satunya manajer yang hadir. Tadinya ia menginginkan Staf Baru yang jadi operator presentasi, tetapi Direktur Marketing sudah terlanjur meminta staf IT yang melakukannya.

Manajer Muda membawa semangkuk kue rapat dan meletakkannya di atas meja Staf Baru. Staf Baru, yang biasa menyimpan kue rapat ke dalam kotak makan siangnya untuk dibawa pulang, memakannya beberapa buah dan menyisakan untuk camilan nanti sore. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan WhatsApp masuk. Suaminya mengirim foto bayi mereka yang sedang diinfus. Semenit kemudian pesan lain menyusul, suaminya bilang trombosit bayinya semakin turun. Kata dokter itu memang biasa terjadi. Staf Baru juga mencemaskan biaya rumah sakit. Anak mereka belum masuk jaminan asuransi kesehatan di kantor suaminya, sementara asuransi kesehatan Staf Baru baru akan turun bulan depan. Masalahnya, dia tidak bisa mencantumkan nama anaknya dalam formulir asuransi kesehatan. Anda tahu sendiri alasannya.

“Yeni sudah datang?” tanya Staf Baru. Yeni itu adik bungsunya, yang diminta menjaga sebentar bayi mereka.

“Baru saja,” jawab suaminya.

“Aku pulang jam tujuh.”

Staf Baru sedang membereskan meja ketika Manajer Muda datang menghampirinya. Chicken Soup for The Soul ada di atas meja.

“Saya sudah membacanya,” kata Staf Baru menyodorkan bukunya.

“Buku itu buat kamu.”

Staf Baru mengucapkan terima kasih, lalu memasukkan bukunya ke dalam tasnya dan berkata, “Saya minta ijin tidak masuk besok.”

“Kenapa?”

Staf baru tidak menjawab. Ada air mata yang jatuh di pipinya, yang membuat Manajer Muda enggan mengulang pertanyaannya dan memilih menunggu Staf Baru menjawabnya.

“Anak saya sakit.”

“Apa?”

“Anak saya sakit. Kena DBD.”

Manajer Muda seakan tidak percaya apa yang barusan didengarnya. Akan tetapi, apa yang bisa dikatakannya? Bahwa, Staf Baru baru saja membuatnya kecewa? Bahwa, dia seorang pembohong?

Ruangan itu terasa sunyi dan beku. Manajer Muda teringat foto bayi yang tersimpan di komputer Staf Baru. Di folder bernama Alvin itu. Ia menghela nafas, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapi Staf Baru dan menyikapinya dengan bijaksana.

“Maafkan saya,” kata Staf Baru.

“Tidak apa-apa. Anakmu butuh kamu. Sekarang pulanglah.”

“Bapak tidak marah karena di CV saya …”

Manajer Muda menggeleng kepalanya. “Tidak. Saya tidak marah.”

Staf Baru mengambil tasnya, memandang wajah Manajer Muda dan berkata, “Terima kasih untuk bukunya. Buku itu jadi teman saya di rumah sakit.” Dia mencium pipi Manajer Muda, lalu berjalan meninggalkan ruangan.

Manajer Muda duduk di sudut meja kerja Staf Baru, di samping tumpukan berkas yang rapih. Staf Baru menyimpan pulpennya di dalam tabung silinder yang diletakkan di sebelah komputer, bersama stapler biru yang dicantolkan di tepiannya. Stapler itu diberi namanya dalam kertas yang dilapisi lakban bening. Manajer Muda sering meminjam stapler itu lebih karena ingin dekat dengan Staf Baru. Ia memang kecewa dengannya, tetapi ia harus menilainya secara profesional. Perempuan itu sudah bekerja keras dan profesional dan seharusnya bisa mendapatkan lebih dari kantor ini. Ia terpikir memberikannya tambahan bonus untuk bulan depan, segera mengurus BPJS-nya dan membelikannya laptop baru.

Di luar, angin membawa udara dingin ke dalam ruangan nan sunyi. Bunyi guntur terdengar pelan dan bersahutan. Manajer Muda melangkah ke jendela, memandangi Staf Baru yang baru saja melewati halaman parkir. Ia membayangkan suasana besok yang akan sedikit berbeda. Hubungannya dengan Staf Baru akan kembali ke awal, antara atasan dan bawahan. Bagaimanapun, ia masih mencintai perempuan itu, meski dengan cara berbeda.

*      *      *

Don`t copy text!