Persinggahan Terakhir

Aris bangun sebelum subuh, mengambil handuk di gantungan pintu, menyeret kakinya ke kamar mandi. Musim hujan membuat air jadi sedingin es, tetapi ia sudah terbiasa. Guyuran air mandi mengempas seekor kecoak ke atas tutup lubang pembuangan berkarat. Serangga itu berenang sebentar di atas genangan sebelum berhasil berlari keluar melalui celah bawah pintu kamar mandi. Sungguh, kecoak yang beruntung. Laki-laki itu akan menginjaknya sampai mati jika melihatnya.
Ia salat subuh di masjid. Kemejanya tidak disetrika, hanya digantung sehabis dijemur supaya tidak kusut. Celana panjangnya sudah dipakainya selama dua hari, kaus kakinya baru diganti setelah satu minggu dan ia tidak punya jadwal tetap mencuci sepatu. Hujan turun deras ketika ia meninggalkan rumahnya pukul 06.05.
Ia tiba di stasiun lima belas menit kemudian, memaksakan diri masuk ke gerbong yang penuh sesak, menyelinap sampai ke tengah. Satu tangan memegang palang bagasi cukup untuk kuat menahan tubuhnya dari desakan-desakan penumpang yang terus mengimpit. Ia berdiri dengan posisi seperti itu di sepanjang perjalanan, memandangi hujan, memikirkan hal yang sama seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya.
Ia tiba di kantor pukul 07.22 dengan pakaian yang setengah basah, menaruh payungnya di teras samping pantry, menyimpan tasnya di bawah meja kerja, mengganti sepatunya dengan sandal jepit. Berharap bisa membaca buku sebentar sebelum bekerja, tetapi beberapa catatan urgent di atas meja sudah menunggunya.
Ia ditempatkan di bagian fail sebagai staf yang melayani peminjaman, menyusun, mencatat dan merapihkan fail. Meski terdengar mudah, pekerjaan itu membutuhkan kesabaran, ketelitian dan kekuatan fisik. Dua belas permintaan pinjaman fail dilayaninya dengan cepat. Di jam-jam sibuk, yang biasanya dimulai pukul 08.30, belasan staf sudah mengantri untuk meminjam fail.
Ia tidak pernah mendahulukan yang datang belakangan meski mengatasnamakan manajer atau direksi—dan ia dihormati karena ketegasannya itu. Sementara untuk fail-fail yang sulit ditemukan, yang biasanya belum dikembalikan atau sudah berpindah meja, ia menyuruh mereka sendiri yang menjemputnya.
Pekerjaan yang berdatangan nyaris tanpa jeda membuatnya tidak bisa makan siang kalau ia tidak mengunci pintu ruang fail. Ia memang sering makan siang di dalam ruangan sempit itu, atau kadang-kadang sengaja mengunci dirinya di dalam hanya untuk beristirahat sejenak, dan membiarkan staf menunggu atau meninggalkan kertas permintaan di atas meja.
Dulu, di satu setengah tahun pertamanya bekerja, ia ditemani seniornya yang sudah empat tahun lebih dulu di sana. Dua tahun setelah itu seniornya dipindahkan ke bagian lain di lantai tiga, dan sejak saat itu ia bekerja sendirian. Sekarang, lamanya berkerja dibagian itu sudah hampir menyamai seniornya ketika pertama kali ia datang—dengan pekerjaan yang dua kali lebih banyak.
Waktu berjalan cepat di dalam ruangan itu, sangat tenang jika tidak ada yang mengganggunya. Hanya ada ia, pekerjaan dan lagu-lagu Sheila on 7. Ia hanya keluar untuk kencing dan salat asar, lalu setelah itu kembali tenggelam dalam pekerjaannya: menyusun, mencatat dan menata fail.
Kantor tutup pukul 17.00, tetapi ia punya jam pulangnya sendiri. Setelah mengambil fail untuk peminjaman besok, ia menunggu waktu pulangnya dengan membaca buku. Ia suka membaca buku sejak kuliah. Buku apa saja. Selama seminggu belakangan ia sedang berusaha menyelesaikan membaca novel bahasa Inggris pertamanya.
Pukul 17.28, petugas kebersihan datang untuk menyapu dan mengambil sampah di samping mejanya, dan mematikan lampu ruangan sebelah yang sudah kosong.
Ia pulang pukul 19.30, melanjutkan membaca buku di bus dan saat menunggu kereta. Meski gerbong tidak penuh dan ia dapat tempat duduk, keinginannya untuk membaca di kereta terhalang matanya yang lelah. Ia menghabiskan waktunya dengan memikirkan hal-hal yang sama seperti pagi tadi, kemarin dan hari-hari sebelumnya.
Ia lulusan sarjana hukum yang seharusnya bekerja di bagian legal atau semacamnya, bukan ditempatkan di dalam ruangan sempit. Namun, ia bukan tipe orang yang mementingkan diri sendiri. Ayahnya akan pensiun bulan depan, sedangkan satu adiknya masih kuliah dan satu lainnya masih kelas dua SMP. Akan sangat sulit jadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga jika mengandalkan pekerjaan yang sekarang, kecuali jika ia bisa mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik. Atau memulai bisnis. Hal-hal semacam itulah yang selalu dipikirkannya di sepanjang perjalanannya menuju kantor dan pulangnya.
Ia tiba di stasiun Bekasi pukul 21.11, bergerak meninggalkan stasiun bersama wajah-wajah lelah lainnya, disambut rombongan tukang ojek yang menawarkan jasa mereka di gerbang keluar, yang dilewatinya dengan mengangkat tangan sembari berkata, “Rumah saya dekat,” kemudian setelah itu ia menyeberang jalanan yang sedikit macet, berbelok dari jalan utama, menyusuri jalanan di belakang gedung-gedung nan gelap di samping sungai dengan barisan pohon-pohon rindang di sepanjang jalan yang dedaunannya bergemirisik ditiup angin, melewati parkiran gerobak pemulung dan deretan warung, berbelok menuju jalan utama di pertigaan kelima, menaiki tangga JPO, menyeberangi jalan raya yang lengang, lalu singgah sebentar di sudut sebuah ruko untuk membeli sepiring siomay.
Setidaknya, seminggu dua kali ia makan siomay di situ sepulang kerja. Atau tiga kali jika sangat kepingin. Meski tidak bisa dibilang jarang, ia tidak pernah kenal penjualnya atau muncul keinginan untuk mengobrol. Dengan harga sepuluh ribu untuk satu porsinya, ia mendapatkan rasa yang tidak kalah enak dari siomay Stasiun Cikini yang pernah disantapnya setahun lalu. Tidak ada lagi yang dipikirkannya selain menikmati setiap potong siomay, kentang, kol, tahu dan kesunyian tempat itu, di persinggahan terakhirnya, sebelum ia meneruskan perjalanan pulangnya yang tinggal beberapa ratus meter lagi.
* * *
fail/fa·il/ n 1 rak untuk menyimpan dokumen; 2 dokumen