Menjenguk Pak Hidayat

Satria memarkir sepeda motornya agak jauh dari sekolah, menyelinap masuk ke gedung sekolah lewat pagar pintu belakang, kemudian pergi ke kantin. Nasi uduk di bakul mengeluarkan asap tipis, ibu kantin sedang menggoreng tahu isi. Ia memesan kopi hitam, duduk di atas bangku kayu, mengambil sepotong bakwan, memakannya dengan cabe rawit.

“Kamu bolos?” tanya ibu kantin, heran melihat Satria tidak mengenakan seragam sekolah. Dia mematikan api kompor, mengangkat tahu isi dari wajan, meniriskannya sebentar, menaruhnya di atas piring.

Satria terkekeh, bibirnya mengilap karena minyak goreng. “Saya ke sini hanya untuk mengambil titipan buat Pak Hidayat.”

Ibu kantin tersenyum. “Alhamdulillah, akhirnya ada yang jenguk beliau.”

Ibu kantin kenal betul Pak Hidayat. Guru bahasa Indonesia itu biasa makan di kantin sekolah dan mengobrol dengannya. Tidak banyak guru yang makan di kantin sekolah sejak para guru punya kantin khusus di ruangan ber-AC.** Selain murid-murid, yang biasa makan di kantin sekolah adalah para pegawai honorer. Pak Hidayat juga guru honorer.

“Kamu pergi sendiri?” tanya ibu kantin, menaruh kopi hitam pesanan Satria di meja.

“Iya,” jawab Satria.

Ibu kantin mengambil dompet dari dalam tas, dikeluarkannya selembar uang seratus ribu, diberikannya kepada Satria. “Titip buat Pak Hidayat.”

Jumat sore itu sepeda motor Pak Hidayat terjun ke parit setelah tersenggol pengendara sepeda motor lain. Cedera parah membuatnya tidak bisa mengajar untuk waktu yang lama. Kabar kecelakaan itu diumumkan hari Senin pagi oleh Pak Kepala Sekolah pada saat upacara bendera. Murid-murid sedih mendengarnya, mengingat Pak Hidayat guru yang baik. Usai upacara bendera, pengurus OSIS berinisiatif datang ke setiap kelas untuk mengumpulkan uang sumbangan. Besoknya uang sumbangan sudah terkumpul. Uang itu rencananya akan diserahkan kepada Pak Hidayat hari Rabu. Tetapi sampai hari Rabu, belum diketahui siapa yang akan mengantarnya. Pun setelah ditunggu sampai hari Kamis. Pengurus OSIS, guru, dan staf sekolah saling tunjuk.

Tampaknya Pak Hidayat butuh lebih dari sekedar jadi guru baik. Rumah yang berjarak tidak kurang dari 50 km, melewati jalur macet dan perkampungan, ponsel tidak aktif, dan tidak ada yang pernah berkunjung ke sana sebelumnya jadi pertimbangan mereka untuk tidak menjadi sukarelawan. Terdengar sangat merepotkan, apalagi uang sumbangan dan barang titipan lainnya mesti diantar di pekan yang sibuk—dengan kunjungan pejabat penting.

Pak Kepala Sekolah kecewa saat tahu uang sumbangannya belum juga diantar, meskipun ia juga memaklumi alasan guru dan staf sekolah tidak bisa mengantarnya. Karena itu beliau menugasi Ketua OSIS untuk mencari murid yang bersedia pergi ke rumah Pak Hidayat.

“Yang menjenguk Pak Hidayat akan dapat dispensasi tidak masuk kelas, ongkos, uang makan, dan nilai tambahan di pelajaran Bahasa Indonesia!” kata beliau, yang diteruskan pengurus OSIS ke tiap-tiap kelas.

Sayangnya, sayembara itu sama sekali tidak menarik bagi murid-murid. Bahkan, ketika ongkos perjalanan ditambah dua ratus ribu lagi. Kasihan Pak Hidayat. Namun, ketika semua orang mengira tidak akan ada yang pergi menjenguk Pak Hidayat dan berpikir uang sumbangan itu akan diberikan nanti ketika Pak Hidayat masuk, seorang murid akhirnya mengajukan diri.

“Biar saya saja yang pergi,” katanya.

Kita sudah mengenal murid itu sebagai Satria. Ia memang yang paling diharapkan pergi ke rumah Pak Hidayat, karena ia dianggap murid yang tidak akan rugi jika tidak masuk kelas. Semua tahu ia sering terlambat masuk kelas dan kadang-kadang bolos. Tetapi, entah kenapa ia diam saja ketika Ketua Osis mendatangi kelasnya. Mungkin ia menunggu hingga tidak ada seorang pun yang mengajukan diri. Atau, mungkin ia punya harga tawar. Karena ia melanjutkan, “Tapi dengan satu syarat. Saya minta tambahan libur lusanya.”

“Setuju!” kata Pak Kepala Sekolah.

Pak Hidayat sudah tujuh tahun mengajar Bahasa Indonesia di SMA itu. Usianya empat puluh enam, tinggi dan kurus, rambutnya yang tebal selalu tersisir rapih. Ia biasa memakai kemeja bergaris-garis, celana berwarna gelap dan dasi biru muda—satu-satunya dasi yang dipunyanya. Ia dianggap baik karena tidak pernah marah atau menghukum murid-muridnya, dan amat jarang memberi PR. Meski begitu, bagi sebagian murid, ia malah dianggap kurang baik. Memang, selalu ada murid-murid yang seperti itu di setiap sekolah, bukan? Dalam hal ini, Pak Hidayat tidak pernah memberi kisi-kisi soal ujian dan sering memberikan nasihat yang membuat mereka mengantuk.

Bagaimanpun, Pak Hidayat punya kontribusi yang tidak sedikit pada sekolah. Selama empat tahun terakhir ada dua atau tiga muridnya yang memenangi lomba menulis—fiksi maupun non-fiksi. Prestasi-prestasi itu menyelamatkan wajah sekolah dari penurunan prestasi di bidang lain, terutama eksakta, yang biasanya punya wakil dalam Olimpiade Matematika dan Sains di berbagai tingkat.

“Pak Hidayat mengajar bagaimana seharusnya pelajaran bahasa Indonesia diajarkan,” Pak Kepala Sekolah memuji Pak Hidayat di hadapan para guru. Karena itu, beliau memintanya untuk membuat workshop tentang metode mengajarnya yang bisa diterapkan di pelajaran-pelajaran lain. Workshop itu diadakan di hari Sabtu yang seharusnya libur, yang membuat guru-guru terpaksa membatalkan rencana akhir pekan mereka.

Meski Pak Hidayat menyampaikan materinya dengan antusias dan tidak membosankan, ada beberapa guru yang menganggap Pak Kepala Sekolah terlalu berlebihan memuji Pak Hidayat. Mereka adalah guru-guru di bidang eksakta, yang menganggap bahwa pelajaran eksakta lebih unggul dari non-eksakta. Menurut mereka, tidak seharusnya guru non-eksakta, apalagi guru Bahasa Indonesia, mengajari guru-guru eksakta. Makanya, usai workhsop itu, mereka sering menyindir Pak Hidayat.

“Lihatlah! Pujangga kita baru selesai mengajar,” kata Pak Jeki, guru Matematika.

“Puisi karya siapa yang dibaca hari ini?” kata Pak Kurdi, guru matematika yang lain.

*

Upacara bendera baru saja selesai, dilanjutkan dengan acara serah-terima uang sumbangan dan bingkisan buat Pak Hidayat. Satria pun dipanggil.

“Satria, silahkan maju ke depan.”

Letak kantin yang agak jauh di belakang membuat suaranya terdengar samar-samar. Kalaupun terdengar jelas, Satria merasa tidak perlu menanggapinya. Ia tidak punya kepentingan untuk berada di lapangan upacara. Kepentingannya datang ke sekolah hanya untuk mengambil titipan buat Pak Hidayat di ruang guru jam sembilan nanti, seperti yang dikatakan Ketua OSIS kepadanya lewat pesan WhatsApp tadi malam.

Setelah beberapa kali dipanggil dan tidak ada jawaban, Pak Kepala Sekolah meminta penjaga sekolah untuk mencarinya. Penjaga sekolah, yang berdiri di koridor, dengan sigap memberi hormat. “Siap bos!” katanya lantang, yang membuat murid-murid tertawa.

Sebentar kemudian yang dinanti-nanti pun muncul. Satria berjalan dengan percaya diri. Ia mengenakan kaus hitam, celana jins, dan topi kupluk. Penjaga sekolah yang berjalan di sampingnya seakan-akan menjadi pengawalnya. Tidak ada murid-murid yang menyoraki seperti biasanya. Hari itu memang bukan yang pertama kali ia dipanggil saat upacara bendera. Ia sudah pernah tiga kali dipanggil sebagai contoh murid yang tidak patut dicontoh; dua kali jadi murid paling sering terlambat dan satu kali jadi murid berpakaian paling tidak rapih. Tetapi hari itu, seperti namanya, ia dianggap sebagai seorang kesatria.

Acara serah-terima itu, meski tidak tidak lebih lama dari upacara bendera, membuat murid-murid gelisah, terlebih matahari bersinar sangat terik. Itu karena Pak Kepala Sekolah memberi kata sambutan (lagi). Beliau memuji Pak Hidayat sebagai guru yang rajin, disiplin, tidak pernah absen, dan sangat peduli kepada murid-muridnya—ucapan yang sepertinya menyindir rekan-rekan gurunya yang santai dalam mengajar. Dan setelah sekitar sepuluh menit bicara tentang Pak Hidayat, beliau menyerahkan kepada Satria sekantong buah-buahan, amplop berisi uang sumbangan beserta kartu ucapan semoga lekas sembuh, dan uang lima ratus ribu untuk ongkos perjalanan.

Satria mengucapkan terima kasih (kepada banyak orang) dan berharap semoga ia bisa sampai di sana dengan selamat—yang sengaja diucapkannya dengan bertele-tele supaya teman-temannya bertambah capek karena terlalu lama berdiri.

Pak Kepala Sekolah, beberapa guru dan pengurus OSIS mengantarnya sampai ke lobi. Mereka melambaikan tangan ketika Satria melangkah keluar menuju tempat parkir sepeda motor. Guru Bahasa Inggris bertanya kepada Ketua OSIS, “Bagaimana bisa Satria pergi ke sana dengan sepeda motor butut?” Yang dimaksud Honda Astrea Prima yang biasa dibawa Satria ke sekolah. Ketua OSIS mengangkat bahu, berkata, “Semoga saja ia bisa sampai tujuan dengan selamat.”

Tetapi Satria tidak memarkir sepeda motornya di situ. Ia berbelok ke kantin, keluar lewat pintu belakang, lalu pergi ke kios foto kopi, tempat ia memarkir sepeda motornya—ia tidak naik Astrea Prima-nya karena akan menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Ia membuka tas ranselnya dan memeriksanya, memastikan titipan untuk Pak Hidayat dan air minumnya ada di dalamnya, kemudian berpikir, kenapa ia tidak masuk sekolah sampai hari Jumat supaya hari liburnya jadi semakin panjang? Bilang saja ia masih lelah. Sekolah pasti akan memakluminya.

Perjalanannya seharusnya lancar kalau saja Google Maps tidak membuatnya tersesat. Namun, bukannya bertanya, ia malah mengandalkan instingnya. Ia memang sering mengandalkan instingnya dalam berbagai hal, seperti menjawab soal ujian, membeli sesuatu, atau memilih jalan saat tersesat. Instingnya biasanya bisa diandalkan. Kecuali saat ujian.

Kali ini instingnya mengatakan ia harus mengambil jalan yang belum pernah dilaluinya. Ia mengikuti pesepeda motor lain yang terlihat hapal jalanan. Keduanya memasuki jalan setapak, menyusuri pematang sawah kering, menyeberangi kali, melewati kebun dan perkampungan. Ketika pesepeda motor di depannya sudah sampai tujuannya, Satria terus melaju dan tiba di perempatan pasar yang belum dilewatinya. Tidak ada plang penunjuk arah di sana, tetapi ia tidak khawatir. Ia berbelok ke kanan, kemudian setelah itu lurus hingga ketemu jalan beraspal bagus, yang seingatnya pernah dilaluinya setengah jam lalu.

Pada akhirnya ia menyerah pada instingnya dan memutuskan untuk bertanya. Ia baru turun dari sepeda motor ketika seorang pria lima puluh tahun berkopiah putih datang menghampirinya dan berkata, “Lagi cari alamat?”

Pria itu seorang penjual kelapa muda yang rupanya sudah memperhatikannya sejak ia pertama kali lewat di depan kiosnya—Satria sudah empat kali lewat di depan kios itu.

“Iya,” jawabnya, menunjukkan alamat di catatan ponselnya.

Dengan ramah dan jari mengapit rokok, pria itu menunjukkan jalan yang mesti dilaluinya, membuat Satria menyesal, mengapa ia tidak bertanya saja dari tadi. Ia mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, lalu pergi ke arah yang ditunjuk. Tidak sampai lima menit ia tiba di gerbang kampung tempat Pak Hidayat tinggal. Ia bertanya kepada satu orang lagi sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan.

Rumah Pak Hidayat bercat hijau, tanpa pagar dan berhalaman luas. Pintu rumah terbuka, tetapi tampak sepi. Suzuki Smash yang biasa dipakai Pak Hidayat terparkir di dekat jemuran.

“Pastinya melelahkan pergi sejauh ini dengan sepeda motor itu,” ia berkata dalam hati.

Tetapi Pak Hidayat tidak setiap hari pulang ke rumah. Ia tinggal di rumah kos milik Pak Kepala Sekolah tidak jauh dari sekolah. Ia pulang ke rumahnya setiap Jumat atau satu hari sebelum hari libur. Ia dekat dengan Pak Kepala Sekolah karena mereka pernah bekerja di sekolah yang sama. Pak Kepala Sekolah mengajaknya mengajar di sekolah yang dipimpinnya dengan harapan Pak Hidayat bisa segera diangkat menjadi PNS. Meski kenyataannya sudah hampir tujuh tahun tidak juga diangkat jadi PNS, Pak Hidayat tidak menyesali keputusannya.

Satria membuka helmnya, lalu berpikir sebentar. Kalau saja tidak tersasar, ia mungkin sudah tiba di rumah Pak Hidayat satu jam lalu dan bisa mengobrol lebih lama dengan Pak Hidayat. Namun, ia tidak ingin kunjungannya hanya sekedar mengantar uang sumbangan. Sudah lebih dari sepekan Pak Hidayat tidak mengajar, pastinya Pak Hidayat sangat merindukan sekolah. Satria merasa, paling tidak kehadirannya bisa menjawab pertanyaannya seputar kabar sekolah—walaupun ia bukan orang yang diharapkan datang. Jadinya, ia tidak masalah jika nanti pulangnya lebih sore atau malam sekalipun.

Ia turun dari sepeda motor. Saat berjalan memasuki halaman rumah, ia melihat lampu depan sepeda motor Pak Hidayat yang pecah. Ia mengucap salam dari tepi teras. Seorang wanita berkerudung biru muda muncul dan berdiri di ambang pintu, menjawab salamnya. Perempuan itu bernama Ibu Esih, istri Pak Hidayat.

“Saya Satria, murid Pak Hidayat,” kata Satria memperkenalkan diri. “Bapak ada?”

“Ayo masuk. Duduk di dalam,” kata Ibu Esih ramah. “Tunggu sebentar, Ibu panggilkan Bapak.” Dia menyalakan kipas angin berdiri, lalu pergi ke belakang.

Satria menaruh helmnya di meja teras, melepas sepatunya, menaruhnya di bawah jendela. Ia duduk di kursi kayu dengan bantalan duduk yang nyaman. Tas ranselnya ditaruh di lantai bawah kakinya. Pandangannya menyisir ruang tamu yang luas, bersih, dan dinding yang nyaris polos. Titik-titik matahari berkerlip-kelip di celah-celah genteng, kayu-kayu kokoh menopangi atapnya yang lebar. Sebuah buku dan kaca mata tergeletak di atas meja kayu jati.

Ia ingat Pak Hidayat pernah membaca buku itu di kantin. Pak Hidayat memang suka membawa buku-buku miliknya ke sekolah untuk direkomendasikan kepada murid-muridnya saat mengajar. Sesekali ia sengaja meninggalkan bukunya di atas meja supaya ada murid (atau guru lain) yang membacanya, dan kembali setelah jam pulang untuk mengambilnya, mengatakan, “Bapak lupa buku Bapak ketinggalan.”

Ibu Esih kembali dengan membawa segelas sirup dingin dan kue di piring plastik. “Bapak lagi siap-siap,” katanya, duduk di kursi di hadapannya. “Tadi habis baca buku Bapak langsung tidur.”

Satria melirik buku di atas meja, berkata. “Saya jadi tidak enak, sudah ganggu waktu istirahat Bapak.”

“Tidak apa-apa. Memang sudah waktunya bangun. Lagi pula Bapak juga belum makan siang. Ayo diminum.”

Satria meminumnya dua teguk, mengambil sepotong kue, dan memakannya. Ibu Esih menunggu Satria menghabiskan kuenya sebelum mulai bercerita tentang kecelakaan yang menimpa suaminya. Dia mengatakan bahwa dia dikabari malamnya dari rumah sakit. Keesokan paginya dia baru pergi ke rumah sakit bersama putri bungsunya diantar Pak Kepala Desa.

“Alhamdulillah, banyak orang yang menolong Bapak. Bapak langsung dibawa ke rumah sakit. Motornya diangkut mobil pikap ke rumah. Sekarang Bapak sudah jauh lebih baik. Sudah tidak pangkai tongkat. Mungkin kalau tidak ada kejadian ini, Bapak tidak mempertimbangankan buat pensiun.”

“Pensiun?”

“Bapak memang senang mengajar. Setengah umurnya buat mengajar. Sudah lama Bapak dibujuk buat berhenti, tapi Bapak bersikeras tetap mengajar. Bapak bilang Bapak senang lihat murid-muridnya berhasil. Bapak sering menunjukkan foto murid-muridnya yang juara lomba. Jadi ini bukan masalah Bapak yang masih jadi guru honorer. Bukan masalah uang.”

Satria sedikit banyak tahu tentang keluarga Pak Hidayat dari ibu kantin. Waktu Ibu Esih mengatakan bukan masalah uang, pastinya anak pertama Pak Hidayat yang membantu membiayai keperluan keluarganya. Anak pertama Pak Hidayat baru diterima bekerja di Kementrian Luar Negeri. Sekarang saja, kata ibu kantin, ia sedang berdinas di Inggris. Tetapi Ibu Esih tidak bercerita tentang anak pertamanya. Tidak juga bercerita tentang anak keduanya yang berkuliah di ITB. Dia hanya sedikit bercerita tentang anak bungsunya yang lebih membutuhkan perhatian dari ayahnya.

“Padahal, si bungsu lagi menulis novel pertamanya,” kata Ibu Esih.

Mereka bangkit begitu melihat Pak Hidayat datang. Pak Hidayat berjalan agak pincang, bekas luka di bibir dan dahinya yang masih kentara, tetapi wajahnya penuh senyum. Ia memakai baju koko putih, sarung, dan kopiah putih. Satria menyalaminya dan mencium tangannya, berkata, “Apa kabar, Pak?”

“Alhamdulillah, baik,” jawab Pak Hidayat, mengusap kepala Satria seperti mengusap putranya sendiri yang lama tidak bertemu. Ia lalu memandangi wajah muridnya itu dengan rasa tidak percaya. Ia memang tidak berharap ada muridnya yang berkunjung, atau bahkan rekan gurunya sekalipun, karena itu akan menyusahkan mereka.

“Kamu datang sendiri? Tadi susah tidak cari rumah Bapak? Ayo duduk, dihabiskan kuenya.”

Pak Hidayat membaca bismillah sewaktu turun untuk duduk, dan membaca alhamdulillah ketika sudah duduk. Ia duduk dengan kaki kanan yang tidak ditekuk. Ibu Esih, yang merasa tugasnya sudah selesai, tidak ikut duduk, dia pamit pergi ke belakang.

“Tadi saya sempat nyasar, Pak,” kata Satria, tertawa kecil.

Pak Hidayat tersenyum, berkata, “Maklum saja, rumah di kampung.”

“Ini jadi pengalaman baru. Saya jadi tahu jalan daerah sini.” Ia membuka tasnya, mengeluarkan amplop uang sumbangan dan bingkisan buah, dan menyerahkannya kepada Pak Hidayat.

“Terima kasih. Maaf sudah membuat kalian repot,” kata Pak Hidayat menerimanya. Ia memandangi bingkisan dan amplop itu dengan mata yang berkaca-kaca sebelum menaruhnya di kursi di sampingnya.

“Tidak apa-apa, Pak.”

“Bagaimana kabar sekolah?”

Satria mengatakan bahwa Pak Pandu yang menggantikannya selama ia tidak masuk. Dibilangnya guru itu lebih banyak melucu.

Pak Hidayat tertawa. “Pak Pandu memang begitu. Kamu tahu, ia pernah lolos audisi stand-up comedy.”

Satria belum pernah melihat Pak Hidayat tertawa lepas seperti itu. Untuk sesuatu yang lucu, Pak Hidayat biasanya tertawa pelan. Atau hanya tersenyum. Satria jadi ikut senang, apalagi hari-hari terakhir Pak Hidayat di sekolah terasa sangat berat.

Pak Hidayat jadi orang yang disalahkan guru-guru eksakta karena mereka tidak menemukan buku-buku eksakta dari ratusan buku hibah untuk perpustakaan sekolah. Pak Hidayat memang yang berinisiatif mengajukan penambahan buku untuk perpustakaan sejak tahun pertamanya mengajar. Setiap tahunnya, ia bisa tiga sampai empat kali menulis surat pengajuan kepada pemerintah daerah maupun mengirim proposal kepada perusahaan swasta dan BUMN. Tetapi ia tidak pernah sekalipun mengajukan syarat bahwa buku itu harus buku fiksi. Ia bahkan tidak tahu salah satu suratnya mendapat jawaban positif dari sebuah perusahaan migas PMA.

Pak Hidayat kemudian terdiam. Tampaknya perasaan bersalah itu masih menggelayuti pikirannya. Bagaimana tidak? Kejadian itu membuat murid-murid terpecah menjadi dua kubu. Selama hampir sebulan sekolah diributkan dengan perseteruan dingin: Eksakta vs Non-Eksakta, mana yang lebih baik? Satria masih ingat apa yang dikatakan Pak Jeki, guru Matematika, kepada murid-murid saat mengajar di kelasnya.

“Kenapa semuanya buku-buku fiksi? Apakah kalian akan terus dicekoki cerita-cerita khayalan?”

Tetapi, pada akhirnya, kecelakaan yang menimpa Pak Hidayat membuat perseteruan itu mereda. Mungkin untuk sementara. Ada rumor yang mengatakan bahwa, kecelakaan itu memang disengaja dan kemungkinan besar pelakunya guru eksakta atau murid jurusan IPA.

Satria sebetulnya ingin mengangkat rumor tersebut jadi bahan obrolan, akan tetapi Pak Hidayat bukan tipe orang yang menyalahkan siapa-siapa. Bahkan seandainya Pak Hidayat tahu bahwa kecelakaan yang menimpa dirinya malah membuat perseteruan itu mereda, ia malah akan sangat bersyukur.

“Saya sudah baca novel ini, Pak,” kata Satria, mengambil buku di atas meja, menunjukkannya kepada Pak Hidayat. Untuk lebih meyakinkannya, atau membuatnya terkesan, ia menceritakan sedikit isi buku tersebut, memberitahu bagian-bagian yang menarik, tentang penulisnya dan buku-buku lain yang ditulisnya serta penghargaan yang sudah didapatnya.

“Bapak tidak tahu kamu suka baca novel.”

“Sebetulnya saya lagi belajar baca novel, Pak,” kata Satria merendah. “Ternyata asik juga.”

Ia bukan bermaksud pamer ketika menyebut beberapa novel yang sudah dibacanya, kecuali berpikir Pak Hidayat akan senang jika mereka mengobrol tentang buku. Ia sudah membaca empat novel selama sebulan terakhir, jumlah paling banyak sejak mulai membaca buku-buku fiksi tiga bulan lalu. Sekarang ia sedang menyelesaikan membaca The Count of Monte Cristo.

Setengah jam kemudian, di atas meja sudah tergeletak beberapa buku yang diambil Pak Hidayat dari rak buku—yang dengan senang hati akan dipinjamkan kepada Satria. Mereka menjeda obrolan seru tentang buku untuk makan siang. Ibu Esih masak tempe, ikan asin, sambal, aneka lalapan, dan kerupuk. Mereka makan bertiga. Tanpa sendok, tanpa garpu. Setelah makan siang Satria bertanya kepada Pak Hidayat soal pensiun yang dikatakan Ibu Esih. Ibu Esih yang duduk di sampingnya juga menunggu jawabannya. Jawaban itu tentunya untuk memastikan apakah Pak Hidayat akan benar-benar pensiun atau tidak.

Namun, belum sempat Pak Hidayat menjawab, terdengar suara salam dari ambang pintu. Yang mengucapkannya seorang gadis berkerudung putih dan berpakaian seragam putih. Satria sebetulnya sudah memperhatikan gadis itu sejak dia melangkah memasuki halaman rumah.

“Wa’alaikum salam,” jawab Pak Hidayat dan Ibu Esih bersamaan, sementara Satria menjawabnya belakangan dan pelan.

Gadis itu melepas sepatu dan kaus kaki, menaruhnya di rak sepatu berjejer dengan dua pasang sepatu lain. Dia mencium tangan Pak Hidayat dan Ibu Esih, dan sembari tersenyum dia menangkupkan tangannya di depan Satria. Satria melakukan hal yang sama.

Satria memperhatikan wajah cantiknya dan menikmati suaranya yang lembut saat dia bicara dengan Ibu Esih, sambil mengingat-ingat bahwa dia gadis yang sama yang sedang membaca buku di lobi sekolah di Rabu pagi. Dari penjaga sekolah ia tahu gadis itu adalah putri Pak Hidayat.

“Ini Annissa, si bungsu,” kata Pak Hidayat memperkenalkan gadis itu kepada Satria.

Satria menyodorkan tangannya kepada gadis itu dan memperkenalkan dirinya. “Satria,” ia berkata. Tetapi gadis itu menangkupkan tangannya lagi. “Annissa.”

Annissa, nama itu akhirnya melengkapi wajah yang sudah melekat di kepala Satria selama ini.

Satria tidak berpikir tiga bulan adalah waktu yang lama hingga ia bisa bertemu gadis pujaannya. Gadis itulah yang jadi alasan ia banyak membaca buku fiksi. Ia memulainya dengan membeli buku yang sama yang dibaca gadis itu di lobi dan membacanya sampai selesai. Ia menamai gadis itu ‘Sophie’, nama yang diambil dari judul buku itu, sementara menunggu mendapatkan namanya yang asli. Ia juga diam-diam membeli dan membaca buku-buku yang direkomendasikan Pak Hidayat di kelas. Dan untuk sampai ke rumah ini, ia melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan guru atau murid lain di sekolahnya: menyenggol sepeda motor Pak Hidayat hingga terjun ke parit.

*      *      *

** Catatan tambahan:

Saya perlu memberitahu alasan kenapa kantin guru dibuat khusus. Kantin guru sebetulnya dibuat bukan untuk eksklusivitas, melainkan menghindari guru-guru yang bertindak ceroboh, seperti meninggalkan soal ujian di meja kantin. Hal lain seperti itu sebenarnya hanya kesalahan kecil yang bisa dimaklumi seandainya tidak terlalu sering. Namun, yang lebih buruk dari itu adalah, guru kadang-kadang lupa bahwa mereka adalah pendidik ketika sedang berada di luar kelas. Pernah, suatu kali ada seorang guru yang menyebut goblok seorang muridnya yang rupanya didengar murid yang dimaksud. Sejak saat itu murid itu tidak pernah lagi masuk sekolah. Ada juga obrolan tentang perselingkuhan dan obrolan lain yang tidak pantas dibicarakan di kantin sekolah. Pemisahan kantin guru dan kantin sekolah bisa menjadi solusi yang efektif, meskipun cara itu bisa menimbulkan kesenjangan di antara guru. Pengelolaan kantin guru oleh pihak ketiga membuat harga makanan di kantin lebih mahal dan hanya bisa dijangkau guru-guru PNS.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!