Hadiah Buat Ibu
![Hadiah Buat Ibu 1 mesin jahit listrik](https://www.escapereaders.com/wp-content/uploads/2020/12/hadiah-mesin-jahit-listrik-buat-ibu.jpg)
Dayat baru akan menuruni tangga ketika mendengar bunyi benda terjatuh. Ia menengok ke belakang dan menemukan sapu ijuk tergeletak di lantai. Hampir saja ia terbawa cerita horor lantai tiga belakangan ini.
Kamis malam lalu, seorang staf akunting melihat kursi bergerak sendiri. Kepada rekan-rekannya ia bercerita. Tapi tidak ada yang percaya. Dianggapnya dia sedang mengada-ada. Barulah ketika Manajer Akunting mendengar suara-suara aneh saat lembur Senin malam, ketakutan itu pun dimulai.
Isu hantu di lantai tiga untuk sementara dirahasiakan. Dayat sudah diwanti-wanti supaya tidak membocorkan. Manajer Akunting berencana akan memanggil kyai untuk mengusir hantu itu Jumat depan. Hingga saat itu, siapapun yang ingin lembur akan ditemani Dayat. Dayat dianggap yang paling berani. Tentunya akan ada tambahan uang buat Dayat.
Ia mengambil sapu itu, meletakkannya di balik pintu. Ia menuruni tangga, berhenti sebentar di lantai dua, melongok ke satu ruangan yang masih terang. Ruang Direktur Utama. Pak Dirut memang biasa pulang larut malam. Dayat pernah melihat beliau masih bekerja pukul 11 malam, dan pukul 06.30 keesokan paginya, ia sudah menemukan Pak Dirut sedang membuat kopi di pantry.
*
Ruang janitor itu terletak di bawah tangga, di sebelah toilet, tempat Dayat menyimpan tasnya. Kipas angin di dinding berputar pelan. Ia mengganti sepatunya dengan sandal jepit. Di kamar mandi, ia mencuci wajah dan menyisir tanpa bercermin. Ia tidak suka melihat wajahnya yang berjerawat. Dan badannya yang kurus. Ia mengganti seragamnya dengan kaus hitam dan melapisinya dengan sweter.
Ia mendorong pintu kaca gedung. Angin dingin berembus kencang. Beberapa staf Marketing mengobrol di halaman parkir yang sepi. Kalau tidak ada pekerjaan, Dayat sesekali ikut nimbrung bersama mereka. Ia antusias mendengar mereka bicara tentang pekerjaan. Mereka suka mentraktir ia dan petugas kebersihan lainnya kopi dan rokok. Atau, kadang-kadang ketoprak. Tapi Dayat tidak merokok.
Cahaya redup lampu perempatan jalan terhalang rerimbunan pohon angsana. Beruntung lampu pagar gedung SD di belakangnya cukup terang. Orang-orang lebih suka menunggu bus di perempatan jalan ketimbang di halte bus, meski jaraknya tidak terlalu jauh.
Dayat bersandar di pagar besi trotoar. Tangannya dimasukkan ke dalam saku sweter. Di sebelahnya, seorang calo sedang menghitung recehan. Dengan baju kusam dan rambut gondrong awut-awutan, ia lebih terlihat seperti preman. Tapi ia pria yang ramah. Juga dibutuhkan.
“Bisnya baru aja lewat, Dek,” kata si calo kepada Dayat. Suaranya berat, senyumnya lebar. “Tapi barusan ada yang masuk lagi.” Yang dimaksud bus bernomor P52. Jurusan Tanah Abang–Bekasi.
Dayat menebak kapan bus berikutnya datang. Mungkin lima belas menit. Mungkin sepuluh menit. Mungkin setengah jam. Seharusnya tidak selama itu jika bus tidak ngetem di putaran balik. Ia memandang jauh, ke ruangan-ruangan yang masih terang di gedung pencakar langit.
Ternyata, ia tidak perlu terlalu lama menunggu busnya. Ia duduk di sebelah pria gendut yang tidur pulas. Pantatnya hanya kebagian setengah kursi, yang membuatnya perlu berpegang ke kursi seberang supaya tidak jatuh. Lebih sialnya, setiap kali bus berbelok ke kanan, ia mesti menahan beban si gendut. Hidup ini memang susah, pikirnya, tapi tidak lebih susah dari hidup pengamen kecil yang mendatanginya.
Ia tiba di Bulak Kapal pukul 21.00. Ia bisa saja tiba di rumah lebih cepat kalau naik angkot. Tapi, ia sudah tidak punya uang lagi. Ia membagi uang gajiannya untuk ibunya, sedikit tabungan, dan sedekah. Dengan porsi sedekah diperbesar, ia berharap bisa mewujudkan kenginannya, seperti yang selama ini sudah dibuktikannya. Dan untuk kali ini, ia berharap bisa membeli mesin jahit listrik. Untuk ibunya.
*
Bunyi gemuruh itu berasal dari mesin jahit yang diayun-ayun sepasang kaki kurus. Tangan yang memutar roda begitu cekatan. Dengan giginya, wanita itu memutus benang jahit. Penampilannya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya yang masih di awal empat puluhan. Sebagian rambutnya sudah memutih, matanya sayu. Sesekali ia menarik hidungnya karena pilek. Tidak ada papan reklame atau spanduk di depan rumah. Tapi orang-orang tahu, sang pemilik pintar menjahit.
Pintu terbuka, angin menggoyang gorden, menerbangkan kain-kain perca. Wanita itu berhenti mengayuh. Dayat, putra tersayangnya, baru pulang kerja.
“Gimana kerjaan, Yat?” tanya wanita itu.
“Lancar, Bu,” jawab Dayat, pergi ke kamarnya.
Ia melempar tasnya ke atas ranjang, menggantung sweternya di balik pintu kamar, membuka lemari pakaian, mengambil amplop coklat di bawah tumpukan pakaian, mengeluarkan isinya, menghitungnya. Itu semua uang tabungannya. Masih jauh dari harga mesin jahit listrik yang diimpikannya.
Ia melangkah lesu ke luar kamar, lalu mengempaskan diri di kursi. Di meja tersaji sepiring pisang goreng. Dan secangkir teh manis hangat. Pisang gorengnya dimasak ibunya tadi sore, sekaligus suguhan buat pelanggannya. Sedangkan tehnya baru saja dibuatnya. Dayat mengambil sepotong pisang goreng. Mengunyahnya pelan-pelan. Menikmatinya. Ia selalu suka pisang goreng buatan ibunya.
“Lihat, Yat,” ibunya berkata, tersenyum, sambil menunjukkan seragam SMP yang baru selesai dijahitnya.
Wajah penuh senyum itu seharusnya bisa membuat suasana hatinya lebih baik. Wajah penuh kepuasan setelah menyelesaikan pekerjaannya yang melelahkan selama berhari-hari. Dayat seharusnya ikut senang, tapi wajah itu malah membuatnya jadi semakin merasa bersalah.
“Pesanan siapa, Bu?”
“Bu Ani.”
Ibunya hanya mengambil sedikit keuntungan, berharap harga murah akan mendatangkan banyak pelanggan. Di lingkungan itu, hanya ibunya, satu-satunya penjahit yang jahitannya bagus sekaligus murah. Sampai tiga atau empat bulan lalu, pesanannya masih lumayan banyak. Tapi karena pengerjaannya lama, banyak pelanggan yang beralih ke penjahit lain. Atau beli jadi. Kalau saja ibunya punya mesin jahit listrik, pastinya pekerjaannya akan lebih cepat selesai.
Dayat merasa lelah dan mengantuk, tapi malas kembali ke kamarnya. Di situ ia tertidur. Lelap. Ibunya membiarkannya.
Ia tidak menyangka pagi datang begitu cepat, dan ia sudah tiba di Jakarta. Ia tidak ingat ia naik bus. Ia bahkan tidak ingat semua perjalanannya. Tapi ia tidak sempat memikirkan itu. Jakarta yang ini sungguh berbeda. Udaranya sejuk. Matahari bersinar cerah. Tidak ada kemacetan. Tidak ada polusi. Tidak ada sampah. Tidak ada yang merokok. Tidak ada bunyi klakson. Orang-orang terlihat tertib. Teratur. Saling tersenyum. Dan bahagia.
Tapi, … Tunggu. Tidak semuanya. Ada satu orang yang terlihat tidak bahagia. Mungkin satu-satunya. Dia duduk di sudut jalan. Wajahnya tertutup topi caping, pakaiannya kusam dan lusuh, dan ada mangkuk besi di hadapannya. Dayat mendekatinya, mengenali wanita itu sebagai ibunya.
“Mereka semuanya pergi,” kata wanita itu. Tanpa menoleh ke Dayat.
“Mereka siapa?”
“Tidak ada lagi yang mau menjahit pakaiannya ke Ibu. Mereka bilang Ibu terlalu lambat sedangkan mereka butuh pakaiannya cepat. Sendainya kamu belikan Ibu mesin jahit listrik.”
“Dayat akan beli, Bu. Dayat akan beli.”
“Terlambat …” kata ibunya, kecewa. Dia mengambil mangkuk besi, memasukkan uang recehannya ke kantong kain, kemudian pergi meninggalkan Dayat sendiri.
Dayat terbangun. Badannya mandi keringat, matanya sepat. Dilihatnya jam di dinding. Pukul 03.10.
Ia bangkit, pergi ke kamar, dan melempar tubuhnya ke ranjang. Ia bisa saja salat tahajud seperti yang biasa di lakukannya di jam itu. Tapi ia melewatkannya. Ia terus memikirkan mimpinya barusan. Lalu tertidur lagi.
Ia hampir melewatkan salat subuhnya di masjid kalau saja ibunya tidak mengetuk pintu kamar. Ia bergegas mandi lalu pergi ke masjid. Di masjid, ia mendoakan ibunya lumayan lama.
Keperluan kerjanya sudah disiapkan ibunya sekembalinya dari masjid. Seragamnya. Tasnya. Bekal makan siangnya. Sarapannya. Tapi ia hanya makan sedikit sarapan. Hari itu, ia berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia mencium tangan ibunya. Ibunya mengusap kepalanya, berkata, “Hati-hati di jalan.”
Dayat tidak berharap melihat pengemis di jalan nanti. Tapi pengemis selalu ada di mana-mana. Mereka sulit dihindari. Juga sulit ditolak. Tapi tekadnya sudah bulat: ia tidak akan bersedekah. Setidaknya, sampai terbeli mesin jahit listrik untuk ibunya.
Tidak bersedekah jadi keputusan yang teramat sulit, karena bersedekah sudah jadi bagian dari hidupnya. Ia melakukannya sejak SMP. Ayahnya yang mengajarkannya. Ketika ia ingin masuk SMA favoritnya, ia disuruh banyak bersedekah. Berkat sedekah, begitu ia menganggapnya, ia diterima di SMA favorit. Pun ketika ia ingin mendapatkan pekerjaan. Ia pernah dua kali kerja di pabrik di Cikarang. Dan sekarang ia kerja di sebuah kantor di Jakarta—meski jadi petugas kebersihan. Tapi sedekah tidak bisa membelikannya mesin jahit listrik.
Ia menjalani hari-hari pertamanya tanpa sedekah dengan berat. Namun, setelah sekitar satu minggu menjalani, ia sudah terbiasa. Tidak ada lagi perasaan bersalah. Atau tangan yang terasa berat untuk diangkat. Dan sekarang, setelah satu tahun, uang tabungannya sudah mendekati harga mesin jahit listrik. Dengan tambahan uang gajinya Jumat besok, ia akan membelinya hari Sabtu.
Ia tidak bisa tidur karena memikirkan mesin jahit listrik itu. Ia membayangkan betapa senang ibunya saat menerimanya. Setiap pesanan jahit yang datang akan diselesaikan ibunya dengan cepat. Saat itu menjadi kenyataan, ia pastinya akan menjadi anak paling bahagia di dunia.
Ia menerima uang gajinya di dalam amplop coklat setelah jam istirahat. Hari itu tidak ada staf lembur. Atau rapat direksi. Jadinya ia bisa keluar kantor lebih cepat. Ia pulang setelah salat magrib, dan dapat bus dua puluh menit kemudian.
Bus yang dinaikinya penuh sesak, Dayat berdiri berimpitan di belakang. Begitulah konsekuensi pulang sore. Tiba di pintu tol, kernet bus mulai menarik ongkos. Dayat merogoh saku celananya, tapi tidak ada uang di situ. Ganjil. Seingatnya, ia sudah menyiapkan sepuluh ribu rupiah. Ia mencarinya di saku lain. Juga tidak ada. Di saku sweternya. Tidak ada. Di dalam tas selempangnya. Tidak ada. Yang ditemukannya malah sobekan di bagian samping tasnya. Seseorang menyayat tasnya dan mengambil semua uangnya.
*
Ia turun di Bulak Kapal pukul 20.30. Langit mendung berat, cahaya kilat sambung menyambung, gemuruh guntur bersautan. Angin berembus kencang, seekor musang berlari di atas kabel listrik, melompat ke batang pohon, menghilang di rerimbunan dedaunan.
Ia beruntung hujan tidak turun hingga ia tiba di rumah pukul 21.10. Ibunya yang membukakan pintu untuknya. Wajahnya berseri-seri, seakan-akan ada berita bagus yang akan disampaikan. Dayat melangkah lesu, meletakkan tasnya di atas kursi, kemudian duduk di kursi di sebelahnya. Di atas meja sudah tersaji sepiring pisang goreng. Dan segelas teh manis.
“Tadi pagi Ibu ketemu Bu Imah,” kata wanita itu. “Bu Imah minta Ibu buat jualan nasi uduk. Katanya nasi uduk buatan Ibu enak. Ibu-ibu pengajian yang lain juga suka. Ibu nanti buka warung nasi uduk di depan pos ronda. Sewanya murah, Yat.”
“Trus … usaha jahit Ibu gimana?”
“Usaha jahit sekarang mah susah. Lebih praktis beli yang sudah jadi. Lebih murah. Lagipula Ibu sudah tidak sanggup … mata Ibu kurang awas. Nanti Ibu sekalian jualan pisang goreng. Untungnya pasti lumayan. Tau sendiri kan? Banyak anak kos di sini.”
Suara ibunya terdengar samar-samar, sementara ia masih teringat kejadian di bus tadi. Ia tidak percaya uang gajinya hilang dicopet. Semua orang tahu ia seorang yang berhati-hati. Ia selalu menaruh dompet dan uang gajiannya di dalam tas, di saku paling dalam—tempat yang dianggapnya paling aman—dan diritsleting rapat. Tasnya pun dipeganginya, bahkan kadang-kadang dipeluknya. Jadi, tidak mungkin seseorang merogoh tasnya tanpa sepengetahuannya. Tidak mungkin.
Penderitaannya tidak berhenti di situ. Ia sama sekali tidak punya uang untuk membayar ongkos bus. Namun, ia punya alasan untuk tidak membayar. Ia melakukannya begitu saja, dengan spontan, penuh improvisasi dan keberanian. Ia berjalan ke tengah-tengah bus, mengucap salam, sedikit kata-kata pembuka, dan sambil bertepuk tangan, ia menyanyikan lagu Alamat Palsu-nya Ayu Ting Ting, satu-satunya lagu yang dihapalnya.
Oh, ia sangat sedih jika mengingatnya. Ia mencoba menerimanya, dengan menganggap bahwa kejadian itu hukuman dari Tuhan karena ia berhenti bersedekah. Sekarang, ia tidak ingin memikirkan apa-apa lagi. Ia terlalu lelah, lapar dan mengantuk. Ia mengambil sepotong pisang goreng dan menikmatinya pelan-pelan.
Sungguh, pisang goreng yang enak.
Di luar, hujan turun sangat deras dan hawa dingin mulai menyelimuti. Tapi kehangatan di rumah itu tetap terjaga. Antara Dayat dan ibunya selalu ada kasih sayang. Tanpa mengecewakan salah satunya.
* * *