Rusman
Pada bulan September 1988 kelas kami kedatangan murid baru. Rambutnya keriting, wajahnya bulat, berkacamata, tubuhnya gemuk dan tinggi—jadi murid tertinggi kedua di kelas setelah Wandi. Wali kelas kami memintanya maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri.
Murid baru itu terlihat sangat percaya diri. Ia mengangkat tangannya dan mengucap “Hai!” sebelum memperkenalkan diri. Nama lengkapnya Rusmanto. Tanpa nama belakang. Asalnya dari Jogja. Hobinya nonton film dan ia menyukai pesawat. Setelah memperkenalkan diri, ia mempersilahkan kami untuk bertanya tentang dirinya. Namun, tidak ada dari kami yang bertanya.
Rusman tidak pergi ke luar kelas saat jam istirahat. Ia tidak jajan. Ia membawa makan siang dari rumah yang berisi sedikit nasi, kentang rebus, wortel, dua potong tempe dan sayur bayam dalam kantong plastik kecil. Sendoknya dibungkus kertas serbet yang diikat karet bersama kotak nasinya—mirip makanan rumah sakit. Tapi Rusman tidak terlihat seperti orang sakit, malah terlihat sangat sehat.
“Kenyang cuma makan segitu?” tanya salah seorang dari kami.
“Tidak perlu kenyang untuk sehat,” jawabnya bangga.
Waktu kami bertanya kenapa ia tidak keluar kelas, ia menjawab ia tidak boleh terlalu lama kena sinar matahari. Tidak boleh kena debu. Tidak boleh terlalu capek. Tidak boleh bersentuhan dengan debu kapur. Ketika gilirannya bertanya, ia berkata,
“Ada yang sudah nonton Die Hard?”
Ia senang saat tahu ada dari kami yang pernah nonton film itu—yang pernah kusebut sebagai Wandi. Kami juga baru tahu kalau Wandi suka nonton film. Rusman dan Wandi saling bersahutan menceritakan Die Hard. Wandi bahkan bisa mengucapkan Yippee Ki Yay! Obrolan tentang film berlanjut keesokannya (Robocop), dan lusanya (The Gods Must Be Crazy), dan hari-hari setelah itu.
Namun, tidak ada di antara kami yang tahu banyak tentang pesawat seperti dirinya. Rusman bisa menyebut semua jet tempur yang dimiliki Amerika—yang di depannya pakai huruf F seperti F-14 Tomcat—serta jet tempur Uni Soviet. Ia suka jet tempur setelah nonton Top Gun, punya koleksi mainan pesawat yang dipajang di meja belajar dan digantung di langit-langit kamar tidurnya. Ayahnya membelikannya majalah Angkasa setiap bulan. Ia juga suka bicara tentang klub sepak bola, nonton Aneh Tapi Nyata dan Dunia Dalam Berita untuk menambah pengetahuannya.
Ternyata Rusman tidak sepintar yang kami duga. Nilai ulangan harian Matematikanya tidak terlalu bagus, biasanya 6 atau 7, dan pernah sekali dapat nilai 8. Ia juga tidak menonjol di pelajaran lain. Ia beruntung ketika menemukan lembar jawaban soal di samping toilet sehari sebelum ujian catur wulan pertama dimulai.
Ia yakin itu lembaran jawaban ujian asli, karena di atasnya tertulis “Lembar Jawaban Matematika Kelas 4” dan di bawahnya ada paraf yang mirip paraf wali kelas kami. Jawaban-jawaban itu berupa lubang-lubang bekas sundutan rokok. Semua murid tahu wali kelas kami seorang perokok.
Besoknya, di hari ujian, Rusman terlihat lebih banyak tersenyum. Ketika pengawas ujian pergi ke toilet, ia meletakkan lembar jawaban berlubang di atas lembar jawabannya, kemudian memberi tanda silang di lubang-lubang tersebut, menyisakan dua lubang yang tidak disilangnya. Hanya Indra, teman satu mejanya, yang diberitahu perihal temuannya itu. “Jangan sama persis,” bisiknya pada Indra. Indra lalu menyilang tiga jawaban yang berbeda. Nilai matematika Rusman 9.7 di raport, sedikit lebih baik dari Indra.
Rusman tentu saja tidak pernah ikut pelajaran olah raga. Ia hanya duduk-duduk di bawah pohon sambil memandangi kami yang bersusah payah lari mengitari lapangan atau melakukan gerakan senam yang sulit. Ia juga tidak pernah maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal matematika. Namun, ia yang tertawa paling kencang ketika teman kami salah menjawab. Awalnya kami menganggapnya biasa saja karena kami juga ikut tertawa, tapi kami kecewa ketika ia meledek salah satu teman kami yang menangis karena tidak bisa menjawab soal di papan tulis.
Jadi, jangan salahkan kami kalau kami sedikit menjauhinya. Selain karena ia suka mentertawakan orang lain, kami juga bosan dengan ocehan film dan pesawat—yang sepertinya sedang menyombongkan diri. Kami juga menganggap ia tidak ikut pelajaran olah raga karena malas saja.
Meski begitu, ada suatu waktu kami merasa merasa kasihan padanya, saat melihatnya berdiri sendiri bersandar di pilar teras, memandang ke suatu tempat dengan pandangan kosong. Sayangnya, kami sudah terlanjur tidak menyukainya. Tidak ada lagi yang mau bermain dengannya. Bahkan Wandi sekalipun. Hanya Indra yang masih terlihat bicara dengannya. Itu pun karena ia teman semejanya dan merasa berhutang atas contekan jawaban soal ujian Matematika. Seiring berjalannya waktu, kami sudah terbiasa melihatnya menyendiri.
Rusman menghilang sejak kenaikan kelas. Namanya tidak pernah ada di daftar hadir. Tidak ada dari kami yang menanyakannya. Kami mulai melupakannya. Namun, ketika kami pikir kami sudah tidak mendengar namanya lagi, guru kami menyebutnya di kelas.
“Kalian masih ingat Rusman?” tanyanya.
Tapi tidak ada dari kami yang menjawab.
“Ada yang ingat?” tanyanya lagi.
Indra mengangkat tangan, berkata, “Ada apa dengan Rusman, Pak?”
“Bapak dapat kabar tadi pagi. Rusman meninggal kemarin karena sakit. Sakit jantung. Nanti, habis pulang sekolah kita sama-sama pergi ke rumahnya. Buat melayat.”
* * *