Happy Bus

Senin.

Orang-orang terburu-buru, diburu-buru waktu. Matahari baru beranjak naik, menampakkan bayang-bayang ketergesaan. Orang-orang yang bilang ‘I don’t like Monday’ biasa bekerja untuk menunggu jam istirahat. Menanti jam pulang. Berharap akhir pekan. Dan selalu demikian.

Pak Udin tiba di terminal jam 06.35, busnya baru saja berangkat. Enggan terlambat lagi, dikejarnya bus itu. Untungnya bus memelan sebelum keluar terminal. Pak Udin berhasil naik.

Bulan ini, ia sudah dua kali terlambat masuk kerja. Dua kali sepuluh ribu, sebesar itulah denda terlambatnya—yang dipotong dari uang gajinya di akhir bulan.

Bulan lalu, kantornya dapat satu juta dua ratus ribu dari karyawan yang terlambat. Setelah enam bulan, seluruh uang denda terlambat itu dipakai buat tambahan makan-makan kantor Jumat lalu.

Tetapi Pak Udin tidak ikut makan. Ia pantang makan makanan dari uang denda. Tidak ada karyawan yang ingin sengaja datang terlambat. Ikut makan-makan berarti bersenang-senang di atas penderitaan orang.

*

Jakarta menghentak! Tersibuk macet, terjebak riuh klakson, terhirup asap knalpot. Manusia berkumis sangar meniup peluit, terlihat gagah dalam seragam coklat, garis celananya setajam matanya. Bocah penjual aksesoris berteriak dua ribu dapat tiga, yang lain tersedu-sedu mengamen.

Pengamen dewasa memanggul gitar, berbaur bersama penumpang bus, menggenjreng gitar sekeras-kerasnya, bernyanyi senyaring-nyaringnya. Sesudah dua atau tiga lagu, kantong plastik permen diedarkan. Penumpang bus melempar recehan. Tidak banyak.

Brak! Bus yang dinaiki Pak Udin menabrak Fortuner hitam.

Seorang pria berkepala botak turun dari dalamnya, kemudian berjalan angkuh menghampiri sopir bus, lalu digedornya pintu bus. “Hei, tolol! Turun!” teriaknya pada sopir bus.

Tetapi sopir bus tidak mau turun. Ia diam saja. Takut bicara. Atau apa bisa bicara.

Pak Udin geleng-geleng kepala. Yang ia tahu, dalam masalah seperti ini harus ada orang-orang yang disalahkan. Pak Udin sudah tahu jawabannya. Karena itu yang selalu dipilihnya.

Si botak menggedor pintu bus lagi. Membentak lagi. Ngomel-ngomel lagi. Kasihan sopir bus.

Kernetnya mencoba menengahi, menjelaskan kronologisnya pelan-pelan. Tetapi si botak tidak peduli. Tidak juga mau tahu. Kernet bus ikut dibentak. Kasihan.

Penumpang bus geram. Marah. Setengahnya turun membela sopir bus. Mereka melihat jelas kejadiannya. Si botak jelas yang salah. Kenapa mengerem tiba-tiba?

Penumpang bus mengelilingi si botak. Si botak mundur satu-dua langkah, tetapi tidak sampai melarikan diri. Harga dirinya hancur kalau pilih kabur. Ia tidak takut. Tidak perlu takut. Wajahnya dibuat beringas. Matanya dibuat tajam. Hidungnya terus-terusan mendengus. Dan supaya terlihat semakin garang, ditempelengnya seorang penumpang bus. Dipilihnya yang paling kurus.

Terhuyung-huyunglah si kurus, kacamatanya miring sebelah. Kenapa ia yang kena? tanyanya dalam hati.

Untuk sesaat kerumunan terdiam. Si botak merasa di atas angin. Tersenyum puas.

Tapi itu hanya sebentar.

Satu pukulan, yang tiba-tiba datang dari arah kirinya, mendarat di wajahnya. Dilayangkan seorang pria berbadan besar—dengan tangan besarnya.

“Mampus!” Seseorang mengucapkannya lumayan keras.

Terhuyung-huyunglah si botak, matanya meredup, nyalinya menciut, pikirannya mencari tahu: ia sedang cari mati atau cari hidup?

Sopir bus masih saja diam. Ia bisu.

“PRITTT!”

Bunyi priwitan menghentikan si badan besar memukul untuk yang kedua kali. Kerumunan mundur pelan-pelan, memberi jalan untuk manusia berkumis sangar berseragam coklat.

Si kumis sangar melangkah gagah, dipukul-pukulnya pentungan hitam itu ke telapak tangannya.

“Si botak yang salah!” teriak seorang penumpang bus. Yang lain menyoraki.

Si kumis sangar memelintir ujung kumis, menarik lengan si botak, membawanya agak jauh dari situ, menggiringnya ke pinggir jalan—ke bawah pohon rindang.

Si kumis sangar mengangkat pentungan, si botak memohon ampun. Si botak mengeluarkan dompet dari saku celana, diambilnya SIM dan STNK. Si kumis sangar menurunkan tongkatnya dan memasukkannya ke dalam sarung. Lalu, keduanya terlihat sedang membicarakan sesuatu—semua orang tahu yang mereka bicarakan

Pembicaraan berakhir dengan senyum-senyum dan jabat tangan. Si botak kembali ke Fortuner-nya. Si kumis sangar kembali ke posnya. Penumpang bus kembali ke bus mereka.

Tiga puluh dua menit lagi menuju jam masuk kerja, hitung Pak Udin setelah menengok jam di ponsel. Ia memastikan bulan ini uang gajinya akan berkurang sepuluh ribu lagi.

Pak Udin berusia empat puluh enam, bertubuh gemuk, rambut keritingnya disisir rapih, dahinya lebar, hidung besar, dan sedikit berjenggot. Ia memakai setelan kemeja biru muda lengan panjang yang dilipat sampai sikut dan celana panjang biru tua. Dasinya disimpan di dalam tas selempangnya bersama laptop dan berkas-berkas kantor.

Ia sesekali mengeluarkan ponselnya untuk melihat pesan WhatsApp dan membaca lini masa Twitter. Tetapi ia lebih sering bengong. Beban pikiran yang setumpuk gunung itu menutupi wajah yang biasanya ramah. Belakangan masalahnya semakin bertambah. Kemarin lusa putra pertamanya minta menikah, padahal usianya baru dua puluh tiga, baru saja berhenti kerja.

Ibu si gadis yang meminta. Kalau tidak mau, kata si gadis kepada putra Pak Udin seperti yang sampaikan ibunya padanya, dia akan dinikahkan dengan orang lain. Tetapi si gadis hanya mencintai anak laki-laki Pak Udin.

“Mau nikah kok dilarang?” kata anak laki-laki Pak Udin yang terlanjur cinta berat pada si gadis.

“Pengangguran kok berani nikah?”

Pak Udin menghela nafas. Dua anak laki-lakinya yang lain muncul di pikiran. Yang satu minta dibelikan sepatu. Yang lain minta dibelikan buku-buku. Seandainya harga-harga tidak naik, seandainya anaknya tidak berhenti kerja, seandainya presiden yang menang capres pilihannya, ia pastinya tidak akan sepusing ini.

Bus melaju pelan, membawa harapan dan kecemasan para penumpang, menyatu di atas jalanan. Hari ini sama dengan kemarin. Hari esok sama dengan hari ini. Selalu begitu.

*

Pak Sardiman, seorang pegawai rendahan di Kemensos, berdiri di tengah-tengah gerbong. Karena tubuhnya yang kecil, ia tidak bisa mencapai palang bagasi atau pegangan apa pun yang membuatnya bisa bertahan dari gelombang serbuan penumpang. Tetapi ia tidak terlalu mencemaskannya. Badannya sudah terbiasa terimpit, kakinya sudah terbiasa diinjak. Baginya, pasrah lebih baik ketimbang bertahan. Yang ia cemaskan hanya perutnya yang mulas. Ia berpikir, kenapa mulasnya tidak dari sebelum ia naik kereta?

Ia tidak menyalahkan istrinya yang memasakkannya sambal petai tadi malam. Atau beberapa potong ubi rebus yang dimakannya sebelum itu. Seharusnya rasa mulasnya sudah tamat dari tadi. Ia sudah melepas hajatnya sebelum berangkat kerja. Tiga kali! Pun ia tidak sarapan. Jadinya, rasa-rasanya mustahil di perutnya ada sisa makanan.

Pak Sardiman melepas angin tipis-tipis, nyaris tanpa suara. Pesssst. Aroma busuk menyebar di udara.

“Keterlaluan nih yang kentut,” kata seorang perempuan kepada perempuan di sebelahnya.

“Brengsek!” maki seorang laki-laki, mengeluarkan tisu dari dalam tas, menutup hidungnya dengan tisu.

Laki-laki di sebelah Pak Sardiman menoleh kepada Pak Sardiman, berkata, “Goblok yang kentut.”

Pak Sardiman mengangguk-angguk, setuju dengannya.

Mencicil kentut tidak serta merta membuat mulasnya hilang, tetapi di usianya yang sekarang, hal itu jadi pencapaian besar. Banyak temannya, bahkan tidak sedikit yang lebih muda darinya, tidak bisa mengontrol kentut mereka. “Sudah biasa,” kata salah satu teman kerjanya, yang kemudian menyebut dirinya ahli kentut.

Pak Sardiman sudah naik kereta sejak dua puluh tujuh tahun lalu, ketika kereta komuter, yang saat itu disebut KRL, berbagi jalur dengan KRD. Ia selalu naik di gerbong yang sama, di gerbong nomor tiga, yang sudah seperti rumah ketiganya. Ia pernah punya banyak teman seperjalanan, meski ia aslinya seorang pendiam.

Kehidupan sosialnya di kereta berawal dari perkenalannya dengan seorang pria baru pertama kali naik kereta, yang menanyakan stasiun pemberhentiannya—Pria itu turun di Stasiun Pasar Senen. Pak Sardiman turun di Stasiun Kramat.

Mereka bertemu lagi besok paginya di gerbong yang sama. Pria itu seorang yang luwes dan mudah mengajak mengobrol seseorang, dan pagi itu ia baru saja dapat kenalan baru. Kenalan barunya kemudian diperkenalkannya pada Pak Sardiman. Lalu, si kenalan baru rupanya juga memperkenalkan seorang temannya pada mereka. Dan seperti itulah lingkaran pertemanan di gerbong tiga itu terjadi.

Di gerbong itu juga Pak Sardiman pertama kali kenal istrinya, seorang karyawan toko pakaian di Mangga Dua. Kala itu, istrinya, orang baru di gerbong itu, berdiri tidak jauh dari tempat Pak Sardiman berdiri. Pak Sardiman sesekali mencuri pandang atau memperhatikannya sebentar-sebentar.

Teman-temannya tahu kalau ia diam-diam menyukai perempuan itu. Pak Sugeng, salah satu temannya yang bekerja di bengkel dan sudah meninggal itu, menyuruh Pak Sardiman supaya berkenalan dengannya. Pak Sugeng, yang berpura-pura kenal perempuan itu, memberitahunya bahwa perempuan itu berasal dari Klaten dan ngekos tidak jauh dari rumahnya.

Butuh satu minggu dan desakan kuat dari teman-temannya hingga akhirnya Pak Sardiman memberanikan diri berkenalan dengannya. Pak Sardiman hanya tersenyum saat tahu faktanya bahwa, perempuan itu tidak mengontrak dekat rumah Pak Sugeng, bukan berasal dari Klaten dan sama sekali tidak kenal Pak Sugeng.

Pak Sardiman melamarnya sebulan kemudian, dan dua bulan setelah itu keduanya menikah. Pestanya diadakan di rumah orang tua pengantin perempuan di Solo. Semua teman kereta Pak Sardiman menghadirinya.

Waktu itu, sebelum smartphone menyerbu, di setiap gerbong punya kisah serupa. Mereka saling mengunjungi rumah, mengadakan arisan, dan pergi piknik. Namun, untuk orang-orang yang tidak menemukan hal itu, yang lebih suka menyendiri atau menganggap kereta hanya sekedar transportasi umum, juga punya dunia mereka sendiri.

Itulah yang dialami Pak Sardiman saat ini, yang sudah satu setengah tahun naik kereta sendiri. Sebagian temannya sudah pindah kerja atau pensiun. Sebagian lain sudah meninggal. Ia tidak berniat mencari teman baru. Tidak lagi bersemangat. Di usia menjelang lima puluh lima, ia lebih tenang dengan kesendiriannya. Di gerbong tiga.

Pak Sardiman memakai kacamata persegi besar, rambutnya masih lebat dan hitam, dan selalu tersenyum. Ia bicara dengan logat Jawa-nya yang kental, dan sering dibecandai teman-teman keretanya karena pengucapannya yang lambat. Ia sudah bekerja di jabatan yang sama selama dua puluh tujuh tahun, tinggal bersama istri dan seorang anaknya di rumah sederhana yang dibeli mencicil dari gajinya yang sederhana. Putra pertamanya sudah menikah dan tinggal di Cikarang bersama istri dan dua satu putranya yang berumur empat dan dua tahun. Putra keduanya akan lulus SMA tahun ini dan berkeinginan keras bekerja setelah lulus sekolah. Tetapi Pak Sardiman lebih menginginkan anaknya melanjutkan sekolah ke universitas.

“Kita memang butuh uang,” kata Pak Sardiman kepada putra keduanya pada suatu makan malam keluarga, “tapi kita lebih membutuhkan sarjana yang menghasilkan uang.”

Ia berkata begitu lebih karena melihat kehidupan anak pertamanya yang pas-pasan, yang tidak jarang datang menemuinya untuk meminjam uang. Ia menyesal tidak bisa membiayai anak pertamanya kuliah. Sekarang, harapan punya sarjana di keluarganya ada di pundak anak keduanya. Pak Sardiman sudah menyisihkan sebagian uang tabungannya untuk biaya kuliahnya nanti.

Terlepas dari itu, kehidupan Pak Sardiman sebetulnya tidak sesederhana itu. Meski tidak bisa disebut sukses, ia salah satu perantau yang berasal dari sebuah kampung kecil di Jawa Tengah yang tidak menjadi kuli kasar seperti kebanyakan perantau dari kampungnya. Ia satu-satunya yang jadi PNS, yang dua kali dalam setahun ketika pulang kampung dengan membawa oleh-oleh untuk dibagi-bagikan ke tetangga.

Ia punya mimpi, suatu saat nanti ia akan menghabiskan masa pensiunnya di kampungnya. Ia dan kedua kakaknya sudah diwarisi tanah sejak ayah mereka meninggal delapan tahun lalu. Ia tidak berencana menjadikannya kebun atau empang. Ia sedang membangun rumah di tanah itu. Meskipun prosesnya tersendat-sendat karena masalah keuangan, pondasinya sudah selesai empat tahun lalu.

Kereta berhenti di Jatinegara, Pak Sardiman berhasil tidak buang angin.

Ia tidak menahannya, hanya mengalihkan pikirannya pada hal lain. Ia pernah mendengar bahwa, mengalihkan pikiran kepada sesuatu yang lebih menyakitkan akan mengurangi rasa sakit yang diderita. Tetapi ia lebih memilih membayangkan hal-hal indah untuk mengalihkan rasa mulasnya. Ia membayangkan rumahnya di kampung sudah jadi—sebuah rumah sederhana dengan teras belakang yang menghadap ke gunung, tempat ia menghabiskan waktu pagi dan sorenya sambil minum kopi. Usahanya berhasil. Sampai ia mendengar seseorang bicara tentang “Korupsi di Kemensos”.

Korupsi di Kemensos memang lagi jadi isu panas belakangan ini dan membuatnya prihatin. Peristiwa itu menjadi pukulan terberatnya selama bekerja di sana. Dua hari belakangan ini ia tidak lagi merasa nyaman mengenakan seragam kerjanya. Ia takut orang-orang akan tahu tempat kerjanya dan ia akan mendapat cibiran. Ia lupa, ia seharusnya memakai jaket untuk menutupi logo di lengan bajunya. Atau, memakai pakaian lain dan menggantinya dengan seragam setibanya di kantor.

Perasaan cemas itu terus merasuki pikirannya, mengaduk-aduk perutnya, memunculkan kembali rasa mulasnya yang tidak bisa lagi ditahan. BRUTTTT. BRETTTT. BROTTTT.

Suara itu seharusnya terdengar nyaring. Tetapi Pak Sardiman beruntung. Benar-benar beruntung. Ia kentut bersamaan dengan kereta Jawa yang lewat di rel sebelah. Hanya, masalahnya tidak ada yang bisa meredam bau busuknya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan orang-orang di gerbong itu selain marah, mengomel, tertawa, atau saling curiga?

Untuk beberapa orang, mereka menyemprot minyak wangi ke udara. Tetapi itu sama sekali tidak membantu.

Setelah selama tiga menit terjebak di kamar gas beracun, kereta akhirnya tiba di stasiun Kramat. Pintu terbuka dan orang-orang berlompatan keluar. Pak Sardiman terjatuh. Ia hampir terinjak jika tidak diselamatkan seorang mahasiswa. Mahasiswa itu membawanya menepi, mendudukannya di atas bangku, memastikan Pak Sardiman yang sedang (berpura-pura) terbatuk-batuk tidak apa-apa.

“Ia pasti habis makan petai,” kata si mahasiswa, tertawa kecil. “Kasihan. Ia pasti sudah tidak tahan.” Kemudian, setelah memastikan Pak Sardiman baik-baik saja, mahasiswa itu pun pamit.

Pak Sardiman memandangi mahasiswa itu menuruni peron hingga belok ke pintu keluar. Ia mengagumi sikapnya yang ramah. Bukankah seperti itu seharusnya mahasiswa?

*

Hari menjelang siang, langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terik. Di jalanan itu, pawai kendaraan nan panjang seakan-akan tidak ada putus-putusnya. Pedagang air, pedagang rokok, pedagang makanan, pedagang koran, pedagang mainan, pengemis, pengamen banci, pengamen cilik sudah turun ke sana. Mereka bergantian mendekati mobil, truk, dan bus, untuk menawarkan suara, rokok, minuman, atau aksesoris murahan.

“Filter satu!” teriak kernet truk pada tukang rokok. Tukang rokok berlari mengejar truk itu sembari menyodorkan satu bungkus rokok filter. “Satu batang! Satu batang!” teriak si kernet terburu-buru, menunjuk angka satu dengan telunjuknya. Tukang rokok membuka bungkus rokok, mengambil satu batang rokok dengan gelagapan, mobil di belakangnya terus-terusan membunyikan klakson.

Tukang rokok itu, seperti kebanyakan para pedagang di jalanan, berusaha sabar menunggu berjam-jam untuk mendapat selisih keuntungan beberapa ratus rupiah di hari panas itu.

Tidak jauh dari situ, William Takahashi Farzaneh dalam perjalanan menuju kampus dengan BMW hitamnya. Seandainya kau melihat wajah tampannya tanpa tahu namanya, kau bisa saja mengatakan ia keturunan Iran, Arab, Jepang, Cina, Korea, Inggris, Rusia, Jawa atau Sunda di waktu bersamaan. Jelasnya, ia merupakan perpaduan Iran-Jepang di satu sisi, dan Sunda-Jawa di sisi lain. Iran-Jawa (dan sedikit Irlandia) berasal dari Ayahnya, dengan lima generasi ke atasnya merupakan dokter spesialis. Sementara ibunya keturunan Sunda-Jepang, dan seorang novelis.

Meski kedua orang tuanya lebih condong ke Jawa atau Sunda ketimbang asal leluhur mereka yang lain, bisa dilihat dari bahasa sehari-hari mereka di rumah, kedua orang tuanya sepakat menamai anak-anak mereka dengan ciri khas asal masing-masing leluhur. Dan begitulah nama William Takahashi Farzaneh tercipta—disingkat ‘WTF’ yang disukai sang pemilik nama.

Hari ini hari berdemonstrasi. WTF, maksud saya Willy, membawa cukup banyak logistik di bagasi. Ini akan jadi demonstrasi keduanya di bulan ini. Ia sudah sepuluh kali berdemonstrasi selama tiga tahun menjadi mahasiswa. O, ia sangat suka demonstrasi.

Isu demonstrasi masih sama seperti sebelumnya: menuntut pemerintah supaya menurunkan harga-harga dan membatalkan RUU Omnibus Law. Pemerintah memang lagi suka menaikkan harga. Harga bensin, tarif listrik, tarif air PAM, semuanya dinaikkan. Juga pajak dan iuran BPJS. Ketika harga-harga naik, amarah rakyat juga ikut naik. Akhirnya, mahasiswa, yang wakil rakyat tidak resmi itu, turut merasakan. Siang ini mereka turun ke jalan.

Seseorang mengetuk kaca jendela mobilnya. Sosok perempuan berwajah kurus berharap sedekah. Willy menurunkan kaca jendela pelan-pelan dan sedikit, dan seperti uang yang keluar dari ATM, ia menyelipkan selembar dua ribu rupiah dari celah jendela. Si pemilik tangan keriput menariknya pelan-pelan, mengucap terima kasih, lalu berdoa dengan amat panjangnya—doa yang tidak sebanding dengan sedekah yang didapat.

Mobilnya bergerak pelan. Di depannya, ada tiga bocah yang sedang mengejar bus. Ketiganya pengamen yang memakai sandal butut. Bocah yang memegang ukuele yang naik pertama ke bus, disusul bocah bertopi SD, dan terakhir bocah perempuan.

Bocah perempuan menjatuhkan sandal birunya. Dia memandang sedih sandalnya yang pelan-pelan menjauh. Bocah bertopi SD ikut memandangnya. Bocah ukulele dengan sigap melompat turun, kemudian berlari secepat kilat memungut sandal itu.

Sial!

Willy menginjak rem, hampir saja menabraknya. Bocah ukulele terlompat kaget, dan untuk sesaat pandangan mereka bertemu. Willy mengamati si pemilik wajah lugu itu, terpaku, terenyuh, dan terhentak saat klakson di belakang membentak.

Sial!

Ketika perhatiannya kembali ke jalan, bocah ukulele sudah menghilang.

Ada pemandangan yang hilang selama ini, yang tidak bisa dilihat dengan mata. Seandainya ia melihat dengan hati, maka ia akan melihat bocah tadi putus sekolah di kelas dua. Dua bocah lainnya adalah adiknya yang tidak pernah sekolah. Tadi malam seseorang menampar bocah ukulele itu, kau bisa melihat dari pipinya yang merah. Mungkin ayahnya yang melakukan. Mungkin ibunya. Seperti itulah kira-kira kisahnya.

Saat berhenti di perempatan lampu merah, ia dihadapkan pada pemandangan pilu lain. Seorang bocah perempuan pengamen datang dan berdiri di samping mobilnya, bernyanyi sambil bertepuk tangan. Usia bocah itu tidak jauh beda dari bocah laki-laki pengamen tadi.

Kali ini Willy melihat dengan hati. Ia melihat bocah pengamen itu sebagai anak yatim-piatu yang putus sekolah dan belum makan dari pagi.

Bocah pengamen selesai bernyanyi. Dia menyodorkan tangannya yang kusam, berharap sedikit kebaikan. Willy mengangkat tangannya, dan bocah pengamen itu pun pergi.

*

Matahari semakin panas, jejak-jejak hitam ban melekat di aspal. Bocah-bocah kelaparan masih berlalu lalang mengejar bis, wajah-wajah wanita berkeriput berlindung di bawah pepohonan dengan bayi-bayi dalam gendongan, menanti lampu merah. Pedagang koran menurunkan harga, penjual minuman bergembira.

“Ada demonstrasi sebentar lagi!” seru mereka. “Mahasiswa membutuhkan air! Kita yang sediakan! Ayo rame-rame pergi ke sana!”

Siang itu ribuan mahasiswa menyerbu Istana Negara, bergerak bersama masyarakat, buruh, supporter bola dan murid-murid SMK, yang datang dengan berjalan kaki, naik truk atau bus hingga memenuhi atapnya sembari melambaikan bendera besar-besar.

Bendera dan spanduk berkumpul membentuk barisan besar. Sebuah truk dijadikan panggung. Lima orang di atasnya mengangkat poster tinggi-tinggi, memakai topeng-topeng wajah presiden dan menteri-menterinya, melompat-lompat, bernyanyi, bersorak-sorak, berorasi tanpa henti, tanpa lelah. Terima kasih kepada para sponsor yang sudah menyediakan makanan dan minuman.

Willy mendapatkan panggungnya. Ia memakai jas almamater kuning, ikat kepala merah, kacamata hitam, dan pelantang suara. Ia berpidato dengan bersemangat dan menggugah, yang diikuti tepuk tangan, sorak-sorai dan yel-yel. Mahasiswi-mahasiswi memandanginya dengan penuh kekaguman. Mereka mengambil foto dan videonya, yang kemudian diunggah ke Instagram, YouTube, TikTok, dan Twitter

Setelah tiga puluh menit, Willy mengakhiri pidatonya. Ia melempar kacamata, ikat kepala dan botol bekas air minumnya ke kerumunan. Para mahasiswi berebutan mengambilnya. Seorang mahasiswa kurus berkacamata yang naik menggantikannya tidak banyak mendapat perhatian. Ia tidak keren.

Willy bahkan masih saja sibuk setelah turun panggung. Sekarang ia sedang diwawancarai para jurnalis. Satu-dua jurnalis perempuan lupa pertanyaan karena terpesona dengan ketampanannya.

Di tempat lain, tidak jauh dari situ, di dalam Alphard hitam, seorang pria menggeleng-geleng kepala begitu tahu putranya ikut dalam demonstrasi. Ia ada rapat penting hari ini dan anaknya membuatnya terlambat. Sangat terlambat.

Sialnya, jumlah polisi yang datang tidak terlalu banyak. Mereka berlindung dibalik tameng-tameng. Sebagian besar usia mereka sama dengan para mahasiswa. Hanya seorang komandan gendut yang usianya dua kali lebih tua. Mata-mata mereka mencari-cari bakal-bakal provokator, tapi kebanyakan melirik mahasiswi. Tidak banyak yang mereka lakukan selain berdiri dan menahan panas, mendengar aba-aba, berbaris mengawasi. Ini namanya pengabdian meski keringat mengucur deras. Mereka tidak mau menjadi seperti seniornya, yang menembakkan gas air mata asal-asalan. Mereka takut. Terlalu takut.

Bocah-bocah pengemis meliuk-liuk di keramaian, menampakkan wajah memelas, menghampiri kakak-kakak mahasiswa, berharap dua ribuan. Air mineral laris manis, kue-kue terjual habis, para pedagang tersenyum puas. Lain kali kasih tahu kalau ada demonstrasi lagi, kata pedagang air mineral pada seorang mahasiswa. Si mahasiswa merasa bangga sudah berbuat baik pada rakyat kecil.

Stasiun-stasiun TV menyiarkannya langsung. Ini demonstrasi terbesar sejak demo dengan tuntutan yang sama beberapa bulan sebelumnya. Pak Sardiman menontonnya di kantin. Ia tidak pernah menjadi mahasiswa, tapi ia selalu mengagumi mahasiswa. Ia berharap anak keduanya akan menjadi mahasiswa.

Ia tidak makan siang karena khawatir mulas lagi. Ia pergi ke musola untuk salat zuhur. Di sana ia sujud lama sekali, dan berdoa untuk kesehatan keluarga dan keselamatan bangsanya. Sekitar jam dua, ia diminta atasannya untuk mengantar surat ke pejabat di kecamatan di Tanah Abang. “Tidak usah kembali ke kantor,” kata bosnya. Pak Sardiman menerimanya dengan senang hati walaupun mengantar surat bukan tugasnya.

Dari lantai dua puluh dua Pak Udin memandangi jalanan yang dipenuhi lautan demonstran. Ia tidak mengeluh jika jam pulangnya jadi lebih malam karena aksi demonstrasi. Ia menaruh harapan besar pada para demonstran. Mereka sedang menyuarakan aspirasinya. Aspirasi rakyat.

*

Demonstrasi berakhir sehabis magrib, menyisakan sampah, berita, dan kenangan. Akan tetapi macet bukan salah satunya. Jalanan sempat lengang setelah demonstrasi, sebelum akhirnya ramai kembali.

Willy masih bersemangat melayani wawancara dengan beberapa YouTuber. Ketika ia sedang makan siomay, seorang temannya datang untuk meminjam mobil.

“Buat jemput nyokap,” kata temannya. “Bokap gue nggak bisa jemput. Ada meeting sampai malam.”

Willy tidak pernah berpikir dua kali untuk membantu temannya, sekalipun temannya berbohong. “Pakai saja.” Ia melempar kunci mobilnya pada temannya.

Malam semakin larut. Ia mengganti jas almamaternya dengan sweter abu-abu, kemudian menikmati jalan-jalan malam sendiriannya di Thamrin yang berangsur-angsur sepi. Sebagian ruangan-ruangan di gedung pencakar langit yang dilewatinya masih terang, yang berarti masih ada yang bekerja di sana. Ia tidak terarik bekerja di salah satu gedung itu atau di mana pun. Tidak juga menjadi dokter.

Tradisi anak pertama di keluarga yang jadi dokter putus di dirinya. Bukan karena dirinya terlalu bodoh untuk jadi dokter, ia hanya senang tidak menjadi seperti ayahnya atau generasi di atasnya. Lagi pula, orang tuanya masih punya satu anak lainnya yang masih SMP dan kutu buku yang lebih pantas jadi dokter.

Lebih masuk akal jika ia menjadi penulis seperti ibunya, mengingat ia suka mengkhayal. Namun, untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati hidup dari hari ke hari. Tidak berambisi pada nilai tinggi atau mau kemana usai kuliah nanti. Ia bahagia punya teman-teman yang baik padanya, dan ia juga baik pada mereka.

Bus putih melintas di sampingnya, berhenti di halte bus, kernetnya berteriak, “Bekasi Barat! Bekasi Barat!”

Willy melompat naik. Tapi ia tidak melihat ada kursi kosong. Ia berdiri bersandar di tiang tidak jauh dari pria gemuk yang sudah kaukenal sebagai Pak Udin.

Pak Udin tidak pulang terlalu malam seperti yang dikira. Ia sudah menyelesaikan hampir semua pekerjaannya, dan ia bisa lebih santai di kantor besok. Ia menyayangkan demonstrasi berjalan seperti demonstrasi sebelumnya. Bahkan kali ini selesai lebih awal. Mahasiswa seharusnya bisa lebih keras lagi.

Pengamen bertopi merah masuk dari pintu belakang dan langsung mengambil tempat di tengah. Tes satu dua nada senar, sedikit intro dan salam pembuka, kemudian menyanyikan lagu Ayah-nya Ebiet G. Ade dengan sepenuh hati. Suaranya nyaring seperti penyanyi asli, tapi putus di nada tinggi. Bukan karena suaranya tidak sampai, melainkan kalah dengan suara tangis bayi. Si pengamen menghentikan nyanyiannya, menunggu si bayi berhenti menangis. Si bayi memang berhenti menangis, tapi hanya sebentar, setelah itu menangis lagi. Si pengamen tidak putus asa. Ia bernyanyi ketika si bayi berhenti menangis, kemudian berhenti bernyanyi ketika si bayi menangis, lalu lanjut bernyanyi ketika si bayi diam. Tingkah si pengamen lumayan menghibur penumpang bus, ia pun mendapat banyak recehan.

Seorang pria kurus tinggi berkumis tipis yang baru naik mengambil tempat di sebelah kiri Pak Udin, melempar wajahnya ke belakang, memandang antrian macet yang panjang. Sialnya, gerbang tol ditutup dan bus berbelok ke jalan biasa. Jalan tol sedang disterilkan. Sebentar lagi R1 akan lewat.

Akan tetapi, yang disebut sebentar itu tidak benar-benar sebentar. Setelah satu jam belum ada tanda-tanda RI 1 akan lewat. Hanya, terlihat beberapa petugas yang mengamankan di sepanjang jalan tol.

Sementara itu, agak jauh di belakang bus kita, seorang seorang pria termenung di atas sepeda motornya. Ia seharusnya tiba di rumah sebelum jam delapan seperti janjinya pada putrinya. Di rumah, istrinya sudah menyiapkan kue ulang tahun dan berbagai makanan. Putrinya yang sudah mengenakan gaun putri kerajaan dengan mahkota berwarna perak di kepala sedang menunggunya. Tetapi sekarang sudah lewat jam delapan, dan pria itu masih sangat jauh dari rumah.

Di belakangnya, seorang tukang ojek … maaf, seorang guru SD, sudah dipusingkan dengan lembaran jawaban ujian murid-muridnya yang mesti diperiksa saat pulang nanti. Ia menyesal sudah mengambil orderan sampai sejauh ini. Tapi ia sangat membutuhkan uang. Ia mencintai pekerjaannya sebagai guru dan juga murid-muridnya. Macet ini membuatnya lelah dan tertekan.

Ada banyak kisah yang tercipta di jalur yang luar biasa macet itu, tidak terkecuali di dalam bus, tempat ketiga tokoh kita bertemu.

Pak Sardiman seharusnya bisa pulang jam empat sore, tapi ia bertemu dua teman lamanya di sana dan mereka mengobrol lama. Ia pulang ketika azan isya berkumandang dan menunggu busnya di Jati Baru. Ketika bus berhenti di depan perempatan jalan Thamrin, ia memberikan tempat duduknya pada seorang wanita yang menggendong bayi.

Pak Udin memasukkan ponselnya ke saku celana, dan merenung. Dalam situasi macet seperti ini, ia sering terpikir untuk pindah kerja. Suatu kali ia hampir pindah kerja. Waktu itu tujuh atau delapan tahun lalu. Ia tidak mempermasalahkan gajinya yang sedikit di bawah perusahaan sekarang, kecuali memulai karirnya lagi dari staf biasa. Satu-satunya keuntungan adalah kantornya lebih dekat dengan rumah. Tetapi ia membatalkannya. Ia tidak menyesali keputusannya, karena tiga bulan setelah itu ia diangkat menjadi manajer.

Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi memikirkan pindah kerja. Ia meyakinkan dirinya jika ia punya banyak teman di kantornya yang sudah dianggapnya keluarga sendiri dan, sepertinya akan sangat berat jika berpisah dengan mereka. Apalagi, ia menjadi yang dituakan di sana—meski ia menganggapnya dirinya tidak tua. Ia sering memberi nasihat kepada para junior tentang pekerjaan dan kehidupan. Ah, kadang-kadang dengan mengingat teman-teman kantornya, ia bisa melupakan peraturan perusahaan yang menyedihkan itu.

Sekarang, dalam situasi ini, yang direnungkannya adalah betapa menyebalkannya pemerintah. Ia punya seribu alasan untuk itu. Salah satunya kemacetan ini. Yang membuatnya kesal. Sangat kesal.

“Kenapa harus di jam pulang kerja?” kata Pak Udin kepada pria kurus berkumis, lebih untuk berbasa-basi ketimbang mendapatkan jawaban.

Yang ditanya hanya tersenyum.

“Bikin susah orang saja,” lanjut Pak Udin. “Kan bisa naik helikopter. Bukan begitu, Pak?”

Pria kurus berkumis mengangguk.

Pak Udin bercerita tentang buruknya pemerintahan sekarang, presiden yang tidak konsisten, dan sebagainya, dan sebagainya. Sementara pria kurus berkumis berusaha menjadi pendengar yang baik dengan mengangguk-angguk atau tersenyum. Ia baru benar-benar berkomentar ketika Pak Udin bicara tentang harga-harga yang naik.

“Saya juga belanja ke pasar, Pak,” katanya. “Jadinya saya tahu berapa besar kenaikannya.”

Di sebelah mereka, pria berkacamata menimpali, “Sabtu kemarin saya ngantri gas 3 kilo.”

Sementara mereka mengobrol tentang kenaikan harga, bocah laki-laki pengamen naik dari pintu belakang bus dan menyanyikan satu lagu sedih. Tidak ada yang memperhatikannya. Tidak banyak yang mengisi kantong plastik permen yang disodorkannya. Meski begitu, bocah pengamen tidak sesedih lagu yang barusan dinyanyikannya. Ia duduk di tangga belakang dan menghitung recehan yang didapatnya sejak pagi tadi. Sesekali ia menyedot ingusnya yang menggantung, dan mengelap hidungnya dengan lengan baju. Ia menatap uangnya lama sekali usai menghitung, seakan-akan ia belum pernah melihat uang sebanyak itu. Atau mungkin ia sedang melamuni uangnya yang sedikit.

Willy menguap panjang. Tidak ada pesan masuk ke ponselnya sejak sepuluh menit lalu. Ayahnya mengajaknya ke Shanghai Sabtu depan, mencoba membujuknya belajar menikmati jazz. Baik dari keluarga dari ayah maupun ibunya, terutama para laki-laki dari keluarga ibunya, adalah para penggemar jazz, dan seharusnya kegemaran itu menurun padanya. Tetapi ia tidak suka jazz.

Pak Sardiman mulai gusar sejak Pak Udin dan dua penumpang lainnya bicara tentang korupsi di Kementerian Sosial. Ia bisa saja pindah posisi ke bagian depan bus supaya obrolan mereka tidak terdengar. Tetapi ia juga penasaran apa yang mereka bicarakan.

“Gila! Sampai seratus miliar, Pak!” seru Pak Udin, menggeleng kepala.

“Mensos harusnya mengatur kegiatan sosial saja,” Pria kurus berkumis menimpali.

“Yang mengatur keuangan hanya Menteri Keuangan. Termasuk mengurusi korupsi juga dong pak.”

“Ya … termasuk mengurusi … uang yang dikorupsi Mensos,” Pria kurus berkumis tertawa. Mereka tertawa.

“Ini salah pemerintah.”.. “Mensos kok nggak berjiwa sosial.” .. “Kalau bosnya begitu, apalagi anak buahnya?” … “Jangan lupa anggota DPR, Pak.” … “Lebih parah.”… “Ssst, pelan-pelan ngomongnya.”

Sudah lebih dari dua puluh lima tahun Pak Sardiman bekerja di Kemensos, ada kebanggaan saat pertama kali diangkat sebagai pegawai tetap. Orang-orang memandangnya santun walaupun ia tidak terlalu peduli. Kantor Kementerian Sosial mengurus banyak urusan, sementara orang seperti dirinya hanya bagian kecil di tempat itu. Kebanggaan itu masih ada sampai sekarang. Namun orang-orang itu sedang menghancurkannnya.

Pak Sardiman bergeser mendekat ke Pak Udin, berkata, “Maaf Pak. Sepertinya Bapak dari tadi terus menyalahkan pemerintah.”

“Tapi faktanya memang demikian kan, Pak?” sergah pak Udin, memandang Pak Sardiman dari atas ke bawah dan mentok di lengan bajunya. “Nah, ini orangnya. Pegawai Kemesos.” Pak Udin menunjuk logo Kemensos di seragam Pak Sardiman. “Tapi Bapak tidak merasa tersinggungkan?”

“Sejujurnya, saya tersinggung,” jawab Pak Sardiman. “Lagipula, berkata seperti itu kan tidak baik, Pak.” Pak Sardiman berusaha berkata dengan hati-hati.

“Dengar ya. Gaji Bapak kita yang bayar. Tunjangan Bapak kita yang bayar. Seragam Bapak kita yang bayar. Kita bayar pajak, Pak. Jadi, tidak salah kalau saya bicara begitu?”

Pak Sardiman menggeleng kepala. Kepala-kepala penumpang menoleh ke arah mereka.

“Apalagi sekarang apa-apa serba mahal,” lanjut Pak Udin.

“Tapi menyalahkan pemerintah tidak akan menyelesaikan masalah. Kondisi saya tidak beda dari Bapak. Tapi saya tidak menyalahkan siapapun. Saya juga tidak menyinggung perasaan siapa pun di bis ini.” Pak Sardiman merasa takjub bisa bicara lumayan cepat.

“Karena kau egois!”

“Apa?”

“Setidaknya saya tidak makan uang haram.” Pak Udin menengok ke arah pria kurus berkumis. Pria kurus berkumis mengangguk menyetujui.

“Terserah Anda. Setidaknya saya tidak menghina orang lain toh.” Pak Sardiman seharusnya bisa mengakhiri debat di kalimat itu. Namun entah kenapa ia masih saja meneruskan, “Saya pikir anak Bapak pasti malu punya ayah seperti Anda.”

Saya pikir anak Bapak pasti malu punya ayah seperti Bapak.

Kalimat itu terasa pedas di telinga Pak Udin. Orang tua siapa yang tidak tersinggung dibilang begitu. Bukankah setiap orang tua adalah kebanggaan anak-anaknya?

“Apa kaubilang?” Pak Udin setengah membentak. “Kau yang seharusnya malu sama keluargamu!” Jari telunjuknya menunjuk ke dahi Pak Sardiman. “Dari pada kau, kerja di gudangnya korupsi … Kau pikir dengan ngomong begitu merasa pintar? Tidak bisa cari kerjaan yang lebih baik? Tau apa kau tentang anakku?”

Pak Sardiman terdiam tapi tidak sampai gemetar. Pandangannya kosong, ucapan Pak Udin tidak lagi didengarnya. Ia menyesal sudah mengucapkan itu. Tapi apa yang harus dikatakannya?

Pria kurus berkumis lebih memilih mundur. Penumpang lain sudah mengangkat ponsel, merekam untuk diunggah ke medsos. Seorang wanita berkerudung biru meminta siapa saja untuk memisahkan mereka. Akan tetapi tidak ada yang mau melerai. Mungkin terlalu seru untuk dilewatkan. Sopir bis mengikuti perkembangannya lewat kernetnya.

“Aya naon deui Jang?” (Ada apa lagi Jang?) tanya sopir.

“Anu kang. Jigana aya pameget kasep nu sumping bade misahkeun aranjeuna” (Itu kang. Sepertinya ada anak muda ganteng yang akan memisahkan mereka).

Willy muncul di tengah-tengah mereka, mencoba menjadi penengah. Ia seharusnya melakukannya sedari tadi, tetapi ia barusan sedang menjawab pesan WhatsApp—yang disebutnya mendahulukan bisnis.

“Maafkan saya,” katanya, tersenyum.

Pak Udin yang hanya bisa tenang sesaat mengangkat tangan, menunjuk-nunjuk kepala Pak Sardiman. “Mulutmu itu  …”

Willy segera menenangkannya. “Tenang, Pak. Pak, tenang.”

Hening sesaat.

“Orang ini yang mulai duluan!” kata Pak Udin, menunjuk Pak Sardiman seperti anak kecil. “Bilang saja kalau mau ngajak berkelahi.”

“Sabar, Pak. Pak, sabar.

Pak Sardiman tidak menanggapi. Ia melangkah mundur, mengalihkan pandangannya ke jalan tol. Pak Udin terus memburunya.

Keadaan menjadi hening, tapi tidak lebih mencekam. Kernet kembali ke depan, melapor kepada sopir bus kejadian barusan.

“Saha nu meunang?” (Siapa yang menang?) tanya sopir bus pada kernet.

“Nu gemuk tea, kang,” (Yang badannya gemuk) jawab kernet.

Seorang perempuan muda yang duduk di kursi sebelah kanan menyadari bahwa pemuda yang berusaha menjadi penengah itu pernah dilihatnya di TikTok, berkata, “Itu kan Willy!”

“Itu Willy!” sahut yang lain.

“AAAAH!”

Willy sudah tidak bisa lagi menyembunyikan wajahnya di balik tudung sweternya. Ia membukanya, tersenyum, dan melambaikan tangan.

Rupanya Pak Sardiman juga mengenalinya dari TV, bahkan bisa dibilang ia mengangguminya. Wajah dan keberaniannya memang sulit dilupakan. Sementara Pak Udin tahu pemuda itu dari Twitter, yang menurutnya terlalu dilebih-lebihkan.

“Kita sama-sama tahu masalahnya,” Willy berkata dengan suara lembut dan menenangkan. “Saya tahu apa yang Bapak ini (Pak Udin) rasakan. Kita marah dengan harga-harga yang naik, pejabat yang korup, undang-undang yang menyengsarakan. Semua di sini pasti merasakan yang sama. Termasuk Bapak ini (Pak Sardiman). Hanya saja kebetulan beliau bekerja di Kemensos. Sama seperti kita, beliau juga rakyat yang butuh harga-harga murah dan pemerintahan bersih. Memang, saya dengar tadi beliau kelepasan bicara, tapi saya yakin beliau tidak sengaja melakukannya. Karena itu, beliau akan meminta maaf pada Bapak ini (Pak Udin). Bukan begitu, Pak?” Willy mengedipkan mata kanannya pada Pak Sardiman.

Pak Sardiman mengangguk.

Bukan hal yang berat bagi Pak Sardiman untuk meminta maaf, apalagi ia mengakui bahwa itu memang kesalahannya. Ia kemudian menyodorkan tangannya pada Pak Udin, berkata, “Maafkan saya, Pak.” Pak Udin melihat tangan mungil itu sebentar, berkata dalam hati, apa kata orang pada dirinya jika ia tidak memaafkannya, lalu menyambut permintaan maaf itu dengan malas.

Willy meraih tangan mereka, mengangkatnya ke udara seakan-akan Pak Udin dan Pak Sardiman dua petinju yang sama-sama meraih kemenangan. Semua penumpang bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Mereka lega akhirnya kisah ini berakhir bahagia.

Sebentar saja, kejadian ini sudah banyak ditonton di Tiktok dan YouTube, dan #HappyBus jadi trending topik nomor satu di Twitter. Tetapi Willy tidak ingin diwawancara, kecuali beberapa perempuan muda yang ingin berfoto dengannya.

Cahaya kelap-kelip biru lampu strobo berpendar-bendar saat dua sepeda motor Patwal melewati jalan tol. Semua penumpang bus memandang ke luar, ke jalan tol sepi itu. Sebentar lagi, RI 1 dengan segala ketenangannya akan melewati jalan itu.

“Ibu-ibu, bapak-bapak, saudara-saudara!” Willy berkata, “Presiden kita sebentar lagi akan lewat. Mari kita sambut rame-rame.”

Kemudian Willy, seperti berbisik, mengatakan sesuatu pada Pak Udin dan pria kurus berkumis. Pak Udin dan pria kurus berkumis menyampaikan yang dikatakan Willy pada penumpang lain, lalu penumpang lain melakukan hal yang sama, hingga semua orang di bus itu mendapatkan pesannya.

“Ayo, semuanya ikut saya keluar!” seru Willy bersemangat.

Para penumpang mengikutinya turun dari bus, kemudian mereka menaiki bus-bus lain dan mengajak penumpangnya turun untuk menyambut RI 1. Mereka juga mengajak pengemudi mobil, truk dan sepeda motor, tukang tahu goreng, tukang rokok, tukang air, pengamen atau siapa saja untuk turun menyambut RI 1.

Orang-orang turun dari bus, mobil, truk, dan sepeda motor, bergerak menuju pagar jalan tol. Jumlah mereka kian banyak, dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan. Mereka berdiri berjejer di sepanjang pagar jalan tol untuk menunggu RI 1 lewat.

Tidak lama setelah itu, dua mobil Patwal melintas, diikuti rombongan mobil-mobil bagus berwarna hitam. Orang-orang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan ketika RI 1 melintas nanti. Mereka akan bersorak dan berteriak sekencang-kencangnya, mengucapkan kata-kata yang tidak bisa kusebutkan di sini. Dan mereka melakukannya.

Yang disoraki duduk di kursi belakang mobil canggih, sedang mendengarkan musik Klenengan yang mengalun lembut. Ketika melihat banyak orang-orang di luar sana yang berdiri menyambutnya, RI 1 meminta sopir memelankan laju mobil. Beliau lalu menurunkan kaca jendela, dan melambaikan tangan kepada mereka. “Lihatlah, Bu. Mereka semua mencintai presidennya,” katanya pada Ibu Negara tercinta yang duduk di sampingnya. Ibu Negara yang terkenal lembut itu memandang mereka dengan penuh senyum sambil melambaikan tangannya.

Rombongan itu akhirnya lenyap di dalam gelap, menyisakan kebahagiaan di wajah orang-orang yang sudah meluapkan emosi mereka, sesuatu yang sulit dilakukan secara langsung, bahkan lewat media sosial sekalipun. Orang-orang kembali menaiki bus, mobil, truk, dan sepeda motor mereka. Para pedagang dan pengamen kembali melakukan kegiatan mereka.

“Sekali-sekali boleh dong,” kata penumpang berjaket hitam saat menaiki tangga bus.

“Keren,” kata seorang pemuda bertopi Arsenal.

“Lain kali menterinya.”

Wajah Pak Udin tampak lega dan tenang. Ia yang berteriak paling keras dan lama diantara yang lain. Hanya pak Sardiman, penumpang laki-laki yang tidak ikut serta. Ia masih berdiri di posisi yang sama, bersandar di kursi tengah, sambil memainkan ponselnya, berharap segera tiba di rumah.

Melihat Pak Sardiman yang lesu, Pak Udin jadi merasa bersalah sudah membentak laki-laki kecil ini. Benar kata pemuda itu, mungkin laki-laki kecil ini tidak sengaja mengucapkannya. Bisa jadi ini memang salahnya, yang gampang emosi dan terlalu cepat menuduh.

“Kau seharusnya ikut tadi,” kata Pak Udin.

Kecuali tersenyum kecil, Pak Sardiman merasa tidak perlu menanggapi. Ia tidak ingin membuat dosa baru.

“Saya yang seharusnya minta maaf,” lanjut Pak Udin.

“Saya yang salah,” kata Pak Sardiman.

Pak Udin tersenyum mengingat kebodohannya tadi. Ia berkata, “Kadang kita lupa anak-anak kita sudah besar.”

*

Pak Sardiman tiba di rumah sekitar jam setengah sepuluh malam. Ia belum pernah tiba di rumah selarut ini sejak tiga tahun belakangan. Komputer dan anak-anak muda sedikit-banyak sudah mengambil alih pekerjaannya, sehingga ia tidak perlu lagi pulang melewati jam kerja. Tidak banyak yang dikerjakannya di kantor, malahan ia lebih banyak waktu bersantai.

Ia duduk di sofa, di meja di sampingnya ada setumpuk buku milik putra keduanya. Putranya memang biasa mengerjakan PR di ruang tamu dan meninggalkan buku-bukunya agak berantakan di sana. Ia tidak habis pikir kenapa putranya yang selalu juara kelas lebih menginginkan bekerja dari pada kuliah. Ia senang putranya punya rasa prihatin terhadap kondisi orang tuanya. Apalagi ketika putranya mengatakan bahwa sebagian gajinya nanti akan dipakai untuk membangun rumah di kampung. Menurutnya, hal itu lebih penting ketimbang uang tabungan orang tuanya yang akan dipakai untuk membiayai kuliahnya.

Meski begitu, Pak Sardiman punya banyak cerita dari rekan kerja atau orang lain yang tidak lanjut kuliah karena sudah terlalu nyaman bekerja. Ia tidak ingin hal itu terjadi pada anaknya. Ia ingin anaknya fokus kuliah dan menjadi seperti mahasiswa pada umumnya yang mengikuti organisasi, melakukan penelitian atau ikut demonstrasi.

Pak Sardiman merenung agak lama, berpikir, dan memahami keinginan putranya. Sudah lebih dari separuh umurnya Pak Sardiman hidup jauh dari kampungnya, sementara mudik setahun sekali di hari lebaran tidak pernah memuaskannya.

Ada begitu banyak tempat dan orang-orang di kampungnya yang dirindukannya, yang kian hari bertambah berkeinginannya untuk kembali menetap di sana. Ia jadi merasa lucu memikirkan itu, karena jauh sebelumnya, saat masih tinggal di kampung, ia bercita-cita bekerja dan tinggal di Jakarta.

Istri Pak Sardiman keluar dari kamar, duduk di samping Pak Sardiman, berkata, “Tumben pulangnya malam.” Pak Sardiman menjawab, “Ada banyak kerjaan.” Istri Pak Sardiman bangkit, pergi ke dapur untuk membuatkan teh manis hangat dan membawa sedikit kue untuk suaminya. Ketika kembali, dia menemukan suaminya sudah tertidur lelap.

*

Pak Udin membuka pintu pagar, kap mobil di carport masih panas. Mobilnya baru saja dipakai. Tidak ada orang lain di rumah yang memakai mobilnya selain ia dan putra sulungnya.

Ia melepas sepatu, membuka pintu rumah, menaruh tasnya di atas meja, lalu pergi ke ruang tengah, mengambil air minum dari dispenser air, duduk di kursi makan, dan minum setengah gelas.

Putranya keluar dari kamar membawa piring kotor ke tempat cuci piring, mencucinya, lalu kembali ke kamarnya, dan tidak berapa lama ia keluar dengan handuk.

“Dari mana tadi?” tanya Pak Udin.

“Ngojek,” jawab putranya. Tentunya yang dimaksud mengemudi taksi online. Lalu ia pergi ke kamar mandi.

Pak Udin bangkit dan berpindah ke ruang tengah, menyalakan TV, memindah-mindah saluran TV, dan berhenti di tayangan berita. Istrinya menawarkannya diambilkan makan malam. Pak Udin bilang tidak usah, masih kenyang.

Berita di TV masih seputar demonstasi tadi siang, tapi Pak Udin tidak menontonnya. Pikirannya melayang ke beberapa puluh tahun silam, ketika ia pertama kali meninggalkan kampung halamannya di Cirebon satu bulan setelah ibunya meninggal. Di usianya yang baru lima belas tahun saat itu, Udin muda sudah resmi jadi yatim-piatu. Ayahnya meninggal dua tahun sebelumnya.

Udin muda pergi ke Bekasi dengan membawa uang yang sangat sedikit, ijazah SD dan SMP-nya. Ia tinggal tinggal di rumah pamannya yang seorang pedagang soto. Pamannya senang dengan kehadirannya, yang dianggapnya sebagai kesempatan untuk membalas jasa kakaknya yang sudah banyak berbuat baik padanya.

Udin muda banyak membantu pamannya di rumah dan berjualan soto. Ia disekolahkan di SMA dengan biaya yang disebut pamannya sebagai upah membantunya berjualan soto. Satu setengah bulan setelah lulus sekolah ia mendapatkan pekerjaan sebagai office boy di sebuah rumah sakit. Ia berhenti kerja setahun kemudian setelah rumah sakit memutuskan mengambil office boy dari perusahaan outsourcing. Ia pun kembali membantu pamannya berjualan soto.

Pada suatu hari, ia memberitahu pamannya bahwa ia akan menikahi seorang anak gadis asal Ciputat. Saat itu usianya dua puluh tahun. Pamannya menyambut kabar itu dengan gembira. Tapi tidak dengan bibinya.

Malamnya, setelah menyampaikan kabar itu, Udin muda mendengar percakapan antara paman dan bibinya yang sedang membicarakan dirinya dan hampir menimbulkan pertengkaran. Ia tidak bermaksud menyusahkan mereka, kecuali mempercayakan lamaran pada pamannya. Itu saja. Selebihnya, masalah biaya pernikahan dan lain-lain akan diurusnya sendiri.

Keesokan paginya, pamannya memanggilnya, memberitahu bahwa ia akan menemaninya melamar. Namun kenyataannya lebih dari itu. Pamannya membantu segala keperluan pernikahannya, seakan-akan yang menikah adalah anaknya sendiri.

Kehidupan Udin muda memang tidak lebih baik setelah menikah. Ia melalui masa-masa sulit membayar kontrakan dan hutang-hutangnya, dan sempat menganggur beberapa bulan sebelum mendapatkan pekerjaannya di perusahaan yang sekarang. Ia memulai karirnya dari bawah sebagai staf pengiriman yang merangkap staf penagihan, dan pergi kuliah di akhir pekan. Ketika putra pertamanya lahir di klinik bidan, ia masih dalam perjalanan mengirim barang.

Sekarang, kejadian itu terulang lagi. Entah faktor keturunan atau kebetulan. Bedanya, saat itu ia punya seorang paman yang bisa diandalkan. Ia jadi merasa malu pada pamannya yang sudah lama meninggal itu.

“Kadang-kadang kita lupa anak kita sudah besar,” Pak Udin ingat ucapannya sendiri pada laki-laki kecil di bus. Sayangnya, ia bukan hanya lupa. Ia juga sering melewatkan banyak hal penting di kehidupan putranya—salah satunya tidak menghadiri wisudanya. Sekarang, ketika putranya akan menghadapi momen penting lain dalam hidupnya, ia malah mengecewakannya.

Gadis yang akan jadi calon mantunya itu pernah dibawa putranya ke rumah sekali. Awalnya ia tidak tahu kedatangan gadis itu jadi tanda-tanda awal bahwa putranya akan segera menikah. Ia pikir gadis itu mantan teman kampus atau teman kerjanya, karena ada satu perempuan lain yang menemaninya. Ia dan istrinya dikenalkan kepada mereka, kemudian mereka mengobrol sebentar. Gadis itu memang tidak secantik staf perempuan di kantornya yang pernah ditunjukkan foto putranya. Namun, paling tidak gadis itu sangat sopan.

Pak Udin mengetuk pintu kamar putranya. Putranya membuka pintu. Ia memakai baju koko, sarung dan kopiah, di atas meja ada Al-Qur’an yang terbuka.

“Bapak mau ngomong sama kamu,” kata Pak Udin.

Putranya membuka pintu lebih lebar. Pak Udin melangkah masuk, menarik kursi, lalu duduk. Putranya duduk di pinggir ranjang.

“Jadi, kapan kamu mau melamarnya?”

“Harus datang dulu ke sana,” jawab putranya. “Buat perkenalan.”

“Kapan?”

“Sabtu besok?”

“Yang perlu dibawa apa saja?”

*

Willy seharusnya bertemu rekan bisnisnya malam itu, dan rekannya akan mengantarnya pulang. Tetapi ia membatalkannya. Ia menyesali rekannya yang melibatkan orang ketiga dalam transaksi itu; seorang pengemudi taksi online yang butuh uang untuk biaya pernikahannya. Bodohnya, untuk apa rekannya memberitahu pekerjaan dan keperluan orang ketiga itu padanya.

Urusan tersebut harusnya antara ia dan rekannya, dan tidak ada boleh ada orang lain yang masuk. Ia bahkan sampai benar-benar memastikan bahwa namanya tidak disebut. Meski rekannya sudah menjamin, ia masih tidak yakin. Bisnis ini sangat berisiko dan ia sudah membuat jaringan berlapis sehingga ia amat sulit disentuh kecuali orang yang sudah sangat dekat.

Pembaca yang terhormat, untuk diketahui, saya tidak menghubungkan orang ketiga itu dengan putra Pak Udin—meski sebuah kebetulan bisa saja terjadi.

Willy membuka jendela kamarnya di lantai dua itu, mengambil sebungkus rokok dari tasnya dan menyalakan satu batang. Ia lelah dan mengantuk. Pikirannya sedikit lebih tenang setelah beberapa isapan rokok. Ia tadi bisa saja pulang dengan taksi online. Tetapi sejak ia membatalkan pertemuan itu, ia jadi merasa sangat cemas—atau kau boleh menyebutnya parno—dan terpaksa naik bus. Sialnya, jalanan macet berat dan ia tidak dapat kursi, dan demi ketenanganannya, ia harus mendamaikan dua orang tua bodoh yang bertengkar.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!