Semangkuk Mie Ayam

Aku sedang makan mie ayam ketika seorang pengemis datang menghampiriku. Sebelum ia meminta-minta, aku duluan berkata:

“Mau mie ayam?”

Ia mengangguk senang. “Terima kasih.”

Aku mempersilahkannya duduk di sampingku. Kemudian aku memesan semangkuk mie ayam komplit dan segelas es teh manis untuknya.

Sekilas penampilannya tidak seperti seorang pengemis. Usianya masih sangat muda, tubuhnya kuat, wajahnya halus, pakaiannya terlihat bagus meski kusut. Karena penasaran, aku pun bertanya padanya,

“Kenapa mengemis?”

Ia tidak tersinggung dengan pertanyaanku. Bahkan ia tersenyum, seakan-akan ia memang sedang menunggu seseorang untuk diceritakan kisahnya.

Tiga hari lalu ia datang dari Wonosobo untuk tes dan wawancara kerja. Tes dan wawancara kerjanya berjalan lancar, dan ia seharusnya sudah pulang kalau dompet dan ponselnya tidak dicopet. Sekarang, ia tidak punya uang sama sekali. Ini hari pertamanya mengemis.

Mie ayamku baru saja habis ketika pesanannya datang. Dengan mata berkaca-kaca ia memandangi hidangan di atas meja; semangkuk mie ayam bakso, dengan pangsit basah, kerupuk pangsit, ceker ayam, dan segelas es teh manis.

“Terima kasih, Mas,” ia berkata.

Untuk menghindari perasaan sentimentil yang mulai merasukiku, aku berpura-pura menelpon seseorang. Aku menanyakan kabarnya, seakan-akan yang kutelpon adalah teman yang sudah lama tidak bertemu. Dan supaya obrolanku terlihat meyakinkan, aku berpura-pura terkejut dan tertawa. Dan tertawa lagi.

Akan tetapi, suara tawaku yang lumayan kencang sepertinya membuat pelanggan lain tidak nyaman. Aku memutuskan pergi agak menjauh. Lalu lebih jauh lagi, dan semakin jauh. Hingga akhirnya aku meninggalkan gerobak mie ayam dan pengemis malang itu.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!