Oktober dan Juni
Oleh O. Henry
Sang Kapten memandang muram pedangnya yang tergantung di dinding. Tidak jauh darinya, di dalam lemari, tersimpan seragamnya yang kusam, pudar dan lusuh karena cuaca dan pengabdian. Sungguh, waktu yang teramat lama sejak tanda bahaya perang.
Dan sekarang, veteran yang telah lelah membaktikan dirinya pada negeri itu takluk pada mata dan senyum seorang wanita. Di tangannya ada sebuah surat yang baru diterimanya dari sang wanita—sebuah surat yang membuatnya sedih. Ia membaca ulang paragraf yang menghancurkan harapannya.
Saya merasa harus berkata jujur mengapa saya menolak menjadi istri Anda. Alasan saya adalah, karena perbedaan usia kita yang jauh. Saya sangat menyukai Anda, tetapi saya yakin kita tidak akan bisa saling membahagiakan di dalam pernikahan. Maafkan saya karena menulis ini, tetapi saya percaya Anda akan menghargai saya karena saya sudah mengungkapkan alasan yang sebenarnya.
Sang Kapten menghela nafas, kemudian menyandarkan kepalanya di kedua tangan. Memang, perbedaan usia mereka teramat jauh. Namun, ia seorang yang kuat, tegar, punya jabatan dan kaya. Tidakkah cintanya, perhatian tulusnya serta kebaikan-kebaikan yang diberikannya pada wanita itu bisa melupakan masalah perbedaan usia?
Sang Kapten seorang pria yang sigap. Di lapangan, ia seorang yang penuh semangat. Ia akan menemui wanita itu dan memintanya untuk menikahinya.
Usia! Mengapa usia bisa menjadi penghalang diantara kita.
Dalam dua jam, dengan perlengkapannya, ia sudah bersiap untuk sebuah pertempuran terbesarnya. Ia naik kereta menuju kota tua di Selatan, Tenessee, tempat wanita itu tinggal.
Theodora Deming sedang berada di atas tangga, di kediamannya, menikmati cahaya musim panas ketika sang kapten memasuki gerbang dan berjalan di jalanan berbatu. Dia tersenyum lepas menyambutnya. Saat kapten berdiri satu anak tangga di bawahnya. Di antara keduanya tidak terlihat perbedaan usia yang begitu mencolok. Sang kapten bertubuh tinggi dan tegap dengan mata yang jernih dan coklat. Sementara sang wanita berada dalam masa-masa mekarnya seorang wanita dewasa.
“Aku menerima suratmu,” kata sang kapten, “Dan karena itulah aku datang. Aku memintamu sekarang, Theo, untuk mempertimbangkan jawabanmu.”
Theodora tersenyum lembut padanya. Laki-laki itu tampak awet muda. Wanita itu benar-benar mengagumi kekuatannya, penampilannya dan keberaniannya—mungkin, jika—
“Tidak, tidak,” dia berkata, menggeleng kepalanya. “Itu di luar pertanyaan. Aku sangat menyukaimu, tapi tidak untuk menikahimu. Usiaku dan usiamu—jangan membuatku mengulanginya lagi—aku sudah mengatakannya dalam suratku.”
Sang Kapten sedikit memerah di balik warna wajahnya yang kecokelatan. Ia diam sejenak, menatap sedih ke arah matahari terbenam. Di balik deretan pepohonan sejauh yang bisa dilihatnya, ada sebuah ladang tempat pasukan berbaju biru pernah berkemah dalam perjalanan mereka menuju laut. Betapa lamanya waktu itu terasa sekarang! Sungguh, Nasib dan Sang Waktu telah memperdayainya dengan kejam. Hanya beberapa tahun yang menghalangi dirinya dari kebahagiaan!
Tangan Theodora meluncur turun dan jatuh di tangan kokoh Sang Kapten yang coklat. Dia merasakan, setidaknya, perasaan yang mirip dengan cinta.
“Jangan terlalu dipikirkan, tolong,” katanya dengan lembut. “Ini semua demi kebaikan kita. Aku telah memikirkannya dengan sangat bijaksana. Suatu hari nanti kau akan bersyukur aku tidak menikah denganmu. Awal pernikahan memang akan sangat indah dan menyenangkan—tapi, coba pikir! Dalam beberapa tahun saja, apa yang akan kita rasakan pasti akan sangat berbeda! Salah satu dari kita mungkin hanya ingin duduk-duduk di dekat perapian dan membaca, mungkin sambil mengurut kaki yang kena encok atau rematik di malam hari, sementara yang lain akan tergila-gila dengan pesta dansa, teater, dan minum-minum. Tidak, sahabatku yang baik. Meskipun ini tidak sepenuhnya seperti Januari dan Mei, ini jelas seperti Oktober dan awal Juni.”
“Aku akan selalu melakukan apa yang kau inginkan, Theo. Jika kau ingin—”
“Tidak, kau tidak akan melakukannya. Kau pikir sekarang kau akan melakukannya, tapi kau tidak akan. Tolong jangan tanyakan lagi.”
Sang Kapten telah kalah dalam pertarungannya. Namun, ia adalah seorang pejuang yang gagah berani, dan ketika ia bangkit untuk mengucapkan selamat tinggal terakhirnya, mulutnya tertutup rapat dan bahunya ditegakkan.
Malam itu, ia naik kereta menuju Utara. Pada malam berikutnya, ia sudah kembali di kamarnya, di mana pedangnya tergantung di dinding. Ia sedang bersiap untuk makan malam, mengikat dasi putihnya dengan sangat hati-hati menjadi sebuah simpul. Dan pada saat yang sama, ia larut dalam monolog penuh renungan.
“Demi kehormatanku, setelah dipikir-pikir, aku yakin Theo benar. Tak ada yang bisa menyangkal bahwa dia seorang wanita yang luar biasa, tapi dia pastinya sudah berumur dua puluh delapan tahun, setidaknya seperti itulah hitungan tepatnya.”
Untuk kauketahui, Sang Kapten baru berusia sembilan belas tahun, sedangkan pedang yang tergantung di dinding itu belum pernah dikeluarkan dari sarungnya, kecuali pada saat parade di Chattanooga, wilayah terdekat yang pernah dicapainya dalam perang Spanyol-Amerika.
* * *