Sebuah Kisah di Kereta
“Namaku Ali, mahasiswa jurusan Politik.” Aku memperkenalkan diri pada seorang pria berpakaian rapih, berdasi merah dengan wangi parfum yang menebar kesejukan di tengah hiruk pikuk kereta. Kupikir orang ini lebih cocok berada di dalam BMW daripada berdiri berdesakan di dalam kereta.
“Aku Roy, kerja di Microsoft,” kata pria itu, membuat irama pada kata Microsoft.
“Microsoft? Kau bercanda?” kataku, membuat orang-orang yang mendengarnya melihat ke arah kami. Mana ada pegawai Microsoft naik angkutan umum kalau bukan karyawan baru.
Roy dengan mata coklat, wajah tampan dan tinggi tubuh yang ideal seharusnya bisa jadi seorang artis. Ini hari ketiganya bekerja di Microsoft, yang sedang dilakukannya di kereta adalah menjajaki angkutan umum menuju kantornya. Dua hari terjebak macet rupanya membuatnya ingin mencoba naik kereta.
“Aku seharusnya mengambil jurusan komputer, politik selalu membuat pusing siapa saja,” kataku, yang sebenarnya pusingku bukan karena urusan politik melainkan masalah keuangan.
“Tapi semua orang perlu berpolitik … kan?” Roy mengatakannya dengan sedikit ragu. Kurasa ia bukan tipe orang yang suka bicara politik.
“Ya, semua orang perlu berpolitik,” aku juga mengatakannya dengan ragu seperti keraguanku pada politik di negeri ini.
Kami terdiam sejenak, memandang gedung-gedung berlarian, melirik kemacetan di jalan dan berpikir betapa beruntungnya naik kereta.
Ponsel Roy berbunyi. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku kiri celananya dan menjawab teleponnya. Baru sebentar saja ia sudah tampak serius berbicara, tangan kanannya bergerak-gerak seolah sedang menjelaskan sesuatu. Aku mencuri dengar pembicaraannya dan mengira-ngira jabatannya adalah seorang marketing atau posisi yang berhubungan dengan klien. Tapi ponsel yang dipakainya tidak pantas untuk ditunjukkan di depan klien. Atau, mungkin ia punya ponsel ekstra yang tidak dipakai di tempat seperti ini—yang rawan copet.
Roy mengakhiri obrolannya teleponnya, wajahnya terlihat puas. “Klien.” Ia tersenyum, memasukkan ponselnya ke dalam saku kiri celananya, dan berkata, “Kautahu, kau bisa jadi ahli komputer tanpa belajar di universitas.”
“O ya?”
“Yang perlu kaulakukan hanya mempelajari perkembangan komputer terakhir. Kau cari tempat kursus yang bagus. Atau, kau bisa belajar sendiri dari buku atau internet.”
Aku mengangguk, pura-pura paham. Kalau yang beginian sih aku sudah tahu. Yang kumaksud apakah ada lowongan kerja di Microsoft. Aku memang tidak tahu banyak tentang komputer, yang kutahu perkembangannya sangat cepat. Kecuali mengerjakan hal-hal teknis, aku bisa mengerjakan apa saja di sana; jadi sopir, petugas kebersihan, atau bahkan marketing seperti Roy.
Penumpang bertambah banyak setiap kali kereta berhenti di stasiun. Kukatakan padanya bahwa sebentar lagi akan ada desakan yang lebih dahsyat dari luar.
Betul saja, di stasiun berikutnya orang-orang yang naik sangat banyak, sebagian membawa tas koper besar dan kardus. Kakiku terinjak, seorang pria besar mendorongku dari belakang. Roy hampir saja kehilangan pegangan, tapi tangannya berhasil meraih palang bagasi.
Kereta bergerak pelan-pelan, mengerem, dan bergerak lagi. Selepas dari stasiun, kereta melaju cepat, semakin cepat lalu sangat cepat, menari semua penumpangnya ke belakang gerbong. Kemudian tidak lama sesudah itu, orang-orang mendorongku dari belakang hingga membuat badanku melengkung karena menahannya. Roy mengalami situasi yang sama, posisinya bahkan tidak lebih baik. Ia berpegangan pada palang bagasi hanya dengan satu tangan. Wajahnya berkeringat, urat-urat menonjol di pelipisnya. Kalau saja pegangan salah satu dari kami terlepas, maka habislah kami beserta penumpang yang duduk di depan kami.
Selama sekitar sepuluh menit posisi badan kami seperti itu sampai akhirnya kereta mengerem mendadak—yang bisa saja membuat kami terlempar seandainya tidak berpegangan kuat-kuat. Meski begitu, hal ini memberi kami keuntungan, karena setelah itu kami dapat posisi yang lebih baik. Roy terlihat acak-acakan, kemeja putihnya kusut dan basah karena keringat.
“Nanti juga terbiasa,” kataku.
“Sudah berapa lama naik kereta?” tanya Roy, wajahnya memerah.
“Lima tahun,” jawabku. Lima tahun adalah waktu sejak pertama kali aku kuliah.
“Aku akan beli mobil bulan depan.”
“O ya?”
“COP. Car Ownership Program. Kantor yang akan membayarnya. Aku disubsidi lima puluh persen.”
Andai aku kerja di Microsoft.
Aku tidak suka bicara sesuatu yang tidak kukuasai. Aku ingat saat pamanku pernah berkata, “Kuasai pembicaraan, maka kau akan menguasai keadaan.”
“Ekonomi kacau. Banyak PHK … demonstrasi,” kataku.
“Ya.”
“Tidak ada pengaruhnya buat kita. Aku hanya sedang melihat reaksi pemimpinnya. Itulah yang kupelajari … karakter dan sikap si pengambil keputusan.”
“Ya.”
“Kau pernah perhatikan pemimpin barat mengambil keputusan? Maksudku bukan keputusannya, tapi orangnya. Pernah kauperhatikan?”
“Ya.”
“Apa yang kaulihat?”
“Mereka orang-orang hebat, tenang dan sudah direncanakan,” jawab Roy percaya diri.
“Kauyakin?”
“Ya.”
“Seperti pasca nine-eleven? Kurasa tidak.”
“Ya.”
“Maksudmu?”
“Ya.”
Lagi-lagi ia berkata ‘ya’. “Boleh kutanya sesuatu lagi?”
“Ya.”
“Apa yang kaulihat dari orang-orang di sini?”
Roy memandang sekeliling, lalu melihat ke arahku, dan berkata,
“Maksudmu?”
“Apakah orang-orang di sini jahat?”
“Maksudmu?”
“Kebanyakan orang di sini tidak saling kenal. Aku tidak kenal kau jika tidak ada yang memulai percakapan. Bagaimana kau menilaiku seandainya kita tidak saling kenal?”
“Entahlah. Tapi menurutku kau baik.”
“Menurutmu aku baik?”
“Ya.”
“Dari mana kautahu?”
“Kau banyak tersenyum.”
Kami semakin akrab. Di sisa perjalanan kami membicarakan tentang keluarga dan masa depan. Aku menceritakan mimpiku membuka kafe di Bandung. Tetapi Roy bukan pendengar yang baik. Ia lebih ingin mendominasi pembicaraan. Aku membiarkan ia bercerita panjang lebar tentang prestasi akademiknya, kampus ternamanya, gadis-gadis kampus, perusahaan tekstil pamannya, dan keponakannya yang pemain sinetron. Ia bicara dengan gaya yang menarik sehingga aku mengikutinya seperti sedang menonton sebuah film.
Di luar, angin kering menerbangkan debu dan daun-daun. Ini musim panas, beberapa jam lagi matahari akan semakin terik, panasnya bisa membakar emosi siapa saja. Orang jadi mudah tersinggung, kesalahan kecil saja bisa memicu perkelahian. Aku selalu berusaha untuk bersikap tenang dan sabar. Kata pamanku, dua kata itu adalah kunci sukses. Begitulah pamanku, ia selalu berkata benar. Ia sukses berkat ketenangan dan kesabarannya.
Kereta berhenti di Stasiun Jatinegara dan menurunkan banyak penumpang.
“Stasiun Dukuh Atas masih jauh?” tanya Roy.
“Dua stasiun lagi,” jawabku. Sebetulnya tiga karena kereta tidak berhenti di Stasiun Mampang.
“Danke.”
Meski kereta kami berhenti lumayan lama di stasiun ini, kami tidak saling bicara. Roy sibuk dengan ponselnya. Setelah itu kereta berhenti di Stasiun Manggarai. Stasiun besar dengan banyak jalur rel. Roy memandangi penumpang yang berlarian untuk berpindah ke kereta kami. Mereka penumpang dari kereta Bogor yang menuju ke arah Tanah Abang. Aku memberitahu itu kepada Roy.
“Satu stasiun lagi,” kataku.
Untuk beberapa lama kereta melaju sangat cepat, melewati Stasiun Mampang, dan memelan sesaat sebelum masuk Stasiun Dukuh Atas. Aku menepuk pundak Roy, kemudian menunjuk ke arah papan nama stasiun, berkata, “Sudah sampai. Hati-hati di jalan.”
Roy tersenyum. Ia menjabat tanganku, mengucapkan terima kasih, lalu berjalan menuju pintu keluar.
Roy memang orang baik, akan tetapi aku butuh lebih dari sekedar orang baik, apalagi aku tidak berharap akan bertemu lagi dengannya. Cukup sekali ini dan ucapkan selamat tinggal.
Aku melihatnya turun dari kereta dan saat ia tenggelam dalam antrian menuju tangga eskalator. Aku masih melihatnya ketika kereta bergerak melewatinya. Begitu kereta sudah cukup jauh meninggalkan stasiun, kukeluarkan dompet coklat lusuh milik Roy dari saku jaket jins-ku. Di dalamnya berisi tiga lembar lima ribu rupiah, kartu KTP, kartu ATM, dan kartu nama sebuah agensi artis sinetron. Untungnya yang kucopet hanya seorang pembual. Aku tidak tega melihat orang kesusahan, terutama diriku sendiri.
Di gerbong depan sepertinya banyak orang berpakaian necis yang baru pertama kali naik kereta. Mungkin sedikit bantuanku akan menolong mereka menemukan stasiun. Sial! Pamanku menasihatiku agar jangan terlalu banyak bermain di dunia kapitalis.
Aku merasakan getaran dari saku celana dan kukeluarkan ponsel milik Roy. Bunyi ringtone kuno dari speaker pecah terdengar kencang. Aku menekan tombol jawab, kudekatkan speaker-nya ke telingaku, dan terdengar suara cempreng perempuan berteriak:
“Halo? … Halo? … Jono … jawab brengsek … Jawab!”
* * *