Nilai Pembukaan
“Jangan menilai buku dari sampulnya.”
Setuju.
“Nilailah dari halaman pertamanya.”
Juga setuju.
Yang saya maksud halaman pertama bukan di kata pengantar. Bukan juga di ucapan terima kasih. Tapi bab satu. Atau prolog.
Satu paragraf pertama di bab satu harus sudah bisa memancing minat pembaca.
Halaman pertama, wabil khusus paragraf pertama, yang selalu jadi pertimbangan saya beli buku. Kalau tidak sreg, saya tidak akan beli. Sebagus apa pun rekomendasinya. Sebagus apa pun sinopsisnya.
Sayangnya, toko buku sekarang sudah tidak lagi menyediakan buku sampel. Jadinya saya mesti membacanya dulu di Playbook.
Penulis memang harus pandai-pandai merayu pembaca dengan pembukaan yang menarik. Terlebih penulis cerpen. Rayuannya mestinya lebih dahsyat.
Cerpen itu mirip artikel. Artikel fiksi. Jadinya, pembukaannya mirip artikel pada umumnya. Ada lead-nya. Lead itu bagian penting dari tulisan. Intinya. Sari patinya.
Saya malah kadang-kadang lebih mengingat pembukaannya ketimbang isinya. Ini salah satunya:
MENURUT PEMBERITAHUAN, ini hanya masalah sementara: selama lima hari aliran listrik akan dimatikan satu jam, mulai jam delapan malam. Ada kabel yang rusak gara-gara badai salju terakhir, dan para tukang reparasi memilih memperbaikinya pada malam hari karena cuacanya lebih bagus. Perbaikan itu akan memengaruhi rumah-rumah di jalan sepi dengan barisan pohoh di sisi-sisinya, dekat sekali dengan deretan toko bertembok bata dan halte trem, tempat yang ditinggali Shoba dan Shukumar selama tiga tahun.
Itu kutipan dari cerpen: Masalah Sementara, salah satu cerpen dalam buku Penerjemah Luka (Interpreter of Maladies) terbitan GPU hal. 11.
Penulisnya: Jhumpa Lahiri. Anda bisa membaca versi aslinya di sini.
Di sini, Masalah Sementara bukan hanya judul. Tapi sekaligus lead. Juga tema. Uniknya, Masalah Sementara dijadikan metafora.
Begini penjelasannya.
‘Masalah sementara’ yang sebenarnya bukan pada padamnya listrik. Melainkan masalah rumah tangga tokoh utamanya. Yakni pasangan suami-istri: Shukumar dan Shoba. Setelah listrik menyala, masalahnya selesai. Paling tidak untuk sementara.
Lain lagi dengan pembukaan cerpen Ketika Mr. Pizarda Mampir Makan Malam. Penulisnya masih sama: Jhumpa Lahiri.
PADA MUSIM GUGUR TAHUN 1971, ada pria yang biasa datang ke rumah kami, membawa permen di saku dan harapan untuk memastikan keluarganya selamat atau tidak. Namanya Mr. Pizarda, ia datang dari Dacca, sekarang ibu kota Bangladesh, tetapi saat itu bagian Pakistan.
Paragraf pertamanya masih panjang. Totalnya ada dua ratusan kata. Tapi bagian pentingnya ada di situ. Itu lead-nya, ada di kalimat yang digaris bawahi—yang bikin penasaran.
Anda bisa baca cerita lengkapnya, yang sudah diterjemahkan di FIKSILOTUS.
Saya sudah sering berusaha keras membuat pembukaan cerpen yang bagus. Tetapi lebih banyak gagalnya. Akhirnya, yang ditulis yang seadanya yang dibagusin.
Pernah, suatu kali saya membuat satu paragraf yang menurut saya sangat bagus. Atau lebih tepatnya dibagus-bagusin. Begini bunyinya:
Ini adalah kisah dari Negeri Syair. Negeri dimana seribu penyair tinggal dengan seribu syair yang dinyanyikan di taman seribu bunga. Hanya para lelaki yang bersyair, sementara para perempuan mendendangkannya diantara sesama.
Silahkan Anda nilai sendiri pembukaannya. Tapi Anda mungkin tidak akan pernah baca ceritanya. Karena tidak pernah jadi. Atau belum. Mungkin suatu saat nanti. Semoga.
* * *