Weerwolven

Kisah ini berdasarkan jurnal milik dokter Benjamin yang kutemukan secara tidak sengaja di dalam reruntuhan wisma dokter di Benteng Vredes pasca penyerangan malam 8 dan 9 April 1895 yang menewaskan setidaknya 56 orang dari pihak Hindia Belanda dan 17 orang dari pihak Pribumi. Jurnal tersebut sejatinya jurnal medis, Ben mengubahnya menjadi jurnal perjalanan setelah meninggalkan Benteng Vredes pada malam tahun baru 1895. Catatan pertamanya ditulis tanggal 2 Januari 1895, diawali kalimat:
Semoga kedamaian ada di kedua belah pihak.
Kedua belah pihak yang dimaksud adalah Pribumi dan Hindia Belanda. Pihak Pribumi dalam ini hal tidak merujuk Pribumi secara keseluruhan, melainkan mereka yang menamakan diri mereka pejuang. Akan tetapi, pada saat itu sulit membedakan antara Pribumi biasa dengan Pribumi pejuang. Kedua pihak pernah hidup dalam damai, yang dimulai sejak reposisi pihak Hindia Belanda di Batavia Kecil pada tahun 1877. Reposisi yang diusulkan Kolonel Rudolph kepada Gubernur Jenderal Van Hoyt tersebut tertuang dalam bentuk perjanjian damai dan beberapa kesepakatan. Di situ disebutkan bahwa pihak Hindia Belanda akan menempatkan diri sebagai pedagang (bukan untuk menguasai atau kolonialisme) dan menawarkan kompensasi atas kerugian akibat perang akan diberikan berupa rumah sakit, sekolah, jalan raya, saluran air, dan bentuk lain yang sekiranya diperlukan.
Batavia Kecil terletak di bagian utara Batavia, terdiri dari lima kampung yang dipimpin Haji Enceng. Meski disebut dituakan, usia Haji Enceng kala itu baru menginjak akhir empat puluhan, jauh lebih muda dari rata-rata usia kepala kampung yang sudah enam puluhan. Haji Enceng dipilih karena kecerdasannya, kemampuan bahasa Belanda-nya serta keahlian silatnya. Sementara panggilan haji di depan namanya lebih karena ia suka memakai kopiah putih. Haji Enceng tentu saja menyambut baik perjanjian damai tersebut, yang disebutnya sebagai awal dari sebuah era baru. Pihak Hindia Belanda kemudian diizinkan membangun gudang semi permanen dan mendirikan pemukiman orang-orang asing yang kelak dinamakan Vredes.
Kolonel Rudolph yang ditunjuk sebagai kepala Vredes hanya memimpin selama tiga bulan. Katanya, ia terlalu tua untuk jabatan tersebut. Ia lebih memilih pensiun dan menghabiskan sisa hidupnya di Surabaya. Ia digantikan Kolonel Heinrick, seorang pemuda 24 tahun asal Haarlem.
Heinrick bertubuh tinggi, bahkan cukup tinggi untuk ukuran orang Belanda. Wajah tampannya tertutup gaya rambutnya yang dibiarkan tidak teratur sedangkan garis pipinya lebih karena ia suka tersenyum. Ia tidak suka menambahkan jabatan militernya di depan namanya. Heinrick, sebagaimana orang asal Haarlem yang menyukai seni, juga suka melukis. Di setiap dinding di dalam wisma di Vredes, setidaknya ada lukisan karyanya, yang kebanyakan lukisan sawah, pasar, dan anak-anak kampung. Ia mempekerjakan Pribumi sebagai staf rumah tangga dan perawat untuk membantu dokter di rumah sakit maupun saat kunjungan ke kampung-kampung. Karena itu, Batavia Kecil sejatinya adalah tempat yang damai.
Adapun bentrokan dan kericuhan kecil yang pernah terjadi di tahun 1893 sebagian besar sudah diselesaikan dengan damai. Misalnya, masalah pembayaran hasil bumi yang tidak sesuai kesepakatan.
Suatu kali pihak Hindia Belanda tidak bersedia membayar harga yang tidak sesuai dengan timbangan sementara pihak petani Pribumi merasa bahwa timbangan mereka sudah betul seperti biasa. Terjadi perdebatan, dan hampir terjadi perkelahian kalau saja Heinrick dan Haji Enceng sampai turun tangan untuk mengatasi masalah ini. Mereka menemukan timbangan yang biasa dipakai Pribumi sudah ditukar. Tapi, siapa yang melakukannya?
Ada juga keributan yang disebabkan masalah percintaan antara prajurit Hindia Belanda dengan gadis Pribumi yang tidak disetujui ayah si gadis (meskipun si gadis juga mencintainya). Kejadian itu bermula ketika sang prajurit datang ke rumah si gadis untuk melamar. Namun, karena ia mabuk, ayah si gadis langsung mengusirnya. Sang prajurit marah-marah dan berteriak-teriak di depan rumah si gadis. Beberapa pemuda Pribumi yang nongkrong tidak jauh dari situ awalnya berusaha membawanya kembali ke Vredes. Tetapi sang prajurit melawan dan membuat keributan di kampung. Sementara lima petugas patroli yang kebetulan lewat menganggap para pemuda Pribumi sedang mengeroyok teman mereka. Bentrokan antara pemuda Pribumi dan para prajurit hampir saja terjadi jika saja Haji Enceng tidak datang dan menjadi penengah. Besoknya, Haji Enceng menyampaikan masalah ini kepada Heinrick. Heinrick kemudian pergi ke rumah si gadis dan memberikan jaminan kepada ayah si gadis, bahwa anak buahnya bukan seorang pemabuk. Ayah si gadis tidak percaya begitu saja. Tapi ia memberi syarat, kalau selama tiga bulan sang prajurit tidak mabuk, maka ia diizinkan melamar putrinya. Syarat lainnya, sang prajurit harus sudah disunat. Tiga bulan setelah itu, sang prajurit berhasil lulus semua tes dan akhirnya bisa melamar si gadis.
Dua kericuhan tersebut tampaknya sengaja dibuat oleh pihak ketiga yang tidak diketahui pelakunya. Timbangan milik Pribumi ada yang menukarnya, sementara soal prajurit mabuk rupanya sesuatu yang direncanakan. Prajurit itu sudah lama berhenti minum, bahkan si gadis tahu itu. Ada seseorang yang mengajaknya minum sebelum ia pergi ke rumah si gadis. Sang prajurit tidak kenal siapa yang mengajaknya, yang ia tahu laki-laki itu seorang Pribumi.
Masalah-masalah serupa cukup sering terjadi, tapi pihak ketiga yang dicurigai sebagai pemicu masalah tidak pernah diselidiki. Akibatnya, pada tanggal 3 Agustus 1893 pagi yang sepi Heinrick ditemukan seorang petani mati tertembak di pinggir sawah. Pihak Hindia Belanda menuduh bahwa Pribumi-lah yang melakukannya. Pihak Pribumi dengan tegas menyangkalnya, karena tidak ada dari mereka yang memiliki senjata api.
“Tidak mungkin ada dari kami yang tega membunuh orang sebaik Heinrick,” kata Haji Enceng saat menemui wakil ketua Vredes Kapten Martijn Groff.
Tapi Kapten Groff orang yang waspada, ia memerintahkan pasukannya untuk menggeledah setiap rumah warga dan menangkapi orang-orang yang dicurigai.
Sebagai upaya negosiasi, Haji Enceng menawarkan dirinya sebagai jaminan. Ia juga mengajukan penyelidikan bersama untuk mencari pembunuh Heinrick, dengan masing-masing pihak akan mengirim tiga orang yang sudah saling dikenal baik, dengan Kapten Groff sebagai pemimpin. Usul tersebut disetujui. Penggeledahan rumah dan penangkapan pun dihentikan, dan selama masa penyelidikan orang-orang Pribumi yang keluar-masuk kampung akan diperiksa ketat.
Penyelidikan berjalan tegang disertai rasa tidak saling percaya. Menurut pihak Hindia Belanda, pihak Pribumi tidak bersungguh-sungguh melakukan penyelidikan kecuali hanya untuk mengulur-ngulur waktu. Di sisi lain pihak Pribumi menganggap pihak Hinda Belanda bertindak seenaknya dan terburu-buru. Meskipun demikian, tidak ada bentrokan di antara kedua pihak. Penyelidikan tetap berlangsung hingga berakhir satu bulan kemudian, tanpa hasil.
Oktober 1893, Kapten Groff secara resmi diangkat jadi pemimpin Vredes. Ia tampaknya orang yang tepat memimpin Vredes meski tidak sebijak Heinrick. Karakter tegasnya terlihat dari wajahnya yang keras. Ia berumur tiga puluh dua, rambut dan kumisnya tertata rapih, sorot matanya yang tajam lebih karena ia rabun jauh. Meski begitu, ia tidak suka memakai kaca mata. Ia orang yang menjaga jarak dan pendiam—Anda bisa menyebutnya waspada, atau kaku. Sifatnya yang kaku tersebut berdampak pada buruknya komunikasi dengan pihak Pribumi sehingga terjadi banyak kesalahpahaman di lapangan. Kesalahan terbesarnya, yang seharusnya bisa dihindari, adalah meluruskan rumor siapa penembak Haji Enceng. Kapten Groff bisa saja mengirim wakilnya untuk menjelaskan bahwa bukan prajurit Hindia Belanda yang menembaknya, akan tetapi ia tidak melakukannya.
Peristiwa tersebut berawal dari keributan antara prajurit Hindia Belanda dengan seorang pemuda Pribumi anak pemilik warung kopi. Masalahnya sederhana, sang prajurit tidak mau bayar kopinya karena ia bersikukuh sudah membayarnya dari kelebihan bayarnya tiga hari lalu. Tapi anak pemilik warung kopi tidak terima. Terjadi cekcok, disusul perkelahian dan perebutan pistol. Pistol meletus, pelurunya menyerempet tipis pipi sang prajurit.
Besoknya, Haji Enceng datang ke Vredes bersama pemilik warung untuk meminta supaya pemuda tersebut dibebaskan, atau setidaknya dapat keringanan hukuman. Pemilik warung kopi mengakui kesalahannya. Ia lupa bahwa sang prajurit sudah membayarnya dengan tidak mengambil uang kembalian—yang dikira pemilik warung sebagai uang tip. Masalah itu akhirnya bisa diselesaikan, pemuda anak pemilik warung dapat keringanan hukuman jadi lima hari penjara.
Adapun penembakan terhadap Haji Enceng terjadi sesaat setelah ia keluar dari gerbang Vredes. Arah tembakannya berasal dari hutan. Kabar itu terbang begitu cepat sampai ke kampung-kampung, dan berubah menjadi rumor bahwa Haji Enceng mati ditembak prajurit Hindia Belanda. Saat itu aku tidak tahu kenapa Kapten Kapten Groff tidak berusaha meluruskan berita yang beredar, padahal sangat mudah dilakukan mengingat ada banyak saksi dari pihak Pribumi. Baru belakangan ini aku mendengar Kapten Groff memberikan pernyataan bahwa mengklarifikasi rumor bukanlah tugasnya, melainkan tugas para saksi Pribumi. Dan sangat disayangkan juga kenapa dari pihak Pribumi tidak ada satu pun yang meluruskan rumor tersebut.
Kapten Groff datang sendirian ke upacara pemakaman yang sunyi dan beku itu dengan mengenakan seragam militer sebagai penghormatan. Tidak banyak yang diucapkannya selain ucapan duka cita kepada para tetua kampung. Hujan turun rintik-rintik di langit yang terang. Kapten Groff baru akan melangkah pergi ketika tiba-tiba seorang pemuda mendekatinya dan berusaha menusuknya dengan pisau. Ia berhasil mengelak, menjatuhkan pisau itu, dan menodongkan pistolnya ke kepala si pemuda.
Penyerangnya bernama Karmin, anak bungsu Haji Enceng, pemuda delapan belas tahun yang baru datang dari Sukabumi. Tidak ada yang berani mencegah Kapten Groff melepaskan tembakan. Tidak ada yang berani berkata-kata. Hanya terdengar suara isak tangis Karmin, dan suara Kapten Groff berkata, “Bodoh!” Kapten Groff menarik pistolnya, lalu pergi meninggalkan pemakaman tanpa ada yang mengganggunya.
Sepeninggal Haji Enceng tidak ada kepala kampung atau sesepuh di Batavia Kecil yang mampu menggantikannya. Selain dihormati warga Pribumi, Haji Enceng juga disegani para pejabat di Vredes. Aku tahu Kapten Groff juga kehilangan Haji Enceng. Aku pernah beberapa kali mengikuti rapat petinggi Vredes yang saat itu masih dipimpin Heinrick. Haji Enceng dan Kapten Groff ada di situ. Dari air mukanya, bisa dilihat Kapten Groff mengagumi kecerdasan Haji Enceng. Aku pernah sempat mencuri dengar diskusi mereka yang hangat seputar masa depan Batavia Kecil.
November 1893, Vredes diambil alih pemerintah pusat Hindia Belanda dan dinyatakan tertutup bagi Pribumi sepenuhnya. Kapten Groff dipindahkan entah kemana. Dalam waktu singkat Vredes berubah jadi sebuah benteng besar. Benteng Vredes.
Aku sudah berniat untuk meninggalkan Batavia Kecil sejak mendengar kabar pembunuhan Haji Enceng, apalagi tugas-tugasku memang sudah tidak ada lagi sejak kematian Heinrick. Aku baru bisa pergi pada Januari 1894 bersama Sidin, pembantuku, yang sudah kukenal sejak tiba di Batavia.
Sidin berusia dua puluh tujuh, bertubuh kecil, lehernya pendek, wajahnya sempit, matanya sipit dan hidung agak mancung. Ia tidak banyak bicara, seorang yang cekatan dan satu-satunya orang yang bisa menjaga rahasiaku. Aku lumayan dekat dengan keluarganya. Sidin tinggal bersama istri dan kedua anaknya di Rawa Gemuk. Apa yang kulakukan padanya saat pertama kali bertemu tampaknya jadi utang seumur hidupnya. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi aku pernah menyelamatkan anak perempuannya dari sergapan macan.
Aku tidak bisa memastikan tempat yang kutuju meskipun aku punya banyak teman pribumi di Priangan. Jalur yang kami tempuh sengaja dipilih yang sulit, melewati hutan lebat atau menyeberangi sungai deras, dan menghindari perkampungan. Di hari ketiga, kami hampir saja memasuki kampung di tengah-tengah hutan kalau saja aku tidak mencium bau gaharu bakar yang mengganggu.
Kampung itu bernama Lawi, terletak di antara dua lembah bukit, tempat yang kelak ditinggali Ben dalam pelariannya. Tidak jauh dari Lawi, di sebuah puncak bukit, kami menemukan tempat tersembunyi sempurna, yang di kelilingi pohon-pohon lebat, rumput-rumput tinggi, batu-batu besar, dan mata air yang mengalir dari dalam gua.
Tapi Sidin tidak tinggal bersamaku. Aku menyuruhnya kembali ke Batavia Kecil. Ia hanya datang satu kali sebulan untuk membawa kabar. Dari Sidin aku tahu bahwa ada orang asing yang tinggal di Lawi, yang kemungkinan berasal dari Batavia Kecil. Tapi saat itu aku tidak menganggapnya terlalu penting.
Sidin juga yang memberitahu perihal penyerangan malam tahun baru 1895—malam ketika Ben pergi dengan terburu-buru setelah sehari sebelumnya mendapat kabar bahwa akan ada serangan dari para pejuang. Ben sebetulnya sudah memperingatkan perihal penyerangan itu kepada komandan pasukan, akan tetapi pesta tahun baru membuatnya tidak dihiraukan, terlebih mereka masih dalam euforia kemenangan setelah memukul mundur pasukan pejuang tiga hari sebelumnya. Penyerangan itu menewaskan 22 prajurit dan 4 orang sipil.
Keesokannya, pasukan Hindia Belanda melakukan serangan balasan besar-besaran. Rumah dan lumbung dibakar, para pemuda ditawan, hewan ternak disita. Mereka berhasil menguasai daerah-daerah penting, bahkan di beberapa tempat, penaklukan dilakukan tanpa perlawanan.
Sidin tidak mengabariku perihal penyerangan pada malam purnama tanggal 8 dan 9 April 1895 yang memilukan itu, yang menewaskan 56 orang dan jadi awal keruntuhan Benteng Vredes itu. Aku tahu kabar tersebut begitu saja. Penyerangan itu tidak dilakukan para pejuang Pribumi, melainkan oleh sesuatu yang selama ini dipercaya sebagai legenda dan mitos yang berasal dari negara-negara Eropa, yang disebut sebagai pembantaian mengerikan. Vredes ditinggalkan penghuninya, dan kurang dari sepekan tempat itu sangat sunyi seperti kuburan. Tidak ada seorang pun yang berani menginjakkan kakinya di sana, yang disebut Pribumi sebagai tempat terkutuk.
15 April 1895, aku memutuskan pergi untuk melihat Vredes. Aku memilih jalur selatan yang ramai. Meskipun begitu, perjalananku nyaris tanpa hambatan. Aku tidak bertemu para pejuang, tidak juga dicegat di pos pemeriksaan tentara Hindia Belanda. Aku berpapasan dengan orang-orang Pribumi biasa yang ramah, yang menawarkan barang-barang dagangannya dan memanggilku dengan ‘mister’.
Aku tiba di Rawa Gemuk setelah dua hari berkuda. Tidak banyak yang berubah dari kampung ini, beberapa orang yang masih mengenaliku menyapaku gembira. Aku tertawa saat melihat orang yang berseru padaku, “Kau ternyata masih hidup, Will!”
Aku melambaikan tangan pada laki-laki yang kulupa namanya. “Kau terlihat sehat, Sobat!” Lalu, kupacu kudaku ke pinggir kampung, dan mampir ke rumah Adjat, petambak ikan yang sudah kukenal lama.
Rumah kayu itu tampak sepi, tapi pintu dan jendelanya terbuka. Tidak ada ayam-ayam yang berkeliaran di halaman rumah atau suara anak-anak Adjat sedang bermain. Bale di teras masih utuh, tempat biasa kami duduk-duduk mengobrol. Aku mengucap salam, dan tidak berapa lama dari dalam rumah terdengar suara parau menjawab salamku.
Adjat yang dulu kukenal adalah orang yang periang, tapi yang kulihat saat ini adalah seorang lelaki empat puluh tahunan yang lesu. Ia mengajakku ke belakang rumah, kemudian kami duduk di atas kursi jongkok kayu di tepi empang.
Sinar matahari yang beranjak tinggi terhalang dedauan, sebagian cahayanya jatuh di atas air memantulkan kilauan-kilauan. Empang itu masih berisi ikan, gelembung-gelembungnya terlihat di sana-sini, hanya ikannya tidak sebanyak dulu.
“Cuma buat makan sehari-hari,” kata Adjat, yang sepertinya masih merindukan masa-masa damai itu, saat ia mendapatkan banyak untung dari hasil dagang ikannya dengan pemerintah Hindia Belanda.
“Bagaimanapun,” sahutku, “kenyataan saat ini tidak bisa dihindari. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya berharap.”
Kami sama-sama terdiam untuk merenung, untuk mengenang masa lalu. Lalu, waktu kutanyakan perihal peristiwa malam 8 dan 9 April April 1895, Adjat tidak menjawab apa-apa.
Dalam perjalan menuju Vredes, aku bertemu beberapa kenalan Pribumi lainnya, salah satunya Rojih, pemuda 23 tahun dengan rambut dikuncir. Rojih bercerita bahwa penyerangan tanggal 8 dan 9 April itu juga terjadi di kampungnya. Ia bersyukur bisa selamat setelah bersembunyi di dalam rumahnya, dan baru berani keluar besok paginya. Ia syok berat dan hampir pingsan saat melihat mayat-mayat warga kampung bergelimpangan dengan tubuh yang tercabik-cabik di pinggir jalan, termasuk putra sulung Adjat yang kepalanya hampir putus.
“Tujuh belas orang yang mati dibunuh siluman serigala,” kata Rojih saat menunjukkan garis-garis luka di pohon kelapa.
“Kau yakin itu ulah siluman serigala?” tanyaku. Aku lumayan tahu tahayul orang-orang Pribumi, tapi siluman serigala bukan salah satunya.
“Semua orang mendengar lolongannya.”
Aku mengajak Rojih untuk menemaniku ke Vredes, tapi ia menolaknya. Katanya, sejak peristiwa itu ia sering bermimpi buruk dan memperingatkanku untuk berpikir ulang pergi tempat terkutuk itu.
Hujan turun sangat deras saat aku memasuki gerbang benteng. Tempat sepi ini menyisakan hawa yang aneh. Aku masuk ke salah satu wisma ketika tiba-tiba saja bayangan kebrutalan sang makhluk melintas di kepala beserta jeritan-jeritan yang memilukan, membuatku seakan-akan sedang berada di tengah-tengah peristiwa purnama berdarah. Aku memejamkan mata, mengatur nafas, dan sebentar kemudian bayangan mengerikan itu lenyap, tergantikan kenangan waktu aku masih tinggal wisma bersama dua kawan Jerman-ku, tatkala kami duduk di teras, menikmati kopi dan membicarakan gadis-gadis Pribumi. Wisma itu kini rusak berat, atapnya berlubang, air hujan menggenangi lantai, noda darah menempel di kain seprai dan dinding. Dilihat dari banyaknya barang yang ditinggalkan, aku tidak yakin mereka masih masih hidup. Meski tidak juga berharap.
Aku masuk ke dalam wisma dokter yang letaknya bersebelahan. Kerusakan di sini lebih parah. Di salah satu kamar aku menemukan sebuah jurnal di dalam laci—milik dr. Benjamin. Aku ingat Ben. Ia dokter yang datang paling belakangan ke Vredes, berasal dari Domburg, usianya sekitar 25 tahun, rambutnya hitam, kulitnya kecoklatan karena sering bekerja di luar. Aku tidak terlalu mengenal Ben, kecuali pernah satu atau dua kali mengobrol dengannya di acara perayaan. Menurutku, ia laki-laki yang sopan.
Tulisan tangan yang jelek dan tinta yang memudar di beberapa bagian menyulitkan aku membacanya. Tapi aku lumayan fasih berbahasa Belanda, dan dengan sedikit nalar aku bisa memahami isinya. Bagian-bagian awal hingga tengah jurnal yang berupa catatan medis aku lewatkan karena tidak berhubungan dengan penyelidikan. Aku tidak akan melanjutkan membaca jika tidak saja membuka halaman yang berisi catatan pelariannya.
Semoga kedamaian ada di kedua belah pihak
2 Januari 1895
Aku meninggalkan Vredes sebelum tengah malam dengan membawa sedikit pakaian, obat-obatan, bekal makanan. Aku pergi timur, kukira aku akan sampai ke Cirebon atau Semarang. Sebelum siang aku tiba di sebuah hutan nan sunyi. Petir minum banyak sekali dari air telaga. Dan aku mulai menulis.
Kekesalanku belum juga hilang kepada komandan bodoh itu. Bodoh sekali! Sudah kuperingatkan pejuang akan menyerang benteng, tapi yang kalian pedulikan hanya pesta dan mabuk.
Ya Tuhan. Kenapa aku masih marah sementara air kali yang sejuk menyegarkanku. Lagi pula ini tempat yang tenang. Jauh dari perkampungan dan ada gua yang bisa kutinggali. Aku bisa menginap barang sehari atau dua malam tanpa ada gangguan.
…
Malam hampir jatuh, dan sulit bagiku untuk melanjutkan membaca. Untungnya aku menemukan lentera yang masih bagus di wisma yang masih utuh di sisi utara, wisma yang pernah ditinggali guru-guru perempuan, juga Nona Emily—guru matematika—perempuan yang pernah kutaksir karena kecantikan dan kecerdasannya. Mereka pastinya berhasil selamat. Kuharap. Aku berjanji akan sempatkan waktu aku untuk mencari Nona Emily usai penyelidikan ini.
Tidurku nyenyak, kamarnya masih berbau harum minyak wangi Nona Emily yang membuatku betah di wisma ini. Air sumur yang bersih, ranjang empuk, dan bahan makanan bisa saja mengubah keputusanku untuk tinggal selama beberapa hari ke depan.
Aku meneruskan membaca jurnal Ben paginya, dan selesai sebelum tengah hari. Dari sini kuketahui jika Ben berkaitan dengan malam pembantaian 8 dan 9 April 1895. Ben tidak menyebut bahwa Weerwolven adalah sosok yang menyerang Vredes mengingat catatan terakhirnya di Lawi tertanggal 20 Maret. Weerwolven ditulis Ben hanya satu kali, untuk menggambarkan lolongan panjang yang di dengarnya pada malam purnama. Itu pun setelah ia beberapa kali mendengar lolongan serigala di sekitar Lawi.
Dalam legenda Belanda, Weerwolven merupakan manusia serigala jelmaan penyihir, yang bisa berubah jadi manusia serigala kapan saja—tidak harus malam purnama. Hampir di tiap negara Eropa punya legenda manusia serigala dengan mitos dan sebutan yang beragam. Kebanyakan daerah percaya bahwa seseorang berubah menjadi manusia serigala pada malam purnama dan hanya bisa dibunuh dengan sesuatu yang terbuat perak. Yang lain percaya, bahwa untuk mengakhiri kutukan manusia serigala, seorang manusia serigala harus membunuh manusia serigala yang membuatnya jadi manusia serigala. Anda mungkin bertanya, apakah Ben seorang manusia serigala?
Untuk mengetahui jawaban pastinya tentu saja aku mesti menanyakan langsung kepada Ben, tapi Ben berada entah di mana. Yang kutahu, pada malam purnama bulan depan, di suatu tempat, peristiwa serupa akan terjadi lagi. Tapi, sebelum sampai ke situ, Anda perlu tahu urutan peristiwa bagaimana peristiwa malam purnama berdarah bisa terjadi di Vredes. Catatan Ben meninggalkan petunjuk yang mencengangkan.
Ben tiba di Lawi tanggal 10 Januari 1895 setelah berhari-hari bersembunyi di hutan. Aku menduga Ben melewati jalur yang sama denganku.
11 Januari 1895
Hari sudah menjelang malam waktu aku tiba di kampung berbau harum itu. Aku seharusnya tidak melewati kampung, akan tetapi, Petir tidak bisa diajak lari seakan-akan ada sesuatu yang menenangkannya. Dia berhenti saat dua orang mengadang kami. Orang pertama memegang tali kekang dan mengelus leher Petir. Orang kedua tersenyum, menunjukkan bahwa mereka bukanlah ancaman. Kemudian ia mengatakan bahwa aku tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tidak malam ini. Sangat bahaya. Ada hewan buas di atas sana. Atau, aku akan celaka. Dari omongannya bisa ditebak bahwa mereka bukan pejuang. Hal ini tentunya melegakanku. Aku sudah sangat letih, lapar dan haus. Tawaran untuk menetap semalam benar-benar membuatku gembira. Mereka menjamuku dengan ubi dan air putih, dan membiarkan aku beristirahat.
Pagi ini aku bangun dalam keadaan segar bugar seakan tidak pernah merasakan perjalanan jauh. Kekasihku seharusnya melihat tempat ini. Belum pernah kutemukan tempat, di mana pun atau bahkan di negeriku yang baunya seharum ini. Kampung ini bernama Lawi.
13 Januari 1895
Aku seharusnya pergi hari ini, tapi Tuan Waldi menahanku. Tuan Waldi adalah kepala kampung. Ia bilang keadaan belum aman. Para pejuang masih melakukan gerilya. Ia akan memberitahu kalau keadaan sudah aman.
Siangnya aku dijamu. Bersama 67 warga kampung kami makan di atas tanah, disuguhi berbagai makanan rebus dengan gula cair. Sungguh, ini makanan paling nikmat yang pernah kumakan. Namun, apalah arti makanan nikmat tanpa kekasihku di sampingku.
Sorenya, aku mengobati seorang anak laki-laki yang demam. Mereka tahu aku dokter karena di antara mereka pernah melihat aku pernah mengobati di Batavia Kecil. Kasian anak itu, demamnya sudah tiga hari. Awalnya hanya panas biasa, jadi tidak ada yang perlu dicemaskan. Lama kelamaan badannya lemas dan panas semakin menjadi. Si bocah mengigau, dikiranya ia kerasukan. Aku memang sengaja bawa obat-obatan sebanyak-banyaknya, yang sudah dipastikan akan berguna selain untukku. Aku meracik obat yang dicampur dalam makanan. Dalam sehari saja demam anak itu sudah turun.
14 Januari
Di sini waktu berjalan cepat. Begitu banyak hal-hal baru yang aku temui. Aku belajar banyak hal baru. Aku sudah bisa menangkap ikan dengan tangan kosong, hasil belajar dari Kang Jaman. Aku juga lumayan lihai memanjat pohon yang tinggi, yang nantinya berguna melihat musuh dari kejauhan. Aku diajari membuat bau-bauan pengusir roh-roh jahat, yang kuikuti saja meski tidak kupercayai. Konon kata mereka, lolongan serigala yang kudengar belakangan, yang disebut mereka roh jahat, tidak akan berani mendekati tempat ini. Tadi malam kudengar lagi lolongan itu, panjang dan sangat keras, seakan-akan hanya berjarak beberapa meter. Aku memang pernah mendengar cerita tentang Weerwolven dari orang-orang tua di Belanda. Waktu itu aku memang mempercayainya, tapi setelah dewasa kuanggap cerita itu dongeng belaka.
Kabar baiknya, aku bisa mengirim surat untuk kekasihku. Ada seorang kurir yang pergi ke Batavia kecil setiap Rabu. Aku akan menulis surat untuknya segera.
Demikian catatan yang ditulisnya di masa awalnya di Lawi. Ben menulis surat untuk Jaenab diam-diam, sebab ia tidak ingin menyakiti Icih, putri Tuan Waldi, yang diam-diam menyukainya. Ia tidak menulis banyak tentang Icih, kecuali namanya sering disebut Ben sebagai teman ngobrol sehingga tidak akan memancing rasa penasaran Jaenab jika membacanya. Apalagi, dalam jurnalnya Ben tampak jujur, bisa dipercaya, seakan tidak ada yang disembunyikan. Berikut beberapa catatannya tentang Icih.
19 Januari 1895
Aku seharusnya tidak menulis ini sebab akan membuat kekasihku cemburu. Tapi, aku percaya dia tidak akan pernah membaca jurnal ini tanpa seizinku. Kalaupun dia membacanya, kupastikan aku orang yang setia kepadanya.
Ada seorang gadis yang kurasa menyukaiku. Awalnya dia mencuri pandang saat jamuan kemarin lusa. Setelah itu, beberapa waktu lalu, dia berada cukup dekat denganku, ketika kami makan siang setelah membangun rumah yang roboh karena hujan deras dan angin topan. Dia duduk di hadapanku dan menggodaku dengan matanya yang indah. Namanya Icih, putri Tuan Waldi.
Kami terkadang tidak sengaja berpapasan, dan dia yang biasanya duluan menyapaku. Pada suatu makan siang dia duduk di sebelahku. Mula-mula dia memujiku yang sudah mengobati anak laki-laki itu. Kemudian dia menceritakan kenapa ayah dan pamannya membuka kampung di tengah-tengah hutan dua puluh tahun lalu. Intinya, orang-orang ini sudah jenuh dengan peperangan. Begitu juga aku, sahutku. Lalu kuceritakan bagaimana aku bisa tiba di tempat ini.
Obrolan kami sangat menyenangkan karena Icih suka buku-buku dan menulis. Aku ditunjukinya koleksi buku-bukunya. Entah dari mana dia bisa mendapatkan Jane Erye dan Shakespeare, tapi aku diizinkan untuk meminjamnya. Dia juga menunjukkan puisi-puisinya yang indah, dan menyanyikannya.
5 Maret 1895
Aku sudah tidak nyaman sejak orang-orang kampung mulai menjodoh-jodohkanku. Aku tidak mungkin mengkhianati Jaenab meski mereka sudah berbaik hati menampungku. Kemarin, ketika aku sedang menanam batang singkong, Tuan Waldi mendatangiku, mengajakku duduk dan minum teh, lalu setelah dirasa aku nyaman, ia mengatakan niatnya melamarku untuk putrinya. Aku tentu saja menolaknya. Kubilang, aku sudah punya kekasih yang menungguku. Tuan Waldi terlihat kecewa, tapi ia memahamiku. Setelah itu kami melanjutkan kegiatan seperti biasa seakan-akan penolakanku tidak mengganggunya.
….
7 Maret 1895
Sudah dua hari belakangan Icih menghindariku. Begitu juga dengan teman-temannya yang biasanya menyapaku, bahkan mereka diam saja saat kami berpapasan. Lama kelamaan aku jadi semakin asing di sini. Meski begitu, Tuan Waldi tetap bersikap seperti biasanya dan menenangkanku. Ia bilang, Icih memang begitu. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, dia akan diam selama berhari-hari. Kalau bukan karena Tuan Waldi, aku pastinya sudah kabur diam-diam.
Aku sebetulnya ingin melanjutkan menulis kegiatanku di sini seperti tadi sore aku mengajari orang-orang kampung bermain bola. Kami sering melakukannya di Vredes di lapangan luas bersama orang-orang kampung. Ini permainan baru dengan aturan mencetak angka ke gawang. Aku juga mengajari mereka membuat bola dari kulit kayu, dan tiang gawang dari bambu. Tapi, Icih selalu di pikiranku. Rasa bersalahku takkan hilang sebelum aku bertemu dan bicara dengannya. Entah sampai berapa lama aku akan begini. Atau, aku seharusnya pergi saja.
….
Aku benci mengatakan ini tapi aku harus mengatakannya padamu, bahwa hubungan Ben dengan Icih bisa dipastikan lebih dari sekedar teman ngobrol. Aku tahu dari Sidin. Sidin pernah memberitahuku bahwa dalam perjalanannya mengunjungiku ia pernah melihat orang asing, yang dipastikan Ben, sedang berduaan dengan seorang perempuan di tepi sungai agak jauh dari Lawi. Keduanya telanjang bulat!
Tapi Sidin bukan orang yang Anda kira menikmati sesuatu yang diintipnya, ia hanya melihatnya sekilas setelah itu pergi. Hubungan laki-laki asing dan perempuan Pribumi tidak sedikit terjadi di Batavia, dan banyak dari mereka yang akhirnya menikah. Tapi hubungan Ben dengan perempuan yang bernama Icih lebih karena alasan politik ketimbang cinta. Alasan itu juga yang jadi latar belakang peristiwa penyerang terhadap benteng Vredes di malam purnama itu.
10 Maret 1895
Pintu dan jendela rumah sudah ditutup rapat sejak sore. Wangi gaharu lebih kuat dari biasanya. Asapnya sampai menyelimuti kampung. Ini malam purnama. Lolongan serigala itu terdengar lagi. Aneh.
Pagi tadi ….
Ben tidak tuntas menulis jurnalnya. Ia mendengar suara seseorang menggedor-gedor pintu rumahnya, yang dijelaskannya dalam tulisan selanjutnya delapan hari kemudian.
18 Maret 1895
Sekarang demamku sudah hilang. Lukaku tak berbekas. Semuanya sembuh begitu saja. Aku tidak ingat apa-apa setelah penyerangan itu, tapi Tuan Waldi bilang aku diserang beruang. Beruang yang sangat besar.
Aku ingat sebelum itu. Aku sedang menulis ketika kudengar seseorang menggedor pintu rumah dan memanggil-manggilku. Aku kenal suaranya, itu suara Icih. Aku bergegas keluar tapi tidak kutemukan dia.
Malam itu sangat sepi. Amat ganjil saat tidak ada siapapun yang mendengar jeritan Icih. Aku bermaksud mengetuk pintu rumah Tuan Waldi. Tapi jika kulakukan maka aku akan keburu kehilangan jejak Icih. Suara Icih terdengar dari arah bukit, semakin lama semakin suaranya menjauh, samar-samar, lalu lenyap.
Aku tidak menemukan jejaknya di tanah atau pada ranting-ranting yang patah. Sampai akhirnya kuputuskan untuk kembali dan memanggil orang-orang. Tapi, belum sempat aku berbalik badan, aku mendengar suara tembakan. Asalnya dari atas bukit. Aku segera berlari ke sana, dan berhenti sejenak saat mendengar lolongan serigala. Suaranya sangat dekat, membuatku berpikir ulang untuk terus mendaki. Namun, kecemasanku akan Icih memaksaku terus berlari.
Aku menemukan jejak kaki manusia, mungkin sekitar dua orang. Tidak jauh dari situ sesosok mayat laki-laki di mulut gua. Aku tidak mengenalnya. Ia bukan penduduk Lawi.
Di atas sana, bulan purnama bersinar terang, udara begitu tenang, dingin dan berkabut. Aku memeriksa jejak kaki-kaki yang mengarah ke dalam gua. Kupikir, Icih mungkin ada di dalam sana. Kemudian aku memanggil namanya dua atau tiga kali. Tapi yang kudapat bukan jawaban Icih, melainkan suara geraman. Harimaukah? Macankah? Aku tidak tahu. Yang kutahu makhluk itu tiba-tiba menyerangku, dan baru pergi setelah terdengar bunyi tembakan.
Aku terluka berat. Beruntung, Tuan Waldi dan beberapa orang lain segera menolongku. Tapi aku lebih mencemaskan Icih.
“Di mana Icih?” tanyaku kepada Tuan Waldi.
Tuan Waldi tersenyum, dan berkata, “Icih ada di rumah.”
Syukurlah.
20 Maret 1895
Hari terakhirku di sini.
Tuan Waldi mengizinkanku pergi setelah aku benar-benar pulih. Ia bilang pasukan Hindia Belanda sudah menguasai sebagian Jawa Barat sehingga aku tidak perlu lagi lewat jalur sulit. Ia menyarankanku untuk kembali ke Batavia. Ke Vredes. Tapi kubilang aku tidak kembali ke sana mengingat aku pernah kabur dari Vredes. Apa yang akan mereka katakan tentang aku? Bahwa aku seorang pengecut?
Tuan Waldi tersenyum. Ia bilang bahwa aku bukan seorang pengecut. Aku seorang pemberani. Kemudian ia mengungkit pertarunganku melawan beruang yang hanya kuingat samar-samar. Lagi pula, katanya, tidak ada yang mengatakan aku kabur. Malahan sebaliknya, orang-orang di Vredes mengira aku ditawan pejuang. Bukankah hal itu menguntungkan buatku?
Petir, kudaku, sudah tidak sabar kembali berpetualang. Sama sepertiku, ia terlihat lebih gemuk. Tapi, Kang Jaman sering melatihnya setiap pagi, membawanya berkeliling sehingga ia tidak jadi kuda yang malas. Barang-barang bawaanku sudah disiapkan, dan aku dibekali banyak makanan. Sungguh, aku sangat berterima kasih kepada mereka.
Tapi, sayangnya aku sepertinya tidak akan sempat mengucapkan selamat tinggal kepada Icih. Dia masih marah padaku.
22 Maret 1895
Aku tiba di Vredes tadi siang.
Tuan Waldi benar. Orang-orang masih menerimaku dan tidak mengatakan sedikit pun tentang pelarianku. Rupanya, selain aku, di malam penyerangan itu ada juga orang yang melarikan diri. Untungnya Vredes juga butuh dokter. Sebagian dokter yang pernah kukenal sudah ditugaskan ke daerah lain dan sebagian lain kembali ke Belanda. Aku sudah bertemu Kolonel Hansen, ia senang aku bisa bertugas kembali. Hansen orang yang ramah, kuharap ia bisa membawa perubahan di Vredes.
Aku ditugasi mengawasi kesehatan pekerja. Mengobati mereka secepatnya supaya mereka cepat kembali bekerja. Memang, tidak ada lagi tugas untuk berkunjung ke rumah-rumah di kampung, atau mengajari anak-anak tentang kebersihan, tapi setidaknya dengan berada di lapangan aku bisa sewaktu-waktu mengunjungi Jaenab.
Apa kabar Jaenab-ku?
Di bagian yang tidak terlalu penting, Ben bertemu Jaenab beberapa kali. Ia terpikir untuk meninggalkan Vredes, tinggal di suatu tempat yang jauh, atau pulang ke Belanda bersama Jaenab. Sejak diambil alih pusat, hubungan pejabat Hindia Belanda dengan Pribumi diawasi ketat, termasuk para dokter. Mereka takut akan ada penyusup atau pengkhianat. Ben berpikir keras untuk bisa pergi bersama Jaenab. Akan tetapi, ia tidak tahu masalah utamanya bukan pada tentara Hinda Belanda atau orang Lawi yang yang mengawasinya setiap saat. Masalah utamanya adalah dirinya. Ben adalah seorang manusia serigala.
Ben sebetulnya sudah merasakan keganjilan pada dirinya seperti yang ditulisnya berikut ini:
8 April 1895
Ganjil. Aku merasakan lagi sesuatu yang ganjil dalam tubuhku. Lagi. Keganjilan-keganjilan yang kualami sebelumnya seakan-akan saling berhubungan. Luka-luka yang tak berbekas. Demam yang cepat sembuh. Emosi yang meluap-luap. Keringat panas yang datang tiba-tiba. Alis yang aneh. Bulu-bulu yang semakin banyak. Dan sekarang, aku merasakan semangat yang menggebu-gebu. Penglihatan tajam. Pendengaran yang tidak biasa. Aku bahkan bisa mendengar suara orang-orang di balik dinding.
Apa yang sedang terjadi padaku?
Demikian catatan terakhir Ben dalam jurnalnya sebelum ditinggalkannya dalam peristiwa malam purnama berdarah.
Ben terinfeksi di malam ia diserang pada 10 Maret 1895.
Anda pasti masih ingat surat Ben tentang ketukan di pintu rumahnya saat ia tinggal di Lawi dan terdengar jeritan Icih. Rupanya peristiwa itu disengaja supaya Ben pergi ke wilayah manusia serigala itu. Seperti pernah kukatakan bahwa hubungan Ben dan Icih lebih karena alasan politik ketimbang cinta, Ben memang sudah diincar sejak awal kedatangannya ke Lawi sebagai kuda Troya. Ia sengaja dijadikan manusia serigala untuk menghancurkan Benteng Vredes dari dalam.
Kesimpulanku: Pihak ketiga yang merusak perdamaian antara pihak Pribumi dan pihak Hindia Belanda selama ini adalah orang-orang Lawi. Mereka yang membunuh Heinrich dan Haji Enceng! Hal ini diperkuat catatan Ben, bahwa ia pernah beberapa kali melihat orang kampung Lawi di luar Vredes. Orang itu ditugasi untuk mengawasi Ben dan memastikan Ben tetap berada di dalam benteng selama malam purnama 8 April 1895 itu.
Meski orang-orang Lawi tidak mudah dikenali, Sidin pernah memberitahuku ciri-ciri mereka. Mereka memakai ikatan kepala hitam yang khas, ujung rambut yang diwarnai coklat, atau tato lawi-lawi (rumput laut) di betis kanan. Memang, urusanku akan jauh lebih mudah jika masih ada Sidin, tapi Sidin sudah mati di tembak. Begini kejadiannya.
Pada malam 10 Maret 1895, Sidin melakukan tugasnya seperti biasa. Itu sudah jadi rutinitasnya sejak mengenalku. Setiap bulan, selama tiga malam menjelang jam delapan atau sembilan, ia harus mengurung dan mengikatku. Tempatnya jauh dari pemukiman penduduk dan sulit ditemukan. Malam itu, kami sudah mempersiapkan empat rantai kokoh di dalam gua, yang masing-masing untuk mengikat tangan dan kakiku. Setelah memastikan aku terikat kuat, ia pergi menjauhi gua. Sejauh-jauhnya. Seharusnya.
Aku mendengar bunyi letusan tembakan, dan kulihat Sidin berjalan terhuyung-huyung dan terjatuh. Tidak lama setelah itu, dua orang memasuki gua nyaris tanpa suara. Mereka bahkan tidak berbicara satu sama lain. Salah seorang dari mereka memukulku dengan laras senapan, kemudian setelah itu keduanya menghajarku habis-habisan. Keduanya membuka rantai yang mengikatku dengan kunci yang dicuri dari Sidin, lalu meninggalkanku begitu saja.
Aku terlalu lemah untuk bangkit, tapi suara batuk Sidin memberiku harapan.
“Bertahanlah, Sobat,” kataku. “Bertahanlah.”
Tanganku meraih dinding dan aku berhasil bangkit dengan susah payah. Aku berjalan berpegangan pada dinding sampai tiba di mulut gua. Tapi untuk mencapai tubuh Sidin, aku harus merangkak sebentar. Aku menatap wajah Sidin yang sedang menahan rasa sakit.
“Kau harus hidup, Sobat. Kau harus hidup.”
Sidin memandangku, bibirnya bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu, suaranya yang lemah berkata, “Maafkan aku,” lalu setelah itu ia menolehkan kepalanya ke langit. Aku melihat ke arah yang sama dan menyadari bahwa aku harus segera kembali ke dalam gua.
Tapi aku terlambat. Bulan purnama sudah terlihat jernih dan terang, dan perubahan itu pun dimulai.
Hawa panas pelan-pelan merasuki tubuh. Aku merasakan seluruh ototku meregang dan tulang-tulangku berderak-derak. Aku terjatuh. Aku memang masih bisa berjalan merangkak, tapi kakiku yang sedang memanjang menghambatku. Ya Tuhan, tolonglah aku.
Aku terhentak berkali-kali disertai bunyi “Krak … Krak … Krak”, menandakan tulang-tulangku sedang menyesuaikan dengan perubahan. Oh, itu sangat me-nya-kit-kan. Kemudian bulu-bulu tebal bermunculan di sepanjang lengan lalu menjalar ke seluruh tubuh. Taringku pelan-pelan mencuat keluar melewati mulutku, kuku-kuku memanjang dan runcing. Mataku yang membesar mampu melihat sesuatu di kejauhan dengan jelas. Dan ketika perubahan itu nyaris sempurna, telingaku menangkap suara seseorang di bawah sana sedang memanggil-memanggil seseorang.
“Icih! Icih! Di mana kau?”
* * *