Si Wajah Arab

Kami tiba kemarin malam pukul setengah sembilan, menempati dua bangunan vila yang tidak memiliki banyak kamar tidur, menaruh barang-barang bawaan kami dan mengatur tempat kami tidur nantinya. Sudah diumumkan, bahwa kamar tidur di vila satu ditempati kepala cabang dan manajer, satu kamar lainnya untuk tempat menyimpan barang bawaan kami. Vila dua ditempati para perempuan. Yang lain bisa tidur di mana saja. Aku tidur di atas karpet ruang depan, menghadapi udara dingin dengan sweter, berbagi selimut dengan seorang rekanku. Dingin membuatku sering kencing.

Aku berhasil bangun sebelum subuh, memaksakan diri mandi dengan air dingin, salat subuh sendirian di musola kecil di samping vila, olahraga, sarapan nasi goreng di pinggir kolam renang sambil berjemur dan memandangi gunung berselimut kabut nun jauh di seberang sana. Banyaknya yang bangun kesiangan membuat jadwal senam bersama dihilangkan, rapat tahunan yang seharusnya dimulai pukul 08.00 harus diundur satu jam. Meski begitu, kepala cabang kami tidak marah atas keterlambatan itu. Ia malah terlihat santai, mengisi waktu menunggunya dengan berdiskusi bersama para manajer.

Rapat berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada apresiasi buat yang tim yang mencapai target, berupa bonus tahunan yang akan ditransfer di bulan berikutnya. Ada juga teguran buat tim yang penjualannya di bawah 85%. Target penjualan nasional sudah ditetapkan, cabang kami dapat bagian terbesar kedua. Target disebar kepada para manajer area. Para manajer area membaginya kepada para supervisor. Para supervisor berkumpul bersama masing-masing tim sales di tempat terpisah. Kami berdiskusi soal pembagian target sales dan merencanakan strategi penjualan. Aku dapat kenaikan 15%, kenaikan tertinggi selama aku bekerja di perusahaan ini, yang membuatku pesimis bisa mencapainya.

Aku tidur siang sebentar usai rapat, berenang, mengikuti lomba balap karung, gebuk bantal di atas kolam renang, dan tarik tambang. Kami makan malam setelah magrib di sekitar kolam renang, di atas panggung panitia mengumumkan sales dan tim terbaik, dan pengumuman juara lomba. Aku dapat hadiah tas untuk kemenanganku di lomba gebuk bantal. Hiburannya tidak menarik. Ada manajer yang menyanyikan lagu “Bagai Bintang di Surga” dengan suara fals, stand-up comedy yang garing, dan band lokal yang berisik. Aku bergeser ke teras untuk ketenangan. Deni yang baru selesai merokok menghampiriku dan berkata, “Mau main ke rumah?”

Rumah orang tua Deni memang masih di sekitaran sini, dan karena alasan itu ia yang ditunjuk jadi pencari vila. Aku menganggap ‘main ke rumah’ kata lain untuk jalan-jalan. Aku berpikir tidak mungkin pergi ke rumahnya di jam selarut ini—meski larut pada saat itu masih sekitar pukul delapan. Aku menyambut ajakannya, karena aku perlu membeli obat gosok dan obat pusing.

Deni mengenakan sweter hitam yang biasa dipakainya di kantor. Kami melewati jalanan menurun yang gelap dan sepi, gemericik air terdengar dari saluran air, sesekali sepeda motor mendahului atau berpapasan dengan kami, jauh di bawah di sebelah kanan kami, cahaya lampu dari rumah-rumah yang bertebaran di punggung gunung.

“Rumah saya di sana, Pak!” seru Deni, menunjuk ke gang menanjak di sebelah kiri di antara jalur-jalur menuju vila.

Deni bilang vila-vila di sini sudah ada jauh sebelum ia lahir. Ia mungkin tidak tahu seperti apa tempat-tempat itu sebelum bangunan-bangunan itu berdiri, tapi aku bisa membayangkannya.

Jalanan yang curam membuatku berpikir jalan kembalinya akan sangat melelahkan. Deni bicara tentang Pak Brata, manajer area, yang mengundurkan diri sebulan lalu. Semua setuju jika Pak Brata, yang sudah hampir tiga puluh tahun bekerja, yang seharusnya jadi kepala cabang atau malah lebih dari itu. Penjualan Pak Brata selalu bagus, bahkan ketika ia dipindah ke area lain. Yang aku tidak tahu, Pak Brata mengajak Deni untuk bekerja di perusahaan yang baru didirikannya. Nantinya, Deni akan ditempatkan sebagai sales.

“Kalau saja tidak jadi sales, saya akan ambil,” kata Deni.

Mini market itu terletak di sudut jalan, di sebelahnya berderet berbagai lapak kuliner yang ramai. Di sudut jalan lain, diterangi sebatang lilin, seorang laki-laki tua pedagang kacang rebus pikulan duduk menunggu pembeli. Ketika membuka pintu mini market, mataku langsung tertuju pada kasir cantik yang menyambut kami. Ternyata Deni mengenal perempuan itu. Ia menghampirinya, kemudian keduanya bicara dalam bahasa Sunda. Sementara aku pergi ke rak obat, mengambil dua strip obat sakit kepala dan satu botol obat gosok. Pelayan toko memberikanku keranjang belanja ketika aku mengambil dua bungkus keripik pedas. Aku berpindah ke rak makanan, mengambil sebungkus cokelat batang, dua botol teh manis dingin, sebotol sampo dan deodoran yang tidak kuperlukan sambil sesekali memandangi si kasir.

Aku menaruh belanjaanku di meja kasir. Deni memperkenalkanku kepada kasir itu sebagai Hani, sepupunya. Kami bersalaman dan berkenalan. Si kasir menawariku promo ‘roti satu gratis satu’. Aku menjawab, “Tidak. Terima kasih,” yang kulanjut dengan berkata, “Tidak apa-apa, kan?” Si kasir melirikku sekilas dengan raut wajah yang sedikit bingung. Barulah setelah beberapa lama dia memahami maksudku, berkata, “Tidak apa-apa.” Aku pun berkata, “Saya pikir tidak boleh.” Dan dia menjawab, “Boleh kok,” sambil tersenyum—sebuah senyum yang indah.

Aku berharap bisa mengobrol dengannya sedikit lebih lama, tapi antrian di belakangku membuat kami segera menyingkir usai membayar.

Aku dan Deni duduk di kursi besi teras mini market. Aku mengeluarkan dua bungkus keripik dan dua botol teh manis, menaruhnya di atas meja. Tiga orang yang masuk ke mini market bicara dengan logat Jakarta. Lapak-lapak pedagang bertambah ramai, tukang parkir disibukkan mobil dan motor yang datang dan pergi, laki-laki tua pedagang kacang rebus pikulan itu masih di posisi yang sama—duduk di kursi jongkok menunggui dagangannya yang sepi. Deni mengatakan bahwa ia merasa tidak enak jika menolak tawaran itu mengingat Pak Brata sering berbuat baik kepadanya. Pak Brata yang membawanya ke kantor kami dari klinik tempatnya bekerja sebelumnya. Pak Brata memang selalu baik kepada semua orang di kantor, tapi menerima pekerjaan karena merasa tidak enak bukanlah alasan yang tepat.

Deni sudah bekerja sebagai office boy selama empat tahun, waktu yang lumayan lama di usianya yang masih dua puluh dua. Menjadi sales akan membuka peluang karirnya di perusahaan lain yang lebih besar, terlebih Pak Brata punya sejarah penjualan yang bagus dan punya banyak koneksi yang bisa memudahkan pekerjaannya. Deni akan belajar banyak darinya. Sayangnya, Deni malah memberatkan dirinya dengan berkata, “Tapi itu perusahaan baru. Bagaimana kalau bangkrut?”

“Bagaimana kalau nanti jadi perusahaan besar?” kataku agak kesal.

Deni tidak menjawab. Ia tahu aku benar. Masalahnya, ia sudah terlalu nyaman bekerja di kantor kami. Tugasnya tidak terlalu berat, semua stafnya baik kepadanya dan meski gajinya di bawah UMR, ia sering dapat uang ucapan terima kasih dari sales yang masuk target tiap bulannya. Ia mengalihkan pembicaraan tentang curug yang tidak jauh dari situ dan cerita lain yang tidak begitu kuperhatikan. Satu-satunya alasan aku masih berada di situ dan mendengarkannya bicara adalah Hani, kasir mini market itu.

O, hatiku sepertinya sudah tertaut dengan perempuan itu sehingga aku menghiraukan perempuan-perempuan yang melintas di depan kami. Aku bahkan merasa cemburu ketika ada laki-laki yang mengajaknya mengobrol. Begitupun ketika melihat laki-laki berwajah Arab yang baru turun dari sepeda motor di depan kami. Mataku terus mengikuti mereka sampai ke dalam mini market. Untungnya, keduanya tidak berlama-lama di dalam mini market.

Aku berharap bisa berada di tempat itu sampai Hani selesai kerja dan mengobrol dengannya sambil menemaninya pulang ke rumah. Namun, waktu belum juga pukul sepuluh. Dua bungkus keripik sudah habis dan aku merasa jenuh berada di situ. Deni pastinya juga ingin pergi. Ia kelihatan gelisah karena belum merokok. Ia tidak membawa rokok dan aku tidak akan membelikannya rokok. Ia tahu aku tidak suka asap rokok. Aku berdiri, dan berkata, “Balik?”

“Hayuk.”

Kami membuang bungkus keripik dan botol kosong ke tempat sampah. Aku memandang Hani untuk yang terakhir kali sebelum meninggalkan tempat itu.

Deretan mobil berplat B memenuhi setengah jalan, sudut jalan tempat laki-laki tua pedagang kacang rebus pikulan itu berjualan sudah kosong. Jalan menapak membuatku kepayahan. Deni berjalan mengimbangi langkahku sambil bercerita tentang rencananya membuka lapak dagangan di sampinh mini market. Ia sedang mempertimbangkan antara jualan jagung bakar atau roti panggang dan memintaku untuk memberinya masukan. Kujawab saja “roti panggang” tanpa menyebut alasannya, kecuali aku memang suka roti panggang. Namun, Deni lagi-lagi memberatkan dirinya, mengatakan bahwa ia akan kesulitan mencari roti di sini. Lagi pula roti lebih cepat basi, lanjutnya. Ketika ia meminta tanggapanku, aku berkata, “Terserah kamu.”

Kemudian ia tidak bicara lagi. Kami berjalan dalam keheningan, sementara Hani masih di pikiranku. Aku merencanakan untuk kembali ke tempat ini dan bertemu dengannya lagi. Bulan depan aku bisa ambil cuti dua hari. Aku akan mengajaknya jalan-jalan ke curug yang diceritakan Deni atau ke tempat indah lainnya. Tentu saja, sebelum itu aku akan minta nomor WhatsApp-nya kepada Deni. Mudah-mudahan ia mau memberikannya.

Langkah kami melambat di tanjakan curam, tapi aku berjalan lambat lebih karena perutku yang mulas. Aku seharusnya tidak mengambil banyak sambal waktu makan malam tadi. Tidak juga sampai menghabiskan satu setengah keripik pedas—aku yang menghabiskan setengah bungkus keripik Deni. Rasa mulas itu datang dan pergi. Aku bisa saja menahan tidak buang air besar sampai tiba di vila, tapi ketika Deni menawariku untuk memakai kamar mandi di rumahnya, aku mengiyakannya.

Rumahnya tidak jauh dari belokan masuk gang, di salah satu rumah-rumah tanpa teras yang berjajar rapat seperti anak tangga. Pintu rumah terbuka, kami melepas sandal dan mengucap salam. Dua bocah perempuan yang sedang bermain ponsel menengok ke arah kami—yang satu lebih tinggi, berusia sekitar delapan tahun, dan yang lain berwajah Arab, berusia sekitar lima tahun.

“Ini keponakan saya. Anak abang saya,” kata Deni, mengusap kepala bocah bertubuh tinggi. Kemudian tangannya berpindah, mengusap kepala si wajah Arab, dan berkata, “Yang ini anaknya Hani. Hani memang sering menitipkan anaknya di sini kalau lagi kerja.” Ia lalu menyuruh keduanya menyalamiku. Dua bocah itu pun menyalamiku dan kembali bermain ponsel. Deni berkata, “Kamar mandinya di belakang, Pak.”

“Ok. Terima kasih.”

Memang, sudah menjadi rahasia umum cerita tentang anak-anak berwajah Arab itu, dan kuanggap Anda juga sudah tahu soal itu. Aku sendiri mengetahuinya lewat YouTube dan artikel di internet. Kini, aku bertemu langsung salah satunya—putri dari perempuan yang baru saja kukenal. Keingintahuanku membuatku ingin menanyakan tentang si wajah Arab kepada Deni, akan tetapi, kupikir tidak semua yang berbeda mesti ditanyakan.

Aku menyingkap kain gorden dan terkejut menemukan dua orang tua yang sedang makan malam. Aku membeku sejenak, keheningan membuatku ragu untuk masuk ke kamar mandi. Aku berpikir mereka kakek-nenek Deni, karena keduanya terlihat terlalu tua untuk jadi orang tuanya.

“Makan, Dek?” tanya si nenek.

“Ijin ke kamar mandi,” jawabku.

“Mangga, mangga,” sahut mereka hampir bersamaan.

Kamar mandinya terletak tepat di seberang meja makan. Aku menyalakan lampu dan melangkah masuk ke kamar mandi. Kamar mandinya lumayan bersih meski dindingnya berlumut. Lampunya redup, ember merah dipenuhi air dari keran yang tidak bisa menutup penuh, pintunya terbuat dari seng dengan satu lubang kecil setinggi kepalaku sehingga aku bisa mengintip ke luar.

“Bagaimana mungkin aku buang air di depan mereka?” kataku dalam hati.

Jadi, kuputuskan untuk tidak jadi buang air, besar atau kecil—hanya buang angin pelan-pelan tanpa suara, yang membuat perutku sedikit lega. Aku berdiam diri sebentar, mengintipi kakek-nenek Deni yang masih menikmati makan malam, berpikir bahwa mereka sepertinya tidak akan terganggu seandainya aku buang air besar dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Setelah sekitar dua atau tiga menit, aku menyiram kloset, keluar kamar mandi, mengucapkan terima kasih kepada kakek-nenek Deni, lalu kembali ke ruang depan.

“Sudah?” tanya Deni saat melihatku datang.

“Sudah,” jawabku.

Deni berpamitan kepada dua bocah itu dan melangkah keluar rumah.

Tapi aku tidak mengikuti Deni keluar. Aku masih di dalam, memperhatikan si wajah Arab yang sedang menonton video TikTok. Bocah ini berbeda sekali dengan Hani. Dia berambut keriting, Hani berambut lurus. Dia bermata bulat besar, Hani tidak. Dia beralis tebal, Hani beralis agak tipis. Dia berpipi tembam, Hani berpipi oval. Namun, keduanya berkulit putih dan cantik.

Aku tersenyum ketika si wajah Arab memandangku dengan mata hijaunya yang besar. Kuambil sebungkus cokelat dari kantong belanja dan kuberikan kepadanya.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!