Tuan Muda, Gadis Arang dan Kupu-Kupu Emas
Di tepi jendela ia merenung.
Tidak.
Ia tidak sedang memikirkan bunga-bunganya karena bunga-bunga yang indah itu selalu dirawatnya tiap hari. Malah sebaliknya, sekarang bunga-bunganya yang khawatir kepada tuannya, mengira-ngira apakah yang sedang dirisaukannya.
Kupu-kupu emas memerhatikan lelaki muda itu dari ujung jendela, menunggunya mengucapkan sesuatu. Siapa tahu dia bisa membantunya, seperti halnya lelaki muda itu yang membantunya dengan menyediakan limpahan madu di taman. Orang-orang mengenal lelaki itu sebagai Tuan Muda.
“Dimanakah gerangan gadis cantik yang akan mengasihiku dengan kasih sayangnya yang tulus?” gumam Tuan Muda.
Kupu-kupu emas heran, bagaimana mungkin laki-laki tampan seperti Tuan Muda belum mendapatkan seorang kekasih? Padahal gadis-gadis cantik yang lewat dari balik tembok taman ini selalu menunggu Tuan Muda berharap meminang satu diantaranya. Bahkan Esperanza, sang putri gubernur, juga sedang menunggu pinangannya.
“Apa yang kurang dari putriku?” tanya Gubernur Sanchez pada penasehatnya. “Apa yang kurang dari keluarga Sanchez?”
“Tuan muda menginginkan seorang gadis miskin,” kata mawar putih kepada kupu-kupu emas yang kini sedang berdiri di atasnya.
“Gadis miskin?” tanya kupu-kupu emas.
“Ya, seperti dalam dongeng Cinderella. Tuan muda ingin kisah cintanya seperti itu. Tahu kan? Cinderella itu gadis miskin yang hidup dengan…”
“Aku tahu cerita itu,” potong kupu-kupu, “tapi itu kan hanya dongeng.”
“Tuan muda yakin akan menemukannya suatu hari nanti,” sahut mawar putih.
*
Sementara itu, di sebuah rumah sederhana yang tidak jauh dari kediaman Tuan Muda, seorang gadis cantik sedang menyalakan api untuk masak air. Berkali-kali dia meniup kayu arang, tapi api tidak juga membesar. Sebagian wajah gadis itu tertutup abu di udara. Sebagian lagi tercoreng dari tangannya yang kotor. Tapi di balik itu, ada kecantikan yang tidak diketahui siapa pun kecuali sang ibu tiri dan kedua saudara tirinya yang tidak pernah mengakuinya. Mereka memanggil gadis itu Si Arang.
Gadis Arang sedang memasak air untuk mandi ibu tirinya. Sambil menunggu air panas, dia menyapu halaman memberi makan ayam-ayam dan setelah itu mencuci piring. Biasanya semua pekerjaan itu selesai jam sembilan, setelah itu dia pergi ke pasar untuk menjual buah-buahan yang dipetiknya dari kebunnya kemarin.
“Araaaang!” panggil seorang wanita dari dalam kamar.
Buru-buru Gadis Arang mendekati wanita itu. Di teras rumah, dua orang gadis dengan dandanan norak sedang tertawa cekikikan.
“Hari ini kau jual buah-buah itu tiga kali lipat dari harga biasa,” perintah si wanita kurus dengan nada kasar. “Bilang saja ini buah terbaik dari kebun terbaik. Bukankah kau tukang kebun terbaik, Sayangku?”
Gadis Arang tidak dapat membantahnya, karena hanya dengan menjawab ‘tapi’ bisa berarti dia tidak dapat tinggal lagi di rumah itu. Sungguh malang nasib Gadis Arang. Mungkin ceritanya akan berbeda jika ayahnya masih hidup.
Delapan tahun yang lalu Gadis Arang hidup dalam bahagia. Walaupun tak tidak punya ibu, Gadis Arang dapat merasakannya melalui kasih sayang ayahnya. Sampai di suatu hari sang ayah memutuskan untuk menikah lagi agar gadis itu benar-benar mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Ayahnya menikah dengan seorang janda ber-anak satu. Awalnya Gadis Arang senang sekali mendapatkan seorang ibu dan seorang saudari baru. Dia merasa menjadi seorang anak paling bahagia di dunia ketika lahir adik perempuan dari ibu tirinya. Satu setengah tahun kemudian sang ayah meninggal, betapa sedihnya Gadis Arang. Seiring dengan itu, kesedihannya berubah menjadi penderitaan. Ibu tirinya yang dikenal baik berubah menjadi jahat. Harta warisan ayahnya dirampas olehnya. Gadis itu kini menjadi pembantu di rumahnya sendiri.
Gadis Arang sering memimpikan seorang lelaki yang mampu membebaskannya dari penjara rumahnya, seperti seorang pangeran yang membebaskan seorang putri dari tidur yang panjang. Dengarlah nyanyian Gadis Arang yang merindukannya:
Aku yang mencintaimu dari kejauhan
Mengintip dari balik dinding taman
Merindukanmu sepanjang jalan
Aku mencintaimu dari kejauhan
Malu berjumpa takut bertatapan
Aku mencintaimu karena aku kasmaran
Kubiarkan lagu ini yang menyampaikan
Kalau aku mencintaimu dari kejauhan
“Syair yang indah,” kata kupu-kupu emas. “Pastilah ia gadis yang diimpikan Tuan Muda.”
*
Keesokan harinya kupu-kupu emas menceritakan Gadis Arang kepada bunga mawar.
“Aku pikir Gadis Arang pastilah yang dirindukan Tuan Muda,” kata kupu-kupu emas.
“Mungkin Gadis Arang-lah orangnya,” kata mawar. “Maukah kau membawa Tuan Muda kepadanya?”
“Aku akan coba,” jawab kupu-kupu emas. “Lagipula aku akan senang jika kisah ini berakhir bahagia. Membuatku terharu.”
Keesokan paginya, ketika Tuan muda sedang membaca buku, kupu-kupu emas sengaja hinggap di ujung bukunya. Tuan Muda meniup kupu-kupu itu agar tidak menghalangi. Tapi kupu-kupu itu tidak mau pergi. Tuan muda mencoba menangkapnya. Hupp! Kupu-kupu itu terbang dan hinggap di atas meja. Kupu-kupu emas melebarkan sayapnya yang lebar lalu mengipas-ngipasnya perlahan.
“Makhluk yang indah,” kata Tuan Muda. “Pastinya kau jenis yang sangat langka.”
Sementara kupu-kupu emas memamerkan sayapnya, Tuan Muda melangkah menuju rak buku. Ia memilih-milih buku di bagian serangga dan berhenti di sebuah buku besar bernama Ensiklopedi Kupu-Kupu Dunia. Ia menelusuri halaman demi halaman, mencocokkan kupu-kupu tersebut dengan gambar-gambar di dalam buku. Tapi hingga akhir halaman, Tuan Muda tidak menemukannya. Ia pun mengembalikan buku tersebut ke atas rak lalu kembali ke meja belajarnya dan mengamati kupu-kupu emas.
“Ini benar-benar indah,” ucap Tuan Muda. “Tunggulah di sini.” Ia mengambil pena di atas meja dan mengeluarkan buku lukisnya dari laci meja. Ia mulai membuat sketsanya, kemudian menulis bagian-bagian penting, seperti bola mata emas dan belalai yang panjang. Ia baru akan memberi warna ketika tiba-tiba kupu-kupu emas mengepakkan sayapnya. Kilauan debu-debu emas bertebaran di udara. Makhluk itu terbang mengitari ruangan lalu melayang ke luar jendela. Mata Tuan Muda mencari-cari kupu-kupu emas di sekitar taman dan menemukannya sedang melompat dari satu bunga ke bunga yang lain. Ia pun pergi taman untuk mempelajari kupu-kupu langka itu lebih jauh. Kupu-kupu emas sedang berdiri di atas bunga mawar putih ketika Tuan Muda berjalan mendekatinya.
“Teman, ijinkan aku menyentuhmu,” bisik Tuan Muda mencoba menyentuh sayapnya. “Aku tidak akan menyakitimu. Aku tahu sayapmu rapuh seperti perasaanku.”
Kupu-kupu emas membiarkan sayapnya disentuh Tuan Muda.
Usai menyentuhnya, Tuan Muda memandangi serbuk emas yang menempel di ujung jari telunjuknya dan setelah itu meniupnya.
Kupu-kupu emas mengepakkan sayapnya, terbang melewati pagar rumah dengan serbuk emas yang mengikuti gerakannya di belakang. Kelinci putih dan burung bulbul terpukau melihat keindahan sahabatnya itu. Mawar putih terlihat bangga karena kupu-kupu emas sering memberikan serbuk emasnya ke dalam nektarnya.
Tuan Muda berlari mengikuti kupu-kupu emas yang terbang meliuk-liuk di antara pepohonan. Ia seperti anak kecil yang kegirangan setelah mendapat mainan baru dan tidak peduli orang-orang yang memperhatikannya di sepanjang jalan. Sampai akhirnya ia berhenti ketika kupu-kupu emas hinggap di atas sebuah apel merah nan ranum. Pada saat itu kupu-kupu emas sudah kehabisan serbuk emasnya, dan selanjutnya dia hanya seekor kupu-kupu biasa yang berwarna kuning dan hitam. Perubahan itu membuat Tuan Muda berpikir, sampai berapa lama lagi kupu-kupu itu mendapatkan serbuknya?
Tapi belum sempat ia menyelesaikan catatannya, tiba-tiba seseorang mengibaskan tongkat pengusir lalatnya untuk mengusir kupu-kupu emas.
“Hei! Kau mengusirnya,” sahut Tuan Muda kepada seorang perempuan yang sudah kuperkenalkan sebagai Gadis Arang. Matanya mencari-cari kemana kupu-kupu itu pergi, tapi ia tidak menemukannya.
“Memangnya kenapa?” tanya Gadis Arang.
“Itu kupu-kupu yang langka,” jawab Tuan Muda. “Kau tidak melihat betapa indahnya kupu-kupu itu?”
“Semua orang tahu, kupu-kupu itu berasal dari ulat. Ulat merusak buah.”
“Kaulihat ini?” Tuan Muda menunjukkan sketsa gambar kupu-kupu emas di buku lukis dan catatan pentingnya.
“Tidak ada bedanya,” jawab Gadis Arang.
Tuan Muda merasa tidak nyaman bersama perempuan egois tersebut. Tapi ia tidak ingin berdebat. Untuk meredam emosinya, ia mengalihkan perhatiannya pada buah-buahan di hadapannya.
“Berapa harga apel ini?” tanya Tuan Muda.
“Lima belas,” jawab Gadis Arang sambil mengelap buah apel dengan selembar kain putih.
“Mahalnya. Bisa kurang?”
“Tidak bisa.”
“Kalau saja kauhargai lima, maka aku akan beli tiga.”
“Itu sudah harga pas,” Gadis Arang meletakkan apel yang sudah dibersihkannya dan menyusunnya di atas kotak buah.
“Kau pasti bercanda.”
“Ini apel terbaik dari kebun terbaik,” kata Gadis Arang sedikit sombong. “Lagipula, saya pikir Anda tidak sanggup membelinya.”
“Itu karena kau tidak tahu siapa saya?”
“Tidak tahu, dan saya tidak mau tahu”
“Saya bisa saja membeli semua buah-buah ini. Bahkan seluruh dagangan di pasar pun bisa saya beli!”
“Coba saja.”
“Ohh pasti.”
“Sayang, pria setampan Anda begitu sombong dan pelit. Huh! Tidak seperti Tuan Muda, biarpun kaya tapi ia seorang yang rendah hati.”
Wajah Tuan Muda memerah, tapi dengan santai ia berkata: “Kautahu, saya ini Tuan Muda.”
“Oh saya tahu, Tuan Muda yang tidak sanggup beli apel!” kata Gadis Arang tangannya bertolak pinggang.
“Dan kamu perempuan tukang peras!” kata Tuan Muda kesal, lalu melangkah pergi meninggalkan Gadis Arang yang mulai menangis.
Dari balik rerumputan kupu-kupu emas memandang sedih Gadis Arang yang malang. Dia ingin sekali menolong dan menghiburnya. Tapi apalah daya dia hanya seekor kupu-kupu.
*
“Manusia memang aneh,” kata burung bulbul pada mawar putih.
“Kamu benar, mereka memang aneh,” kata mawar putih.
“Aku seharusnya tidak membawa Tuan Muda ke sana,” kata kupu-kupu emas, yang muncul dari balik ranting pohon.
“Itu bukan salahmu,” hibur mawar putih. “Kita memang tidak lebih mulia dari mereka, tapi kita tidak pernah saling benci.”
Kupu-kupu emas melompat terbang ke sarang burung bulbul yang baru saja dibangun. Dia melihat ke dalam sarangnya yang dihiasi bunga-bunga berwarna kuning. “Rumah yang indah. Kurasa, aku akan menginap di rumahmu malam ini,” dia berkata, mengakhiri cerita ini.
* *