Teknisi
Ayahku seorang teknisi. Ia berhenti kerja di tahun 2003, saat usianya 52 tahun. Kemudian, selama dua puluh tahun berikutnya ia membuka usaha jasa servis. Ia memperbaiki mesin cuci, kulkas, AC, kipas angin, blender, mixer, setrika, kompor gas, dispenser air.
Usahanya tanpa promosi. Tidak ada spanduk atau pamflet. Hanya rujukan dari mulut ke mulut. Ia sangat mengandalkan telepon rumah untuk menerima orderan servis. 99% telepon masuk berasal dari pelanggannya—yang 99% adalah tetangga dan kerabat kami. Sisanya, orang yang baru dikenalnya.
Jika dokter bedah ahli dengan pisau bedahnya, maka ayahku ahli dengan test pen-nya. Hasil kerjanya bagus dan rapih. Tidak diragukan. Ia sangat teliti dan tidak mudah menyerah. Tidak ada yang tidak bisa diperbaikinya, bahkan jika mesti memakan waktu berhari-hari.
Teras rumah kami yang sempit difungsikan sebagai bengkelnya. Juga jadi tempat menyimpan peralatan, barang yang sedang diperbaiki dan barang yang sengaja dibeli dari pedagang loak untuk diperbaiki dan dijual lagi. Semakin lama barang-barang itu semakin menumpuk, dan ruang tamu pun terpaksa difungsikan jadi tempat penyimpanan sementara. Ibuku sering mengeluh masalah ini. Aku juga. Tapi mau bagaimana lagi? Dari situlah sumber uang berasal.
Untuk memberi gambaran berapa harga yang mesti dibayar, ayahku selalu memberitahu pelanggannya bagian mana yang rusak dan apa saja yang perlu diperbaiki atau diganti. Ia juga memberitahu harga spare-part dan ongkos belinya—yang tidak pernah di-mark up-nya.
Tapi ia tidak memberitahu harga servis. Melainkan menyerahkannya kepada pelanggan. Mungkin karena tidak enakan atau takut kemahalan. Hal ini tentu saja membuat pelanggannya bingung—meski ayahku menerima berapapun yang diberikan. Kalaupun didesak, ia akan menyebut angka wajar. Misal, dua puluh atau tiga puluh ribu untuk kipas angin. Atau, kadang-kadang ia malah menggratiskannya. Meski begitu, ada juga pelanggan yang memberikan uang lumayan besar untuk pekerjaan mudah. Ayahku pernah dibayar dua ratus ribu hanya untuk menekan tombol mesin cuci digital. Easy money.
Suatu kali, sekitar lima atau enam tahun lalu, seorang tetangga kami yang beda satu blok meminta ayahku untuk memperbaiki mesin cucinya. Karena kasusnya rumit, mesin cuci itu dibawanya ke rumah. Ayahku kadang-kadang bekerja sampai malam dan beberapa kali pergi sendiri naik angkot untuk membeli spare-part. Ia yang menanggung dulu semua biaya itu.
Pekerjaan itu memakan waktu sekitar seminggu. Selain perbaikan, ayahku juga memasang body bawah untuk mengganti body lama yang sudah keropos. Setelah diperbaiki, mesin cuci itu dikembalikan ke pelanggan, dan dites. Hasilnya bagus. Pelanggannya puas.
Lalu, seperti biasa, ayahku memberitahu apa saja yang sudah diperbaiki beserta rincian harga beli spare-part, sambil menunjukkan bukti kwitansi pembeliannya, dan menyerahkan harga jasa servisnya kepada pelanggan. Pikirnya, tidak mungkin tetangga yang sudah dikenal baik itu tidak memberi harga pantas. Apalagi, tetangga kami bisa dibilang lumayan berada. Seorang PNS.
Memang, uang yang diterima ayahku lumayan besar. Tapi itu hanya cukup untuk mengganti biaya spare part dan ongkos belinya. Untungnya sangat kecil—seandainya sepuluh ribu rupiah bisa disebut untung. Ayahku geleng-geleng kepala saat menceritakan kejadian itu kepada kami sorenya. Wajahnya terlihat capek dan ia belum mandi.
Sebelum hari itu, ayahku tidak pernah dikecewakan pelanggan karena masalah pembayaran. Tapi, apa yang bisa dilakukannya selain berlapang dada? Ia tidak akan menagih jumlah yang seharusnya. Yang jelas, ia tidak ingin masalah itu dibesar-besarkan, sehingga bisa membuatnya kehilangan pelanggan.
“Ya sudah. Anggap saja sedekah,” kata ayahku, pergi ke kamar mandi.
* * *