Tamu Istimewa
“Rosie, tamu kamu sudah datang tuh.”
Aduh, jangan panggil pakai nama itu dong, Bu.
Denis, orang yang pertama kali memanggilku Rosie. Katanya, wajahku mirip Kate Winslet di Titanic. Sumpah deh. Itu bukan sanjungan. Wajahku sama sekali tidak mirip dengan Kate Winslet. Itu sih bisa-bisanya Denis saja.
“Hai!” sapanya sambil melambaikan tangan kanannya, sementara tangan kirinya disembunyikan di balik punggung. Denis terlihat kurusan dan masih suka mengenakan sweter coklat favoritnya.
“Denis, Tina yang masak hari ini lho,” kata Ibu.
Ibu tuh nyebelin banget, padahal yang kulakukan hanya memotong-motong sayuran.
“Wah, pastinya enak tuh, Tante,” sahut Denis.
Aku memelototi Ibu, tapi Ibu membalasnya dengan senyum meledek. Lalu, seperti biasa, Ibu meninggalkan kami berdua.
“Ini untuk kakak,” Denis memberikan setangkai bunga mawar padaku.
Kenapa sih Denis harus bawa bunga?
“Nanti ditaruh di vas bunga, ya,” ujarnya, nyelonong masuk melewatiku, lalu mengempaskan tubuhnya di atas sofa.
Ibu sedang mengambil sesuatu dari dalam kulkas saat aku berjalan ke sofa. Wajahnya tampak menahan geli melihat anak gadisnya merengut karena kedatangan seorang pecinta—seorang bocah berumur enam tahun.
“Tujuh tahun!” seru Denis tiba-tiba. “Aku akan tujuh tahun dua bulan lagi. Wah aku sudah besar sekarang.”
Bunga mawar itu kuletakkan di atas meja dekat TV tanpa berniat untuk menaruhnya ke dalam vas. Denis duduk dengan santai, namun dengan air muka serius seakan sedang berpikir. Melihat tingkahnya, kau mungkin menganggapnya menggemaskan.
“Aku nulis puisi sekarang,” ia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang dari dalam tasnya. “Aku baca ya?”
“Lain kali saja.”
Dalam sekejap raut wajahnya berubah muram.
“Ok Denis, satu saja,” kataku menyerah. Sebentar lagi sebuah pertunjukkan kecil akan berlangsung di hadapanku, penuh semangat dan mungkin akan membosankan.
Teman Yang Baik, begitu judulnya, semoga saja teman yang dimaksud itu bukan aku. Kemudian, ia membacanya dengan suara lantang dan penuh penghayatan. Aku yang tadinya menganggapnya hanya bermain-main, malah terpukau dengan puisinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa benar Denis yang membuatnya?
“Aku yang membuatnya.”
“Oh ya?”
“Menulis puisi butuh energi yang banyak.”
“Boleh kakak pinjam?”
Denis mengangguk, lalu memberikan lembaran puisinya padaku dan berkata, “Simpan saja. Aku memang ingin memberikannya pada kakak. Aku juga nulis cerpen. Kalau kakak mau baca, aku bisa ambil ke rumah.”
“Nanti saja. Kakak mau lihat puisi kamu dulu.” Kemudian aku membaca puisinya yang lain, membacanya lagi dan membacanya lagi, dan masih tidak percaya Denis yang menulisnya.
“Kamu yang membuatnya?”
Ia mengangguk.
“Kamu benar-benar yang membuatnya?”
Ia mengangguk lagi.
“Ok, Denis. Kakak akan kirim puisi ini ke majalah. Mungkin ada sedikit revisi kalau kamu tidak keberatan.”
*
Denis datang pertama kali ke rumah kami pada bulan Juni, berdiri di depan pintu rumah kami bersama ibunya, memperkenalkan diri sebagai tetangga baru. Begitu melihatku ia langsung berteriak,
“Lihat, Ma! Tetangga kita seorang penulis!”
Kami duduk di ruang tamu. Ibu Denis bilang bahwa mereka baru datang dari Surabaya dan tinggal di Bandung untuk sementara. Kata sementara bisa saja berubah jadi menetap lama jika Denis cocok dengan sekolah dan lingkungannya.
Ibu Denis seorang wanita anggun dengan kacamata berbingkai oval. Etika bertamunya tampaknya membuat ibuku terkesan, sehingga tanpa disadari ibuku melakukan persis seperti yang dilakukannya; duduk dengan kaki menyilang, tangan kanannya memegang cangkir teh, sementara tangan kirinya memegang tatakannya. Aku tidak memperhatikan obrolan mereka karena kulihat Denis sedang melihatku sambil memainkan alisnya.
“Apa?” bisikku, tapi Denis hanya menyengir.
Sebentar kemudian kulihat ia menarik baju ibunya, dan berkata dengan setengah berbisik, “Aku masih tidak percaya tetangga kita seorang penulis.”
“Tina bukan penulis biasa,” sambar ibuku. “Dia baru saja diundang untuk melatih menulis anak-anak SMA di Jogja. Kalau kamu mau, kamu boleh belajar nulis sama Tina. Iya kan Tina?”
Aku harus ngomong apa?
“Bolehkan, Ma?” Denis memohon pada ibunya.
“Tina itu guru yang baik,” lanjut Ibu. “Bukan cuma nulis. Tina juga jago matematika dan menggambar.”
Aduh, ibu ngomong apa lagi nih?
“Denis itu anak yang istimewa,” kata Ibu sambil menutup pintu sesaat setelah mereka pergi. “Bersikaplah manis padanya.”
Seistimewa apa sih Denis? tanyaku dalam hati.
Aku semakin bingung ketika Denis datang keesokan lusanya dan Ibu menyambutnya seperti kedatangan seorang raja.
“Silahkan masuk, Tuan,” Ibu berkata dengan setengah membungkuk. “Tuan Putri sudah menunggu di dalam.”
“Halo, Kak,” sapa Denis padaku dengan senyum manisnya. Dan seperti biasa ia langsung melompat ke sofa, tangannya dilipat di dada.
“Aku sudah baca cerpen Kakak.”
“Yang mana?”
“Perjalanan Akhir Renata.”
“Dari satu sampai sepuluh. Kamu kasih nilai berapa?”
“Tujuh koma dua lima”
“Kenapa tidak 7? Kenapa tidak 8?”
“Terlalu kecil untuk 7, tapi terlalu besar untuk 8. Menurutku itu bukan perjalanan akhir, tapi aku yakin kakak akan membuat lanjutannya. Mungkin sebuah prekuel?”
Anak itu bahkan tahu kata prekuel.
“Renata mengingatkanku pada kakak. Rambut sebahu, mata bulat dan hidung mungil. Tapi Irfan malah mengingatkanku pada diriku sendiri. Mungkin aku versi dewasanya. Ha-ha-ha.”
“Tapi kakak kan belum kenal kamu waktu nulis itu.”
“Itu artinya kakak punya penglihatan.”
“Penglihatan?”
Seperti itulah kesan masa-masa awalku bersama Denis; ia terlihat begitu cerdas, mempesona dan menggemaskan.
Denis senang menceritakan mimpi dan masa depannya. Dibilangnya, ia ingin jadi seorang pengacara. Kemudian aku bertanya padanya, apakah ia tahu apa pengacara itu? Denis menjawab, bahwa pengacara itu membela orang-orang yang lemah. Ia ingin membela temannya yang sering di-bully. Di lain hari Denis ingin menjadi penulis sepertiku. Jadi aku memintanya menulis tentang kunjungan ke rumah nenek. Tapi Denis tidak pernah bertemu neneknya. Yang ia tahu hanya nenek temannya yang super jutek.
Aku juga meminjamkannya beberapa novel Goosebumps. Awalnya ia membacanya dengan tenang, tapi kemudian ia mulai bertanya-tanya bagian-bagian yang tidak dimengerti dan tidak masuk akal, seperti siapa orang tua makhluk salju itu? Ketika aku tidak bisa menjawab, ia berkata: “Cerita yang aneh. Tidak masuk akal.”
Denis juga tidak malu-malu menanyakan sesuatu yang pribadi, seperti apakah aku sudah punya pacar? Apakah aku, yang orang Sunda, akan menikahi orang Jawa? Belakangan, pertanyaan-pertanyaan aneh itu kuanggap biasa saja.
Namun, kehadiran Denis yang terlalu sering membuat jadwalku mulai berantakan. Aku mulai mengeluh kepada Ibu, tapi Ibu hanya bilang Denis itu tamu istimewa. Ketika kutanya apa maksudnya, Ibu malah menjawab:
“Kamu akan tahu nanti.”
Kalau sudah begitu aku hanya bisa mengomel dalam hati. Bagaimanapun, aku harus memberitahu perasaanku yang sebenarnya pada Denis. Denis harus belajar memahami orang lain. Ia dan ibunya akan berterima kasih padaku nanti.
“Denis!” panggilku. “Kakak mau ngomong sesuatu sama kamu. Sesuatu yang penting.”
Denis terlihat serius dengan buku gambarnya. Ia sama sekali tidak menoleh ke arahku.
“Denis, Kakak … tidak ingin kamu datang lagi ke sini. Maksud Kakak, kamu tidak perlu ke sini setiap hari. Lihat, Kakak ada banyak pekerjaan,” aku menunjuk laptop dan tumpukan kertas di atas meja.
Denis berhenti menggambar, dan terdiam. Ada keheningan yang tidak kuinginkan dan membuatku merasa sangat bersalah. Kupikir Denis akan pergi meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku dengan sabar menunggu jawabannya, tapi jawaban Denis malah di luar perkiraanku.
“Tapi bagaimana dengan Nadia, Kak?”
Nadia adalah salah satu tokoh protagonis dalam salah satu novel yang sedang kukerjakan. Rupanya Denis diam-diam membaca draft naskahku, tepatnya saat ia meminjam laptopku untuk bermain game.
“Seharusnya dia tidak pergi ke Bandung,” lanjutnya.
“Tidak, Denis. Nadia harus pergi ke Bandung. Dia bekerja keras supaya diterima di ITB dan dia berhasil mendapatkannya.”
“Tapi ibunya sangat membutuhkannya.”
“Kakak paham itu dan sudah memikirkannya.”
Mungkin Denis benar. Ibunya sakit berat, sedangkan Nadia anak satu-satunya. Tapi aku sudah memutuskan. Nadia harus pergi ke Bandung karena ceritanya akan berlanjut di sana. Nadia akan bertemu Wulan, lalu Wulan akan mengajaknya berpetualang ke hutan dan mereka menemukan pintu ke masa lalu. Aduh … kenapa sih aku malah memikirkan itu.
“Dengar Denis. Kita bisa diskusikan itu nanti. Mungkin kamu bisa ke sini seminggu sekali …. atau seminggu dua kali …”
Tidak ada jawaban darinya. Ia malahan menatapku dengan mata berkaca-kaca. Ya ampun, aku jadi tidak tega melihatnya begini.
“Baiklah,” lanjutku, membayangkan penderitaanku ke depan. “Kamu bisa datang ke sini lagi besok.”
Tapi Denis tidak datang keesokannya, tidak juga lusanya. Ketidakhadirannya membuatku merasa bersalah. Aku bertanya pada Ibu, apakah dia melihat Denis belakangan ini? Ibu menjawab bahwa dia ketemu ibu Denis kemarin. Katanya, Denis pergi ke Surabaya. Ada urusan penting.
Jawaban Ibu melegakanku dan aku tidak lagi merasa bersalah, apalagi seminggu kemudian Denis datang lagi ke rumahku.
*
“Kakak melamun?”
Aku terhenyak, mencoba tidak larut dalam perasaan.
“Kakak hanya memikirkan tulisanmu. Kakak pikir, kamu akan jadi penulis besar.”
“Pastinya.”
Malamnya, aku mengirimkan satu puisinya kepada temanku—seorang editor di majalah remaja. Aku memberitahu bahwa penulisnya adalah seorang anak berumur tujuh tahun. Hasilnya, tiga hari kemudian temanku menelponku dan menanyakan apakah Denis mempunyai tulisan lain? Aku langsung mengirimkan puisinya yang lain dan sebuah cerpen.
“Mereka tidak percaya kau yang menulisnya,” kataku pada Denis keesokannya.
“Setidaknya masih ada kakak yang percaya.”
*
Rumah Denis hanya berjarak dua blok dari rumahku. Aku baru satu kali datang ke rumahnya dan itu pun bersama ibuku untuk sebuah kunjungan balasan. Aku masih ingat suasana di dalam rumahnya: dinding yang kusam, lemari yang dipenuhi foto-foto Denis dan ibunya. Aku baru berkunjung lagi setelah hampir seminggu Denis tidak datang ke rumah, dengan membawa sebundel draft novel yang baru saja kuselesaikan. Denis akan menjadi tukang kritikku.
Pintu pagar rumahnya tidak terkunci, aku melangkah masuk dan mengetuk pintu rumahnya tiga kali. Aku akan melupakan hari-hari yang kusebut membosankan bersamanya dan berharap hari-hari ke depan bisa lebih baik. Kuketuk pintunya lagi lalu mengucap salam dengan lebih keras. Aku menunggunya seraya melihat-lihat sekeliling. Tapi masih tidak ada jawaban. Mungkin ia masih di Surabaya, pikirku. Lalu kuputuskan kembali pulang dan menunggu Denis berkunjung lagi ke rumahku.
Ibu sedang membaca majalah di ruang tamu ketika aku datang. Aku duduk di sampingnya dan memberitahu perihal puisi Denis dan kesempatan untuk diterbitkan. Ibu menurunkan majalah, lalu memandangku dengan kasih sayang, dan berkata, “Ada surat untukmu. Dari Denis.” Ibu mengambil surat di atas meja di sampingnya dan memberikannya padaku.
Aku membaca surat tersebut di dalam kamar. Tulisan Denis lumayan rapi, tapi itu lebih karena ia berusaha meniru tulisanku. Aku tersenyum karena memang benar-benar mirip.
Yang tercinta kak Rosie,
Ketika kakak membaca surat ini, Denis sudah berada di Jakarta. Bukan buat jalan-jalan, tapi lagi di rumah sakit.
Ups, tadi Denis bilang rumah sakit? O, iya Denis lupa bilang kalau Denis sedang dalam perawatan. Tapi kakak tidak usah khawatir, Mama bilang Denis ditangani sama dokter profesional. Denis bukannya tidak mau kasih tau kakak nama penyakitnya, tapi terlalu sulit untuk mengejanya. Tapi itu tidak terlalu penting. Yang penting Denis cepat sembuh.
Ngomong-ngomong, bagaimana dengan puisi Denis? Apa sudah diterbitkan? Kalau sudah, segera kabari ya. Mama pasti senang puisi Denis terbit di majalah.
Denis kira, Denis laki-laki paling bahagia di dunia. Denis tidak perlu menunggu umur empat belas tahun untuk mendapat perhatian kakak. Tapi jangan khawatir. Ada laki-laki empat belas tahun yang cocok sama Kakak. Namanya Kak Armand. Wah orangnya asik. Sebenarnya sih Kak Armand itu sepupu Denis yang tinggal di Jakarta. Kak Armand juga suka menulis.
Sekarang Denis hanya berharap bisa bertemu dokter yang suka puisi dan cerpen .
Salam buat tante dan terima kasih untuk kue-kuenya.
Sahabatmu,
Denis
Tentu, Denis. Kakak berharap yang terbaik untukmu. Semoga kamu lekas sembuh.
Ibu datang ke kamarku, duduk di tepi ranjang dan menanyakan ujianku hari itu. Aku menjawab aku bisa mengerjakan ujiannya dengan mudah. Kemudian Ibu tersenyum. Ibu selalu percaya anak satu-satunya ini lulus dengan nilai terbaik dan melanjutkan ke sekolah yang kuinginkan. Ibu mendukungku saat kubilang aku ingin jadi dokter dan tidak mempermasalahkan kalau nantinya pikiranku berubah, misalnya jadi seorang chef atau ibu rumah tangga.
Sejak Ayah meninggal empat tahun lalu Ibu sering datang ke kamarku, untuk mengobrol. Kami memang sudah terbiasa saling berbagi cerita. Ibu sering bercerita tentang pekerjaannya dan teman-teman kerjanya, dan kadang-kadang memberitahu resep masakan baru yang ingin dicobanya. Sedangkan aku biasa memulainya dengan bercerita tentang hari-hariku di sekolah lalu lanjut dengan ide-ide untuk cerita yang sedang kutulis. Tapi sayangnya Ibu bukan kritikus yang baik—Ibu selalu bilang bagus, bagus, dan bagus.
Aku senang, aku dan Ibu selalu merasa bahagia, walaupun belum lama ini kami pernah merasa sedih.
Waktu itu sehari menjelang lebaran, kami sedang mengobrol sambil menunggu kue-kue lebaran dalam panggangan ketika tiba-tiba saja tercium bau hangus masakan. Ibu melompat dari ranjang, lalu kami berlari ke dapur dan menemukan kue kami hangus. Itu seharusnya jadi kue lebaran perdana buatanku, apalagi, aku butuh waktu berjam-jam untuk mengolah adonannya. Kami memang sedih karena kami tidak punya cukup uang untuk membeli bahan-bahan kue lagi, tapi apa yang diucapkan Ibu malah membuat kami tertawa. Ibu bilang, “Kue hangus ini nggak akan kamu buat cerpen kan?”
Ibu kemudian bercerita tentang awal pertemuannya dengan ibu Denis dua minggu sebelum mereka datang ke rumah kami. Ibu Denis yang menyapa ibuku duluan. Bukan suatu kebetulan mereka bertemu. Ibu Denis sengaja menemui ibuku atas permintaan Denis—Denis menyukai semua cerpenku di majalah dan ingin sekali bertemu denganku. Lalu, entah bagaimana dia bisa menemukan alamat kami. Dia menceritakan keadaan Denis dan meminta ibuku supaya aku bisa menemani Denis, dan berjanji akan memberikan Ibu sejumlah uang. Ibu menyanggupi permintaannya, tapi menolak menerima uangnya. Ibu meminta maaf karena tidak memberitahuku sebelumnya.
Denis meninggal delapan hari kemudian. Butuh tiga hari kabar itu sampai ke ponsel ibuku. Ketika kupikir aku sudah siap untuk menerimanya, aku tidak bisa. Seharian aku mengurung di dalam kamar dan mengabaikan panggilan Ibu yang berulang-ulang.
Keesokan paginya aku baru merasa baikan. Ibu, yang sedang menyiapkan sarapan, mengatakan bahwa dia sama sedihnya dengan aku. Katanya, Denis sesekali berkunjung bersama ibunya ketika aku pergi sekolah. Denis pernah bilang pada Ibu kalau suatu hari nanti aku akan menjadi penulis besar, asalkan … tiba-tiba Ibu berhenti di situ.
“Asalkan apa?” tanyaku, yang memang sedari tadi diam saja. Tapi, Ibu terlihat sangat sibuk; dia pergi ke dapur, mengambil gelas, menuang air, dan mengambil nasi untukku. “Asalkan apa?” tanyaku lagi.
“Asalkan kamu nulis cerita horor.”
“Aku kan tidak bisa menulis horor.”
“Tapi Denis benar-benar mengatakannya.”
“Kalau begitu, aku harus mencobanya.”
Ibu tersenyum.
Denis memang sudah meninggalkan kami, tapi ada sebagian dari dirinya yang tinggal. Selain kenangan, Denis menghadiahkanku sejumlah tulisan—ibunya yang mengantarkannya kepadaku. Wanita itu masih terlihat sedih. Tidak banyak yang diucapkannya, selain mengucapkan terima kasih dan berpamitan.
“Kalau kamu mau, kita akan mengunjunginya kapan-kapan,” kata Ibu sesaat setelah ibu Denis pergi.
“Ke Surabaya?”
“Jakarta,” jawab Ibu. “Ibu Denis sekarang tinggal di Jakarta.”
Aku baru membaca tulisan Denis malamnya. Denis menulis tujuh puisi yang sangat indah dan penuh keceriaan, empat cerpen yang membuatku tersenyum dan satu novel yang tidak sepenuhnya selesai—yang ditulisnya di dalam buku jurnal. Ia memang sengaja tidak menyelesaikan novelnya, dan membiarkanku mengisi bagian yang kosong itu. Aku tahu itu, karena novel itu bercerita tentang kami.
* * *