Sekedar Renungan di Hari Raya

Ada kemewahan yang dirindukan di ibu kota pada saat hari raya tiba. Kemacetan yang hampir setiap hari menyiksa, sedang bersembunyi entah dimana. Suasana silaturrahmi yang penuh dengan keceriaan, canda dan tawa dengan sendirinya menggantikan senyuman yang dalam keseharian biasanya menjadi barang langka dan mengundang prasangka. Embusan hawa keheningan tak lupa membawa serta kembalinya persahabatan entah dari mana.
Di banyak tempat di Jakarta, yang setiap pagi hampir dapat dipastikan ditandai oleh kepulan asap kendaraan yang mendahului matahari, sekonyong-konyong suasananya berbalik. Sinar matahari yang hangat menyapa ramah dengan senyuman yang nyaris sempurna.
Indah rasanya mata ini menjangkau pemandangan orang-orang yang bersalaman penuh senyum. Sahutan suara menganggungkan nama Tuhan gemanya terdengar merdu di telinga. Tak lupa mulut juga turut mencicipi variasi khas hidangan silaturrahmi. Sejatinya keindahan seperti ini tak hanya dirasakan oleh badan kasar ini namun juga dapat dirasakan oleh sang jiwa yang tersimpan rapi di dalam. Terlebih lagi mayoritas penduduk Indonesia yang nyata-nyata berpuasa selama satu bulan sebelumnya, sudah selayaknya memiliki kepekaan nurani sebagai buah penempaan diri, pengendalian nafsu dan pematangan emosi di bulan suci.
Pertanyaan titipannya adalah, sudikah kemudian kita menyempatkan diri untuk melihat, mendengar, dan merasakan dengan hati? Bahkan dalam keheningan dan kesunyian. Menyaksikan yang tidak tampak, mendengarkan yang tidak bersuara, dan merasakaan kehadiran yang tersembunyi.
Di tengah keheningan dan upaya perenungan yang dalam tiba-tiba pikiran ini diajak untuk mengingat salah satu ciri lain dari lebaran: berbaju baru. Baju baru menghadirkan warna keceriaan tersendiri. Bukan hanya yang mengenakan baru yang merasa gembira, tapi seluruh anggota keluarga ikut ketularan gembira, terlebih anak-anak. Hadirnya baju baru memberikan suasan tersendiri dalam setiap peristiwa, tidak hanya di hari raya.
Tanpa bermaksud mengurangi arti pentingnya baju baru nan indah, sebagaimana yang kita suka beli dan kenakan, sebenarnya ada baju sejati yang lebih indah dan sering dilupakan banyak orang. Baju itu bernama sopan santun, demikian tutur seorang sahabat menurutnya, sopan santun adalah baju terindah yang pernah dikenakan.
Lebih dahsyatnya lagi, baju baru semakin lama dikenakan semakin sedikit orang yang tertarik. Sebaliknya, sopan santun semakin lama dikenakan maka semakin banyak yang tertarik. Dan lebih dari itu, baju baru yang indah hanya akan menarik orang lain di bagian-bagian permukaan, sedangkan baju sopan santun menarik bagian-bagian yang lebih dalam. Bila baju biasa hanya menarik mata orang lain, maka baju sopan santun bisa menyentuh hati orang lain.
Kesyahduan pemaknaan ini pada akhirnya mengahantar saya untuk berjumpa dengan sebuah ungkapan indah dari Oscar Wilde, The true perfection of a man lies not in what man has, but in what man is (Kesempurnaan seseorang tidaklah diukur dari apa yang dimilikinya tetapi dari siapa dirinya). Dan yang menentukan siapa diri kita adalah serangkaian sikap dan perilaku kita.
Jadi dalam suasana hari raya, yang diyakini sebagai saat diri kembali suci, ibarat terlahir kembali ke alam dunia ini, sudah sepantasnyalah kita selimuti diri, bukan hanya dengan pakaian berupa baju baru tapi juga dengan serangkaian sikap yang baru, kesopanan dan kesantunan yang indah menawan hati. Sebagaimana seorang sahabat jernih menulis “Attitude is a little thing that makes a big difference.”
Di tengah kesungguhan untuk menangkap bersikap lebih baik, sopan dan santun ini, tiba-tiba ada kekaguman akan cahaya kesejatian, kerinduan untuk lebih mendengarkan suara dari dalam. Sekagum mata yang memandang langit, sesyukur hidung yang bertemu wanginya bunga, senikmat mulut yang bersua makanan favoritnya, seindah suara yang dirindukan telinga, demikian rangkaian renungan hati yang dilengkapi kepekaan hening dan sunyi di hari raya.
* * *