Kursi Kosong

Kami kembali belajar setelah dua minggu sekolah diliburkan. Tidak banyak yang berubah. Ada papan tulis kapur, penghapus, jendela kayu, papan dengan kertas tempel warna-warni di dinding, proyektor, layar proyektor, peta Texas, peta Amerika, dua puluh empat kursi. Yang berbeda hanya jumlah murid-muridnya yang menyusut dan suasananya yang muram.

Mr. Henderson terlambat lima belas menit masuk kelas. Ia guru fisika bergelar doktor yang suka pakai kaos dan celana jins, dan mengunyah permen karet yang katanya sudah kebiasaannya sejak di tim bisbol kampus. Hari ini, untuk pertama kalinya ia berpakaian formal di kelas, tidak mengunyah permen karet, dan sedang berpikir mengembalikan semangat murid-muridnya. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai guru yang peduli pada murid-muridnya yang paling bodoh. Henry salah satu contoh suksesnya. Atau, lebih tepatnya satu-satunya. Henry dulunya murid yang bodoh, pemalas dan keras kepala, yang berkat perhatiannya jadi juara pertama Olimpiade Fisika SMA tingkat nasional.

Henry duduk di baris kedua kursi ketiga dari depan, tepat di belakang Pete yang tubuh mungilnya tidak bisa menghalangi pandangan guru saat ia tertidur. Di seberang kanannya ada Emma, murid kurus yang tidak begitu pintar tapi bisa diandalkan mendapatkan contekan. Jauh melampaui Emma, di luar sana ada pohon ek besar tua di pinggir jalan, tempat Henry biasa tidur di bawahnya.

Hari ini Mr. Henderson tidak mengajar. Tidak ada guru yang mengajar hari ini. Setelah pertemuan seluruh murid dan guru di aula tadi pagi, masa berkabung berlanjut di dalam kelas. Masing-masing kelas mengenang murid dan guru yang tewas ditembak dua minggu lalu. Sebelum memulai ceramahnya, Mr. Henderson memandangi wajah-wajah penuh kecemasan dan kursi-kursi kosong yang ditinggalkan pemiliknya untuk selamanya.

“Kita kehilangan tiga sahabat kita di kelas ini,” kata Mr. Henderson. “Siapa yang tidak kenal Charles? Bintang tim basket yang sedang bersinar, tampan, dan penggemar berat Sandy Cheeks.”

Charles seorang yang baik. Bahkan sangat baik. Gadis-gadis banyak yang menyukainya, tapi Charles lebih memilih gadis gemuk bernama Cathy untuk jadi pacarnya. Ia bilang ia bisa melihat kecantikan dalam diri gadis itu. Sejak berpacaran dengan Charles, Cathy sering menonton Charles bertanding dan menemaninya latihan di gym. Charles sesekali mengajak Cathy latihan bersamanya. Charles memang memberikan dampak positif padanya. Kami mengikuti perubahan Cathy dari gadis yang gemar makan jadi gadis yang gemar berolah raga. Kurang dari setahun tubuhnya menyusut, dan dia jadi murid paling cantik di sekolah. Sebelum masuk kelas tadi, aku melihat Cathy menaruh bunga mawar di atas meja Charles.

Selanjutnya Mr. Henderson bicara tentang Mary, gadis berambut kriting pirang dan berkacamata bulat yang seharusnya masih hidup jika dia tidak pergi ke toilet. Mary terbunuh sebelum sempat mencapai toilet. Ditembak dua kali di dada.

“Mary suka sekali menggambar,” kata Mr. Henderson. “Dia menggambar apa saja yang ada di kepalanya. Kami tidak pernah melarang murid-murid kami karena menjadi kreatif. Aku tidak pernah melarang Mary menggambar di kelas. Karena dengan begitu dia belajar dengan caranya sendiri. Dia menggambar apa yang disampaikan guru-gurunya. Kartun Einstein, Relativitas, lubang cacing, Newton dalam manga, apel Newton, pohon apel Newton, karikatur Newton di bawah pohon apel, Abaraham Lincoln, Julius Caesar, Shakespeare, Mark Twain. Itulah kenapa Mary tidak pernah dapat nilai jelek. Dia belajar dengan caranya sendiri. ”

Tiga buku gambar saku milik Mary diletakkan di mejanya bersama fotonya dan setangkai mawar merah. Kami penasaran apa saja yang ada di dalamnya, tapi Steve melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan di masa berkabung. Ia membuka buku gambar itu. Tidak ada yang mencegahnya. Malahan, satu per satu dari kami mendatanginya untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Mr. Henderson membiarkan kami melakukannya.

Rupanya, Mary juga suka menggambar teman-temannya. Ada Charles yang sedang melakukan slam dunk dalam jersey Spurs. Ada aku yang terlihat serius belajar dengan pinsil terselip di telinga. Ada Henry yang digambarkannya dalam karikatur koboi mirip John Wesley Hardin. Henry memuji gambarnya meskipun ia tidak suka dirinya disamakan dengan John Wesley Hardin. Setelah semuanya puas melihat-lihat buku gambar milik Mary, Mr. Henderson melanjutkan pidatonya.

“Kita juga tidak akan bisa melupakan Matt,” lanjut Mr. Henderson. “Murid paling lucu di kelas. Kita akan merindukan lelucon-leluconnya.”

Kau salah Mr. Henderson. Bukan hanya di kelas, Matt makhluk paling lucu di sekolah. Juga paling tampan. Lebih tampan dari Charles tentunya. Ia akan jadi aktor komedi terkenal jika tidak mati. Matt yang malang, semoga saja kematian tidak seburuk yang kaukira. Kalau kau mau, Matt, kau bisa menghantui teman-teman sekolahmu. Kau pastinya akan jadi hantu yang menggemaskan. Seperti Casper.

Tidak ada yang tahu benda favorit Matt kecuali aku, sehingga hanya ada setangkai mawar merah dan foto Matt dalam bingkai yang diletakkan di atas mejanya. Matt tewas karena keingintahuannya—ia pergi mendekati bunyi tembakan untuk merekam kejadian itu dengan ponselnya. Ia ditembak tiga kali di punggungnya. Matt meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Mr. Henderson tampaknya tidak ingin kelas berlarut-larut dalam kesedihan. Ia meminta kami berdoa untuk para korban. Kami menundukkan kepala, berdoa, dan berharap peristiwa tersebut jadi yang terakhir kalinya—di mana pun di seluruh dunia.

Setelah jeda sejenak untuk menghapus air mata, Mr. Henderson menyampaikan sebuah kabar baik. Ia memberitahu kami bahwa Tommy, teman kami yang terluka tembak, pulang dari rumah sakit hari ini. Tommy jadi korban luka terakhir yang pulih.

Tommy murid paling gemuk di kelas, sampai-sampai ia harus bersusah payah melepas kursinya ketika akan berdiri. Kami, yang mendengar berita ia sedang koma, jadi merasa bersalah mengingat kami sering mentertawakannya. Kami bersyukur ia sudah melalui masa-masa kritisnya.

“Kita punya kabar lain,” kata Mr. Henderson, yang perlu menunggu sampai kelas tenang untuk menyampaikan kabar berikutnyanya. “Sayangnya Henry tidak selamat. Ia meninggal pagi ini.”

Henry terlonjak kaget hingga membuat meja di belakangnya bergeser. Ia tidak percaya apa yang barusan didengarnya dan merasa apa yang diucapkan Mr. Henderson terdengar seperti lelucon yang tidak lucu.

“Lihat saja,” katanya kepada Emma, “tidak ada satu pun yang tertawa.” Tapi Emma tidak menanggapinya.

“Terima kasih, Tuhan,” ujar Steve yang tampak senang mendengar berita itu.

“Akhirnya, ia sudah mendapat hukumannya,” sahut yang lain.

Henry bangkit dan berdiri. “Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya. “Apa yang kalian bicarakan?” ulangnya lebih keras. “Apa yang kalian bicarakan, Sialan!”

Tapi tidak ada yang menghiraukannya. Kami sibuk membicarakan kabar gembira itu: kesembuhan Tommy dan kematian dirinya.

Dua minggu lalu seorang murid dengan tas olah raga berisi senjata masuk melalui pintu samping, melewati dua petugas keamanan begitu saja, pergi ke toilet, menyiapkan senjatanya di sana, lalu lima menit kemudian ia keluar dari toilet dan mulai menembaki orang-orang yang dilihatnya. Sebelas murid dan dua guru tewas, sementara empat atau lima murid dalam kondisi kritis. Henry, sang penembak, terluka parah setelah polisi menembak dadanya.

Tidak ada yang menyangka Henry akan melakukan perbuatan itu. Semua tahu ia berasal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang dokter syaraf bedah ternama, ibunya seorang dokter gigi, sedangkan kakak laki-laki yang sedang berkuliah di jurusan kedokteran Harvard. Ia tidak memakai narkoba atau merokok. Tidak juga bergaul dengan preman. Ia memang agak tertutup dan pendiam, tapi ia akan menjawab jika ditanya. Singkatnya, ia seperti murid-murid kebanyakan. Meskipun begitu, aku punya pendapat sendiri kenapa Henry melakukan penembakan.

Fakta pertama. Sikap Herny yang tertutup lebih karena ia merasa rendah diri. Ia pernah bercerita kepadaku bahwa ia tidak akan bisa menjadi dokter seperti orang tua atau kakaknya, dan itu membuatnya sedikit stress. Ia menutupi perasaannya dengan sengaja bertingkah bodoh. Ia jadi sering tidur di dalam kelas, bolos, tidak mandi dan tidak sikat gigi selama berhari-hari. Beberapa guru memang memperhatikan perubahannya, tapi dianggapnya masih normal selama tidak membuat keributan di dalam kelas atau mengganggu murid yang lain.

Fakta kedua. Henry berubah drastis sejak kedatangan Mr. Henderson di kelas kami. Seperti diketahui, Mr. Henderson mengubahnya jadi murid yang pintar dalam pelajaran fisika. Bahkan, dalam pelajaran lain pun ia mengalami banyak kemajuan. Belakangan, Henry suka menulis. Ia mengatakan suatu saat ia akan jadi penulis fiksi ternama alih-alih jadi ahli fisika. Ia tidak menyebut alasannya. Hanya, ia pernah bilang antara fisika dan fiksi punya kesamaan, yakni berkhayal. Katanya, bagaimana fisikawan zaman dulu tahu tentang luar angkasa kalau tidak dengan berkhayal? Mereka kan belum pernah pergi ke sana. Ia kemudian menunjukkanku satu cerita pendeknya, yang ditulisnya dengan nama samaran: Marty Carlo.

Fakta ketiga, belakangan baru kuketahui bahwa Mr. Henderson dan ayahnya Henry sudah berteman sejak lama, sehingga bisa kupastikan ayahnya Henry yang meminta Mr. Henderson untuk lebih memperhatikan Henry.

Fakta keempat. Yang kutahu, aku satu-satunya teman dekatnya. Kecuali kepadaku, ia tidak pernah menunjukkan rasa kecewanya kepada siapa pun. Ia belajar seperti biasa, tidak pernah bolos, dan nilainya selalu bagus. Aku ingat ia pernah berkata, “Kenapa harus menyebut kebodohan seseorang untuk menunjukkan bahwa murid yang bodoh dan pemalas pun bisa berubah?”

Sebagai catatan tambahan, aku juga perlu memperhatikan kaitan Mr. Henderson dengan fakta nomor empat. Untuk diketahui, Mr. Henderson pernah mengajar di lima SMA sebelum akhirnya mengajar di sekolah kami, di mana tiga diantaranya pernah terjadi peristiwa penembakan. Ia seorang yang narsis dan suka membanggakan diri. Ia orang yang pernah membuat Henry ditertawakan di sekolah, saat Henry dijadikan contoh di depan murid-murid baru, menyebut Henry sebagai murid bodoh, pemalas, keras kepala, dan akan selamanya seperti itu jika bukan karena dirinya. Hanya, yang jadi pertanyaanku, kenapa Henry tidak menembak Mr. Henderson?

Pendapatku memang bukanlah pendapat satu-satunya. Polisi, kepala sekolah, guru-guru, masyarakat, dan paranormal punya versi masing-masing. Polisi sendiri sudah punya pernyataan resmi, menyatakan bahwa Henry sengaja melakukan penembakan sebagai bagian dari riset untuk novelnya. Dalam arti lain Henry mengalami gangguan jiwa. Atau, kau bisa menyebutnya sebagai psikopat. Tentu saja hal itu didasarkan bukti-bukti yang kuat, seperti tulisan di laptop Henry dan berbagai rekaman video di ponselnya.

Namun, Henry tidak tahu kalau ia sebenarnya yang melakukan penembakan. Yang diingatnya hanya potongan-potongan peristiwa tersebut. Ia memang menyaksikan bagaimana Charles, Mary, dan aku dihabisi. Tapi ia sama sekali tidak tahu siapa penembaknya. Ia tidak mengerti kenapa teman-temannya menganggapnya sudah mati dan kenapa ia yang dituduh melakukan penembakan. Pada akhirnya, ia hanya bisa pasrah, setelah menyadari bahwa suaranya sudah tidak lagi terdengar dan wujudnya sudah tidak lagi terlihat, sementara tempat ia berada saat ini hanyalah sebuah kursi kosong.

*      *      *

Don`t copy text!