Rumah Haji Jamal

Sebelum pergi ke masjid untuk salat magrib, Bowo diminta ibunya untuk membeli telur di warung. Telur itu seharusnya diserahkan kepada ibunya setelah salat magrib. Tapi, karena temannya mengajaknya untuk ikut rapat soal kegiatan ramadan, ia memutuskan akan membeli telur setelah salat isya. Pikirnya, sama saja membelinya setelah magrib atau setelah isya. Toh, biasanya makan malamnya dimulai pukul delapan setelah adik-adiknya selesai belajar. Karena itu, ia tidak terlalu terburu-buru berjalan ke warung.

Ia baru akan berbelok di perempatan jalan ketika Ustaz Marwan dengan sepeda motornya mencegatnya.

“Wo, ikut aku ke pengajian,” kata Ustaz Marwan.

“Aku beli telur dulu. Habis itu ke pengajian.”

Ustaz Marwan, yang sedang terburu-buru, berkata, “Beli telurnya habis pengajian saja.”

Bowo paham betul bahwa yang harus didahulukan adalah urusan ibunya, barulah setelah itu urusan yang lain. Bukankah Ustaz Marwan pernah mengajarkan itu padanya?

“Tidak usah pikir lama-lama. Nanti di sana juga dapat besek.”

“Di mana pengajiannya?”

“Rumah Haji Jamal. Acara syukuran.”

Mendengar nama Haji Jamal, ia pun mulai berpikir ulang. Jika ia pergi ke rumah haji Jamal, maka setidaknya ia akan dapat dua hal, bingkisannya dan kesempatan bertemu Nadiah—putri Haji Jamal. Tentu saja bingkisan syukuran lebih mahal dari tiga butir telur. Semua orang tahu, Haji Jamal orang paling kaya di daerah itu. Lagi pula, acara syukuran biasanya tidak lebih lama dari tahlilan. Kalau acaranya dimulai jam delapan, paling lama jam sembilan sudah selesai. Mudah-mudahan ibunya tidak marah.

Ternyata rumah Haji Jamal masih sepi ketika mereka tiba. Karpet-karpet sedang digelar, mobil-mobil di dalam garasi baru saja dikeluarkan. Mereka disambut Pak Yatno, sang asisten rumah tangga. Pak Yatno dan Ustaz Marwan saling menanyakan kabar, lalu setelah itu Pak Yatno pamit pergi untuk mengerjakan tugasnya di dalam rumah. Bowo merasa ganjil karena Pak Yatno tidak mengenalinya.

Mereka baru saja duduk di atas karpet teras ketika Haji Jamal datang dari dalam rumah dan menyalami mereka. Haji Jamal terlihat berwibawa dengan pakaian serba putih dan kopiah putih bermotif yang menurutnya seperti gambaran seorang pejabat. Ia duduk di samping Ustaz Marwan, lalu, dengan bercanda, ia berujar pada Bowo bahwa ia mau pinjam Ustaz Marwan sebentar. Ada urusan penting, katanya, nanti dikembalikan. Bowo tersenyum. Ia mengagumi keramahan Haji Jamal.

Empat tahun lalu Bowo juga pernah duduk di teras itu, saat itu ia sedang menunggu ayahnya yang sedang mengobrol dengan Pak Yatno. Nadiah, yang baru saja pulang bersama ibunya, lewat di sampingnya. Itulah wajah paling cantik yang pernah dilihatnya di sepanjang hidupnya. Sejak saat itu, ketika ia berada di sekitar rumah Haji Jamal, ia selalu menoleh ke rumah itu, berharap pintu gerbangnya yang besar itu terbuka dan ada Nadiah di sana.

Ia jadi merasa bodoh berpikir ia akan bertemu Nadiah lagi. Justru sebaliknya, ia akan merasa malu seandainya Nadiah mengenalinya sebagai orang yang suka mengintip rumahnya. Namun, mengingat Pak Yatno tidak mengenalinya saat mereka bersalaman barusan, ia menganggap Nadiah juga tidak akan mengenalinya.

Seperti halnya datang ke pengajian malam ini, ia bisa berada di rumah Haji Jamal empat tahun lalu lewat Ustaz Marwan, meskipun urutannya berbeda. Memang, saat itu ayahnya yang mengajaknya pergi ke rumah Haji Jamal, tetapi ayahnya tidak akan pergi ke rumah Haji Jamal jika tidak diminta Ustaz Marwan. Begitupun dengan Ustaz Marwan, yang tidak akan mencari ayah Bowo jika Pak Yatno tidak meminta bantuannya untuk mencarikan orang yang bisa menemukan sumber bau bangkai tikus di rumah Haji Jamal. Ustaz Marwan memang orang yang biasa dicari jika ada yang meminta bantuan, tetapi ia bukan orang yang serba bisa. Ia hanya seseorang yang punya banyak kenalan. Salah satunya ayah Bowo, yang kalau sedang libur kerja akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang.

Bowo diajak ayahnya lantaran ia punya penciuman yang bagus, pernah empat atau lima kali menemukan bangkai tikus di rumahnya. Ia memang lumayan sering membantu ayahnya bekerja sambilan, seperti membersihkan kamar mandi rumah-rumah di komplek, mengganti saklar listrik, atau mengganti tabung gas LPG. Belakangan, jika ayahnya sedang kerja, Bowo-lah yang dipanggil untuk mengerjakan pekerjaan sambilan itu. Ia paling sering diminta mengganti tabung gas LPG—ia dapat lima ribu untuk itu.

Saat tahu ia akan membantu ayahnya mencari bangkai, yang dibayangkannya justru setelah ketemu bangkainya. Ia harus membersihkan belatung, menyikat kulit dan daging bangkai yang menempel sampai bersih, disiram dengan karbol, dan ditaburi kamper hingga baunya benar-benar hilang. Ada yang bilang disiram dengan cuka ampuh menghilangkan baunya, tetapi ia belum pernah mencobanya.

Rumah Haji Jamal sangat besar, lebih besar dari rumah komplek yang pernah mereka datangi. Panjangnya saja bisa delapan kali rumah mereka. Halamannya diteduhi pohon besar, lebih luas dari halaman di seberang rumahnya. Kalau saja pintu gerbang itu dibuka seluruhnya, akan tampak barisan mobil mewah dengan garasinya yang luas dan sebuah lapangan basket mini.

Selama ini Bowo hanya mendengar nama Haji Jamal yang sering disebut-sebut di masjid-masjid sebelum khutbah salat Jumat sebagai donatur yang menyumbang dalam jumlah besar. Haji Jamal orang yang sangat sibuk sehingga jarang terlihat di lingkungan maupun di rumahnya. Jadinya tidak heran jika Haji Jamal lebih dikenal karena kebaikannya ketimbang rupanya.

Pagi itu Pak Yatno mengenakan kaus oblong hijau sedikit kebesaran yang dimasukkan ke dalam celana panjang hitam. Pak Yatno pendek dan kurus, rambutnya tebal, kumisnya tipis dan sedikit berjenggot. Ia membawa Bowo dan ayahnya menuju dapur, tempat bau bangkai mulai tercium. Pak Yatno mengeluarkan maskernya dari saku celana lalu memakainya. Ia bilang ia tidak diperbolehkan pulang kampung oleh majikannya sebelum menemukan bangkai tikus itu. Kalau ketemu hari ini, lanjutnya, maka lusanya ia akan pulang ke Bogor. Lalu, dengan yakin ia mengatakan bahwa bangkainya ada di sekitar dapur atau gudang. Ayah Bowo—yang sedang mengamati ruangan dengan hidung mengendus-endus—menyahut bahwa angin bisa saja menipu. Ia meminta Pak Yatno mematikan semua AC di lantai satu.

Halaman belakang itu terhubung dengan dapur dan ruang keluarga, ada kolam renang dan halaman yang lumayan luas. Bowo baru kali ini melihat rumah dengan kolam renang. Airnya biru dan jernih hingga bisa terlihat dasarnya. Ia memperhatikan plafon terasnya yang memanjang dari ujung ke ujung. Waktu kembali ke ruang tengah, mereka berapapasan dengan Hajjah Titin—istri Haji Jamal. Hajjah Titin menutup hidungnya dengan sapu tangan berwarna ungu. Dia mengatakan bau bangkai membuatnya pusing dan sangat berharap Bowo dan ayahnya bisa menemukannya secepatnya.

Hajjah Titin berperawakan tinggi besar, memakai kerudung dan gamis berwarna ungu. Nadiah, yang datang dari lantai dua dan berdiri samping ibunya, menunjukkan wajah kesal. Dia mengomel karena lima ART mereka tidak bisa menemukan bangkai tikus itu. Kalau tidak ditemukan hari ini, ujarnya, nanti malam dia akan menginap di hotel. Kemudian dia pergi begitu saja, kembali ke kamarnya.

Tadinya Bowo mengira akan butuh waktu lama untuk menemukan sumber bau bangkai, tapi ia bisa menemukannya lumayan cepat. Angin yang membawa bau bangkai ke dalam dapur sampai sebagian ruang tengah membuat orang-orang di rumah curiga jika bangkai itu ada di antara ruangan tersebut atau gudang. Ia melewati mencari di bagian-bagian yang pernah dicari Pak Yatno, seperti di sela-sela lemari atau di bawahnya, dan fokus mencari di sekitaran ke plafon.

Dugaannya betul. Bau itu terasa kuat di plafon teras belakang. Ia bisa memastikan lokasinya setelah memegang permukaan plafon yang baunya membekas di jari-jari tangannya. Pak Yatno memberikan mereka masker, lalu, dengan tangga dan obeng Bowo membongkar triplek plafon. Bau busuk menyergap begitu triplek plafon jatuh. Di atasnya ada bangkai yang sudah diselimuti belatung. Benda itu bukan bangkai tikus seperti yang disangka selama ini, melainkan bangkai kucing kesayangan Nadiah.

Pak Yatno mengambil pengharum ruangan di sudut pintu, kemudian menyemprotkannya di sekelilingnya. Ayah Bowo mengatakan kucing itu tidak mungkin terjebak di atas plafon mengingat celah tempat masuknya, yang terletak di ujung samping kanan rumah, lumayan besar. Pak Yatno malah menyimpulkan bahwa, mungkin kucing yang sudah berumur itu, yang disebutnya sekitar sepuluh atau sebelas tahun, sudah menemukan tempat yang damai untuk mati. Ia tahu itu dari internet.

Ayah Bowo membungkus bangkai kucing itu dengan kantong plastik, menyiram bagian atas plafon dengan disinfektan dan menyebar kamper. Langit-langit yang bolong itu dibiarkan terbuka selama dua atau tiga hari untuk menghilangkan baunya sebelum dipasang plafon baru.

Hujan turun deras ketika Bowo menguburkan kucing itu di sebuah sudut di halaman depan. Nadiah yang memayunginya terlihat sedih. Tidak ada yang bicara selama pemakaman. Ketika Nadiah melempar bunga-bunga ke atas makam kucingnya dan berdoa, Bowo gantian yang memayunginya. Ia membuat jarak dengan Nadiah dan membiarkan bagian kiri tubuhnya kehujanan. Kemudian ia mengantar Nadiah sampai ke teras, dan gadis itu mengucapkan terima kasih padanya.

Pak Yatno sudah menyiapkan makan siang untuk mereka. Ada tempe, tahu, kerupuk, ikan asin, dan menu yang bisa dipilih; ayam goreng atau ikan mujaer, sayur sop atau sayur kangkung, sambal atau saos. Atau, kalau sanggup, Bowo dan ayahnya boleh menghabiskan semuanya. Gelasnya besar, atau mereka juga bisa minum dari botol air mineral yang dingin. Mereka memilih makan di atas lantai di teras depan, tanpa sendok atau garpu, atau ditemani tuan rumah. Mereka mencuci tangan di bawah air hujan dan menaruh piring kotor mereka di tempat cuci piring. Pak Yatno berkata, “Piringnya tidak usah dicuci.” Mereka memilih pamit meskipun hujan belum reda. Pak Yatno mengucapkan terima kasih dan memberikan lima ratus ribu di dalam amplop putih kepada ayah Bowo—jumlah terbesar yang pernah diterimanya dalam satu hari kerja.

Di perjalanan pulang, Ayah Bowo membeli enam ayam fried chicken untuk makan malam. Walaupun masing-masing dapat satu potong ayam, keempat anaknya masih menyisakan ayam mereka—yang disimpan untuk disantap besoknya. Bukan sesuatu yang ganjil buat keluarga yang sudah terbiasa berhemat. Atau prihatin.

*

Bowo mengingat-ingat lagi pertemuannya dengan Nadiah; saat Nadiah lewat di sampingnya dan tersenyum padanya, menumpahkan rasa kesalnya karena bau bangkai itu, memayunginya saat ia mengubur bangkai kucingnya, mengucapkan terima kasih padanya dengan wajah yang sedih. Ia tidak pernah bertemu Nadiah lagi setelah itu. Dan malam ini, ia berharap bisa bertemu dengannya lagi. Atau, sekedar melihat wajahnya.

Sekembalinya dari bertemu Haji Jamal, Ustaz Marwan mengatakan kepadanya bahwa ia akan jadi pembaca doa. Nanti ia duduk di ruang tamu bersama Haji Jamal. Bowo paham dan tidak masalah ditinggal sendirian di teras. Lagi pula, ia tidak akan kemana-mana.

Di luar, tamu-tamu sudah mulai berdatangan dengan mobil-mobil bagus yang terparkir di tanah lapang di samping rumah. Bowo menyalaminya begitu mereka melewatinya menuju ruang tamu. Anak-anak berpakaian serba putih dari panti asuhan sudah memenuhi teras dan halaman halaman parkir. Mereka datang dengan mobil elf dan bus kecil, dengan wajah berseri-seri. Haji Jamal tiba-tiba saja sudah berada di depan garasi menyalami anak-anak panti asuhan. Kecuali Ustaz Marwan, Bowo tidak melihat ada orang yang dikenalinya di sini. Sementara Pak Yatno yang sedari tadi sibuk mondar-mandir masih belum mengenalinya.

Kemudian acaranya dimulai; Syukuran ulang tahun Haji Jamal yang kelima puluh. Dari yang disampaikan pembawa acara, Bowo baru tahu Haji Jamal adalah seorang pengusaha yang memiliki banyak perusahaan, punya banyak relasi, dan sangat dermawan—bukan pejabat seperti yang dikira. Dalam pidato sambutannya, Haji Jamal membalas sang pembawa acara, dengan sedikit merendah, mengatakan bahwa yang disebutnya barusan terlalu dilebih-lebihkan. Ia hanya manusia biasa yang sepantasnya menyumbangkan sedikit hartanya sebagai bentuk rasa syukur. Karena itu ia mengundang anak-anak panti asuhan untuk datang ke acara ini, yang sekaligus sebagai syukuran atas kelulusan putranya dari universitas di Jerman dan akan segera bergabung dengan perusahaannya, serta atas diterimanya Nadiah, putrinya, di jurusan Kedokteran UI.

Mendengar nama Nadiah disebut, Bowo menoleh ke kaca jendela di belakangnya, mencari-cari wajah Nadiah, dan memastikan gadis berkerudung putih dan pakaian serba putih yang sedang duduk di sebelah Hajjah Titin adalah gadis pujannya. Ia terus memandangi Nadiah alih-alih mendengar ceramah dan berdoa, dan baru mengalihkan pandangannya ke tempat lain ketika semua orang berdiri dan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun.

Nadiah memotong nasi tumpeng untuk ayahnya. Dan setelah memotong tumpeng untuk ibunya, dia berjalan keluar untuk mengambil kado hadiah dari dalam mobilnya. Bowo sedang memperhatikan anak-anak panti asuhan saat Nadiah di sampingnya, dan begitu dekat dengannya saat gadis itu kembali masuk ke rumah. Namun ia tidak mengetahuinya.

Acaranya selesai jam 21.30. Para tamu bergantian memberi selamat kepada Haji Jamal, sementara Pak Yatno, yang berdiri di sampingnya, membagikan bingkisan untuk mereka. Tidak ada Nadiah saat Bowo dan Ustaz Marwan pamit pulang dengan Haji Jamal.

Mereka pulang berbarengan dengan anak-anak panti asuhan. Ustaz Marwan menggantung bingkisannya di gantungan dek sepeda motornya. Ia tadinya berniat akan mengantar Bowo sampai depan rumahnya, tetapi Bowo memilih turun di perempatan gang. Ia memberikan bingkisan miliknya dan uang seratus ribu—dari lima ratus ribu uang upah memimpin doa—untuk Bowo. Bowo mengucapkan terima kasih. Mereka bersalaman dan mengucap salam perpisahan. Bowo menunggu Ustaz Marwan hilang dari pandangannya sebelum berjalan ke arah gang sempit menuju rumahnya.

*

Jalan yang dilaluinya terletak di tepi kali, sunyi dan lumayan gelap, ditumbuhi semak, rumput liar dan tanaman rambat. Ia sudah terbiasa pulang larut karena pengajian atau kegiatan lain di masjid—meskipun kadang-kadang ia masih sedikit takut saat mendengar bunyi gemerisik di tanah yang disangkanya ada ular lewat.

Kecuali rumah Bowo, rumah-rumah di gang itu sudah dibeli Haji Jamal. Terakhir, rumah di sebelah rumahnya. Sudah satu setengah tahun sejak rumah itu dibeli, tetapi sama seperti rumah lain yang sudah dibelinya, Haji Jamal malah membiarkannya. Enam bulan sebelumnya, melalui Ustaz Marwan, Haji Jamal juga pernah ingin membeli rumahnya, tetapi ayah Bowo menolaknya. Setidaknya, sampai ia mendapatkan harga yang pantas.

Rumah Bowo terletak di ujung jalan buntu yang dibatasi tembok batako berlumut. Di balik tembok itu ada selokan besar menuju kali, yang bunyi gemericiknya terdengar lebih jelas dan menenangkan di malam hari. Ayahnya bilang gemericiknya seperti kali di gunung. Bowo belum pernah pergi ke gunung, tetapi ia bisa membayangkannya.

Rumah itu terlihat asri dengan halaman yang ditumbuhi pohon jambu klutuk dan belimbing, pot-pot bunga yang menggantung di pagar dan di atasnya, dan tanaman sereh dalam pot yang berbaris teras untuk mengusir nyamuk. Ada juga bale pemberian tetangganya sebelum pindah, yang sudah dicat ulang ayah Bowo, jadi tempat bersantai yang nyaman di teras. Ayah Bowo memasang lampu hias yang dipasang berjejer di depan rumah yang terlihat indah di malam hari. Dindingnya menempel ke tembok pagar belakang rumah Haji Jamal. Ujung atapnya menyembul di antara rerimbunan dedaunan pohon rambutan milik Haji Jamal yang bisa dilihat Bowo saat berdiri di teras belakang rumah Haji Jamal empat tahun lalu. Dahan dan ranting pohon rambutan itu melintasi tembok pagar nan tinggi. Di musim hujan buahnya menjuntai di atap asbes rumah.

Bowo membuka pintu pagar dan menutupnya. Ia berdiri sejenak di depan pintu rumah, merasa bersalah sudah membuat ibunya menunggu lama. Lampu ruang depan sudah dimatikan, ibu dan adik-adiknya pastinya sudah tidur. Ayahnya yang bekerja shift baru akan pulang sekitar tengah malam.

Bowo mengucap salam, membuka pintu rumah, menutupnya, menyalakan lampu ruang tamu. Pintu kamar terbuka, ibunya keluar dari kamar. Bowo meletakkan bingkisan pengajian di atas meja, mencium tangan ibunya, dan meminta maaf karena tidak membawa telur. Ustaz Marwan mengajaknya pergi ke pengajian, katanya. Ibunya tersenyum.

Mereka duduk di atas sofa. Bowo mengeluarkan dua kotak dari kantong bingkisan—yang masing-masing berisi kue-kue, nasi, potongan dada ayam bakar, tempe, tahu, sambal dan lalapan—lalu diberikannya uang seratus ribu pemberian Ustaz Marwan kepada ibunya. Ia belum pernah memberikan uang sebanyak itu untuk siapapun dan merasa bangga bisa memberikannya untuk ibunya.

Di rumah itu hanya ada satu kamar tidur—yang ditempati orang tuanya. Bowo tidur di ruang depan, di atas sofa keras yang dilapisi kasur gulung berwarna biru tua, sementara adik-adiknya tidur di atas kasur lipat di ruang tengah. Ketiga adiknya, yang sudah tertidur lelap itu, tidak mengeluh jika tidak ada makanan malam ini. Ayah mereka yang mengajari mereka untuk prihatin, untuk selalu melihat ke bawah dan membiasakan diri mereka untuk puasa Senin-Kamis. Mereka juga aktif di sekolah dan di karang taruna. Keluarga itu bertambah senang ketika mendengar berita bahwa, Bowo sebentar lagi akan dapat pekerjaan formal pertamanya sebagai office boy di sebuah kantor tidak jauh dari rumahnya.

“Ayo bangun!” kata Bowo, menepuk-nepuk kaki adik-adiknya. “Kita makan.”

Ketiga anak laki-laki itu terbangun dan menemukan kakak mereka sedang tersenyum. Mereka melipat kasur mereka, meletakkannya di pojokan, mengambil piring dan setengah bakul nasi, kemudian duduk bersila melingkari hidangan makan malam.

Ibu mereka memotong ayam bakar, lalu membagi-bagikannya untuk keempat anaknya, dan menyimpan tempe, tahu dan lalapan untuk suaminya. Wanita itu tidak ikut makan. Dia memandangi anak-anaknya yang makan dengan lahap tanpa sendok atau garpu, tanpa suara, tanpa berharap akan mendapatkan rejeki yang sama besoknya.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!