Rudi dan Sari
Setelah satu setengah bulan pacaran, baik Rudi maupun Sari baru sama-sama tahu bahwa mereka masih berkerabat—tepatnya ketika Rudi berkunjung ke rumah Sari lalu ibu Sari bertanya-tanya tentang latar belakang keluarganya. Dari jawaban Rudi, ibu Sari menangkap satu nama familier yang mengingatkannya pada saudara jauhnya—sama jauhnya dengan rumah mereka yang terpisah hamparan sawah, puluhan petak tambak, dan sungai besar. Rudi tidak perlu waktu lama untuk mencerna bahwa ibunya menikah dengan ipar dari sepupunya ibu Sari. Sesudah hari itu, keluarga mereka mulai saling mengunjungi.
Barangkali, ‘saya baru tahu Anda kerabat saya’ dianggap sebagai peristiwa kebetulan, tapi itu biasa terjadi di sana. Orang-orang di kampung mereka punya dua kebiasaan: bekerja dan menikah muda, dan menikahi kerabatnya. Rudi berjanji akan menikahi Sari dua tahun setelah ia bekerja di sebuah pabrik baja galvanis di Karawang—perusahaan tempat pamannya bekerja. Pada saat itu keduanya sudah berumur dua puluh tahun dan punya cukup tabungan untuk berumah tangga.
Sari sudah menyampaikan keinginan Rudi kepada orang tuanya dan mereka setuju. Namun rencana itu sepertinya harus ditunda karena Sari ternyata lulus ujian SBMPTN yang diambilnya diam-diam. Sari sengaja tidak memberitahu siapapun perihal keikusertaannya dalam ujian tersebut mengingat uang ujiannya yang lumayan mahal dan dia harus menabung untuk itu. Termasuk orang tuanya, yang diyakininya tidak akan setuju dia kuliah. Bagaimanapun, dia akan membujuk mereka dan menjelaskan jika biaya kuliahnya nanti tidak akan membebani keuangan mereka. Dia bisa bekerja sambilan nanti.
Sayangnya, meski sudah dibujuk sedemikian rupa, kedua orang tuanya tetap tidak setuju dia kuliah. Mereka memang bangga memiliki putri yang cerdas, yang berkat prestasinya di sekolah dan menjadi seorang guru privat bisa meringankan biaya sekolahnya sendiri, tetapi menjadi seorang mahasiswi akan jadi cerita lain. Selain uang kuliah, dia harus membayar uang buku, kos, serta biaya hidup lainnya. Jadinya, walaupun nantinya dia bekerja sambilan, tetap saja gajinya tidak akan mencukupi. Menikah akan jadi pilihan yang paling masuk akal untuknya, apalagi Rudi seorang laki-laki baik yang sebentar lagi akan mendapatkan pekerjaannya.
Sebaliknya, Rudi malahan senang saat tahu Sari lulus ujian SBMPTN. Menjadi seorang mahasiswi tentunya akan mengangkat status keluarganya dan reputasi kampungnya. Di kampung mereka, anak-anak yang baru lulus sekolah, kebanyakan lulusan SMP, biasanya lebih memilih bekerja di pabrik atau membantu usaha tambak orang tua mereka lanjut sekolah. Oleh karenanya, Rudi tidak keberatan jika rencana pernikahannya ditunda. Ia juga berhasil meyakinkan kedua orang tua Sari supaya Sari diizinkan kuliah.
Untuk itu ia mengubah janjinya menikahi Sari menjadi janji yang lain. Ia yang akan membayar biaya kuliah, uang kos, dan keperluan lainnya selama masa kuliahnya—yang sudah dimulai sejak membeli tiket kereta dan menawarkan dirinya untuk mengantar Sari ke stasiun naik sepeda motor, alih-alih naik taksi seperti permintaan Sari.
Demi menghemat uang, kata Rudi, meyakinkan mereka. Apalagi, barang bawaan Sari tidak terlalu banyak dan uang taksinya bisa dipakai untuk keperluan lain. Sari tidak keberatan. Orang tua Sari, yang sudah lelah menghadapi putrinya yang keras kepala, akhirnya mempercayakan urusan keberangkatan putri mereka kepada Rudi. Mereka hanya berpesan supaya berhati-hati di jalan dan kasih kabar setelah sampai di stasiun.
Rudi tiba di rumah Sari jam tujuh pagi. Pikirnya, tiga jam perjalanan sepertinya waktu yang lebih dari cukup untuk sampai di Stasiun Jatinegara. Sari membawa satu tas ransel besar berisi pakaian, satu tas bahu, dan satu kantong kain merah berisi nasi beserta lauk pauknya yang dimasakkan ibu Rudi untuk Sari. Rudi mengemudi dengan hati-hati, jalan yang macet sudah diperhitungkannya.
Sari memintanya supaya mengemudi lebih cepat. Katanya, keretanya berangkat jam setengah sebelas. Rudi heran, setahunya keretanya berangkat jam sebelas. Sari mengatakan dia yang memegang tiketnya dan di situ tertulis berangkat jam 10.30. Tapi dia tidak mungkin menunjukkan tiketnya di sepeda motor. Rudi berpikir ia mungkin salah lihat. Ia pun mempercepat laju sepeda motornya.
Mereka tiga kali berhenti. Dua kali untuk bertanya arah jalan, dan satu kali untuk minum dan makan gorengan. Rudi berkata, “Stasiunnya sudah dekat.” Ia mengatakannya lebih untuk menenangkan Sari yang terlihat cemas akan terlambat sampai. Saat itu waktu menunjukkan jam 09.45 dan matahari bersinar terik. Mereka duduk di atas kursi plastik merah milik tukang gorengan di bawah pohon rindang. Rudi membeli dua bungkus tisu di warung seharga lima ribu rupiah, mengambil satu lembar untuk mengelap kening Sari yang berkeringat.
Ia terdiam sejenak saat melihat bekas luka di ujung kening Sari. Bekas luka itu sangat kecil namun begitu membekas di ingatannya. Kejadiannya dua tahun lalu, saat ia memetik mangga di halaman belakang rumah Sari. Ia tidak memperhatikan Sari yang berdiri di dekatnya saat ia memutar galah. Ujung bawah galah menghantam kening Sari. Darah yang keluar lumayan banyak, tapi Sari tidak menangis. Tidak juga menyalahkannya. Ia mengelap darahnya dengan kaosnya sebelum membersihkannya dengan kapas dan alkohol, kemudian menutupnya dengan plester. Lama setelah kejadian itu, ia berpikir ia mencintai Sari lebih karena ketangguhan dan kepalanya yang keras—tentunya dalam arti kiasan—ketimbang wajahnya yang manis. Kaos itu masih disimpannya di dalam lemarinya, bekas darahnya masih ada.
Sari memperhatikan Rudi saat ia mencari tempat sampah untuk membuang tisu dan bungkus gorengan, saat ia memungut sampah lain lalu dijadikan satu dengan sampahnya dan membuangnya di tempat sampah milik pedagang ketoprak. Sikap Rudi yang suka memperhatikan hal-hal kecil seperti itulah yang membuat Sari jatuh cinta kepadanya, selain kesabaran dan kerja kerasnya. Meskipun demikian, belakangan ini dia sering memikirkan masa depannya seandainya dia menikah dengan Rudi—yang dipikirnya akan mirip cerita ibunya setelah menikahi ayahnya.
Ibunya dulunya seorang penulis cerpen. Dia menulis sejak SMP, beberapa cerpennya pernah terbit di majalah remaja terkenal. Dia berhenti menulis setelah menikah. Katanya, sulit untuk fokus menulis sambil mengurus rumah tangga. Begitupun dengan koleksi novelnya, yang pernah memenuhi rak buku, sudah dijualnya dan hanya tersisa beberapa yang sengaja disimpan Sari. Sekarang, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang suka menonton infotainment dan ngerumpi dengan ibu-ibu tetangga setiap sore. Sari tidak ingin menjadi seperti ibunya.
Mereka tiba di parkiran stasiun dua puluh menit sebelum jam sebelas. Sari mengabari ibunya setelah berada di dalam stasiun dan mengirim foto dirinya bersama Rudi. Dia akan menelpon lagi nanti di dalam kereta.
Rudi sudah terpesona dengan Stasiun Jatinegara sejak melihat bangunannya dari luar, dan semakin kagum saat berada di dalamnya. Tidak seperti Stasiun Bekasi (tempat ia membeli tiket), tempat ini begitu klasik, jauh lebih ramai dan ada banyak jalur kereta. Sayangnya, yang dipunyanya hanya ponsel biasa, bukan ponsel pintar, sehingga ia tidak bisa mengambil gambar tempat yang menganggumkan ini.
Mereka duduk di bangku kayu di depan sebuah kios, mengisi waktu menunggu dengan menikmati es krim sambil memandangi kereta yang datang dan pergi. Rudi menawarkan Sari makan soto, tapi Sari bilang dia tidak lapar. Sari merasa bersalah, karena tadi mengira keretanya berangkat jam setengah sebelas.
“Kau benar,” Sari berkata, menunjukkan tiketnya. “Keretanya berangkat jam sebelas.” Dia memasukkan tiketnya ke dalam kantong kainnya.
Tidak banyak yang mereka bicarakan. Rudi hanya mengulang pesan yang pernah disampaikannya, supaya Sari banyak berdoa dan sering-sering memberi kabar, serta janjinya yang akan mengunjunginya setiap bulan.
Kereta yang akan dinaiki Sari baru saja masuk di jalurnya. Rudi mengantar Sari sampai pintu masuk kereta. Sari mencium tangannya, mengucap salam perpisahan, lalu berjalan menuju kursinya. Rudi bisa melihat Sari sedang mencari nomor kursinya. Sari berhenti di bagian tengah, menaruh tas ranselnya di bagasi, dan duduk di sebelah wanita berbaju biru tua.
Ketika akan berjalan menuju pintu ke luar stasiun, Rudi melihat kantong kain merah milik Sari tertinggal di bangku depan kios. Ia mengambilnya, tapi ragu untuk memberikannya karena kereta sebentar lagi akan berangkat. Lagi pula kantong kain itu hanya berisi makanan, Sari bisa membeli makan malamnya nanti di jalan. Akan tetapi, ketika ia menemukan tiket kereta di dalamnya, ia pun bergegas belari mengejar kereta yang baru saja bergerak.
Ia berhasil meraih jendela tempat Sari duduk, mengetuk-ngetuknya, dan menunjukkan tiketnya pada Sari. Sari, yang sedang mendengarkan musik dengan ear phone-nya, tidak akan tahu ada Rudi di sana kalau saja wanita di sebelahnya tidak menepuk lengannya dan menunjuk ke arah Rudi. Sari melihat tiket yang dilambai-lambaikan Rudi, kemudian dia memberikan isyarat menelpon.
Kereta bergerak semakin cepat, dan Rudi sudah tidak bisa lagi mengejarnya. Ia berhenti di ujung peron, memandangi kereta yang semakin menjauh, berharap semoga Sari akan baik-baik saja.
Sari mematikan musik di ponselnya, melepas ear phone-nya dan merenung. Dia menyayangkan kecerobohannya sendiri. Kecemasan Rudi padanya mau tidak mau akan membangkitkan ingatan akan kebaikan-kebaikan laki-laki itu, kepeduliannya, serta tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki sejati. Sekarang, dia harus meyakinkan dirinya lagi bahwa, meskipun sulit, keputusan yang sudah diambilnya cukup masuk akal. Bahkan sangat masuk akal. Semua perempuan, atau setidaknya sembilan puluh delapan persennya, seandainya berada dalam posisinya akan mengambil keputusan yang sama dengannya. Dia juga tidak perlu mencemaskan keluarganya. Toh, dia sudah pernah melakukannya dengan memilih kuliah ketimbang menunggu waktu menikahnya tiba.
Dia bangkit dan menurunkan tas ranselnya dari bagasi. Wanita di sebelahnya memperhatikannya tapi tidak bertanya apa pun padanya. Dia juga tidak merasa harus mengatakan sesuatu pada wanita itu. Dia berjalan ke belakang gerbong, melewati tiga gerbong menuju gerbong eksekutif—tempat seharusnya dia berada.
Di sana dia duduk dekat jendela, tempat favoritnya, di kursi yang bukan miliknya. Dia akhirnya lega bisa dapat kursi empuk yang bisa dimiringkan dan tidak sempit. Rudi dari tadi menelponnya, tapi dia sengaja tidak mengangkatnya. Dia akan menelpon balik atau mengiriminya SMS nanti. Tapi Rudi sudah lebih dulu mengiriminya foto tiket yang ketinggalan lewat WhatsApp dari ponsel pemilik warung yang dipinjamnya dan berpesan supaya dia menunjukkan foto tersebut pada kondektur nanti sebagai bukti bahwa dia sudah membeli tiket.
“Mudah-mudahan berhasil,” kata Rudi.
Sari tersenyum sekaligus bersedih. Dia tidak lagi butuh tiket itu. Dia sudah punya tiket lain di gerbong yang jauh lebih nyaman. Dia sengaja tidak memberitahu Rudi karena takut akan akan membuatnya marah—meskipun dia tidak pernah melihat Rudi marah. Dia memang membutuhkan kenyamanan di perjalanan panjangnya yang tidak akan didapatkannya di kelas ekonomi. Sama halnya dengan kenyamanan yang akan dibutuhkannya saat berumah tangga kelak. Bukan bermaksud merendahkan Rudi—yang sudah sangat baik kepadanya dan keluarganya—tapi dia butuh lebih dari sekedar orang baik. Bisakah Rudi memberikan jaminan kenyamanan di sepanjang hidupnya setelah mereka menikah nanti? Bisakah Rudi membiayai kuliahnya seperti yang dijanjikannya? Dia sudah menanyakan pertanyaan itu berkali-kali dan berkali-kali juga menjawabnya. Jawabannya selalu sama. Ya Tuhan, Rudi bahkan meminjam sepeda motor temannya untuk mengantarnya ke stasiun.
Seorang laki-laki datang dan berdiri di sampingnya, mengatakan bahwa Sari menduduki kursinya. Kemudian laki-laki itu menunjukkan tiket miliknya padanya. Nomor di tiket tersebut memang betul di kursi yang didudukinya, tapi Sari tidak segera pindah ke kursi di sebelahnya. Malahan, tanpa merasa bersalah, dia berkata,
“Kau seharusnya datang lebih cepat.”
“Sebetulnya aku yang datang duluan,” kata laki-laki itu mencoba ramah. “Tadi aku baru dari toilet. Lihat, tasku sudah ada di bagasi.” Ia menunjuk tas kopernya di atas bagasi.
“Duduk di mana saja sama saja kan?” kata Sari tanpa menoleh ke arah bagasi yang ditunjuk laki-laki itu.
“Kalau begitu, kita tukaran saja.”
“Tidak bisa. Aku suka duduk dekat jendela.”
“Aku juga. Jadi, apa perlu kondektur yang memutuskan siapa yang duduk dekat jendela?”
“Begini saja, berikan tiketmu.”
Laki-laki itu memberikan tiketnya kepada Sari, kemudian Sari menukar tiketnya dengan tiket miliknya. “Masalah terpecahkan.”
“Kau menang,” kata laki-laki itu, lalu duduk di sebelahnya.
Sari bertemu laki-laki itu sesaat sebelum ujian SBMPTN. Mereka berkenalan dan mengerjakan soal ujian di ruangan yang sama. Mereka bertemu lagi saat dia sedang menunggu bus. Laki-laki itu, yang mengendarai sedan hitam, berhenti di depannya dan menawarkan mengantarnya pulang. Hari yang sudah gelap, bus yang selalu penuh, wajah tampan berkacamata yang terlihat ramah, mobil bagus, dan arah pulang yang sama jadi pertimbangan dia untuk menerima tawarannya.
Mereka bertemu lagi lusanya dan hari-hari setelah itu. Mereka saling memberitahu berita kelulusan mereka. Keduanya memilih kampus yang sama namun beda jurusan; laki-laki itu mengambil jurusan Kedokteran sementara Sari mengambil Arsitek. Laki-laki itu yang membelikannya tiket kereta di gerbong eksekutif supaya mereka bisa duduk bersama di dalam kereta.
* * *