Reuni Ayah

Ayah tiba di rumah menjelang jam setengah delapan malam, membawa sekarung rambutan, kerupuk mentah, keripik tempe, wajah lelah, dan cerita yang membuatnya terlihat sedih. Ia beristirahat sebentar sebelum makan malam, TV di sampingnya sedang menyiarkan pertandingan sepak bola.

“Teman SMP Ayah dapat mantu bule,” Ayah berkata.

Ibu menyendok sedikit nasi, sayur asam, ikan asin dan dua potong tempe untuk Ayah. Tapi Ayah tidak segera menyantapnya.

“Dari negara mana?” tanya Ibu setelah mengambil teh hangat buat Ayah, kemudian duduk dan mengambil makan malam untuk dirinya sendiri.

“Inggris,” jawab Ayah.

Perhatianku terpecah, antara makan, menonton TV dan keingintahuan untuk bertanya: yang mana pengantin bulenya? Yang laki-laki atau yang perempuan? Tapi Ayah tidak meneruskan ceritanya. Ada jeda sejenak sebelum ia lanjut dengan cerita lain.

Hari itu, setelah lima puluh tahun, Ayah baru bertemu lagi dengan teman-temannya. Meski sudah banyak berubah, mereka masih saling mengenali. Ayah bercerita seputar masa-masa SMP-nya. Tentang mendaki gunung, berenang di kali, dan berkelahi satu lawan satu. Yang sesekali dijeda untuk mengingat-ingat.

Ayah menyebut beberapa temannya yang datang hari itu. Ada yang datang dengan memakai tongkat. Ada yang sudah ompong. Ada yang pensiunan pejabat. Ada yang jadi pengusaha. Ayah terlihat bangga saat mengatakan bahwa ia yang paling segar bugar diantara mereka. Mereka saling memberikan kabar teman lain yang tidak datang. Ayah bilang ada temannya yang menetap di luar negeri. Ada yang sedang dirawat di rumah sakit. Ada yang sudah meninggal.

Sesudah itu Ayah terdiam. Matanya yang berkaca-kaca memandang sesuatu yang jauh di luar sana. Entah ke masa lalu yang dirindukannya, atau masa kini yang sedang dicemaskannya.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!