Rencana Yang Sempurna

“Cari failnya!” teriak Ibu Vina pada Alfi. “Gue nggak mau tau, besok pagi failnya harus ada di meja gue!”

Alfi berharap teriakan manajernya tidak terdengar sampai ke luar ruangan. Namun, dilihat dari orang-orang yang berhenti sejenak dan melihat ke arahnya, menandakan mereka benar-benar mendengar suaranya. Ibu Vina menyadari itu dan dia tidak peduli. Dia sudah sering melakukannya.

“Keluar!”

Alfi bergegas kembali ke mejanya. Tampak rekan-rekannya sibuk mencari-cari fail yang dimaksud Ibu Vina.

“Saya ingat saya sudah mengembalikan failnya hari Jumat,” ia berkata pada Ibu Reni, rekan yang duduk di sebelah mejanya.

Ibu Reni, yang melihatnya dengan iba, berkata, “Saya bantu carikan, Mas.” Dia mengambil tumpukan fail di atas meja, dibaginya jadi dua lalu dipilahnya. Tapi tidak ketemu. Dia kemudian mengambil tumpukan fail di bawah meja, menaruhnya di atas meja, dan dipilahnya satu per satu. Juga tidak ketemu. Dia berkata, “Mungkin Bu Vina lupa menaruhnya.”

“Mungkin.”

Alfi tidak lagi bersemangat menyelesaikan sisa pekerjaannya sore itu. Ia yakin betul ia sudah mengembalikan fail itu di mejanya Jumat malam lalu. Ia ingat ia masuk ke ruangan Ibu Vina jam 20.15, meletakkan fail itu di mejanya, mematikan printer lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. Ia bisa membuktikannya seandainya ada CCTV di ruangannya.

Kabar itu menyebar sangat cepat. Alfi, yang dikenal jarang dimarahi Ibu Vina, akhirnya dimarahinya habis-habisan. Ia banyak mendapat simpati, ucapan “yang sabar ya” terdengar berulang-ulang di sepanjang jalan menuju Departemen Marketing untuk mencari fail itu. Salah seorang staf marketing berkata padanya, “Energi Ibu Vina sudah habis buat marahin kamu. Besok pasti tidak ada lagi yang akan dimarahinya.” Alfi membalas, “Mudah-mudahan,” dan berkata, “Jadi, ada yang lihat fail 10202?”

Semuanya menggeleng kepala. Tidak tahu.

Untuk sementara hanya itu yang bisa dilakukannya. Ia akan lanjut mencarinya di tempat lain setelah kantor sepi.

Ia berjalan lambat-lambat kembali ke ruangannya, jam bulat di dinding menunjukkan pukul 16.55.

Di jam itu, seperti biasa, Ibu Reni sudah membereskan meja kerjanya, menukar sandalnya dengan sepatu dan memasukkan kotak makan siangnya ke dalam kantong plastik merah. Rekan-rekan yang lain juga sudah bersiap pulang. Mereka merasa tidak enak meninggalkannya, tapi masing-masing punya urusan yang lebih penting dari urusan kantor. Hanya Ibu Vina yang belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Dia masih ada rapat dengan Pak General Manager.

Seperti hari-hari kemarin selama tiga bulan terakhir, Alfi seharusnya juga pulang tepat waktu hari ini. Belakangan, setiap ia pulang, istrinya sudah menyiapkan makan malam. Istrinya membukakan pintu untuknya, menyalami dan mencium tangannya, membawakan tasnya, menemaninya makan malam, menunggunya mengomentari masakannya dan ia selalu mengatakan “ini enak”. Kemudian, usai mandi, ia dan istrinya duduk menonton TV sebentar diselingi obrolan tentang kegiatan hari ini dan sedikit cerita di kantor, lalu setelah itu mereka pergi ke kamar tidur. Kalau belum mengantuk, ia akan membaca buku ditemani istrinya. Ia tidak tahu apakah istrinya benar-benar suka membaca atau hanya berpura-pura.

Ia lebih mencemaskan kehilangan fail itu ketimbang pulang lewat tengah malam. Ia lumayan lama merenung, memikirkan kemungkinan keberadaan fail itu atau konsekuensi yang didapatnya seandainya fail itu tidak ketemu. Tapi rupanya pikirannya melantur kemana-mana. Ia bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri. Tentu saja alasan mengundurkan diri karena dimarahi bos adalah hal remeh temeh. Keinginannya untuk mengundurkan diri sebetulnya sudah muncul dari jauh-jauh hari. Empat tahun sudah lebih dari cukup untuk bekerja di satu perusahaan. Ia butuh suasana baru, gaji yang lebih baik dan tempat kerja yang dekat dengan rumah.

Pintu ruangan Ibu Vina terbuka, Pak General Manager melintas di depan mejanya dengan terburu-buru. Tidak lama sesudah itu sopir Ibu Vina masuk ke ruangan. Dari pantulan kaca pintu, ia melihat sang sopir memberikan sesuatu di dalam tote bag pada Ibu Vina. Ia lumayan kenal baik sang sopir. Ia biasa menyapanya saat berpapasan dengannya. Tapi sore itu ia berpura-pura sedang sibuk ketika sang sopir menyapanya.

Antara mejanya dan ruangan Ibu Vina terpisah satu gang sempit. Ia bisa tahu pintunya terbuka hanya dengan mencium bau parfum Ibu Vina. Ada yang bilang bau parfumnya seperti bau kematian. Dulu ia tidak menganggapnya begitu. Tidak pernah terpikirkan. Baginya, wangi parfumnya lembut dan menenangkan, jauh dari kesan berbau kematian. Tapi, setelah kena amukan Ibu Vina barusan, bisa dianggap ia setuju dengan sebutan itu.

Ia tidak habis pikir kenapa Ibu Vina marah besar padanya sore itu, padahal sebelumnya jika ia berbuat salah biasanya ia hanya akan mendapat teguran kecil. Bahkan, pernah suatu kali, wanita itu membelanya ketika Manajer Marketing memarahinya karena kesalahannya sendiri. Ibu Vina berkata, “Cuma gue yang boleh marahin anak buah gue!” Manajer Marketing yang betubuh gemuk itu tidak berani menyerang balik.

Tidak ada yang berani membantah Ibu Vina, sekalipun direktur. Mungkin karena Ibu Vina orang lama di kantor ini. Mungkin karena dia punya hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan. Ibu Vina sudah sepuluh tahun bekerja di perusahaan ini—berselisih tiga tahun dari Ibu Reni yang masuk duluan. Tapi usianya tidak setua Ibu Reni yang sudah menginjak lima puluh tahun. Ibu Vina berusia tiga puluh satu tahun ini. Sementara rumor yang mengatakan jika dia punya hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan masih simpang siur. Ada yang bilang dia keponakannya. Yang lain bilang adik iparnya.

Gara-gara jarang dimarahi Ibu Vina, Alfi pernah disebut anak kesayangannya. Alfi menganggap hal itu lebih karena ia yang selalu diandalkan melakukan pekerjaan berat di departemennya—seperti mengganti galon air dan memindahkan meja atau lemari. Selain itu, ia juga yang paling diandalkan untuk memperbaiki komputer error atau printer macet. Dalam kasus lain, ia yang paling sering mewakili departemennya untuk menghadiri rapat-rapat yang tidak bisa dihadiri manajernya atau menggantikannya di acara-acara resmi—seperti seminar di luar kota.

Ia sebetulnya tidak terganggu dengan panggilan anak kesayangan. Ia hanya mencemaskan sebagian orang yang menganggap ia punya hubungan khusus dengan Ibu Vina. Anggapan itu cukup beralasan mengingat ia bisa dibilang lumayan dekat dengan Ibu Vina. Tapi itu lebih karena ia sering menggantikan sopir pribadi Ibu Vina. Kadang-kadang tugas itu berfungsi ganda ketika ia dibutuhkan untuk menemani Ibu Vina menghadiri rapat. Kalaupun yang dimaksud hubungan khusus berkaitan dengan makan siangnya dengan Ibu Vina beberapa waktu lalu, itu hanya traktiran biasa yang tidak direncanakan.

Siang itu ia diminta mengantar Ibu Vina untuk menghadiri rapat dengan salah satu klien besar perusahaan di Kuningan. Mereka yang sudah setengah jalan diminta Direktur Utama untuk kembali. Katanya, rapat dibatalkan. Klien ada urusan mendadak. Namun, karena restoran tempat mereka rapat sudah terlanjur dipesan dan dipanjar, Ibu Vina berinisiatif untuk mengurangi jumlah kursi, dari enam jadi dua kursi. Menurutnya dengan cara itu uang perusahaan tidak terbuang sia-sia. Sayangnya, klaim pembatalan itu bermasalah. Departemen Keuangan menganggap makan siang mereka sebagai urusan pribadi. Ibu Vina memilih tidak berdebat dengan Manajer Keuangan mengenai hal tidak penting itu.

Rasa-rasanya sulit untuk menghentikan panggilan anak kesayangan padanya. Panggilan itu akan terus melekat selama ia masih jadi satu-satunya laki-laki di departemennya, satu-satunya yang diandalkan untuk mengganti galon air, dan jadi sopir pengganti. Ia kemudian berpikir, bahwa hanya ada dua cara untuk menghentikan panggilan itu. Pertama, berharap suatu saat nanti ia kena ledakan amarah Ibu Vina—yang sepertinya agak sulit selama ia masih jadi staf paling diandalkan di departemennya. Kecuali, ia sengaja berbuat ceroboh yang berakibat fatal. Yang kedua adalah ia segera menikah. Cara ini memang terkesan terburu-buru, emosional dan tidak didasari rasa cinta.

Meski begitu, sebetulnya Alfi sudah merencanakannya dengan matang, hanya waktu datangnya yang sepertinya kebetulan. Perempuan yang akan dinikahinya pun bukan orang yang baru dikenalnya. Dia adik kelasnya sewaktu di SMP. Mereka secara tidak sengaja bertemu di mal enam bulan lalu. Setelah bertukar nomor ponsel, bertemu lagi beberapa kali dan merasa saling cocok, Alfi memutuskan lamarannya dipercepat.

Pesta pernikahannya berlangsung sederhana di rumah orang tua pengantin perempuan di suatu tempat di Madiun. Mengingat lokasinya yang jauh, Alfi bisa memaklumi jika tidak ada teman-teman kantornya yang datang. Dan setelah melewati dua minggu masa cuti menikah dan bulan madu, ia kembali masuk kerja. Orang-orang memberinya selamat, dan sejak hari itu itu tidak ada lagi yang memanggilnya anak kesayangan.

*

Alfi mencium bau parfum kematian. Ibu Vina baru saja melintas di depannya.

Jam 05.55. Petugas Cleaning Service berkeliling mengambil sampah dan mematikan lampu ruangan yang sudah kosong. Sebentar lagi Alfi akan memasuki masa lembur pertamanya usai cuti menikah. Bagaimanapun, ia merindukan suasana hening kantor di malam hari.

Ia mengingat saat pertama kali pulang malam seminggu setelah ia resmi diterima bekerja, yang alasannya lebih untuk menghindari macet ketimbang banyak pekerjaan. Dengan pulang sedikit lebih malam, waktu perjalanannya bisa satu jam lebih cepat daripada pulang tepat waktu. Dan ketika pekerjaannya semakin banyak, barulah alasan pulang malamnya benar-benar karena pekerjaan.

Ada banyak hal yang hanya bisa dilakukannya di malam hari. Ia bisa bebas menyetel musik dengan volume suara maksimal, bernyanyi dengan gaya, melakukan push-up supaya segar, atau duduk-duduk di kursi manajer. Ia juga bisa berkenalan dengan staf di departemen lain yang biasa pulang malam. Salah satunya Leony, staf di Departemen Akunting.

Leony pertama kali diperkenalkan seniornya padanya satu setengah tahun lalu. Departemen Akunting yang menempati ruangan di bagian belakang gedung dan bersebelahan dengan departemennya hanya punya satu pintu masuk dan keluar, sehingga untuk menuju pintu tersebut para staf akunting pastinya akan melewati departemennya. Karena meja komputernya menghadap jalan keluar-masuk itu, ia jadi lebih terbiasa melihat Leony. Apalagi, ia juga sering melihat Leony lembur sendirian, dan menganggapnya sebagai staf paling rajin nomor dua setelah dirinya.

Ia lebih mengenalnya saat gadis itu sedang kerja lembur sendirian di Jumat malam itu. Waktu itu Leony sudah bekerja selama hampir tiga bulan dan sedang memasuki tahap penilaian menjadi karyawan kontrak. Leony sedang mengatur kertas bersambung yang keluar dari printer-nya ketika ia datang untuk menyapanya. Ia lumayan terkejut karena gadis itu masih ingat namanya. Tidak ingin mengganggunya bekerja, mereka mengobrol sebentar saja.

Staf Akunting punya jadwal lembur rutin setiap bulan. Bahkan, di tanggal-tanggal tertentu mereka sangat sibuk. Sementara Leony, selain punya jadwal lembur bersama, juga punya jadwal lembur sendiri. Meski begitu jadwal lemburnya tidak pasti. Bisa satu atau dua kali dalam seminggu. Alfi baru tahu belakangan jika jadwal lemburnya disesuaikan dengan libur kuliahnya. Ia mengintip ke Departemen Akunting setiap kali ruangan itu masih terang setelah jam tujuh malam. Jika Leony terlihat sedang lembur sendirian, maka ia akan datang menyapanya.

Sesudah lumayan lama mengenalnya dan Leony sudah menjadi karyawan kontrak dan lebih sering lembur karena beban kerjanya, Alfi kadang-kadang membelikannya makan malam dan mereka makan berdua. Suatu kali ia membelikannya radio tape kecil untuk menemaninya bekerja. Mereka sepakat saling mendengarkan siaran radio favorit masing-masing untuk mereka berkirim salam dan memesan lagu. Supaya tidak dicurigai teman-teman mereka di kantor, mereka menggunakan nama samaran dan tidak menyebut nama perusahaan tempat mereka bekerja saat berkirim salam.

Ketika pergi ke Departemen Akunting malam itu, Alfi melihat radio tape itu masih ada di mejanya. Departemen Akunting memang sering meminjam fail milik departemennya. Leony, yang sudah tahu kabar Alfi dimarahi Ibu Vina tadi sore, langsung membawa Alfi ke ruangan manajernya. Dia menyalakan lampu ruangan. Terlihat tumpukan fail dan kertas kerja yang berantakan di atas meja.

Mereka hampir tidak bicara selama mencari fail. Terakhir kali Leony bicara padanya di hari pertama Alfi masuk kantor setelah cuti menikah. Itu pun dia datang bersama rekan-rekannya untuk mengucapkan selamat.

“Tidak ada di sini,” Leony berkata setelah mencari di tumpukan kertas di lantai dekat lemari, tempat terakhir yang dicarinya.

Alfi terlihat putus asa. Ia bersandar di meja dan terdiam. Merasa tidak enak meninggalkannya sendirian, Leony berdiri di sebelahnya—untuk menunggunya pergi atau mengatakan sesuatu. Setelah beberapa lama Alfi akhirnya berkata, “Kamu lembur?”

Leony menggeleng kepala. Harusnya dia pergi kuliah malam itu, tapi ada pekerjaan nanggung yang harus diselesaikannya.

“Kangen?”

Leony tidak menjawab. Dia memang merindukan laki-laki itu.

Ada keheningan sejenak sebelum Alfi lanjut berkata, “Apakah ‘nanti ada saatnya’ masih ada?”

Leony menengok ke arahnya dan tersenyum, memandanginya sebentar, mencium pipinya, lalu berkata, “Ya.”

Alfi mengingat masa-masa mereka lembur di waktu yang sama, di lantai tiga yang sepi itu. Kadang-kadang ia mendatanginya hanya untuk memandangi wajahnya yang lelah. Kadang-kadang Leony yang tiba-tiba mendatanginya, duduk seenaknya di atas mejanya lalu memerintah seperti Ibu Vina,

“Hai anak buah! Cepat, selesaikan pekerjaanmu!”

Dan ketika mereka jenuh dengan pekerjaan mereka, mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kantor, menengok ke luar lewat jendela dan saling menyapa, bermain kursi dorong, bernyanyi-nyanyi, atau berciuman di ruangan manajer. Mereka berjalan pulang dengan masing-masing lengan melingkar di pinggang mereka dan baru dilepaskan sebelum menuruni anak tangga terakhir. Mereka berpisah di lobi. Di depan gedung kantor, ayah Leony sedang menunggunya dengan Vespa-nya.

Mereka tidak pernah bertemu di hari lain selain di hari kerja. Mereka juga tidak pernah bertemu di tempat lain selain di gedung ini. Alfi bukannya tidak pernah mengusulkan supaya mereka bisa bertemu di hari libur atau bolos di hari yang sama, tapi gadis itu yang selalu menolaknya. Leony takut ayahnya akan tahu hubungan mereka sehingga dia tidak lagi diizinkan lembur. Atau dia bisa saja disuruh berhenti bekerja. Mereka memang kadang-kadang bertengkar soal masalah ini, tapi selalu berakhir di jawaban yang sama: “Nanti ada saatnya.”

Tiga bulan lalu, di Jumat malam itu, saat terakhir mereka lembur bersama, ia merayakan ulang tahun Leony yang kedua puluh satu. Mereka duduk di lantai, di hadapan mereka ada sepotong muffin cokelat dan satu lilin kecil di atasnya, kemudian Alfi menyanyikan lagu Happy Birthday to You, memberikannya kado berisi buku dengan kartu ucapan bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Kekasih Lemburku”. Mereka pulang jam setengah sebelas, bergandengan tangan sampai ke luar kantor dan hampir berciuman kalau saja tidak melihat ayah Leony yang sedang menunggu di depan kantor. Besoknya, Leony mengiriminya SMS, mengatakan bahwa mulai hari itu ayahnya melarangnya bekerja lembur. Atau, dia harus berhenti bekerja.

*

Sudah jam 19.30. Alfi sepertinya harus mencari fail itu di tempat lain.

Ada beberapa tempat yang dicurigainya menyimpan fail itu, termasuk empat ruang direktur. Ketika ia tiba di lantai dua, semua ruangan di lantai itu masih terang. Seorang petugas Cleaning Service yang berpapasan dengannya di tangga mengatakan Direktur Keuangan dan para manajer sedang ada rapat. Alfi bertanya, “Ibu Vina ada di sana?” Petugas Cleaning Service menggeleng kepala, berkata, “Sudah pulang dari tadi.”

Alfi kembali lagi ke atas, terpikir untuk mencari fail itu di ruangan Ibu Vina.

Tidak terlalu sulit mencari sesuatu di ruangan Ibu Vina. Semua barang-barangnya tersusun rapih, disimpan di rak dan lemari. Meja kerjanya bersih, seakan-akan menggambarkan bahwa yang punya meja tidak ada kerjaan sama sekali. Ibu Vina seharusnya berterima kasih pada Alfi yang sudah mengerjakan pekerjaannya sehingga tidak ada fail yang berlama-lama di mejanya. Kalaupun ada pekerjaannya yang tertunda, fail-fail itu akan dititipkannya di meja Alfi. Keesokan paginya Alfi akan menaruh fail-fail itu kembali ke mejanya.

Alfi membaca deretan judul buku di lemari kaca yang tidak dikunci, yang setengahnya novel berbahasa Inggris, lalu membuka pintu lemari di bawahnya. Di dalamnya ada tote bag yang diantar sopirnya tadi sore dan satu fail tebal di bawahnya. Hatinya menari-nari; itu fail yang dicarinya. Ia membuka fail itu dan memeriksanya. Semua berkasnya lengkap. Kemudian ia menaruh fail di atas meja kerja Ibu Vina dan mengambil tote bag. Di situ ada pesan post-it yang ditujukan untuknya: “Kalau lapar, makan ini.”

Ia melihat Leony sedang berjalan di lorong menuju tangga. Jam dinding menunjukan pukul 19.50. Ia berlari ke depan gedung, berdiri di dekat jendela, menanti Leony berjalan keluar gedung. Setelah kira-kira dua atau tiga menit gadis itu akhirnya muncul bersama dua staf Departemen Penagihan. Sambil berjalan dia menengok ke belakang, ke lantai tempat Alfi berdiri. Alfi tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Ia tidak melihat ada ayah Leony di depan kantor.

*

Tote bag itu berisi tiga bungkus lemper ketan. Ny. Kwok yang membuatnya. Ny. Kwok adalah ibunya Ibu Vina. Ia pernah makan lemper buatan Ny. Kwok saat berkunjung ke rumahnya. Lempernya lumayan besar, tiga kali ukuran biasa. Kalau saja Leony tidak pulang, ia akan memakannya bersama gadis itu.

Alfi lumayan sering diajak Ibu Vina berkunjung ke rumahnya di jam makan siang. Kalau Ibu Vina memberitahu ibunya perihal kunjungannya sehari sebelumnya, Ny. Kwok akan membuat masakan spesial untuknya. Kadang-kadang masakan spesial itu dibungkusi Ny. Kwok sendiri untuk dibawanya pulang. Alfi diterima di rumahnya seperti keluarga sendiri. Di rumah itu, ia memanggil Ibu Vina dengan ‘Sayang’ dan memanggil Ny. Kwok dengan ‘Mama’.

*

Empat tahun lalu Manajer HRD menyodorkan pada Ibu Vina nama Alfi serta empat nama pelamar lain untuk menggantikan staf seniornya yang mengundurkan diri. Kecuali Alfi, empat pelamar lain punya peluang yang sama untuk diterima. Mereka lulusan universitas luar negeri dan berpenampilan rapih. Yang laki-laki memakai stelan jas dan berdasi. Yang perempuan terlihat anggun dengan jas blazer, dasi pita, dan rok serasi. Sementara Alfi datang dengan rambut sedikit acak-acakan—walaupun dengan begitu ia masih tetap terlihat tampan—lengan kemeja digulung, tanpa dasi dan memakai sepatu lari. Satu-satunya hal positif dalam dirinya, yang sayangnya tidak terlalu diperlukan: ia banyak tersenyum.

Ibu Vina seharusnya memilih satu dari dua pelamar perempuan untuk mempertahankan status departemennya yang selama ini diisi staf perempuan. Atau satu dari dua pelamar laki-laki yang berpenampilan rapih dan kemampuan bahasa Inggris yang bagus. Tapi dia memilih Alfi. Alasannya: Alfi satu almamater dengannya. Dia selalu melakukan itu, termasuk ketika memilih staf senior yang baru mengundurkan diri itu.

Tapi dia hampir saja salah pilih. Di bulan pertama bekerja, Alfi memakai kemeja yang sama untuk dua hari, dan celana panjang krem yang sepertinya tidak pernah diganti. Alfi meninggalkan sepatunya di bawah meja kerjanya dan memakai sandal saat pergi ke kantor dan pulangnya. Untungnya Alfi tidak merokok. Dia benci asap rokok.

Meski tidak terlalu mengganggu, kesan buruk itu bisa ditutupi dengan sikap dan kecerdasannya. Alfi datang paling pagi, cepat belajar, analisanya bagus, kerjanya cepat, bahasa Inggrisnya tidak terlalu buruk, ramah dan mudah bersosialisasi. Alfi bisa saja diangkat jadi staf senior meski belum genap satu tahun ia bekerja, tapi itu terlihat tidak adil bagi staf lama. Selama tiga setengah tahun Alfi dipertahankan seperti itu sebelum akhirnya mendapatkan statusnya sebagai staf senior.

Setelah satu bulan bekerja dan mendapatkan gaji, Alfi pelan-pelan mulai berubah. Ia membeli kemeja dan celana panjang baru, dan memakai parfum—meski yang murahan. Ia disenangi rekan-rekannya karena suka melucu dan bercerita, dan jadi teman curhat yang baik. Sekarang, departemen yang dulunya dianggap menegangkan dan angker, jadi berwarna dengan kehadiran Alfi.

Tapi dia juga sering menegur Alfi karena hal-hal sepele. Misalnya, suatu kali ketika mereka makan steik di restoran, dia memperhatikan Alfi yang selalu berganti memegang garpu dan pisau saat memotong dan memakan potongan daging. Dia paham Alfi makan dengan tangan kanan, tapi ketika Alfi makan langsung dengan tangan, dia merasa hal itu membuatnya malu. Dia membisiki Alfi supaya makan dengan garpu. Alfi balas berbisik, “Lebih nyaman begini, Bu.” Atau ketika dia memelototi Alfi yang terlalu sering menggaruk kepala saat rapat. Dia juga pernah beberapa kali menarik baju Alfi, untuk memberitahunya supaya merapihkan pakaiannya.

Semakin sering dia melakukan hal-hal seperti itu, semakin dia perhatian padanya. Semakin dia perhatian padanya, semakin dia tahu banyak tentang Alfi. Dan semakin dia tahu banyak tentang Alfi, semakin dia menyadari bahwa selama ini ada banyak hal yang dilewatkannya tentang lak-laki itu—yang membuatnya jatuh cinta padanya.

Pada suatu sore, ketika dia melewati meja Alfi, dia samar-samar mendengar The Way We Were dari radio tape di mejanya. Dia berkata, “Kamu tahu lagu itu, Fi?”

“Iya, Bu. Yang nyanyi Barbra Streisand. Bar-bra, Bu. Seperti Bra BH. Bukan Bar-ba-ra.”

Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia dibuat tersenyum seperti itu. Tapi Alfi melakukannya hampir setiap hari. Bahkan, hanya dengan melihat wajahnya yang sedang serius bekerja. Dia kadang-kadang dikejutkan Alfi dengan hal tidak penting tanpa membuatnya marah. Misalnya di saat berdiskusi tentang sebuah kasus yang butuh perhatian penuh, Alfi tiba-tiba menunjuk novel “1984” George Orwell di rak di belakangnya, dan berkata, “Saya sudah baca yang itu.” Atau ketika Alfi tiba-tiba mencium pipinya di tempat parkir. Peristiwa mengejutkan itu terjadi dua hari setelah hari ulang tahunnya yang kedua puluh sembilan.

Semua stafnya tahu jika Ibu Vina tidak suka merayakan ulang tahun. Dulu, pernah ada seorang staf yang sengaja memberinya kejutan ulang tahun. Staf itu menghadiahinya kado dan kue ulang tahun. Tapi Ibu Vina malah memberikan kue ulang tahunnya pada petugas Cleaning Service, sedangkan kadonya dilemparnya ke luar ruangan. Alfi tahu cerita itu dari Ibu Reni. Sekarang, tidak ada stafnya yang tahu atau tidak mau tahu tanggal ulang tahun manajer mereka.

Tapi Alfi terus mengingat tanggal ulang tahunnya. Setelah dua tahun melewati tanggal itu tanpa mengucapkan selamat, Alfi akhirnya mendapatkan momennya. Bukan untuk mengucapkan selamat, apalagi merayakannya. Pada suatu siang, di parkir basement, setelah mengantar Ibu Vina menghadiri rapat penting, ia dengan cepat mencium pipi wanita itu. Sejak saat itu, sang manajer tidak pernah lagi duduk di kursi belakang setiap kali Alfi yang menyetir.

Alfi tidak menyangka hubungannya dengan manajernya bakal sejauh itu. Ia bahkan diperkenalkan dengan Ny. Kwok begitu cepat. Yang ia tahu, hubungan Ibu Vina dengan ibunya memang sangat dekat. Ia sering mencuri dengar pembicaraan mereka lewat telepon dan mengambil sedikit kesimpulan. Ia pernah bertanya tentang Ny. Kwok pada Ibu Reni. Ibu Reni memberitahunya kalau Ny. Kwok menjual lemper—yang dipujinya sebagai lemper paling enak yang pernah dimakannya.

Alfi pertama kali berkunjung ke rumah Ibu Vina saat mengantarnya mengambil kacamata cadangannya dan urusan lain di rumahnya. Ia diperkenalkan dengan Ny. Kwok yang kemudian menyuguhinya sebungkus lemper. Sambil menunggu Ibu Vina menyelesaikan urusannya, ia mengobrol dengan Ny. Kwok. Ia sedikit bicara tentang pekerjaannya yang disebutnya sangat menyenangkan, dan setelah memuji lempernya yang lezat itu, ia berkata,

“Lemper itu sebetulnya singkatan.”

Ny. Kwok tentu saja sudah tahu hal itu, tapi ia ingin mendengarnya dari seorang anak muda non-Jawa. Dia berkata, “Singkatan apa?”

“Yen dielem atimu ojo memper. Disingkat LEMPER.”

“Apa artinya?”

“Jangan sombong saat dipuji.”

“Pinter,” kata Ny. Kwok, mengacungkan dua jempolnya.

“Siapa dulu?” Alfi menunjuk dirinya dengan dua jempolnya.

“Lho, katanya jangan sombong kalau dipuji?”

Lalu mereka tertawa.

Alfi menyukai Ibu Vina sejak wanita itu masuk ke ruang kelas untuk menemui Manajer HRD sebelum ia memulai wawancara kerja pertamanya. Sebetulnya ada dua orang yang disukainya saat itu: Manajer HRD dan Ibu Vina. Ia memang menyukai perempuan yang beberapa tahun lebih tua darinya, yang dianggapnya dewasa dan cerdas. Ia pernah memacari guru Bahasa Inggrisnya di SMA dan dosen Statistikanya di kampus.

Ia mencari tahu tentang keduanya dari staf kantor. Ia tahu sedikit tentang Manajer HRD dari Satpam, ketika mereka mengobrol usai wawancara kerja. Sementara informasi awal tentang Ibu Vina didapatnya dari staf Customer Service—yang memberitahunya bahwa Ibu Vina seorang manajer galak yang paling ditakuti seantero kantor. Staf Customer Service itu kemudian mengatakan bahwa, mengingat anak buah Ibu Vina semuanya perempuan, dia tidak yakin Alfi akan diterima. Kalau begitu, pikir Alfi, ia tidak perlu repot-repot menonjolkan diri saat wawancara kerja nantinya dan memilih untuk berpenampilan tidak semestinya.

Di hari wawancara kerja keduanya pekan depannya, Alfi memakai kemeja dengan lengan digulung dan bagian belakang yang dikeluarkan, tidak memakai dasi dan memakai sepatu olah raga. Ia masih sengaja membiarkan penampilannya seperti itu setelah diterima bekerja, supaya ia dianggap seperti orang yang baru pertama kali datang ke Jakarta. Jauh berbeda dengan kenyataannya, bahwa ia anak seorang dokter terkemuka yang sudah menyetir mobil sendiri sejak SMP.

Diam-diam ia memperhatikan Ibu Vina dan bertanya-tanya pada staf lama, untuk mencari tahu tentang hobi, kebiasaannya dan kesukaannya, dan hal-hal yang berkaitan dengan Ibu Vina. Ia juga memaksakan diri membaca novel-novel berbahasa Inggris, menyukai lagu-lagu lama dan rela pulang malam setiap hari. Ia senang usaha kerasnya berhasil.

Sekitar enam bulan lalu, Ibu Vina mengatakan padanya bahwa dia terpikir untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Paling tidak akhir tahun nanti. Berkat dorongan dari Alfi, dia akan menekuni hobinya menulis cerita fiksi. Namun itu bukan satu-satunya alasan dia mengundurkan diri. Dia sudah lelah menjadi manajer yang ditakuti semua orang. Dia seharusnya tidak jadi seperti itu seandainya orang tuanya tidak bercerai. Perceraian itu juga yang jadi alasannya tidak mau terlalu dekat dengan laki-laki. Alfi mendengarnya dari Ny. Kwok.

*

Sebungkus lemper baru saja dihabiskannya. Entah berapa lama lagi ia akan berada di kantor. Hari masih belum terlalu malam dan jalanan pastinya masih macet. Ia tersenyum mengingat betapa serius Ibu Vina waktu memarahinya. Sejujurnya, ia sangat terkejut saat itu dan agak … sakit hati, mengingat kejadian itu terlihat spontan dan sangat serius. Ia juga tidak ingat Ibu Vina pernah mengatakan, bahwa suatu saat dia akan benar-benar memarahinya. Keduanya sudah menganggap bahwa pernikahan palsu itu sudah cukup untuk membuat semua orang di kantor—juga para pembaca budiman—percaya bahwa keduanya tidak punya hubungan spesial. Bahkan, supaya lebih meyakinkan, hampir setiap hari ia bercerita tentang istri imajinasinya kepada Ibu Reni dan kadang-kadang kepada rekan-rekannya yang lain. Jadinya, Ibu Vina tidak perlu lagi memarahinya.

Bagaimanapun, kejadian itu seperti rencana yang sempurna. Bahkan, Leony hampir menangis ketika ditunjukkan surat undangan pernikahan palsu itu, sebelum akhirnya dikatakannya bahwa pernikahan itu hanya pura-pura. Karena dengan begitu, ia melanjutkan penjelasannya, jika kabar pernikahan palsu itu sampai ke telinga ayahnya, maka Leony bisa kembali lembur, dan mereka bisa kembali bersama.

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!