Nyanyian Jalanan (1)

Toto
Dari pintu pagar Pak Darmo memandang ke kanan dan kiri jalanan yang sepi, seakan-akan sedang menantikan sesuatu. Matahari bersinar cerah, sisa-sisa air hujan tadi malam masih menetes dari ujung dedaunan. Musim hujan yang baru datang selama tiga hari berhasil membuat Pak Darmo sedikit malas untuk melakukan sesuatu. Dari kejauhan, samar-samar terdengar bunyi knalpot sepeda motor. Pak Darmo memejamkan mata, telinganya difokuskan mendengar bunyi itu.
“Honda-Tiger,” tebaknya, membuka mata, melihat sepeda motor datang dari arah kanannya yang sedang bersusah payah melewati jalanan becek dan berbatu. Pengemudinya berjaket hitam dan berambut gondrong bernama Warsito, tukang daging di pasar. Tebakannya benar.
“Assalamualaikum, Pak Mo!” teriak pemuda gondrong itu sembari mengangkat tangan kanannya, yang buru-buru dikembalikannya lagi ke setang sepeda motor.
“Waalaikumsalam, To!” jawab Pak Darmo, memperhatikan sepeda motor itu sampai menjauh, dan bergumam, “Terlalu pur.”
Honda-Tiger itu pernah tiga atau empat kali mampir ke bengkelnya untuk servis rutin atau tambal ban. Sekarang, sepertinya sang pemilik sudah jarang merawatnya.
Tidak lama setelah itu, dari arah yang sama, di kejauhan terdengar suara knalpot sepeda lain—meledak-ledak dan terengah-engah. Tanpa melihat, Pak Darmo tahu siapa yang mengemudikan sepeda motor itu.
“Astrea-Grand,” katanya. “Parah.”
Pak Darmo berumur empat puluh dua, kurus dan jangkung. Kalau menilainya dari kacamata di ujung hidungnya, kau akan menyangka ia sebagai guru ketimbang mantan montir. Ia memakai kaus oblong putih dan sarung yang belum dilepas sejak salat subuh di masjid. Kopinya yang tinggal setengah gelas sudah terlanjur dingin, dan seperti itulah selalu disisakannya.
Ia masih menebak tiga sepeda motor lagi, yang kesemuanya tepat, sebelum kembali duduk di teras, mengambil tabloid Motor edisi September di atas meja, membaca ulang spesifikasi Yamaha keluaran baru.
Ibu Sri datang dari dalam rumah dengan sekeranjang cucian yang tampak berat, wajahnya berseri-seri karena dia tidak melihat ada tanda-tanda hujan. Pakaian kotor yang sudah empat hari menumpuk itu akhirnya bisa dicuci semuanya. Dia berharap sepanjang hari ini tidak turun hujan.
Melihat tubuh gemuknya, barangkali dia tidak akan kesulitan mengangkat keranjang cucian walaupun tidak berharap sang suami akan membantunya untuk mengambil satu keranjang lain di sumur. Antara Pak Darmo dan Ibu Sri bukan angka sepuluh, kecuali mereka pasangan serasi, setidaknya seperti itulah gambaran perjalanan rumah tangga mereka selama lima belas tahun yang nyaris tanpa konflik.
Sudah beberapa tahun belakangan Pak Darmo menjadi peternak setelah bengkelnya tutup akibat perluasan jalan. Peralatannya teronggok di gudang dan ia mendapat kompensasi yang cukup untuk modal beli kambing. Usaha ternaknya sangat menguntungkan. Dari situ ia bisa memperbagus rumahnya sudah diperbagus dan membeli dua mobil. Namun, keinginan untuk membuka bengkel kembali begitu kuat. Suatu kali, ketika ia melihat sebuah kios disewakan, ia berpikir untuk membuka bengkel di situ. Letaknya cukup strategis, di perempatan jalan tidak jauh dari pasar dan dekat pangkalan ojek. Ia akan menyerahkan urusan kambing kepada anak dan Tono, keponakannya. Sementara, ia dan Toto, keponakannya yang lain, yang akan mengurus bengkel.
Toto dan Tono anak dari Pak Tikno, kakak Pak Darmo. Pak Darmo meningggal setahun lalu karena stroke, sementara Pak Tikno sudah meninggal tiga tahun ebih dulu. Rumah Pak Tikno dikontrakkan. Sebagian uang kontrakannya ditabung dan sebagian lain digunakan untuk keperluan Toto dan Tono. Rumah tersebut akan diserahkan kembali kepada mereka saat dewasa nanti, begitulah janji Pak Darmo kepada Toto, anak pertama Pak Tikno. Pak Darmo membesarkan mereka tanpa membeda-bedakan kasih sayangnya dengan ketiga anak kandungnya.
Toto berusia enam belas tahun, bertubuh gempal dan lumayan tinggi dengan rambutnya selalu dicepak seperti tentara. Tidak ada yang ingin berkelahi dengannya, tapi ia lebih memilih menghindari perkelahian. Kebiasaan merokoknya datang sejak ditinggal sang ayah. Meski begitu, ia cukup pengertian untuk tidak merokok di rumah.
Tono berada di sisi yang berlawanan darinya. Ia memiliki wajah lembut, sopan dan berprestasi di sekolah. Mereka tidur di kamar yang sama. Tapi, Toto jarang tidur di rumah. Ia bisa berada di mana saja, di pos ronda atau di rumah temannya, sementara Tono menunggunya dengan membaca buku. Tono baru tidur setelah memastikan sang kakak tidak pulang. Jika keduanya berada di rumah, mereka biasanya mengobrol sebelum tidur. Tono menceritakan kegiatannya di sekolah atau kambing-kambing yang diurusnya bersama sepupu mereka dan Toto lebih banyak mendengarkan. Namun, selama beberapa hari terakhir, Toto sering mengatakan keinginannya untuk merantau ke Jakarta. Tono sangat sedih setiap kali kakaknya berkata demikian.
Pak Darmo akhirnya kembali membuka bengkel di bulan Maret. Seperti janjinya, Toto diminta untuk ikut membantu. Meski Toto tidak pernah menolak atau menyanggupi, ia bisa muncul di bengkel kapan saja tanpa pemberitahuan, dan tanpa basa-basi ia membantu pamannya melepas roda atau membuka ban, menambal, merapihkan kunci atau membongkar karburator dengan mudah. Malah di hari-hari ramai, ia dengan serius membantu Pak Darmo hingga larut malam. Itulah mengapa Pak Darmo masih bisa melihat harapan dalam diri Toto untuk menjadi seorang anak dengan masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, ketika harapan berbeda dengan kenyataan, Pak Darmo harus menghadapinya dengan kesabaran. Toto tidak lagi pergi ke sekolah dan jarang pulang, desas-desus yang menyebutkan bahwa Toto sudah menjadi preman kampung membuat Pak Darmo semakin cemas.
Pada suatu malam Pak Darmo bicara dengan istrinya mengenai kebiasaan Toto yang akan berdampak buruk pada Tono dan ketiga anak mereka. Kekhawatiran Pak Darmo menjadi kenyataan tatkala Toto pulang membawa bau alkohol dan penampilan lusuh.
“Dari mana, To?” tanya Pak Darmo.
“Bukan urusanmu!”
“Aku Pakde-mu, To!” Pak Darmo menahan tangannya, tapi Toto mengelak dan mendorongnya hingga hampir terjatuh. Tono dan ketiga anak Pak Darmo menyaksikan pemandangan yang tidak seharusnya mereka lihat.
Peristiwa itu jadi rentetan peristiwa yang tidak menyenangkan lainnya. Pada suatu pagi Pak Darmo menemukan Toto teler di pinggir jalan. Di hari lain, Toto mengancam salah satu warga sehingga Pak Darmo harus menerima kemarahan warga yang lain. Pada hari terakhir di kampungnya, Toto tergeletak tidur di depan pos ronda. Pak Darmo menyiram Toto dengan air dan setelah itu menariknya ke rumah. Ia tidak marah ketika Toto membentaknya, tapi ia sangat kecewa karena tiga hari kemudian Toto merusak warung nasi dan memukul sang pemilik warung hingga dua gigi depannya rontok. Ia tidak bisa lagi melindungi Toto ketika warga memaksa Toto untuk meninggalkan kampung.
Toto tertunduk lesu, Pak Darmo memandangnya sedih. Pak Darmo menyodorkannya dua ratus ribu dan menyuruhnya tinggal bersama pamannya yang lain di Semarang. Toto tidak berkata apa-apa kecuali meminta maaf dan menerima uang tersebut. Tentu saja Pak Darmo yang baik itu bisa memaafkannya, akan tetapi kata maaf masih belum bisa meredakan amarah warga kampung. Toto pergi sebelum subuh dengan membawa tas selempang coklat berisi tiga stel pakaian, dua bungkus rokok, dan uang tiga ratus tujuh puluh lima ribu, meninggalkan sepucuk surat untuk Tono, uang seratus ribu yang diselipkan di buku sekolah dan sebuah janji bahwa ia akan kembali pulang suatu saat nanti.
*
Pos ronda itu diterangi obor, satu-satunya sumber cahaya di sepanjang dua ratus meter jalan itu. Bulan diselimuti awan hitam, kabut turun semakin tebal dan dingin. Sudah dua batang rokok yang dinyalakannya sejak menunggu Roni sepuluh menit lalu. Tidak lama setelah dinyalakan rokok yang ketiganya, sahabatnya datang dengan sepeda motor milik kakeknya.
Roni memarkir sepeda motornya pinggir jalan lalu duduk di sebelahnya. Ia tidak menyapa Toto, Toto juga tidak menyapanya. Posisi Toto tidak berubah, masih memandangi tempat yang kosong, gelap dan sunyi di hadapannya. Roni memandang ke arah yang sama, seakan-akan seperti itulah cara mereka berkomunikasi.
Toto melempar rokoknya, kemudian bangkit berdiri, mengambil tas selempangnya, lalu berjalan menuju sepeda motor. Roni mengikutinya dari belakang.
Suara knalpot motor yang nyaring membuat Roni harus mengemudikannya pelan-pelan. Tapi Toto tidak terburu-buru. Jalan yang mereka lalui berupa jalur menurun, sempit, becek dan berbatu. Roni memacu lebih cepat saat menyusuri hutan untuk menghindari harimau atau macan. Selepas dari situ, ketika memasuki sebuah kampung, ia memelankan laju sepeda motornya, dan memacunya lagi saat melintas di perkebunan yang gelap. Kemudian mereka menyeberangi sungai kecil yang jadi batas desa, selain prasasti beraksara Jawa di pinggir jembatan, lalu berbelok ke jalan utama.
Pada saat itu langit sudah mulai terang, tapi pohon-pohon di sepanjang jalan membuat jaur itu seperti tengah malam. Truk-truk pembawa sayur mendahului mereka, dengan dua atau tiga orang tidur di atas tumpukan sayur. Jalanan yang berkelok dan licin membuat Roni berhati-hati. Toto menepuk lengannya, menunjuk ke arah seekor macan kumbang yang sedang berjalan di antara barisan pepohonan.
Setengah jam kemudian kabut mulai menipis, langit semakin terang. Pohon-pohon tergantikan rumah-rumah, orang-orang dengan keranjang berjalan menuju pasar. Tidak jauh di depan mereka, barisan sepeda dan sepeda motor memenuhi sebagian jalan yang menyempit itu, dengan mobil-mobil yang mengantri di belakangnya. Rel kereta ada di balik kemacetan, dan tidak jauh dari situ, di sebelah kanan, ada bangunan berisi berbagai warung—yang mereka sebut stasiun.
Mereka mampir di warung kopi. Toto duduk di atas kursi kayu panjang sambil merokok. Roni duduk di sebelahnya, memesan dua cangkir kopi hitam. Pemilik warung kopi berkata, “Mau kemana, Ron?” Roni menoleh ke arah Toto tanpa menyahut, lalu mencomot pisang goreng yang masih hangat. Pemilik warung menangguk dan memilih tidak melanjutkan obrolan. Roni bangkit ketika melihat Pak Susilo sedang mengatur jalan di perlintasan rel kereta. Ia menepuk bahu orang tua itu.
“Apa kabar, Ron?” kata Pak Susilo.
Mereka bergeser ke pinggir, mata Pak Susilo mengawasi kalau ada becak, sepeda motor atau mobil yang terjebak di rel. Pak Susilo kemudian mengeluarkan satu karcis berwarna merah dari kantong bajunya yang diberikannya pada Roni. Itu tiket kelas ekonomi tanpa nomor tempat duduk yang bisa dipakai kapanpun yang didapat dari kenalannya. Roni memberikannya dua puluh ribu. “Terima kasih, Ron. Kereta berikutnya ke Jakarta.” Ia menengok jam tangannya. “Jam setengah delapan.”
Roni bisa saja tidak membayar karena ia pernah menyelamatkan pria itu dari amukan Bule.
Kejadiannya tujuh bulan lalu ketika Bule, sang preman stasiun, memalak Pak Susilo. Sebetulnya, peristiwa seperti itu bukan yang pertama kali dialami Pak Susilo maupun orang lain di tempat itu. Orang-orang sudah terbiasa dimintai uang. Preman selalu ada di mana saja, dan seperti siklus, mereka akan selalu berganti. Yang tua akan digantikan yang muda, yang lemah akan dikalahkan yang kuat. Di tempat itu, orang-orang seperti itu tidak meminta banyak. Paling hanya lima ratus rupiah, yang disebut mereka uang keamanan, atau sebagai tanda bahwa mereka ada. Mereka tidak akan merusak apalagi sampai melukai. Bahkan, dalam keadaan tertentu, mereka justru sangat membantu. Misalnya, membawakan barang dagangan atau mendorong mobil mogok—yang kadang-kadang tidak dipintai upah. Lagi pula, kebanyakan dari mereka berasal dari kampung yang tidak jauh dan sebagian orang kenal orang tua atau kerabat mereka.
Tapi untuk yang satu ini sungguh keterlaluan. Entah dari mana asalnya, Bule muncul begitu saja bak seorang raja, meminta paksa uang dari siapa saja. Ia memang jadi dikenal setelah mengalahkan Tarno, preman terkuat di tempat itu. Supaya lebih ditakuti, ia tidak segan merusak lapak pedagang atau memukul. Ia disebut Bule karena rambutnya yang dicat pirang.
Hari itu Pak Susilo sedang ketiban sial. Ia sama sekali tidak punya uang ketika Bule memalaknya. Bule menamparnya sampai bibirnya berdarah. Tidak ada yang berani membela Pak Susilo. Kecuali Roni, yang kebetulan lewat tempat itu setelah mengantar kakeknya pergi mengajar di SMA tidak jauh dari pasar. Roni yang bertubuh pendek meng-KO Bule dengan sekali pukul. Sejak hari itu, Bule tidak pernah lagi terlihat berkeliaran di tempat itu.
Selanjutnya Roni yang jadi paling dihormati, sebutan lain untuk ditakuti. Bedanya, Roni tidak pernah meminta uang kepada siapapun. Tapi Toto berada di tingkatan yang berbeda. Meski ia jarang berada sekitar stasiun atau pasar dan hanya sedikit yang tahu wajahnya, namanya sangat disegani.
“Buat siapa, Ron?” tanya Pak Susilo.
Roni tidak menyahut, hanya menengok ke arah Toto di warung. Pak Susilo paham begitu melihat Toto dan memilih tidak bertanya lagi.
Toto sudah menghabiskan secangkir kopi, dua potong pisang goreng dan empat batang rokok ketika keretanya datang.
“Aku pamit, Ron,” kata Toto. “Tolong jaga Tono.” Ia mengambil dua puluh ribu dari dalam tas, bermaksud menyodorkannya kepada Roni. Tapi Roni menolaknya. Roni sangat menghormati Toto, baik sebagai teman atau bosnya. Tidak ada ucapan selamat tinggal. Tidak juga hati-hati di jalan. Roni tidak mengatakan apapun. Ia bisu sejak lahir. (Bersambung).
* *