Nyanyian Jalanan (5)
David
Hujan turun deras ketika Toto bertemu David. Mereka sama-sama berteduh di teras toko perkakas, berdiri bersandar di dinding. Terjangan angin membuat mereka pindah ke teras samping—kanopinya melindungi mereka dari serpihan air hujan. Toto berjongkok, gitarnya di senderkan ke dinding. David, yang sedari tadi memperhatikan Toto, ikut berjongkok.
“Ngamen?” tanya David, suaranya termakan angin, tapi Toto masih bisa mendengarnya.
“Nggak,” jawab Toto, menoleh sebentar ke David, lalu kembali memandang ke depan, ke deretan pohon dan rumah-rumah yang sepi.
Ada jeda beberapa saat, keduanya sama-sama menatap ke depan. Hujan memelan, tapi mereka masih enggan beranjak dari tempat itu. Mungkin karena genangan di jalanan yang masih tinggi. Mungkin mengira hujan akan kembali turun deras. Mungkin karena mereka ditakdirkan untuk bersahabat.
“Boleh pinjem?” tanya David menunjuk ke gitar.
Toto memberikan gitarnya pada David. David memetik beberapa senar, memainkan intro Paint It Black. Toto melirik ke jari-jari David, berpikir boleh juga mainnya meski tidak tahu lagu yang dinyanyikannya.
“Gitar enak nih. Beli dimana?” tanya David, bergeser mendekat ke Toto, mengembalikan gitarnya.
“Dikasih teman.”
“Tinggal di mana?”
“Aku baru di Bekasi.”
“Ada saudara?”
Toto menggeleng.
“Kerja.”
“Lagi cari.”
“Nanti anterin gue beli gitar. Kita ngamen. Mau?”
David juga belum pernah mengamen, tapi ia pernah ngeband di panggung di kampus. Wajahnya lumayan tampan dengan rambut dikuncir memang lebih mirip pemain band. Tubuhnya tinggi berisi, matanya sipit, wajahnya sedikit berjerawat. Ia penggemar lagu-lagu barat lama. Keinginannya mengamen datang begitu saja setelah melihat Toto dengan gitarnya, dan berpikir bahwa dua gitar lebih baik dari satu gitar.
“Gue David,” kata David memperkenalkan diri.
“Toto,” kata Toto, mengeluarkan rokoknya dan menawarkan satu kepada David. David punya korek sendiri. Keduanya mengisap rokok dalam diam.
Toto berpikir seandainya Budi tidak melakukan hal menjijikkan itu, ia tidak terpikir untuk mencuri gitar Unang. Gitar itu rencananya akan dijualnya, tapi ia sedang mempertimbangkan tawaran mengamen dari teman barunya.
Rokok mereka mengapung di atas genangan, dipermainkan air hujan. David mengatakan bahwa ia baru dari Kampung Melayu ketemu teman kampusnya yang seorang pengedar sabu. Ia diberikan satu bungkus kecil yang disimpannya di dompet. Ia menunjukkan barangnya kepada Toto, mengatakan bahwa ia tidak akan pernah memakainya. Tapi ia akan akan menjualnya kalau nanti butuh uang.
Hujan baru benar-benar reda sekitar jam satu. Mereka naik angkot menuju Pasar Baru. David bilang ia penggemar berat Gibson. Mereka singgah dari satu kios gitar ke kios gitar yang lain. Dari Satu toko musik ke toko musik lain. Toto tidak tahu seperti apa gitar yang diinginkan David. Yang ia tahu, ia punya kegiatan hari itu dan teman yang mentraktirnya es kelapa dan gorengan.
Di suatu kios gitar kecil mereka singgah lumayan lama. Gitar-gitar akustik baru dan bekas berjejer rapih, penjualnya mengawasi mereka dengan hati-hati. Ia sudah dua puluh tahun berjualan gitar, dan seolah punya indera keenam, ia tahu karakter para pengunjungnya dengan melihat cara memegang, memetik gitar atau sekedar insting—ia tahu siapa yang benar-benar seniman, pengamen, atau baru belajar main gitar. Pemuda itu, meski wajahnya kekotaan, bisa dipastikan pengamen. Ia melihatnya dari sosok yang menemaninya dengan gitar.
David tidak memperlihatkan ketertarikannya pada sebuah gitar manis yang tersembunyi di sudut kios, karena tidak ingin si penjual menaikkan harga. Ia meminta si penjual menurunkan gitar tersebut dan memainkan beberapa melodi singkat. Bangsat, enak banget nih gitar!
“Berani bayar berapa?”
“Delapan ratus.”
“Sejuta.”
Gitar itu sangat berarti bagi si penjual. Ia membelinya bertahun-tahun lalu saat menjadi pemusik di Bandung dan sengaja meletakkannya di bagian terdalam tokonya, tertutup gitar-gitar lain yang mengilap meski sengaja ditonjolkan sedikit supaya hanya orang-orang tertentu yang bisa membelinya. Ia menepuk lengan David dua kali karena merasa gitar kesayangannya sudah berada di tangan yang tepat.
“Jaga Rossa ya?”
David membayarnya sejuta dua ratus.
*
Sorenya, mereka pergi alun-alun dan mengamen di warung pecel lele. David menyanyikan Let It Be dan Hey Jude, sementara Toto mencoba menyesuaikan. Ada lima orang yang makan di warung itu, tapi hanya dua orang yang memberikan uang. Mereka mengamen di warung makan di sebelahnya, dan warung makan di sebelahnya lagi. Sampai menjelang jam delapan mereka sudah dapat enam warung, kemudian setelah itu mereka makan di warung seafood. Harga di menu yang lumayan mahal membuat Toto mempertimbangkan makan di tempat lain, apalagi mereka hanya dapat sepuluh ribu dari mengamen. Tapi David berkata, “Santai, gue yang bayar.”
Mereka duduk di tangga dan merokok, sambil bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing.
“Bisa jadi preman pasar lu,” kata David setelah Toto bercerita bahwa ia pernah menghajar tiga orang yang badannya lebih besar darinya.
David dulunya tinggal di Serpong. Ayahnya asli Manado, ibunya Cina-Surabaya. Ia dibesarkan dalam perang psikologis kedua orang tuanya yang berakhir perceraian di usianya yang kedua belas. Ia memilih tinggal di rumah ayahnya untuk alasan kondisi keuangan ayahnya yang lebih baik. Sebelum meninggalkan rumahnya, ia mencuri tujuh kartu kredit dan uang tujuh belas juta milik ayahnya. Untuk sementara, supaya tidak membuat kedua orang tuanya cemas, ia tinggal bersama adik neneknya—yang dipanggilnya Oma—di Tambun sebelum memutuskan berkelana bersama Toto.
“Sekarang tinggal berapa?”
“Dikurangi beli gitar dan barusan traktir lo, jadi sekitar satu jutaan. Kenapa?”
“Gila!”
“Nggak gila. Si brengsek mantan gue yang ngabisin uang gue.”
Hujan turun lagi sekitar jam sebelas malam. Mereka berteduh di emperan toko jam dan sekaligus bermalam di sana, menghabiskan malam dengan ngobrol, merokok, makan sebungkus kacang dan gorengan, setelah itu tidur di bagian samping teras yang berkanopi bersama seorang pemulung. Paginya, bunyi rolling door membangunkan David. David membangunkan Toto. Si pemulung sudah pergi sejak subuh. Pemilik toko tidak tahu dua orang sudah tidur di samping tokonya tadi malam. Yang ia tahu ia harus membersihkan puntung rokok, kulit kacang dan remasan kertas bungkusan gorengan.
* *