Nyanyian Jalanan (4)

Ningsih

Budi biasa mencuci pakaian dinasnya di penatu—harus pakai air hangat, BH dan celana dalam dicuci terpisah dan disetrika lagi di rumah. Ia akan pakai tanktop merah kesukaannya nanti malam. Sembari bersenandung, ia membedaki wajah dan tubuhnya, melukis alisnya, mengolesi bibirnya dengan gincu, memakai rambut palsu coklat tuanya. Toto mau ikut Budi lebih karena ingin melihat-lihat bagian lain Bekasi.

“Ingat ya, panggil aku Ningsih,” kata Budi, eh Ningsih. Ningsih bercerita panjang tentang pelanggan favoritnya dan memuji kebaikan pejabat kecamatan yang pernah memberikannya sepasang anting emas.

Mereka berangkat jam tujuh malam, dua kali naik angkot sampai tiba di depan kantor Pemda. Kemudian mereka menyeberang jalan raya, lalu jalan sebentar hingga terlihat deretan gerobak pedagang makanan—yang setiap bangkunya diduduki dua-tiga banci. Para pedagang sebetulnya kurang suka banci-banci itu duduk di bangkunya, tapi mereka lumayan baik, sering kali mereka memberi uang lebih atau menolak uang kembalian.

Ningsih memperkenalkan Toto kepada Yanti, Dina, Wani, dan Ica. Toto diam saja ketika mereka menyapanya. “Hai ganteng!”

“Aku mau jalan-jalan dulu,” kata Toto, yang tidak ingin dianggap sebagai pelanggan atau temannya.

“Jangan jauh-jauh, Say,” sahut Ningsih, memberikan sepuluh ribu untuk jajan Toto.

Toto memang pergi tidak jauh, hanya sekitar dua ratus meter dari taman, nongkrong di warung kopi, memesan segelas kopi hitam sambil ogah-ogahan nonton sinetron di TV gantung. Setelah menghabiskan secangkir kopi dan lima batang rokok ia kembali ke taman. Ia duduk di bagian taman paling gelap, di dekat pohon palem yang sepi. Ia menyalakan rokok, kaki kanannya dinaikkan ke atas bangku. Ia baru mengisap setengah batang, ketika, sialnya, Ningsih menemukannya.

“Kasihan kamu. Bete ya? Sebentar lagi kita balik kok,” kata Ningsih, duduk merapat ke Toto. Toto bergeser menjauhinya.

Sebelum pulang, Ningsih menraktirnya sepiring nasi goreng dan segelas teh manis hangat. Ningsih kecewa Toto tidak bisa diajak ngobrol di sepanjang perjalanan pulang. Buat apa ngobrol sama banci? begitu pikir Toto.

*

“Kok bisa tinggal sama Budi?” tanya Toto kepada Unang.

Unang terdiam sejenak. Pertanyaan tersebut seakan menyentil masa lalunya; antara ia dan Budi pernah saling mencintai untuk waktu yang cukup lama. Mereka putus setelah Budi mengetahui Unang tidak lagi mencintainya dan lebih memilih menyukai anak laki-laki. Meski begitu, perbedaan itu tidak membuat mereka saling membenci. Toh mereka masih hidup di bawah atap yang sama, masih dalam keintiman yang kuat dan cinta yang tidak perlu diumbar.

“Budi baik,” jawab Unang.

Toto berencana tinggal di kontrakan Unang paling lama satu minggu, setelah itu ia akan mencari tempat tinggal lain. Ia tidak masalah jika harus menggelandang lagi, tapi ia harus mencari pekerjaan secepatnya. Uangnya semakin menipis dan ia tidak bisa terus mengandalkan kebaikan Unang.

Namun, rencana itu rupanya datang lebih cepat. Semuanya gara-gara Ningsih. Banci itu benar-benar menjijikkan. Pagi itu, Ningsih yang baru pulang berdinas sengaja berbaring di sebelah Toto yang masih tertidur. Dia memandangi wajah laki-laki itu, membayangkan sesuatu yang tidak perlu kuceritakan di sini, merapatkan badannya, meletakkan tangannya di dadanya dan mengusapnya. Kemudian diturunkan tangannya ke perut, berputar melewati pinggang, terus turun sampai ke pangkal paha, berhenti sebentar untuk menurunkan resleting celananya pelan-pelan, lalu dipegangnya penghuni di dalamnya dengan lembut.

“Brengsek!” bentak Toto, bangkit dan menamparnya. Tamparannya tidak terlalu keras, tapi cukup membuat pipi kanan Ningsih semerah darah.

Ningsih menangis tersedu-sedu memegangi pipinya, mengatakan betapa dia sangat mencintainya. Tentu saja kata-kata itu membuat Toto semakin jijik. Ia meludahi Ningsih yang tengah bersimpuh dan berusaha memeluk kakinya, menendangnya sampai terjengkang. Ningsih menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya. Toto mengambil enam ratus dua puluh dua ribu dari dalam tas Ningsih, berkata, “Ini buat bayar aku, brengsek!” Ia melempar dompet kosong ke kepala Ningsih, mengambil gitar di dinding dan membawanya pergi.

* *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!