Nyanyian Jalanan (3)

Unang & Budi

Sudah hampir dua minggu Toto berada di Bekasi, masih menggelandang ke sana kemari. Ia tidak pernah naik angkot dan ia sekarang sudah lumayan jauh dari tempatnya pertama kali tiba. Selama empat hari belakangan ia menetap tidak jauh dari tempat proyek pembangunan apartemen. Ia makan di warung nasi tempat para kuli proyek sarapan atau makan siang, sambil berharap ada kabar lowongan kerja. Tapi tidak ada papan pengumuman lowongan di sana. Ia pernah bertanya dua atau tiga kali pada kuli, tapi dijawab mereka belum ada.

Pagi itu ia agak terlambat datang untuk sarapan. Ia memesan sepiring nasi, sayur sop (kuahnya yang banyak), dua potong tempe dan segelas teh tawar hangat. Empat kuli masih merokok di situ. Ia bisa menangkap obrolan mereka tentang upah, tentang salah satu anak mereka yang diterima menjadi PNS dan kabar seorang rekan mereka yang meninggal karena kecelakaan sepeda motor. Menjelang jam sembilan, tiga kuli meninggalkan warung nasi, menyisakan seorang kuli yang sedang menikmati rokok tanggungnya.

“Ada lowongan, Pak?” tanya Toto kepada laki-laki bernama Unang itu.

“Bisa apa?” tanya Unang. “Nguli? Ngaduk pasir? Angkat semen? Nyetir? Ngelas? Kalau bisa semua kau bisa gantiin Nano. Nanti kuajukan dulu pada bos. Kamis ketemu di sini saja.”

Sorenya, Unang menemui bosnya, memberikan nama Toto untuk menggantikan Nano yang kecelakaan. Dibilangnya Toto bisa ngelas, nyetir, badannya kuat, dan masih saudara jauhnya. Bosnya bilang, “Bawa orangnya kemari.” Lusanya, Toto diantarnya menemui bosnya.

Toto mengenakan kaus abu-abu dan celana jins. Beruntung calon bosnya baik, proses penerimaan tidak rumit, tinggal bilang: “Bisa”, “Iya” dan “Sanggup,” dan ia pun diterima bekerja. Ia tidak perlu menyerahkan ijazah atau CV. Tidak ada Jamsostek atau Askes, tapi disediakan bedeng untuk tidur dan mandi, makan siang, kopi pagi dan sore, rokok, satu stel seragam dan helm proyek.

Besoknya ia langsung kerja. Ia mengerjakan apa saja yang disuruh bosnya. Ia mengangkat batu bata dan sak semen, mengaduk semen, mengelas, memasang kabel, dan seminggu sekali menyopiri bosnya ke panti pijat. Malamnya ia bisa mengisap ganja di lantai dua puluh satu, tapi tidak sampai teler. Di hari libur ia minum bersama teman-teman kulinya. Kulitnya bertambah hitam, giginya menguning karena rokok dan alkohol, tubuhnya semakin berotot, rambutnya tumbuh gondrong. Di bulan Desember 2000, untuk pertama kalinya ia menulis surat untuk adiknya dengan nama samaran supaya tidak ketahuan sang paman. Ia masih ingat alamatnya dan mengira-ngira seberapa lama suratnya sampai—petugas kantor pos bilang paling lama dua-tiga minggu.

Di bulan April 2001 proyek bangunan apartemen itu mandek akibat krisis. Unang menawarkannya tinggal bersamanya untuk sementara waktu. Sambil menunggu proyek jalan lagi, Unang akan kembali mendorong gerobak, berjualan mainan anak-anak keliling kampung dan mangkal lagi di depan SD. Sejak jadi kuli, gerobak kayunya dititipkan di rumah kontrakan Nana, teman sekampungnya di Karawang.

“Kalau mau, kita bisa gantian jualan,” kata Unang. Tapi Toto tidak berminat.

Rumah berdinding triplek itu hanya ada satu kamar tidur berisi barang-barang yang sebagian besar milik Budi, seorang laki-laki kemayu yang dipanggil Ningsih di malam hari. Pekerjaannya? Kau pasti tahu. Tarif normalnya dua puluh lima ribu. Budi bilang mulutnya bersih karena sering gosok gigi. Ia bermimpi akan mengganti kelamin suatu saat nanti—uang tabungannya disimpan dalam kaleng kue Khong Guan. Ia baru akan berangkat kerja saat berkenalan dengan Toto.

“Nanti kau tidur di sini,” kata Unang. “Ada tikar di sana.”

“Boleh lihat,” kata Toto, menunjuk gitar yang tergantung di dinding.

“Punya Gugun,” kata Unang. “Ia belum bisa bayar hutang, jadinya disimpan di sini. Aku sih nggak bisa main gitar.” Ia menurunkan gitarnya dan dan membiarkan Toto memegangnya.

Toto jago main gitar, biasanya main lagu dangdut, yang kebanyakan lagu-lagunya Rhoma Irama. Ia memetik satu-dua senar, kemudian dikencangkan senarnya. Dipetik lagi senar yang lain, dikencangkan lagi. Ia mengulangnya sampai dua kali lagi. Unang kagum dengan permaianan gitarnya meski tidak begitu suka suara Toto yang ngebass saat bernyanyi.

Malamnya, Unang mengajak Toto nongkrong di warung kopi. Mereka merokok, minum kopi dan nonton bola. Bandar datang jam 11, narik uang, mencatatnya dan bagi-bagi kupon. Asap rokok mengepul, ramai-ramai kumpul di warung kopi. Toto bertaruh dua puluh ribu, namanya ditulis ‘TOTO JAWA’. Pertandingan dimulai jam dua malam, botol bir digilir, kacang kulit terhampar di atas koran. Setengah jam kemudian mereka berteriak: “Gol!”. Toto menang tiga ratus lima puluh ribu, sebagian uangnya dihabiskanya untuk mentraktir teman-teman barunya minum.

Ia tidur bale warung kopi. Jam sembilan Unang datang dan membangunkannya, kemudian memapahnya sampai ke kontrakan. Ia tidur lagi dan baru bangun lewat tengah hari. Kepalanya pusing dan badannya sempoyongan saat berdiri, dan ambruk saat akan melangkah ke kamar mandi. Budi yang sedang melepas BH menjerit, “Sialan!”

Kamar mandi itu berpintu seng dan sempit, matahari menyinari langsung ke dalam, air kerannya berbagi dengan kontrakan sebelah. Budi terkesima saat melihat Toto bertelanjang dada dan memakai handuk pink miliknya. Ia menganggapnya seksi. Ia membelikan Toto sebungkus nasi di warteg sewaktu Toto mandi. Toto makan dengan lahap. Dalam sekejap sudah menghabiskan setumpuk nasi, tempe dan sayur nangka.

“Aku tuh profesional,” kata Budi, “Semua orang suka aku. Bisa dapat empat-enam laki-laki semalam. Full serviceany position. Aku dulu pernah kerja di PT di Cikarang, sesekali masih kerja di salon bantu-bantu teman. Kamu nggak banyak ngomong ya? Nanti malam ikut aku yuk?” (Bersambung).

* *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!