Nyanyian Jalanan (2)
Bekasi
Toto berjalan melewati tiga gerbong, duduk di gerbong paling belakang di sebelah kiri dekat jendela, menghabiskan satu rokok sebelum tertidur.
Ia tidur sangat lelap sampai-sampai tidak tahu penumpang silih berganti duduk di sebelahnya, dan baru bangun setelah kondektur menepuk lengannya beberapa kali. Karcisnya dibolongi dan ia kembali tidur.
Hari sudah hampir gelap ketika ia terbangun lagi, rasa laparnya tidak tertahankan. Dicegatnya tukang kue yang lewat di sampingnya. Penjualnya seorang pemuda seusia adiknya, memakai topi SMP dan sangat sopan. Dibelinya seplastik onde-onde dan sebotol air minum. Pemandangan di luar sana berganti-ganti dari sawah, ke deretan pohon, rumah-rumah berlarian, jalan yang dipenuhi kendaraan, lalu kembali ke sawah. Toto tidak tahu ia sudah sampai di mana, ia sempat mengira ramainya lampu kendaraan menandakan tujuannya sudah dekat.
Ia tidak pergi ke Semarang atau ke Jakarta. Ia menetapkan tujuannya ke Bekasi. Ada beberapa tetangganya yang bekerja di Bekasi. Jika beruntung ia bisa ketemu salah satu dari mereka. Tapi ia bukan tipe orang mengandalkan keberuntungan. Di Bekasi ada banyak pabrik dan pembangunan, dan ia bisa lebih mudah mendapatkan pekerjaan di sana ketimbang mencarinya di Jakarta atau Semarang. Ia bisa bekerja apa saja. Ia tidak tidak akan pilih-pilih pekerjaan pertama yang datang padanya.
Perjalanan itu memakan waktu sekitar lima belas jam. Toto berjalan ke pintu keluar mengikuti orang-orang. Dari arah depan gerbong dua bocah lusuh memeriksa sesuatu dari satu bangku ke bangku lainnya. Masing-masing membawa satu karung yang diisi botol plastik, kardus atau sesuatu yang berharga untuk dijual. Penumpang yang turun lumayan banyak di stasiun Bekasi yang sepi. Ia sedikit mengantuk, tapi ia ingin jalan-jalan sebentar. Sayangnya, tidak banyak yang bisa dinikmatinya. Jalanan lengang dan toko-toko sudah tutup. Di sudut ruko ia duduk, merokok, dan merebahkan tubuhnya.
Ia bangun sebelum jam setengah enam, kemudian menghabiskan waktu siangnya dengan menjelajahi kota. Ia mencatat nama tempat, nama jalan, nomor angkot, warung makan dan harga menu yang disantapnya, tempat untuk tidur, dan apa saja yang penting baginya. Ia akan seperti itu selama dua atau tiga hari ke depan, setelah itu ia akan mencari pekerjaan. Uangnya cukup untuk sebulan. Mungkin dua bulan jika ia berhemat dan terus menggelandang.
Malam datang lagi dan ia tiba di alun-alun yang ramai. Gerobak nasi goreng, gerobak sate, tenda ikan bakar, tenda pecel lele, pedagang dengan sepeda atau berjalan menjajakan aneka jajanan kepada orang-orang yang duduk-duduk di lapangan. Asap mengepul dari kompor atau panggangan, pantat-pantat memadati bangku-bangku warung, mulut-mulut tak henti-hentinya mengunyah. Pengamen dan pengemis melompat dari satu warung ke warung lain.
Toto memesan sebungkus pecel lele, dan makan ditemani beberapa kucing liar. Ia kencing dan cuci muka di masjid, nongkrong di taman menghabiskan tiga batang rokok, minum kopi di warkop dan merokok, dan kembali ke taman menjelang tengah malam.
Bangku-bangku lapak sudah kosong. Kompor dan panggangan dimatikan, pedagang menurunkan tenda-tenda, memasukkan peralatan masak ke dalam gerobak dan mendorong gerobak pulang. Tempat itu berangsur-angsur sepi, menyisakan gelandangan dan pengamen yang berbaring di pinggiran plasa. Toto ada di situ, meringkuk bersama mereka. (Bersambung).
* *