Menunggu Hujan Reda

Dr. Andra sudah mendapatkan yang dicarinya: membeli novel Keigo Higashino terbaru. Hanya itu tujuannya ke mal. Ia tidak punya keinginan untuk jalan-jalan berkeliling mal atau makan di salah satu restoran meski ia lumayan lapar.
Hari ini ia baru sarapan sepotong roti dan minum secangkir kopi yang disediakan rumah sakit. Pasien yang datang tanpa jeda membuat jam makan siangnya ditunda. Kalau pun ia sudah sangat kelaparan di jalan nantinya, ia akan menepi untuk makan di warteg atau warung nasi Padang—yang harganya jauh lebih murah ketimbang makan di mal. Mungkin terdengar pelit, tapi baginya itu pilihan terbaik.
Ia menuruni tangga dari lantai tiga ke lantai dasar, kemudian berhenti sejenak begitu melihat ke luar. Hari sudah gelap, hujan turun deras, teras mal dipenuhi orang-orang yang menunggu hujan reda atau mobil jemputan.
Ia melangkah keluar, melewati barisan orang-orang dan mendapatkan sedikit tempat kosong di depan yang tidak cukup aman dari terpaan hujan angin.
Sebetulnya ia bawa payung yang disimpannya di dalam tasnya. Tapi itu hanya payung kecil yang gampang terbawa angin. Ia akan basah kuyup sebelum mencapai mobilnya.
Untungnya orang-orang yang menunggu di teras mal tidak bertambah banyak, seiring datangnya mobil-mobil penjemput, sehingga ia bisa bergeser lebih ke tengah, lalu bergeser lagi ke pilar dekat pintu masuk, dan bergeser lagi ke belakang, sampai ia bisa sedikit bersantai dengan bersandar di tembok.
Ia mengeluarkan ponselnya. Ada delapan pesan singkat yang masuk; satu pesan dari perawat poliklinik, satu dari ibunya, satu dari adiknya, dua dari rekan dokternya, satu dari bengkel sepeda, dua dari orang tua pasien, dan satu lainnya dari direktur rumah sakit.
Ia menjawab pesan yang masuk paling dulu. Dimulai dari pesan dari perawatnya, yang mengatakan jam tangannya ketinggalan (lagi), sampai pesan terbaru, dari direktur rumah sakit, yang memintanya untuk ikut mewawancarai tiga pelamar posisi dokter spesialis anak besok.
Hujan bertambah deras, kabut air bertambah tebal, angin bertiup kencang dan tidak karuan. Yang berkurang hanya orang-orang yang menunggu di teras mal. Sebagian sudah mendapat jemputan, sebagian lain memilih kembali masuk ke mal. Dr. Andra baru bisa duduk setelah dua orang yang duduk di situ mendapatkan jemputannya.
Di belakangnya, orang-orang yang berkerumun di balik pintu kaca seperti merasa terjebak di mal begitu tahu di luar hujan turun sangat deras. Memang, di banyak tempat di dalam mal suara hujan tidak terdengar. Bahkan, gemuruh halilintar hanya terdengar samar-samar.
Mercedes Maybach S-Class keluaran terbaru berhenti tepat di depannya. Seorang pria jangkung yang baru saja keluar dari mal langsung menaikinya.
Dr. Andra pernah terpikir untuk punya sopir pribadi. Tapi ia merasa mobilnya tidak cukup bagus untuknya duduk di belakang dan disopiri orang lain. Lagi pula, ia juga tidak tertarik mengganti mobilnya dengan yang lebih bagus. Mobilnya yang sekarang masih nyaman dan sangat terawat.
Ia hanya tertarik pada perempuan berjaket merah yang berdiri di depan pintu kaca, yang membiarkan bulir-bulir air hujan menempel di wajah tanpa make-up. Perempuan itu tersenyum sendiri, seakan-akan sedang mengatakan, “Ini cuma hujan air.” Ia berharap perempuan itu duduk di sampingnya, lalu mereka mengobrol untuk mengisi waktu menunggu hujan reda.
Harapannya terkabul. Perempuan itu duduk di bangku yang sama dengannya—dengan dua kantong belanja milik si perempuan yang jadi pembatas di antara mereka.
Lalu, apa yang akan dilakukannya setelah itu?
Sementara ia memikirkan cara menyapanya, perempuan itu sibuk mengelap wajahnya dengan tisu, merapihkan rambutnya dengan jari-jarinya, menengok ponselnya sebentar, lalu memandang halaman parkir yang diselimuti kabut air.
Sesudah beberapa lama mereka saling terdiam, dr. Andra akhirnya berkata, “Hujannya awet!”
Perempuan itu mendengarnya mengatakan sesuatu, tetapi gemuruh hujan dan tiupan angin membuat suaranya tidak terdengar jelas.
“Apa?” kata perempuan itu, tangannya menempel di telinga.
Dr. Andra mencondongkan tubuhnya, mengulangnya lebih keras, “Hujannya awet!”
“Iya!” sahut perempuan itu. “Kau tidak perlu berteriak!” Jari telunjuknya berputar di samping telinganya.
“Maaf!”
Perempuan itu tertawa, dan berkata, “Aku bercanda!”
“Iya!”
Dr. Andra memikirkan kata-kata selanjutnya yang bisa berubah jadi obrolan panjang. Ia bisa saja mengatakan, sambil menunjuk logo di jaket perempuan itu, bahwa ia juga penggemar Liverpool. Kemudian setelah itu mereka mengobrol tentang prestasi Liverpool yang menurun dan menyayangkan hanya bermain di Liga Eropa. Perempuan itu pastinya tahu banyak tentang Liverpool. Tapi semburan hujan angin memaksa mereka untuk pindah ke tempat lain yang lebih aman.
“Aku mau kedalam,” kata perempuan itu. “Mau ikut?”
Dr. Andra mengangguk.
Perempuan itu berjalan lumayan cepat dan ia sempat tertinggal. Ia baru berhasil menyamai langkahnya ketika perempuan itu melambatkan langkahnya.
Mereka berkenalan sambil berjalan. Nama perempuan itu Marsha. Ia menebak usianya pastinya tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Ia kadang-kadang kedatangan ibu muda berpenampilan kasual seperti perempuan itu yang membawa anaknya untuk vaksinasi sehabis dari gym. Tapi Marsha tidak kelihatan sudah menikah. Ia bahkan tidak melihat ada cincin yang melingkar di jarinya.
Mereka berhenti di depan kafe untuk mengelap bagian tubuh mereka yang basah. Dr. Andra mengeluarkan sapu tangan dari dalam kantong celananya dan mengelap wajahnya, lalu menjawab pesan masuk di ponselnya.
“Kau dokter?” tanya Marsha.
Dr. Andra sekilas menengok tulisan di tasnya, dan tersenyum.
“Dokter anak?”
Ia mengangguk. Ia lumayan sering dapat tas dari seminar atau dari perusahaan farmasi—tas yang biasanya ada tulisan tema seminar dan logo IDI. Tas itu berisi brosur-brosur obat, kertas-kertas jurnal, buku, dan tentu saja payung kecilnya. Tapi hari itu ia membawa tasnya lebih karena toko buku tidak menyediakan kantong belanja gratis.
“Kakekku dokter. Tapi tidak ada satu pun anak atau cucunya yang jadi dokter.”
“Aku satu-satunya dokter di keluargaku.”
“Bagus keluargamu punya dokter sendiri.”
“Ya begitulah.”
“Mau ngopi?” Marsha menunjuk kafe di belakangnya dengan jempolnya.
Dr. Andra pernah dua atau tiga kali diajak teman minum kopi di kafe seperti kafe di belakang mereka—yang dianggapnya harganya terlalu mahal dan rasanya terlalu manis. Meskipun ia suka ngopi, ia tidak terbiasa bersosialisasi di tempat itu. Ia bahkan kesulitan memilih menu untuk dirinya sendiri.
“Aku tidak minum kopi,” sahutnya. “Maksudku, aku jarang minum di kafe. Bagaimana kalau makan saja? Aku sudah lapar dari tadi.”
“Kebetulan aku juga lapar.”
Dr. Andra menawarkan diri membawakan kantong belanjaannya. Tapi dia bilang tidak usah. Langkah mereka memelan saat melewati KFC, tapi keduanya sepakat tidak makan di restoran fast food. Dr. Andra mengatakan ia baru makan di sana minggu lalu. Terlalu sering makan fast food tidak baik buat kesehatan, katanya. Sementara Marsha lebih karena alasan kemanusiaan.
Ia seharusnya mengatakan alasan yang sama, bukan yang mengada-ada. Ia berbohong. Ia tidak makan di KFC minggu lalu atau kapanpun sepanjang tahun ini atau tahun lalu. Kalaupun seandainya ia menginginkan makan fried chicken, ia akan membelinya di kantin rumah sakit yang rasanya tidak kalah enak dan harga yang jauh lebih murah.
Mereka ke lantai atas naik tangga eskalator, melewati beberapa restoran yang ramai, toko pakaian, dan berhenti dan berhenti di depan sebuah restoran soto Betawi.
“Mau coba?” tanya Marsha.
“Boleh.”
Pengunjung restoran lumayan ramai, tapi mereka tidak kesulitan mendapatkan meja. Marsha membuka jaketnya dan menggantungnya di sandaran kursi. Lengan kausnya yang longgar digulung. Dia menarik tisu di atas meja, lalu mengelap wajah dan lehernya. Dr. Andra memandangi lengan putihnya yang berbulu kemerahan.
Mereka memesan soto Betawi spesial, nasi dan air mineral. Dr. Andra menolak dibayari ketika melihat Marsha mengeluarkan dompet dari tasnya. “Biar aku saja,” katanya, mengambil kertas pesanan lalu membawanya ke kasir.
“Jadi aku harus memanggilmu ‘Dok’?”
“Panggil nama saja.”
Dr. Andra agak kecewa ketika makanannya datang. Dengan harga dua kali lebih mahal dari soto langganannya di kantin rumah sakit, ia mendapatkan porsi lebih sedikit. Tapi Marsha tampak menikmatinya.
“Ini lumayan,” kata Marsha, “meski agak tawar. Wajar saja sih. Selera orang kan beda-beda. Kalau pakai standar yang pas, mungkin ada yang merasa ini terlalu asin. Makanya disediain garam, sambal, kecap.” Dia menyesap kuahnya, lalu melanjutkan. “Aku pernah makan mie ayam. Kuahnya bening, rasanya agak tawar juga. Tapi jadi enak setelah ditambah saos dan sambal.”
“Suka masak?”
“Lumayan. Biasa masak di akhir pekan.”
Setelah menghabiskannya, dr. Andra menilai sotonya tidak terlalu buruk. Benar seperti yang dibilang perempuan itu. Rasanya jadi lebih enak setelah ditambah kecap, sambal dan sedikit garam. Marsha memesan satu gelas jus alpukat, sedangkan dr. Andra merasa cukup dengan apa yang sudah dipesannya.
“Kerja di mana?”
Marsha memiliki usaha desain interior, tetapi dia tidak menyebut dirinya sebagai pemilik. “Aku desainer interior.”
“Belajar desain di mana?”
“Sendiri. Aku kuliah jurusan hukum.”
“Kenapa tidak ambil jurusan desain?”
“Supaya keren aja.” Dia tersenyum, untuk sedikit kebohongannya. Berkuliah di jurusan hukum memang sudah jadi tujuannya selepas SMA, dan kenyataannya, sebagai pebisnis dia sering kali berhubungan dengan masalah legalitas. “Bagaimana denganmu? Pastinya lebih sulit mengobati anak-anak daripada orang dewasa.”
“Tidak juga. Kadang-kadang yang membuat sulit malah orang tuanya. Mereka merasa lebih tahu dari dokter setelah nonton YouTube.”
“Aku belajar masak dari YouTube.”
Dr. Andra tersenyum, merasa tidak perlu menanggapinya. Ia melanjutkan, “Menjadi dokter anak itu perlu ekstra sabar. Banyak orang tua pasien yang memaksa obat-obatan tertentu untuk anak mereka. Aku tentu saja tidak bisa melakukannya, apalagi untuk anak-anak. Obat bukan pilihan satu-satunya supaya sembuh dan tidak semua pasien butuh obat. Misalnya, ada seorang ibu yang mengeluh karena anaknya mogok makan. Dia meminta diberikan obat atau suplemen penambah nafsu makan. Kubilang saja, “Coba ibu masak makanan yang lebih enak. Anak ibu pasti lahap makannya.””
“Kau serius?”
“Aku serius. Tapi tentu saja tidak semua anak yang mogok makan karena makanan mereka tidak enak. Ada yang benar-benar tidak mau makan karena memang lagi sakit.”
Dr. Andra mengagumi sikapnya yang fokus mendengarkannya saat ia sedang bicara. Apalagi ketika ia menceritakan tentang hobinya membaca fiksi dan membahas novel Keigo Higashino yang selesai dibacanya minggu lalu, Marsha menanggapinya dengan raut penuh keingintahuan, dan sesekali bertanya balik untuk hal yang tidak dimengertinya. Perempuan itu hanya dua kali menengok ponselnya. Itu pun sebentar. Bahkan, ketika ponselnya berbunyi ada pesan masuk, Marsha membiarkannya dan baru menjawabnya setelah ia selesai bicara.
“Aku punya semua bukunya,” katanya, dengan sedikit bangga.
“Oh iya? Kapan-kapan aku boleh pinjam bukumu?”
Dr. Andra serasa melayang di udara. Meski begitu, ia jelas menyukai perempuan itu lebih karena kecantikannya. Ia berharap hujannya masih turun deras dan mereka bisa lebih lama berduaan. Namun, ia tidak berharap mereka hanya membicarakan pekerjaan. Ia ingin tahu lebih dalam tentang perempuan itu, kemudian mereka akan bertukar nomor ponsel, lalu ia bertanya, apakah ia bisa bertemu dengannya lagi?
Ia sebetulnya sudah dari tadi mengumpulkan keberaniannya untuk bertukar nomor ponsel. Atau meminta kartu namanya, dan mengatakan siapa tahu nanti ia butuh desain interior untuk menata ulang ruang prakteknya di rumah sakit. Atau, ia malah yang akan memberikan kartu namanya, dan mengatakan, “Kalau ada temanmu yang butuh dokter anak.”
Tapi Marsha sudah keburu bangkit dan menengok jam di ponselnya.
“Kurasa hujannya sudah reda,” dia berkata, memakai jaketnya, mengambil tas dan kantong belanjanya, dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu.
“Sepertinya.”
“Terima kasih traktirannya.”
“Sama-sama.”
Mereka turun melalui jalan berbeda, tidak lewat tangga eskalator, melainkan menggunakan lift. Mereka tidak saling bicara selama di dalam lift. Marsha sibuk mengetik pesan di ponselnya, sementara dr. Andra memandanginya dari pantulan pintu lift.
Pintu lift terbuka dan mereka sudah berada tidak jauh dari pintu keluar. Hujan masih turun, halaman parkir mal diterangi lampu taman dan lampu hias yang melingkar di pohon palem. Teras mal sudah tidak begitu ramai. Di depan, berjejer bocah-bocah pengojek payung dengan baju basah. Dr. Andra memandang wajah Marsha yang masih sibuk dengan ponselnya. Mungkin untuk yang terakhir kali. Meskipun ia sangat berharap ada kejutan di ujung pertemuan itu.
“Ah, itu jemputanku,” Marsha berkata, menunjuk sebuah CRV hitam yang datang mendekat. “Kau pulang naik apa?”
“Aku bawa mobil,” jawabnya. “Diparkir di sana.” Ia menunjuk ke barisan mobil di dekat tiang lampu.
CRV hitam itu berhenti di depan mereka. Jendela kaca depan diturunkan, dan terlihat seorang laki-laki tampan yang mengemudikannya.
“Maaf lama. Macet berat,” kata pengemudi itu pada Marsha. Bocah perempuan yang duduk di sampingnya melambaikan tangan padanya.
Marsha menoleh ke dr. Andra, berkata, “Aku duluan ya.”
Dia berjalan melewati depan mobil, lalu menaruh tas belanjanya di kursi belakang. Bocah perempuan melompat ke kursi belakang, melihat isi kantong belanja, dia berkata,
“Baju buat siapa?”
“Buat Nenek,” jawabnya, memasang sabuk pengaman.
Bocah perempuan memamerkan ponsel barunya yang masih dalam kotak pada Marsha. Marsha memelototi si pengemudi, berkata, “Dia baru lima tahun!”
Tapi si pengemudi hanya tersenyum.
CRV hitam itu bergerak. Dr. Andra memandanginya sampai mobil itu berbelok menuju gerbang keluar.
“Siapa tadi?” tanya si pengemudi kepada Marsha.
“Teman nunggu hujan reda,” jawabnya. “Dokter anak.”
“Bulan lalu arsitek. Sebelumnya juga dokter. Aku tebak nanti kamu bakal kenalan sama chef. Mama pasti senang punya mantu seorang chef.”
“Diam!”
*
Dr. Andra mengeluarkan payungnya, membukanya, kemudian berjalan menuju tempat parkir, lalu menaiki mobilnya. Celananya basah karena cipratan air. Tangannya menempel di atas setir, matanya memandang melewati pagar mal, pikirannya mengingat kembali ketika ia pertama kali melihat Marsha, betapa ia mengagumi kecantikannya, dan berharap perempuan itu duduk di sampingnya.
Harapannya memang terkabul. Bahkan lebih dari itu, ia bisa makan berdua dengannya dan membuat perempuan itu terkesan dengan cerita tentang pekerjaannya dan hobinya membaca buku. Lalu, harapan-harapan lain bermunculan—harapan-harapan yang terlalu tinggi untuk dikabulkan di pertemuan pertamanya. Sampai akhirnya ia diperlihatkan pada sebuah kenyataan, bahwa perempuan itu sudah memiliki suami yang tampan dan putri yang cantik.
Meski begitu, ia tidak menganggap perkenalan itu sebagai sesuatu yang sia-sia—walaupun ia harus mengeluarkan lumayan banyak uang untuk makanan yang tidak lebih enak dari soto langganannya. Hanya saja, pikirnya, kalau bukan karena perempuan itu, ia mungkin sudah membeli sebungkus roti di supermarket sebagai pengganjal perutnya untuk sementara, hingga ia tiba di rumah dan mengisi perutnya dengan masakan istrinya. Dengan begitu, ia bisa menghemat seratus dua puluh tujuh ribunya.
* * *