Fiksi atau Non Fiksi?
Segala sesuatu yang terlalu itu adalah keburukan, itu kenapa kita diajarkan jangan berlebihan. Bahkan suatu kebaikan, apapun itu, bila ia berlebihan tak lepas dari hukum ini, pasti ia akan menjadi keburukan.
Dan kebaikan yang paling ngenes itu kalau ada yang bilang begini, “Kita udahan aja ya, jadi adik-kakak aja, karena kamu terlalu baik buat aku.”
Begitu juga akal, diciptakan untuk berpikir, menganalisa, tapi bila akal over dominant, ia akan mengalahkan keberanian, membuat kita ragu dan akhirnya nggak jadi melangkah.
Bagi penulis pun sama, baru memulai menulis pikiran bercabang. Bingung mau nulis fiksi apa non fiksi ya. Ah aku nggak bakat bikin cerita, tapi nulis sesuai fakta dan data juga aku nggak bisa. Terlalu banyak hal teknis yang ditakuti. Malu juga naskahku nanti dibilang jelek, nggak laku, nggak ada manfaatnya, atau lebih kejam lagi nggak ada yang baca dan nggak ada yang mau beli. Hiks, lengkap sudah jeritan batinnya.
Padahal mau menulis fiksi ataupun non-fiksi semua sama baiknya. Sama upayanya tinggal sesuaikan saja dengan selera, kita lebih nyaman dengan yang mana.
Saya tidak sedang membandingkan mana yang lebih baik antara fiksi dan non fiksi, juga tidak ingin berkutat pada definisi apa itu fiksi dan non fiksi. Saya cuma ingin mengulas secara sederhana bahwa tulisan itu baik fiksi atau non fiksi itu punya efek kebaikan yang tidak sederhana.
Sebagai contohnya, kenapa tulisan fiksi itu tidak pernah sepi dan mati. Walau dibilang khayalan, imajinatif, dan tulisan tidak nyata, namun pecinta fiksi selalu tumbuh dari masa ke masa.
Kalau menurut saya kenapa fiksi selalu punya tempat di hati, karena fiksi itu syarat kisah hikmah yang bisa jadi refleksi diri. Inti cerita dalam kisah fiksi umumnya diambil dari kisah nyata dengan sentuhan modifikasi seperti perubahan tokoh, lokasi, dan waktu peristiwa. Sehingga tidak heran ketika Kita membaca fiksi selalu mirip dengan kejadian nyata. Inilah yang membuat pembaca fiksi nyaman dan hanyut perasaannya, ikut menggantung dalam setiap bagian, bahkan ikut merasakan emosi dari setiap tokohnya. Bisa bikin tersenyum, greget, sebal, marah bahkan ikut menangis.
Apalagi jika fiksi roman yang bikin bala tentara emak-emak baper nangis tersedu mengetahui si tokoh utama disakiti, dicampakkan, atau berakhir menyedihkan. Untuk itu fiksi selalu punya tempat di hati pecintanya. Alurnya bikin penasaran, tokohnya kuat, aroma konflik bikin sesak dan kayak naik roller coaster.
Dan yang terpenting dari semua itu adalah fiksi itu bisa menasehati pembacanya tanpa merasa digurui.
Sekali lagi fiksi atau non-fiksi bukan dua hal yang harus dipertentangkan, keduanya saling melengkapi selama tujuannya kebaikan. Tetapi ada yang harus diubah yaitu dominasi akal yang membuat ragu untuk melangkah, dalam hal ini menulis.
Yakinlah kalau kita bisa, kita mampu.
Ubahlah kemustahilan menjadi sebuah keajaiban.
* * *