Kawan, Aku Tidak Merebut Pacarmu

Aku paham jika teman baikku akhirnya memutuskan untuk tidak datang ke pesta pernikahanku. Ia sepertinya masih marah padaku, berpikir bahwa aku yang diam-diam sudah merebut pacarnya.

Kau mungkin menganggapku jahat. Tapi aku punya ceritanya.

Pagi itu aku sedang menjelaskan sesuatu yang penting padanya ketika ponselnya berdering. Agak mengganggu memang, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Mungkin itu panggilan penting dan mendesak. Aku bahkan membiarkannya menjawab pesan WhatsApp ketika aku melanjutkan penjelasanku. Namun, karena terlalu sering, aku pun bertanya padanya,

“Siapa?”

Temanku memintaku menunggu sebentar, sementara ia menyelesaikan mengetik pesannya. Barulah setelah itu, tanpa minta maaf, ia menjawab,

“Pacarku.”

Aku bisa memaklumi jika ia lebih mengutamakan pacarnya ketimbang temannya yang sudah dikenalnya bertahun-tahun. Apalagi, seingatku ia belum pernah pacaran sama sekali. Jadinya perempuan itu pastilah pacar pertamanya. Yang kucemaskan hanya, bagaimana jika yang dihadapinya orang lain? Misalnya, ketika ia sedang dalam pembicaraan bisnis penting. Kupikir, temanku harus mendapatkan pelajaran dari keteledorannya. Oleh karenanya, tanpa bermaksud menyinggungnya, aku berkata,

“Kawan, seandainya kau dalam pertemuan penting, misalnya bertemu presiden, apakah kau masih akan membalas pesan dari pacarmu?”

Ia rupanya tahu arah pertanyaanku, karena ia menjawab, “Maafkan aku. Nanti, kalau pacarku mengirim pesan lagi, aku akan bilang padanya aku lagi ada urusan penting.”

“Terima kasih.”

Tapi aku sudah tidak tertarik lagi meneruskan penjelasanku yang terputus tadi.

Ia seharusnya menuruti nasihatku untuk tidak terburu-buru pacaran. Aku mengatakan itu supaya ia bisa fokus pada kuliahnya. Lagi pula, ia masih jadi tanggungan orang tuanya dan sudah seharusnya ia menggunakan uang orang tuanya untuk keperluan yang berhubungan dengan kuliahnya.

Ah, teman macam apa aku yang minta diperhatikan, padahal temanku baru saja tiba dari perjalanan jauh. Kenapa aku tidak membiarkannya bicara tentang dirinya seperti saat ia bicara tentang kuliah S2-nya di Inggris barusan? Aku berkata,

“Jadi, bagaimana kau bertemu pacarmu?”

Ia terlihat agak terkejut karena aku menanyakan itu. Kemudian ia tersenyum, lalu bercerita tentang pacarnya dengan wajah yang berseri-seri.

Sebagai teman yang baik, aku mendengarkannya dengan penuh perhatian—yang kadang-kadang diselingi anggukan, kata “Oh”, “Bagus”, dan “Semoga saja”.

Setelah setengah jam bercerita, ia menjedanya untuk pergi ke toilet.

Baru semenit ia pergi, ponselnya bunyi. Tiga kali. Ada pesan WhatsApp masuk. Tidak lama setelah itu ponselnya berdering. Dua kali. Karena kupikir itu panggilan penting, aku pun mengangkatnya.

“Halo,” kataku.

“Kenapa sih gak dijawab?” katanya kesal.

“Aku temannya. Ia lagi di kamar mandi.”

“Oh, maaf.”

Dari situlah awal perkenalanku dengan perempuan itu. Kurasa aku tidak perlu menjelaskan bagaimana aku bisa mendapatkan nomornya. Tiga hari kemudian, setelah kami saling kirim pesan WhatsApp dan menelpon, kami bertemu.

Dia cantik. Sangat cantik. Meski aku langsung tertarik padanya, aku menghormati temanku dengan tidak merebut pacarnya. Sampai akhirnya, kira-kira sebulan kemudian temanku datang ke rumahku dan memberitahuku bahwa ia baru saja putus. Atau lebih tepatnya diputus.

Kau pasti setuju, temanku tidak akan putus dengan pacarnya seandainya ia mengikuti nasihatku. Paling tidak, ia menghormati teman yang sudah dikenalnya lama ketimbang mengabaikannya demi seseorang yang baru dikenalnya.

Temanku memang sudah banyak berubah sejak terakhir kulihat empat tahun lalu. Selain tubuhnya yang bertambah gemuk dan rambutnya yang gondrong, ia tampak tidak bersemangat. Pagi itu ia menemuiku dengan badan lesu dan mata yang masih mengantuk sehingga membuatku merasa bersalah karena datang ke rumahnya di waktu yang tidak tepat.

“Kau terlihat sangat capek,” kataku. “Mungkin aku akan kembali besok.”

“Tidak apa-apa,” sahutnya. “Aku yang salah. Aku sebetulnya tadi sedang menunggumu, tapi aku malah ketiduran.”

Sudah seharusnya, kataku dalam hati. Kupikir ia sudah lupa nasihatku tentang seseorang yang harus berkomitmen pada janjinya.

“Jadi, bagaimana kabarmu?”

“Baik. Kau?”

Obrolan kami terasa kaku, padahal aku sudah memancingnya dengan banyak bertanya. Ia lebih banyak diam, pandangannya kosong, dan menjawab pertanyaanku seadanya. Aku paham ia baru saja pulang dari perjalanan jauh, tapi kalau ia tidak ingin bertemu denganku, tinggal bilang saja. Aku tidak akan marah. Justru sebaliknya. Hal itu menunjukkan bahwa ia punya pendirian, seperti yang pernah kukatakan padanya.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, setelah kami saling terdiam, ia berkata, “Aku ada sesuatu buatmu.” Ia pergi ke kamarnya dan kembali dengan membawa dua kantong oleh-oleh yang seharusnya diberikannya padaku dari tadi.

“Kau tidak perlu repot-repot.”

Aku mengeluarkan sepasang sandal kulit dan dua stel kaus bermotif dari dalam kantong. Di kantong lain ada empat kotak bakpia di dalamnya.

“Aku lupa ukuran kakimu. 41 atau 42,” ia berkata. “Tapi aku yakin sandalnya pas di kakimu.”

“Kau seharusnya memberiku mentahnya saja, Kawan,” kataku yang terdengar seperti bercanda, padahal serius. Aku memang lagi butuh uang. “Ibumu bilang kau akan langsung lanjut S2 tanpa kerja dulu.”

“Iya. Aku akan ambil gelar masterku di luar negeri,” jawabnya antusias. “Aku sudah lama ingin kuliah di Inggris. Lagi pula, kautahu sendiri kan, aku penggemar berat Chelsea. Aku bisa mengunjungi Stamford Bridge setiap minggu. Apalagi aku berencana kuliah di London. Kebetulan ada beberapa teman kampusku juga punya rencana lanjut kuliah di sana.”

Aku heran. Ia sangat bersemangat saat bercerita tentang dirinya, tapi mengabaikanku saat giliranku bicara.

“Dengar, Kawan,” kataku. “Selama dua belas tahun kau sekolah ditambah empat tahun kuliah kau selalu dibiayai orang tuamu. Apa kau tidak berniat membiayai kuliah S2-mu dengan uangmu sendiri?”

“Tentu.”

“Aku sarankan kau kerja dulu. Buat cari pengalaman. Uang gajimu ditabung buat biaya S2-mu.”

“Kau benar. Tapi aku bisa ambil beasiswa. Aku sudah menemukan beberapa informasi tentang itu.”

“Beasiswa? Ya ampun. Kau memang pintar, tapi kau tidak pernah memikirkan hal terburuk. Kau tidak pernah merasakan sulitnya mencari uang karena orang tuamu kaya raya. Tapi bagaimana jika bisnis ayahmu bangkrut? Oke, anggap saja kaudapat beasiswa, lalu bagaimana kau membiayai hidupmu di sana? Bagaimana kau membayar tiket nonton pertandingan Chelsea tiap minggu? Apa kau pernah memikirkan itu?”

Ia terlihat bodoh ketika aku sedang menasihatinya. Yang dilakukannya hanya diam dan menunduk. Bagaimanapun, aku adalah temannya, dan tugas seorang teman adalah memberi nasihat yang baik. Aku tidak pernah bosan mengatakan padanya tentang pentingnya menjadi seorang laki-laki sejati—laki-laki mandiri yang tidak bergantung pada orang lain. Dalam hal ini, tanpa bermaksud membanggakan diri, aku sering menjadikan diriku sebagai contoh untuk menjelaskannya.

“Begini, Kawan,” aku melanjutkan. “Kautahu sendiri kan, aku sudah bekerja sejak SD. Aku pernah jualan kue dan jadi penjaga bola tenis, dan sekarang aku sudah nyaman bekerja di Jakarta. Aku yang menggantikan ayahku jadi pencari nafkah. Aku membiayai tiga adikku yang masih sekolah. Aku yang membayar tagihan listrik. Aku juga yang membeli segala keperluan di rumah. Sekarang orang tuaku bisa menikmati hari tuanya tanpa memikirkan beban membiayai anak-anaknya. Tidakkah kaupunya keinginan untuk membahagiakan orang tuamu?”

Aku menjedanya sejenak untuk memberikannya kesempatan menjawab. Tapi ia diam saja.

Aku memang pernah beberapa kali menceritakan pengalamanku padanya. Tapi tidak ada salahnya aku mengulangnya lagi, bukan? Manusia itu tempatnya lupa, apalagi kami sudah lama tidak bertemu.

Aku baru akan melanjutkan penjelasanku ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Itu telepon dari pacarnya. Kronologis selanjutnya seperti yang pernah kuceritakan padamu.

Aku merindukan temanku yang lama. Jauh sebelum hari itu, sebelum ia pergi ke Jogja untuk kuliah, ia selalu mendengarkan nasihatku. Ia tahu semua ucapanku benar. Namun, waktu dan jarak membuatnya banyak berubah. Empat tahun! Sungguh waktu yang teramat lama. Bahkan, pekerjaan membuatku tidak bisa menemuinya saat ia pulang ke rumahnya.

Makanya aku gembira saat menerima pesan WhatsApp darinya pagi itu. Ia berkata, “Aku masih di kereta, sebentar lagi sampai di stasiun Bekasi.”

Aku memang sangat merindukannya dan berharap ia membawa cerita-cerita bahagianya. Aku menduga-duga seperti apa penampilannya. Apakah ia bertambah gemuk seperti fotonya di Instagram? Apakah ia juga merindukan teman lamanya ini?

“Mau ketemu?” balasku, tidak sabar ingin bertemu dengannya.

“Tentu. Datang saja ke rumah.”

“Ok. Aku akan sampai di rumahmu jam 10.35.”

“Bukannya kau sedang bekerja?”

“Tidak masalah.”

Aku membereskan meja kerjaku, mematikan komputer, dan berbohong pada bosku bahwa, kemarin nenekku jatuh terpleset di kamar mandi, kakinya patah dan sudah diobati di rumah sakit, dan aku diminta menjemputnya pulang.

Aku naik bus, macet membuatku sepuluh menit terlambat dari perkiraan. Aku memencet bel rumah temanku. Asisten rumah tangga yang membukakan pintu pagar untukku, membawaku ke ruang tamu, lalu mempersilahkanku duduk.

Aku pernah berada di ruangan itu empat tahun lalu, sehari sebelum temanku berangkat kuliah. Aku ingat foto-foto temanku dan orang tuanya di atas rak. Di bagian kanan foto-foto mereka di Belanda, Jerman, dan Prancis. Di bagian tengah foto-foto mereka di Jepang dan Korea. Foto-foto di sebelah kiri saat mereka di Amerika. Pagi itu, foto-foto itu sudah tidak ada lagi. Bahkan, rak hiasan itu sudah berganti jadi rak buku yang diisi buku-buku yang tidak kumengerti.

Tapi aku lebih mengingat apa yang kupikirkan saat itu. Aku mencemaskan temanku yang akan berada di tempat jauh tanpa teman baiknya. Oleh karenanya, aku memberikannya banyak nasihat supaya ia bisa menjaga diri dan mandiri selama berada di tempat barunya nanti.

*

Aku tidak pernah bertemu temanku lagi sejak terakhir kali datang ke rumahnya satu setengah bulan lalu.

Siang itu aku memberikan kartu undangan pernikahanku untuknya. Ia terlihat sangat senang waktu kuberitahu aku akan menikah. Bahkan, ia mengucapkan selamat untukku. Tapi wajahnya berubah muram begitu membacanya, dan untuk beberapa lama ia hanya menatapnya. Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya.

“Ba-bagaimana kau bisa kenal dia?” tanyanya.

Aku menjawabnya dengan jujur dan tanpa ada satu pun yang kututupi, dan mengatakan padanya bahwa aku sama sekali tidak berniat merebut pacarnya. “Dia duluan yang suka padaku,” kataku.

Tapi ia diam saja. Raut wajahnya terlihat datar, matanya memandang ke satu titik di luar sana, seakan-akan sedang merenungi kesalahannya.

Aku paham jika teman baikku akhirnya memutuskan untuk tidak datang ke pesta pernikahanku. Ia sepertinya masih marah padaku, berpikir bahwa aku yang diam-diam sudah merebut pacarnya.

Kau mungkin menganggapku jahat. Tapi aku punya ceritanya.

*      *      *

Don`t copy text!