Hamdan

Rabu pagi itu, setelah diumumkan kelulusan, Kepala Sekolah memberi wejangan kepada kami. Katanya, kami seperti orang yang membeli koran. Masing-masing punya tujuannya. Ada yang beli koran untuk mencari lowongan kerja. Ada yang untuk alas dagangan. Ada juga yang untuk alas tidur. Kami yang memutuskan untuk dijadikan apa koran itu.

Meski tidak dijelaskan, aku paham maksudnya. Namun, ia melewatkan sesuatu. Yakni, ada yang beli koran untuk dibaca. Mungkin ia sengaja tidak menyebutkannya, mengingat kami lulusan STM yang kemungkinan besar akan bekerja di pabrik.

*

Hamdan tiba di rumahku pukul 07.25, waktu aku sedang sarapan. Ia datang naik sepeda. Aku membukakan pintu pagar untuknya, memintanya menaruh sepedanya di sebuah ruang kosong di pojok teras.

“Ayo masuk,”  kataku. “Duduk di dalam.”

Ia melepas sepatunya, membariskannya bersama tiga pasang sandal di bawah jendela, masuk ke ruang tamu, kemudian duduk di kursi di sampingku. Ia mengenakan setelan pencari kerja; kemeja putih lengan pendek dan celana panjang hitam; dan membawa sisir kecil di saku kemejanya.

“Sudah sarapan?” tanyaku.

“Sudah,” jawabnya, menepuk perutnya. “Makan nasi uduk.”

Ibunya pernah jualan nasi uduk, sebelum meninggal. Sekarang ia tinggal bersama ayah dan tiga adiknya.

Ia membuka tasnya, mengeluarkan amplop coklat besar, mengeluarkan berkas-berkas, memeriksanya satu per satu. Aku memperhatikannya sambil makan.

“Fotonya 3×4, kan?” tanyaku.

“2×3, buat di kartu kuning. Kalau buat lamar kerja, pakai yang 3×4.”

Ia membawa banyak pas foto berbagai ukuran, berlembar-lembar foto kopi ijazah dan berkas lainnya. Sepertinya, ia tidak ingin melewatkan melamar satu lowongan kerja pun nanti.

“Mau minum apa?” tanyaku usai sarapan. “Kopi, teh manis, susu?”

“Tidak usah repot-repot.”

Aku kembali dari dapur membawa segelas air putih untuknya.

Kami berangkat pukul 08.10. Aku membawa dokumen yang sama, hanya lebih sedikit, yang kutaruh ke dalam tas Hamdan. Kami jalan kaki menuju kantor Depnaker. Matahari bersinar terik, tetanggaku yang sedang menjemur pakaian berkata, “Kerja di mana?” Ia tidak salah bertanya begitu. Tidak seperti Hamdan, aku memakai kemeja biru lengan panjang dan celana panjang biru tua, sehingga lebih terlihat seperti karyawan ketimbang pencari kerja.

“La Copa de la Vida” terdengar sambung-menyambung dari TV di rumah-rumah yang kami lewati. Kami menyeberang jalan raya naik JPO, masuk ke komplek Pemda, bergabung dengan orang-orang berpakaian hitam-putih yang bertebaran di sepanjang jalan depan kantor Depnaker, yang duduk-duduk berkelompok di pinggir jalan, memenuhi gerobak sarapan dan mengerumuni papan pengumuman.

Kami bertemu tiga teman sekolah kami dan seorang senior dua tahun di atas kami yang masih menganggur bernama Roby. Roby mengenakan kaus, celana jins dan sandal, dan tidak terlihat seperti orang yang sedang mencari kerja.

“Loket kartu kuning buka jam sembilan,” kata Roby.

Tapi tidak ada dari kami yang bawa jam tangan. Kami melihat berkeliling dan menemukan jam dinding di atas pintu kantor Depnaker. Masih dua puluh menit lagi.

Kami duduk di atas rumput di tepi selokan, di belakang deretan gerobak makanan yang dipadati orang-orang yang sedang sarapan. Roby mengedarkan bungkus rokok, masing-masing mengambil satu batang, lalu menyalakannya bergantian. Hanya aku dan Hamdan yang tidak merokok. Kami berbagi kabar teman-teman yang lain. Roby mengeluarkan buku kecil dari tas pinggangnya, memberitahu kami beberapa lowongan kerja di pabrik di Cikarang. Aku mencatat nama perusahaan, posisi dan alamatnya, dan berencana akan mengirimkan surat lamaran lewat pos besok.

Loket pembuatan kartu kuning baru dibuka pukul 09.15, sebentar saja antriannya sudah memanjang. Kami memilih menunggu antrian agak sepi. Roby mentraktir kami mie ayam dan air minum. Ia tidak terlihat seperti orang yang mencemaskan status penganggurannya. Ia punya sepeda motor dan uang. Tidak heran. Ada yang bilang bapaknya seorang pejabat di Kejaksaan Agung. Roby pamit sekitar pukul sepuluh. Katanya ada urusan penting. Ia menyalami kami, mengucapkan semoga cepat dapat kerja. Kami memperhatikannya jalan ke parkiran, menaiki RX King-nya, hingga ia menghilang di keramaian.

Kami mendapatkan kartu kuning kami setelah menunggu dua jam. Seorang petugas menempel poster lowongan kerja di papan pengumuman. Dalam sekejap, papan pengumuman sudah dikerumuni para pencari kerja.

Ketika Hamdan datang lagi ke rumahku besok paginya, ia sudah tahu tempat ia memarkir sepedanya. Ia mengenakan setelan yang sama seperti kemarin. Kami berangkat pukul sembilan, ibuku membekaliku lima ribu rupiah.

“La Copa de la Vida” terdengar di setiap rumah yang kami lewati. Kami mampir ke kantor pos sebelum ke kantor Depnaker. Pasukan hitam-putih lebih banyak dari kemarin. Kami duduk di selasar gedung, bergabung dengan sekumpulan pencari kerja lainnya, saling berkenalan, mengobrol, melempar lelucon pengangguran. Lelucon yang kumaksud seperti ini:

“Ada lowongan di restoran seafood. Gajinya besar. Kerjanya gampang.”

“Jadi apa? Koki?”

“Bukan.”

“Pelayan?”

“Bukan.”

“Aku nyerah. Jadi apa?”

“Giring keong lima ratus meter.”

Petugas Depnaker memasang beberapa poster lowongan kerja baru, kami bergegas bangkit dan pergi ke papan pengumuman. Ada tiga lowongan kerja sebagai operator produksi, satu lowongan sebagai admin, dan satu lowongan sebagai pelayan di restoran. Aku hanya mencatat semua lowongan sebagai operator. Hamdan mencatat semuanya.

Tidak lama setelah itu, terdengar pemberitahuan pengumpulan surat lamaran kerja untuk PT. XXXX dan PT. YYYY lewat pengeras suara. Kerumunan di papan pengumuman menyusut, pasukan hitam putih berpindah tempat, berbaris di depan meja petugas. Hamdan ada dalam antrian itu. Aku tidak.

Kami ke kantor Depnaker lagi lusanya dan libur di hari Jumat. Seninnya, kami bertemu teman sekelas kami di kantor Depnaker. Ia memberitahu ada lowongan kerja di sebuah pabrik di Cikarang.

“Aku sudah taruh lamaran di sana,” katanya, “datang langsung ke pabriknya kemarin.”

Kami pergi ke sana Selasa pagi, naik angkot Elf, masing-masing membawa botol minuman, beberapa surat lamaran dan harapan bisa segera diterima kerja. Itu hari pertama kami ke kawasan industri. Tempatnya sangat luas, rapih dan sepi. Hanya jalanan yang diramaikan truk dan kontainer. Kami jalan lumayan jauh ke pabrik yang kami tuju. Namun, setibanya di sana satpam pabrik bilang tidak ada lowongan kerja. Dengan agak memaksa, kami mengatakan kami datang dari jauh. Merasa kasihan, ia menerima dua amplop cokelat kami.

Kami berpapasan dengan rombongan pencari kerja lain di jalan. Mereka dengan senang hati berbagi informasi lowongan kerja kepada kami. Kami menulis nama perusahaan di surat amplop lamaran, kemudian pergi ke pabriknya yang tidak terlalu jauh dari situ dan menitip surat lamaran kami di pos satpam. Usai dari situ kami menjelajahi kawasan industri, siapa tahu ada lowongan kerja lain, lalu duduk beristirahat di bawah pohon rindang sambil memandangi deretan pabrik-pabrik di depan kami, membayangkan kami bekerja di salah satu pabrik itu.

Besoknya, Hamdan tidak datang ke rumahku. Ia muncul lagi lusanya, dan sejak hari itu, selama dua atau tiga bulan, ia hampir setiap hari datang ke rumahku dengan sepeda hitamnya. Ia hanya absen di hari Sabtu, Minggu, dan tanggal merah. Meski begitu, ia tidak mesti mampir untuk pergi ke kantor Depnaker. Ia kadang-kadang menghabiskan waktunya di rumahku, untuk mencari lowongan kerja di koran atau sekedar mengobrol denganku.

Sama sepertiku, menjadi anak pertama pastinya membuatnya terbebani. Apalagi, setelah mendengar satu per satu teman kami mulai dapat kerja. Memang, tidak semuanya bekerja di pabrik. Ada yang bekerja sebagai SPB di mal. Ada yang bekerja di POM Bensin. Ada juga yang bekerja di restoran. Hal itu tentu saja memotivasinya untuk lebih giat lagi mencari lowongan kerja.

Tapi aku duluan yang dapat panggilan wawancara kerja. Maklum, lewat jalur dalam, kenalan ayahku. Meski begitu, sedikit kemampuan bahasa Inggris dan komputer juga ikut membantuku. Kalau lolos nantinya, aku akan kerja di gedung 30 lantai di Jakarta, sebagai staf admin. Saat kuberitahu Hamdan, wajahnya tampak terkejut. Bukan karena iri, kurasa. Hanya, ia mungkin sedang berpikir bagaimana ia akan menitipkan sepedanya seandainya aku sudah kerja nanti? Karena itu, aku kemudian berkata,

“Kau bisa menitipkan sepedamu lewat ibuku.”

Ia tampak senang mendengarnya. Untuk memastikannya, ia berkata, “Boleh?”

“Boleh.”

“Nggak ngerepotin?”

Aku menggeleng. “Nggak.”

Ketika aku mulai bekerja Senin depannya di tanggal 7 September itu, Hamdan tidak datang ke rumahku hari itu. Tidak juga besoknya, lusanya, atau hari-hari setelah itu. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya, apakah ia sudah kerja atau belum? Pun tidak mencari tahu. Pekerjaan membuatku sangat sibuk. Aku baru tahu kabarnya di akhir Oktober, usai pulang kerja. Ibuku yang memberitahu. Dia berkata,

“Teman kamu yang pakai kacamata datang tadi pagi. Nitip sepeda lagi.”

*      *      *

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Don`t copy text!