Firasat
Lima hari lalu, sebuah bus yang ditumpangi murid-murid SMA meluncur ke dalam jurang. Ada tujuh murid yang tewas. Seorang ibu mengira putranya salah satu korban yang tewas. Namun, ketika dia mendapat kabar lain bahwa ada dua puluh satu murid lainnya selamat, dia berharap putranya jadi salah satu yang selamat.
Doanya terjawab keesokannya. Putranya selamat.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, wanita itu berkata pada suaminya bahwa dia seharusnya berdoa supaya putranya ditemukan selamat dan sehat wal afiat—bukan sekedar ditemukan hidup. Oleh karenanya, sementara suaminya menunggui putranya dioperasi, dia mengundang tetangga, guru-guru dan teman-teman putranya untuk mengaji dan mendoakan kesembuhan putranya.
Dia melewati malam dengan menangis dan berdoa, dan baru tidur sekitar jam tiga setelah suaminya memberitahu operasinya berhasil. Paginya, putrinya membangunkannya jam lima, mengingatkannya jika mereka akan pergi ke rumah sakit jam enam.
Dia bangkit, berjalan menuju kamar mandi, menggosok gigi, berwudu, salat subuh, dan berdoa lumayan lama. Mereka pergi ke rumah sakit naik taksi online, dan tiba di rumah sakit setengah jam kemudian. Dia bertemu suaminya yang sedang sarapan di kantin.
Keesokan sorenya, ketika dia diperbolehkan menengok putranya, dia melihat putranya sudah berbalut perban di kepala. Tidak ada tanda-tanda sang putra bisa bergerak atau bicara. Namun, dia yakin putranya akan baik-baik saja.
Lusanya dia mengadakan pengajian lagi. Yang diundangnya jauh lebih banyak, dengan doa yang jauh lebih lama. Doanya terjawab keesokannya, di malam saat dia menemani putranya, saat dia terbangun begitu saja dan mendapatkan tangan putranya sudah berada di atas tangannya.
Paginya, putranya bahkan terlihat lebih baik. Putranya memintanya untuk beberes rumah dan menyiapkan banyak makanan. Katanya, nanti banyak tamu yang datang. Wanita itu tersenyum, menyangka putranya akan segera pulih.
Akan tetapi, satu jam setelah itu, ketika dia baru saja selesai sarapan, sesuatu yang buruk terjadi. Dia melihat putranya kesulitan bernafas, wajahnya memerah, tubuhnya mengejang, lalu meninggal.
Putranya dipulangkan jam sebelas, diistirahatkan sebentar sebelum dimandikan dan dikafani. Kepada orang yang datang menghiburnya, wanita itu menceritakan pesan putranya sesaat sebelum meninggal. Dia meyakini pesan tersebut sebagai firasat, tetapi dia membiarkan orang lain yang mengatakannya.
Putranya bernama Geri, teman sekelas kami. Kami satu bis dengannya saat pulang study tour di hari nahas itu. Geri duduk di kursi paling depan dekat pintu. Hampir semua yang meninggal di tempat adalah teman-teman kami yang duduk di bagian depan.
Sejak tahu Geri masih hidup, kami datang untuk menemaninya. Kami senang saat melihatnya terbangun dari komanya, menggerakkan tangannya dan meletakkannya di atas tangan ibunya. Geri bahkan bisa melihat kami.
“Kami datang untuk menengokmu,” kataku. “Yang lain akan datang menyusul setelah kau keluar dari tempat ini. Kau akan segera pulih, Kawan.”
“Kalian akan datang ke rumahku?”
“Tentu. Kami akan datang ke rumahmu.”
* * *