Armand
Waktu usia kami enam, tujuh dan delapan tahun, ada seorang pemuda bernama Armand yang biasa memberikan kami uang lima ratus rupiah atau permen, bermain tebak-tebakan, mengaji, membuat kami tertawa, takut dan terpukau dengan cerita-cerita, atau memainkan trik sulap usai salat asar di masjid—kami terkagum-kagum saat ia mencopot jempol dari tangannya.
Apa yang kami ingat tentang Armand saat itu yakni usianya tidak lebih dari tujuh belas atau delapan belas tahun, kurus dan tinggi, wajahnya cekung dengan tahi lalat kecil di pipi kanan, dan selalu tersenyum. Ia memakai kemeja biru lusuh dengan lengan panjang yang digulung dan peci haji yang sama setiap kali kami bertemu, membuat kami bertanya-tanya apakah ia tidak punya pakaian yang lain?
Pertama kali bertemu dengan Armand ketika kami sedang berangkat pergi bermain. Ia yang sedang menyapu halaman masjid memanggil kami, dan berkata,
“Kalian sudah zuhur?”
“Sudah,” jawab kami.
“Bagus. Kalian mau buah? Apel? Mangga? Belimbing?”
Kami saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya Armand yang memilihkan untuk kami. Ia mengambil belimbing di lapak buahnya di depan masjid dan diberikannya kepada kami.
“Nah, ini. Ambil satu-satu. Abang yang tanam belimbing itu.”
“Terima kasih, Bang,” kata kami saat menerimanya.
Kami heran kenapa kami yang baru dikenalnya diberikan buah yang masih dijualnya. Suatu hari, sesudah agak lama mengenal Armand, kami pernah menanyakannya alasannya. Ia menjawab, bahwa ia senang melakukannya. Jawabannya membuat kami bertambah bingung. Kami berpikir, bagaimana ia dapat untung jika sering memberikan barang dagangannya kepada orang lain? Ketika kami menanyakan itu, ia lagi-lagi memberikan jawaban yang membingungkan.
“Kalian lihat Abang masih jualan, kan?”
Kami mengangguk.
“Kemarin Abang jualan. Kemarin lusa Abang jualan. Minggu lalu Abang juga jualan. Sekarang pun jualan. Paham tidak?”
Kami mengangguk dengan agak ragu, berkata, “Paham.”
Besoknya, kami bertemu ia lagi di waktu yang sama, dan ia memberikan kami buah lagi. Lusanya, kami bertemu ia lagi usai kami bermain bola di lapangan.
“Sudah asar?” tanyanya.
“Belum.”
“Salat dulu sana. Nanti balik lagi ke sini.”
Usai salat, kami pun datang menemuinya.
“Dagangan Abang habis. Laris dibeli kepala desa buat rapat. Makanya Abang mau bagi-bagi rejeki.” Ia mengeluarkan empat lembar lima ratus rupiah yang diberikannya kepada kami. “Kalian suka dengar cerita? Dongeng? Pernah lihat sulap?”
Hari-hari sesudah hari itu selama enam bulan selepas asar, kami selalu menghadiri majelis Armand untuk mendengarkannya bercerita, bermain sulap, bermain tebak-tebakan, dan sedikit mengaji. Ia tidak pernah menceritakan cerita yang sama. Ada kalanya cerita itu dibuatnya sendiri. Ada kalanya diambil dari buku yang pernah dibacanya. Darinya kami kenal Hans Christian Andersen, dan kami menyesal mendengar cerita Gadis Korek Api yang menyedihkan itu. Tentu saja ada hari-hari di mana kami tidak hadir karena berbagai alasan. Meski begitu, Armand selalu ada di masjid.
Sampai suatu hari, di hari Rabu di awal Agustus itu, untuk pertama kalinya Armand tidak terlihat di masjid. Kami menengok lapaknya yang kosong saat berjalan ke rumah dan mengira ia mungkin sedang sibuk di rumahnya, atau sedang sakit. Ia masih tidak terlihat di masjid besoknya dan lusanya. Dan di hari Jumat itu, selepas salat Jumat, kami mulai bertanya-tanya tentang Armand pada orang-orang yang dagang di dekat lapaknya. Memang, ada beberapa orang yang tahu Armand, tapi tidak ada yang tahu kabarnya. Hari Sabtu minggu depannya, kami memutuskan berkunjung ke rumahnya.
Kami pergi naik sepeda sampai ke ujung desa, tempat yang dibilang Armand letak rumahnya. Jaraknya lumayan jauh, hampir satu jam. Untungnya kami membawa air minum. Rumahnya berada di luar desa, tetapi tidak lebih dekat ke desa tetangga. Meski terletak di tepi hamparan ilalang, tempatnya tidak bisa dibilang sepi karena setiap pagi orang-orang dari desa tetangga melewati jalur itu untuk pergi ke pasar atau sekolah. Karena hanya ada satu rumah di tempat itu, kami memastikan rumah berpagar bambu yang ditumbuhi berbagai pepohonan itu adalah rumahnya. Seorang wanita tua, yang kami sangka ibunya, keluar dari dalam rumah setelah kami mengucap salam beberapa kali.
“Kalian siapa?” tanya wanita tua itu dengan nada ketus setelah menjawab salam kami. Awalnya kami mengira dia seorang wanita tua tidak ramah yang risih dengan kehadiran anak-anak. Dia agak gemuk dan pendek, garis-garis mukanya yang tajam serta matanya yang melotot sudah memberikan gambaran bahwa kami harus berhati-hati bicara dengannya.
“Kami … kami murid ngajinya,” jawab salah seorang dari kami, yang sebetulnya agak sulit memposisikan Armand sebagai guru ngaji mengingat ia lebih banyak bercerita atau bermain tebak-tebakan ketimbang mengaji.
Wanita tua itu membuka pintu pagar dan mempersilahkan kami masuk.
Kami memarkir sepeda di dekat pagar, lalu melihat-lihat kebunnya yang rimbun. Dua bocah laki-laki mengintip dari balik jendela.
“Armand yang menanam semua,” kata wanita tua itu.
“Di mana Armand?” tanya salah seorang dari kami.
“Pergi ke Jakarta,” jawabnya.
Kami paham, akan tetapi bukan kabar itu yang ingin kami dengar—sejujurnya kami juga tidak tahu cerita apa yang ingin kami dengar. Kami hanya ingin bertemu dengannya, mendengarnya bercerita, melihatnya memainkan trik sulap, atau bermain tebak-tebakan dengannya.
“Anda ibunya?”
“Bukan. Bukan juga bibinya atau kerabatnya.”
Setelah mendengar jawabannya, kami pikir kami tidak perlu berlama-lama di rumah itu. Namun, ketika kami akan pergi, wanita tua itu menahan kami. “Tunggu sebentar,” katanya. Dia masuk ke rumah dan kembali dengan nampan berisi kue dan air minum. “Kalian sudah bersusah payah kemari, duduklah dulu, nanti kuceritakan tentang Armand.”
Dia benar. Kami masih lelah kalau harus mengayuh sepeda lagi ke rumah. Apalagi, kami lumayan haus dan kue-kue itu terlihat sangat lezat. Kami mengambil cangkir itu dan meminumnya pelan-pelan. Tapi kami tidak mengambil kue-kue itu sebelum salah satu diantara kami yang mengambilnya duluan.
“Makanlah. Tidak apa-apa,” kata wanita itu, tersenyum.
Barulah setelah itu kami mengambil kue itu dan memakannya. Sungguh, ini kue yang lezat.
Wanita tua itu menarik bangku kayu panjang, lalu duduk di situ. Dia memanggil dua bocah balita laki-laki di dalam rumah, yang kemudian diperkenalkan kepada kami sebagai cucu kembarnya; namanya Ilyas dan Ilyasa. Kedua bocah itu menyalami dan menciumi tangan kami, setelah itu mereka duduk di samping wanita tua itu. Tapi wanita tua itu malah menyuruh mereka menggambar di dalam. Setelah keduanya pergi, wanita tua itu pun memulai ceritanya.
“Kami datang ke kampung ini delapan bulan lalu. Bekal kami habis di jalan. Untuk bertahan hidup kami meminta belas kasihan orang-orang di jalan. Sungguh, kalau tidak benar-benar terpaksa, aku tidak akan mengemis. Kasihan cucuku. orang-orang memberi kami seratus atau dua ratus perak, tapi ibunya Armand memberi kami perut kenyang. Dia mengajak kami masuk ke rumahnya dan menyuruh kami makan makanan yang sudah tersaji di meja. Hari itu, kami bisa makan enak lagi. Asal kalian tahu, ibunya Armand sebetulnya tidak bernasib lebih baik dari kami; badannya lumpuh sebelah dan dia memakai tongkat. Tapi seperti kubilang, dia sangat baik.
“Waktu kami akan pamit, dia menanyakan tujuan kami. Lalu, setelah kuceritakan kenapa kami bisa sampai di tempat ini, dia memberikan kami tempat untuk menginap. Kami memakai kamar Armand, sementara Armand tidur di ruang tamu. Dia juga memberikanku bajunya yang masih bagus, dan besoknya Armand membelikan baju untuk kedua cucuku. Aku tidak berpikir dari mana ia mendapatkan uang begitu banyak, sampai suatu hari aku tahu hidup mereka ternyata pas-pasan—saat itu aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Armand berkata, bahwa ia tidak punya cukup uang untuk membeli obat-obatan buat ibunya. Tentunya, hal itu membuatku sedih.
“Saat kuutarakan niat kami untuk pergi supaya tidak merepotkan mereka, perempuan itu berkata, ‘Jangan pergi. Padang sangat luas dan kau belum tahu tujuanmu. Tinggal saja beberapa hari lagi. Biarkan Armand yang mencari tahu dulu keberadaan menantumu nanti, sudah itu kau baru boleh pergi. Lagi pula, Ilyas dan Ilyasa sudah mulai kerasan di sini.’ Kalau begitu, kataku, biarkan aku bekerja membantu kalian. Lalu, dipekerjakanlah aku untuk menjaga perempuan itu dan membantunya memasak di dapur.”
Dia menjeda ceritanya sejenak. Mungkin sedang berpikir apakah dia salah menceritakan itu kepada anak-anak berusia enam, tujuh dan delapan tahun, karena kemudian dia berkata, “Kalian paham apa yang barusan kuceritakan, kan?”
Kami mengangguk.
“Aku ambilkan minum lagi buat kalian.” Dia bangkit dan pergi ke dalam rumah dan kembali dengan membawa air dan tambahan kue. “Kebetulan hari ini aku memasak cukup banyak. Kue-kue ini juga kubagikan pada orang yang lewat. Dari sinilah aku bisa kenal banyak orang. Makanlah.”
Kami sudah tidak ragu-ragu lagi mengambil kuenya. Wanita tua ini memang pandai memasak.
“Tadinya kukira aku bisa menjaga ibunya Armand,” dia meneruskan. “Tapi sungguh, dia tidak pernah merepotkan. Dia melakukan apa-apa sendiri, dan untuk pekerjaan yang tidak bisa dilakukannya sendiri, Armand selalu ada di sisinya. Kadang, aku berpikir jika kami sedang disandera oleh kebaikan mereka. Di sini, setiap jengkal tanahnya dimanfaatkan. Armand membagi lahan di rumahnya jadi beberapa bagian. Ada lahan untuk pohon buah, sayuran, pohon obat, pohon bumbu dapur, dan bunga-bunga.”
Ceritanya terhenti lagi karena kedatangan Ilyas dan Ilyasa yang memamerkan gambar mereka kepada kami. Masing-masing dari kami memuji hasil gambarnya, dan kedua bocah itu pun terlihat senang. Wanita tua itu menyuruhnya kembali lagi ke dalam. Dia bilang dia mau mengobrol sebentar dengan kami. Mereka pun menurutinya. Sambil memandangi mereka, wanita tua itu melanjutkan ceritanya.
“Entah karena alasan apa ibu mereka meninggalkan mereka sejak mereka masih bayi. Ayah mereka—putraku—mati karena kecelakaan motor. Aku yang merawat mereka sejak saat itu. Setahun lalu aku memutuskan mencari ibu mereka ke Padang, berharap, dengan menemuinya, pikirannya akan berubah setelah melihat kedua anaknya tumbuh sehat dan cerdas. Tapi aku kesulitan mencarinya tanpa alamat lengkap. Selain itu, aku juga tidak punya banyak uang. Kami sempat tinggal di rumah kerabat kami sebelum akhirnya tiba di kampung ini. Aku memutuskan tidak mau merepotkan diri lagi mencari perempuan itu. Ilyas dan Ilyasa sudah betah di sini, terlebih sewaktu masih ada Armand. Mereka mungkin yang akan mencari ibu mereka setelah dewasa nanti. Tapi kuharap dia sudah mati saat itu.”
Kami terkejut mendengar dia menyumpah, tapi dia segera menyadari kesalahannya.
“Maafkan aku. Tidak baik menyumpahi orang lain. Maafkan aku.”
Kami terdiam—untuk menunggunya melanjutkan ceritanya, atau menunggunya mengusir kami.
“Waktu ibunya Armand meninggal, hanya beberapa orang saja yang membantu memakamkannya. Aku heran, untuk orang yang sebaik dia, kenapa tidak banyak orang yang menghadiri pemakamannya? Aku masih ingat pesannya kepada Armand sehari atau dua hari sebelum dia meninggal, yang tidak sengaja kudengar saat menyiram pohon di suatu pagi, yang mungkin akan kusampaikan kepada kedua cucuku kelak. Dia bilang, bahwa semua orang mampu berbuat baik, tapi hanya sedikit yang sanggup melakukannya. Ini hanya masalah kemauan. Kupikir, kalian juga harus ingat pesan itu baik-baik.
“Armand terlihat murung sejak ditinggal ibunya. Ia tidak pergi berdagang berhari-hari dan hampir-hampir tidak mengurus kebunnya. Tapi ia kemudian sadar, bahwa ada kami dan kebunnya yang harus diurusnya. Ilyas dan Ilyasa jadi penyemangatnya kembali. Juga kalian. Armand pernah bercerita tentang kalian. Ah, rupanya kalian anak-anak itu.” Wanita tua itu memandangi kami, dan tersenyum lama sebelum lanjut bercerita. “Armand mengajariku berkebun sampai aku benar-benar menguasainya. Seminggu lalu ia memutuskan pergi ke Padang untuk mencari ibunya Ilyas dan Ilyasa. Aku tidak kuasa mencegahnya karena ia bersikeras. Aku hanya memberinya sedikit petunjuk; nama perempuan itu dan tempat kerjanya. Dia bekerja toko roti atau pabriknya. Atau mungkin keduanya.
“Armand pergi pagi-pagi benar sehingga tidak sempat berpamitan dengan Ilyas dan Ilyasa. Kedua cucuku terus-terusan menanyakan Armand, sementara aku harus pintar memberikan jawabannya.”
Karena hari sudah terlanjur siang, wanita tua itu pun mengakhiri ceritanya. Dia khawatir orang tua kami akan mencari-cari kami. Sebelum pulang, dia membekali kami masing-masing sebungkus belimbing dan kue-kue, dan mengisi botol air minum kami.
Kami tidak membicarakan wanita tua itu atau Armand atau apa pun di sepanjang jalan. Perjalanan pulang kami lebih melelahkan karena matahari bersinar sangat terik, terlebih masing-masing terbebani membonceng satu orang dan melewati jalanan berbatu. Di tengah jalan kami beristirahat sejenak di bawah pohon rindang. Kami makan belimbing dan minum, setelah itu kami bergantian mengayuh sepeda.
Kami akui cerita wanita tua itu tentang Armand begitu memikat seperti halnya dongeng, akan tetapi kami hanya anak-anak yang berusia enam, tujuh dan delapan tahun, yang masih senang bermain-main, yang ada kalanya rajin, dan ada kalanya nakal.
Sebulan kemudian kami berkunjung lagi ke rumahnya, untuk sekedar menanyakan apakah sudah ada kabar dari Armand. Ilyas dan Ilyasa yang menyambut kami. Wanita tua itu, yang baru selesai masak, menjawab belum ada surat dari Armand. Ketika kami akan pergi, lagi-lagi wanita tua itu menjamu kami dengan kue-kue buatannya. Bukan hanya itu, dia juga mengajak kami memetik buah dan menikmati rujak di tengah-tengah kebun yang teduh itu. Dia terlihat jauh lebih ramah daripada waktu pertama kali kami bertemu. Ketika kami beranjak pulang, dia membekali kami dengan berbagai buah.
“Sering-seringlah main ke mari,” wanita tua itu berkata.
Kami kembali lagi minggu depannya dan minggu-minggu setelah itu. Setidaknya, kami berkunjung dua atau tiga kali dalam sebulan. Ilyas dan Ilyasa sangat senang dengan kedatangan kami, karena kami mengajaknya bermain dan menggambar. Setiap kali kami berkunjung, kami merasa rumah itu semakin dekat, dan kebaikan wanita tua itu juga semakin mirip Armand. Dia mengajari kami berkebun, membuatkan kami kue-kue, dan kadang-kadang bercerita untuk kami. Hanya saja dia tidak bisa bermain sulap.
Sampai di suatu hari Sabtu di bulan Desember, wanita tua itu membawa kabar yang sudah lama kami tunggu. Kami dengan antusias duduk mendengarkannya.
“Rabu kemarin aku dapat surat dari Armand,” wanita tua itu berkata. “Armand sudah sampai di Padang dan menemukan toko roti tempat perempuan itu bekerja. Tapi perempuan itu sudah lama pindah ke Medan. Armand pun pergi ke Medan. Selama dua atau tiga hari ia berkeliling kota Medan untuk mencarinya, tapi tidak juga ditemukannya. Namun, bukannya kembali ke sini, ia malah pergi ke Jakarta. Ya, suratnya ini dikirim dari Jakarta.” Wanita tua itu diam sejenak, lalu melanjutkan. “Kalian sudah tahu bagaimana baiknya Armand, tapi kebaikan yang satu ini sungguh keterlaluan. Armand memberikan rumahnya buat kami. Demi Allah, ia memberikan rumahnya buat kami.” Wanita itu sudah tidak bisa lagi menahan lagi air matanya, dan dia menangis di hadapan kami. “Aku bisa tunjukkan kepada kalian suratnya. “Semoga ia selalu dalam lindungan Allah.” Dia menunjukkan surat itu dan memberikannya pada kami untuk kami baca. Kami membacanya seperti orang dewasa yang paham segala hal, dan menyimpulkan bahwa Armand memang betul memberikan rumahnya untuk wanita tua itu.
Pada kunjungan kami yang entah keberapa, wanita tua itu sudah punya seorang pegawai yang membantunya di kebun. Pegawainya seorang pemuda pendiam yang sedikit lebih tua dari Armand. Wanita tua itu bilang pemuda itu datang ke rumahnya untuk meminta belimbingnya. Dia menjamu pemuda itu seperti yang dilakukan ibu Armand padanya. Ketika pemuda itu mengatakan ia sedang mencari pekerjaan, wanita tua itu mengangkatnya sebagai pegawainya.
Terakhir kali kami berkunjung ke rumah itu, wanita tua itu dan kedua cucunya sudah pergi. Pemuda pendiam itu yang selanjutnya menempati rumahnya. Ia bilang wanita tua itu pulang ke Bukittinggi. Menantunya, ibunya Ilyas dan Ilyasa, sudah kembali. Tidak dijelaskannya alasan perempuan itu kembali.
Pemuda itu tidak seperti Armand atau wanita tua itu. Ia bahkan tidak mempersilahkan kami masuk. Kami tidak pernah lagi ke rumah itu. Dan seiring berjalannya waktu, nama Armand, wanita tua itu, Ilyas dan Ilyasa terlupakan begitu saja. Mereka hanya jadi pengingat masa lalu beserta dongeng yang pernah diceritakan, trik-trik sulap yang pernah diajarkan, kebun buahnya yang teduh, kue-kue enak itu, dan rumah kayu itu. Kami sibuk dengan sekolah, bermain, dan membantu orang tua.
Bertahun-tahun kemudian, tiga dari kami sudah pergi merantau. Saat itu usia kami tujuh belas dan delapan belas tahun. Kami pergi bertahap. Yang pertama pergi sudah bekerja di sebuah pabrik Cikarang. Dua bulan setelahnya teman kami yang lain menyusul, ia mengadu nasib dengan berdagang pakaian di Tangerang. Setahun kemudian, yang paling muda dari kami melanjutkan kuliah di IKIP Jakarta di Rawamangun. Sedangkan satu-satunya dari kami yang tidak merantau meneruskan usaha kebun milik orang tuanya.
Kami tidak pernah bersama-sama lagi sejak saat itu, bahkan kami tidak saling bertemu di perantauan. Hanya, ada di antara kami yang bertemu di kampung saat lebaran. Barulah, bertahun-tahun kemudian kami bisa berkumpul bersama lagi. Pada saat itu kami sudah berusia dua puluh tiga, dua puluh empat, dan dua puluh lima. Masing-masing datang dengan perubahan fisik, finansial, dan cerita-cerita yang mengesankan. Yang bekerja di Cikarang sudah jadi kepala bagian dan pernah menginjakkan kakinya di Jepang. Yang berdagang pakaian sudah punya toko sendiri di Tangerang. Yang meneruskan usaha kebun orang tuanya sudah beralih jadi peternak kambing. Dan yang paling muda di antara kami baru saja mendapatkan pekerjaan pertamanya. Ia satu-satunya yang jadi sarjana, yang punya pengalaman paling menarik di antara kami, karena ia menceritakan kisah yang membawa kembali ingatan kami akan Armand. Begini kisahnya.
Waktu pertama kali tiba di Jakarta, ia benar-benar sendiri, tidak ada saudara atau kerabat yang bisa ditumpangi rumahnya. Ia tahu kami tinggal di Tangerang dan Cikarang, tapi Jakarta atau Cikarang terlalu luas untuk dijelajahi. Lagi pula, sudah jadi kebiasaannya yang tidak mau merepotkan orang lain, sehingga ia mesti pandai-pandai mengatur uangnya yang tidak banyak.
Untungnya, ia orangnya luwes sehingga mudah mendapatkan teman. Dengan bantuan sesama mahasiswa baru, ia tidak kesulitan mendapatkan tempat kos dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam waktu singkat saja ia sudah tahu banyak tempat di Jakarta dan terbiasa mengucapkan kata ‘gue’ dan ‘lu’.
Meski begitu, tentunya ada masa-masa sulit yang harus dilewatinya, terutama ketika ia sama sekali tidak memegang uang. Pernah suatu kali, karena lapar ia memberanikan diri menghampiri tukang mie ayam dan berkata bahwa ia rela mencuci piring demi semangkuk mie ayam. Tukang mie ayam yang baik hati itu berkata,
“Aku akan memberikanmu semangkuk mie ayam gratis dan kau tidak perlu cuci piring.”
Dari situlah ia teringat Armand, dan menyebut tukang mie ayam itu sebagai Armand.
“Itulah Armand pertamaku,” katanya kepada kami.
Tapi bukan karena itu sebutan tukang cuci piring melekat padanya di antara teman-teman kampusnya. Ketika teman-temannya mengajaknya pergi ke pesta perkawinan untuk mendapatkan makan gratis, alih-alih menyelonong masuk dan menyantap hidangan, ia malah menemui salah seorang panitia pesta dan mengatakan dengan jujur bahwa ia bukan tamu undangan dan berharap bisa makan gratis dengan imbal jasa mencuci piring.
Teman-temannya tentu saja kaget bukan main, tapi paham begitu dijelaskan, bahwa mengambil makanan tanpa seizin yang punya hajat itu berdosa. Akhirnya, mereka diizinkan makan. Tapi dengan syarat: mereka harus mencuci piring para tamu. Armand menyebut keluarga pengantin itu yang jadi Armand ketiga atau keempatnya.
Ceritanya tentang kejujuran itu betul-betul menampar kami. Ada dari kami yang tersindir karena pernah menerima uang suap dari pemasok. Ada juga yang merasa bersalah karena menjual baju-baju yang dibilangnya barang impor, padahal diambilnya dari Pasar Tanah Abang. Ia tersenyum ketika kami menyebutnya sebagai Armand kami. Rupanya, sebutan itu tidak salah ketika ia menceritakan kegiatannya mengajar mengaji anak-anak di masjid, yang disebutnya terinspirasi dari Armand.
Begitu banyak orang baik yang disebutnya Armand. Kami pikir, dengan bertemu banyak Armand hidupnya akan lebih mudah, tapi ternyata tidak. Ia melalui banyak kesulitan, dan yang paling sulit itu, katanya, mendapatkan pekerjaan.
Untuk diketahui, teman kami seorang sarjana Pendidikan Guru Geografi, jurusan yang tadinya tidak disangka akan diambilnya. Ia terpaksa mengambilnya karena hanya jurusan itu yang masih tersedia di seleksi PMDK. Menjadi guru tentunya pekerjaan mulia, tapi kalau sekedar menjadi guru, ia tidak perlu bersusah payah pergi merantau. Toh pamannya jadi kepala sekolah di SMP di kampungnya, apalagi ia sudah jadi guru privat dan guru mengaji anak-anak di masjid selama ia jadi mahasiswa. Ia butuh pekerjaan yang bergaji besar dan bisa dibanggakan orang tuanya.
Sudah puluhan perusahaan dilamarnya dan belasan perusahaan yang didatanginya untuk wawancara kerja—mulai dari sebuah kantor kecil di Tanjung Priok sampai gedung pencakar langit milik salah satu BUMN di jalan Gatot Subroto. Uangnya sudah banyak habis untuk foto kopi, cetak pas foto, dan ongkos bus, padahal ia selalu lulus psikotes, wawancara maupun pengetahuan umum.
Ia hanya bermasalah di wawancara dengan bahasa Inggris, begitu ia menjelaskan. Kegagalannya itu sudah berulang sampai lima kali, dengan tiga diantaranya diwawancara orang asing. Sekalipun begitu, ia tidak menyerah. Ia tetap datang setiap kali ada panggilan wawancara kerja. Dengan bercanda ia menyebut dirinya sebagai petualang wawancara kerja.
Ia juga tidak pernah terpikir untuk balik kampung. Ia bertekad akan terus melamar kerja, menghadiri tes dan wawancara kerja, dan begitu seterusnya.
Ia selalu antusias saat wawancara kerja dan tidak pernah menganggap dirinya belum beruntung. Ia memang tidak percaya keberuntungan, meskipun pada akhirnya ia dipertemukan orang baik di perusahaan yang dilamar berikutnya—yang lagi-lagi disebutnya sebagai Armand.
Orang baik yang dimaksud adalah sang pemilik perusahaan, yang mewawancarainya setelah teman kami lolos psikotes dan dua wawancara awal. Wawancaranya seharusnya berjalan lancar kalau saja wawancara terakhirnya tidak memakai bahasa Inggris. “Padahal itu hanya pertanyaan dasar perkenalan diri,” katanya seperti menyesali diri.
Meski ia tidak yakin bisa lolos, setidaknya sang pemilik perusahan masih ingat bahwa, anak muda yang sedang diwawancarainya adalah bocah yang pernah diajarinya mengaji, dibuatnya tertawa dengan cerita-cerita lucunya, dibuat terkagum-kagum dengan trik sulapnya dan diajaknya main tebak-tebakan setiap sore di sebuah masjid di sebuah kampung di Sumatera Barat tujuh belas tahun lalu.
* * *