Angela di Kereta
Hari ini, untuk pertama kalinya aku naik kereta. Bukan kereta jarak jauh. Hanya kereta komuter yang akan membawaku keliling Jakarta.
Aku pergi mengikuti seseorang. Aku membeli tiket, menempel kartu, dan berdiri berbaris di peron bersama penumpang lain.
Tepat jam sembilan, keretaku datang membawa iring-iringan gerbong nan panjang. Aku berusaha menghitung jumlahnya, tapi tidak bisa. Kereta bergerak sangat cepat.
Sesaat kemudian kereta berhenti. Terdengar bunyi mendesis di bawah. Bunyi yang sama terdengar saat pintu terbuka. Orang-orang dengan sabar melangkah masuk dan memilih tempat duduk. Aku duduk di pojok dekat pintu, di sebelah wanita berbaju merah.
Di seberangku duduk seorang perempuan cantik yang sedang membaca buku. Dia memakai kaus putih, celana jins dan kupluk merah. Aku memberinya nama Angela, karena dia cantik seperti bidadari.
Aku sering memberi nama pada orang yang menarik perhatianku yang belum kukenal. Juga yang sudah kukenal.
Pernah, suatu kali aku memberi nama Profesor X untuk pria botak berkacamata tebal di toko buku. Lalu ada Ny. Keren, panggilanku untuk seorang wanita tua nyentrik di bandara. Aku pernah menyebut kakakku Stupid, karena ia memang bodoh. Aku juga punya sebutan untuk wanita di sebelahku ini: Ny. Cuek—wanita yang selalu sibuk dengan ponselnya.
Kereta mulai bergerak. Aku berbalik badan dan memandang ke luar. Aku bersemangat ketika kereta melaju semakin cepat, dan terkesiap ketika berpapasan dengan kereta lain. Aku merasa seperti raja ketika keretaku melintas di depan barisan mobil dan sepeda motor. Oh, ini pengalaman yang sangat menyenangkan!
Kereta memelan saat memasuki stasiun. Dan berhenti. Dan pintu terbuka. Dan orang-orang melompat masuk dan menempati ruang-ruang kosong di dalam gerbong. Begitu seterusnya, hingga gerbong yang kunaiki disesaki orang-orang.
Gerbong menjadi lengang saat berhenti di sebuah stasiun besar, Stasiun Jatinegara. Aku tahu namanya dari papan yang menempel di dinding. Tempat ini menarik perhatianku. Aku mengagumi arsitekturnya yang klasik beserta hiruk pikuknya.
Di jalur satu, satu lokomotif besar baru saja tiba, membawa gerbong-gerbong putihnya yang panjang. Aku membayangkan duduk di dalamnya, memandangi sawah-sawah menghampar, melewati jembatan besi yang tinggi, memasuki terowongan panjang nan gelap.
Khayalanku terhenti ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun. Pada saat itu aku teringat Angela.
Aku menoleh ke arahnya. Tapi, Angela sudah lebih dulu melihatku. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku.
Tiba-tiba syok menyerangku. Tubuhku kaku dan aku kesulitan bernafas. Aku memejamkan mata, mengatur nafas, dan semenit sesudah itu aku pun jadi lebih tenang.
Kemudian aku membuka mata, dan kulihat wajah Ny. Cuek sudah berada di depanku sedang menawariku minum. Aku, yang kebetulan lumayan haus, menerima tawarannya dan minum dua tegukan.
Ny. Cuek tersenyum, wajahnya terlihat begitu teduh dan menenangkan. Karena sikapnya yang ramah, dia tidak lagi terlihat seperti orang yang cuek. Namun aku tetap memanggilnya Ny. Cuek. Panggilan itu sudah terlanjur melekat padanya.
Ny. Cuek seorang wanita modis. Aku menyukai wangi parfumnya serta pilihan pakaiannya yang serasi. Tapi tidak dengan tas ransel kecil bergambar Kereta Thomas miliknya—yang menurutku terlalu kekanak-kanakan.
Aduh, kenapa sih aku harus memikirkan tas itu ketika tiba-tiba saja Angela sudah berdiri tepat di hadapanku.
“Anak Anda?” Angela bertanya pada Ny. Cuek.
Ny. Cuek tersenyum, berkata, “Namanya Ali. Hari ini usianya enam tahun.”
Angela merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Sambil mengusap kepalaku dengan lembut, dia berkata, “Selamat ulang tahun, Tampan.”
* * *